NovelToon NovelToon

Terjebak Dalam Dunia Pria Yang Mengaku Suamiku

Prolog — Kalimat Terlarang

Hujan mengguyur pelataran kampus sore itu. Langit mendung, angin berdesir lembut di antara pohon-pohon besar yang daunnya mulai gugur. Gedung fakultas kedokteran tampak lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih sibuk di perpustakaan, menyelesaikan tugas akhir atau sekadar mencari ketenangan.

Zeya Alesha duduk di sudut paling belakang lantai dua, tempat yang jarang dikunjungi. Di hadapannya, setumpuk buku usang dengan sampul yang hampir tak bisa dibaca. Ia baru saja menyelesaikan praktikum anatomi, dan seperti biasa, mencari pelarian dalam dunia sunyi perpustakaan.

Tangannya menelusuri tumpukan kertas yang mulai menguning. Salah satu buku tebal berjudul “Catatan Medis Kasus Psikosis Delusi Klinis” menarik perhatiannya. Di dalamnya, tertempel lembaran tambahan, bukan bagian dari cetakan asli. Tulisannya tangan, tinta hitam pekat mendominasi tulisan.

Zeya mengerutkan kening. Kalimat itu seolah… menyapanya.

..."Jika cinta adalah obat, mengapa luka tak juga sembuh?"...

Ia membaca ulang kalimat itu tiga kali. Setiap hurufnya seperti bergema langsung ke dalam kepalanya. Tanpa sadar, jari-jarinya menyentuh lambang kecil di bawah kalimat itu, logo rumah sakit retak di bagian tengah, seperti disengaja.

Tiba-tiba…

Klik.

Ponsel Zeya menyala sendiri di atas meja. Layar gelap, lalu muncul cahaya putih menyilaukan. Sebuah simbol muncul di layar,logo rumah sakit yang sama, tapi berdenyut seperti hidup.

[SISTEM AKTIF - MODE TRANS-REALITY]

⚠️ Status : Tidak stabil.

⌛ Transfer Dimensi : Dalam proses...

Selamat Datang,Zeya Alesha .

Zeya tersentak. “Apa ini…?”

Cahaya dari layar menyilaukan. Ruang perpustakaan berubah kabur. Buku-buku beterbangan, suara bising bergema dalam kepalanya. Dunia seolah berputar, menariknya masuk ke dalam kekosongan tanpa ujung.

Ia menjerit.

Tapi tak ada yang mendengar.

Lalu… gelap.

 

Zeya terbangun perlahan di sebuah kamar asing.

Langit-langit putih membentang di atasnya. Lampu gantung yang redup menyinari ruangan luas dengan interior mewah yang terlalu rapi, terlalu asing. Aroma sabun dan kayu manis samar tercium di udara. Tapi yang membuatnya panik bukanlah tempat itu... melainkan rasa berat di tangan kirinya,terikat lembut dengan perban dan infus kecil menempel di pergelangan tangannya.

Ia mengerjap, kepalanya berdenyut hebat. Seolah ada palu yang memukul dari dalam tengkoraknya. Ia mencoba bangkit tapi tubuhnya lemas.

Lalu... langkah kaki terdengar.

Pintu terbuka perlahan, dan masuklah seorang pria tinggi mengenakan kemeja putih, lengan tergulung rapi. Wajahnya teduh, senyumnya tenang... tapi sorot matanya gelap. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat jantung Zeya berdebar tak karuan.

Tatapan mata pria itu tajam. Lembut... tapi menyimpan kuasa.

“Kamu akhirnya sadar juga,” ucapnya pelan.

Zeya menoleh, napasnya memburu. “Kamu... siapa?”

Senyum pria itu mengembang sedikit. Tenang. Seperti sudah menunggu pertanyaan itu.

“Aku suamimu, sayang,Ares Mahendra"

Wajah Zeya langsung menegang. “Suami...?”

“Iya.” Ia mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu menyentuh pipinya dengan sangat lembut,seakan khawatir sentuhannya bisa menyakitinya. “Kamu mungkin kehilangan ingatan karena insiden kecelakaan itu. Tapi tidak apa... kita bisa mulai dari awal lagi.”

Zeya mencoba duduk, tapi rasa pusing masih menyerangnya. Ia memandangi pria itu dengan cemas. Wajahnya benar-benar asing. Ia merasa belum pernah melihat pria ini sebelumnya.

“Aku nggak ingat pernah menikah,” gumamnya.

Pria itu...yang entah siapa nama nya menatapnya dalam. Sorot matanya tak bergeming.

“Ingatanmu mungkin hilang. Tapi aku yakin tubuhmu akan mengenali siapa aku.”

Sebelum Zeya bisa bertanya lebih jauh, pria itu membungkuk... dan menempelkan ciuman lembut di keningnya. Sentuhan itu membuatnya merinding. Bukan karena manis... tapi karena terlalu akrab. Terlalu memiliki.

“Aku akan menjagamu sayang,” bisiknya. “Kamu tidak perlu takut... karena aku suamimu.”

 

Bab 1: Dunia Asing Bersama Ares Mahendra

Cahaya matahari yang menembus kaca jendela menyilaukan mata Zeya. Ia menyipitkan pandangannya, mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam matanya.

Kamar itu terlalu luas, terlalu bersih, dan terlalu mewah untuk ukuran asrama mahasiswa. Tirai putih bergoyang pelan, tertiup angin pagi yang masuk melalui jendela yang telah terbuka.

Ia mencoba bangkit dari ranjang perlahan, tapi tubuhnya masih lemas, seolah baru melewati sesuatu yang melelahkan.

Lalu,sebuah suara terdengar tenang,menegur dia dengan lembut.

“Jangan duduk dulu"larang seseorang itu."tubuhmu masih butuh banyak istirahat"ingatkan nya penuh perhatian.

Zeya memperhatikan pria di depan nya dengan heran.

"dia siapa?." batin zeya spontan.

Sosok pria tinggi itu hanya tersenyum melihat zeya termenung dan tampak heran.

"Ada apa?,kenapa melihatku seperti itu?"tanya laki laki itu masih dengan senyum manisnya.

“Kamu siapa...?,” tanya Zeya, bingung. Dadanya sesak, detak jantungnya melonjak tanpa alasan yang jelas.

Pria itu menatap mata zeya lembut,lalu tersenyum tipis dan tenang. “Aku suamimu. Ares Mahendra.”jawab Ares tanpa keraguan.

Zeya menatapnya dengan tatapan kosong,memasang wajah terkejutnya.

"Suami?,tidak mungkin....aku belum menikah" protes zeya sama sekali tidak percaya.

Seingatnya,tadi malam ia tertidur di asrama sempit setelah mengerjakan laporan pratikum,lalu mengapa tiba tiba ia bisa terbangun di tempat lain?.

Ares menyentuh bahu zeya dengan hati hati,memperlakukan nya seakan gadis itu sesuatu yang bisa hancur jika ia tidak berhati hati.

“Kita sudah menikah setahun yang lalu, Aku suami mu sayang"jelas Ares memberi rasa aman pada sang istri.

Zeya masih termenung diam tanpa bisa membalas ucapan Ares tadi.

"Apa kamu ingat siapa namamu?"Ares mulai bertanya,masih menggunakan nada lembut.

Zeya mengangguk pelan “Zeya... Zeya Alesha.”jawab nya pelan.

Ares tersenyum, seolah puas dengan jawaban itu. “Bagus. Kamu masih mengingat bagian terpenting dari dirimu.”

---

Zeya masih termenung. Diam. Tak mampu membalas ucapan Ares barusan.

"Apa kamu ingat siapa namamu?" tanya Ares lembut, suaranya tetap tenang, seperti tak ingin membuat Zeya semakin bingung.

Zeya mengangguk pelan. “Zeya… Zeya Alesha.”

Ares tersenyum tipis, seolah puas. “Bagus. Kamu masih mengingat bagian terpenting dari dirimu.”

Zeya menatap pria di depannya bingung. Pria itu terlalu tampan. Iya… Zeya mengakuinya. Tapi… bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba punya suami setampan itu?

Ares mengangkat tangan, lalu menyentuhkan jari ke dahinya, membuat Zeya sedikit tersentak.

“Mikirin apa lagi sih?” gumam Ares pelan.

Zeya buru-buru menggeleng. Ia menelan ludah gugup. “Berapa usiaku sekarang?”

Ares terkekeh pelan. Nada suaranya terdengar santai, seperti menikmati kegugupan Zeya. “Kenapa nanya begitu?”

“Aku cuma… mau memastikan sesuatu. Rasanya kayak aku melompati waktu gitu.”jawab Zeya jujur.

Ares mencubit pipi Zeya pelan. Refleks, Zeya memukul tangan Ares sambil manyun.

“Ih… main cubit-cubit aja. Sakit tahu!” gerutunya sebal.

Ares terkekeh kecil. “Bebas dong. Kamu kan istriku.”

Zeya mendengus, kesal sendiri.

“Aku… ada di mana sih sebenarnya?” tanyanya, suara pelan tapi penuh penasaran.

“Di rumah kita,” jawab Ares santai, seolah itu adalah hal yang paling biasa di dunia.

Zeya diam. Pikirannya mencoba mencerna kalimat itu.Rumah? Kita?,apa maksudnya?.

“Dan kamu adalah istriku,” lanjut Ares pelan, sambil mengangkat dagu Zeya dengan ujung jarinya. Sentuhannya lembut, tapi tetap terasa mengatur. “Kecelakaan itu membuat ingatanmu hilang. Tapi tak apa… kita bisa mulai dari awal lagi.”

Zeya menggigit bibir bawahnya. Kepalanya terasa penuh. Semua ini terasa seperti mimpi buruk… yang terlalu nyata. Ia mencoba mengingat sesuatu, apa pun. Tapi yang muncul hanya potongan gambar saat ia masih di asrama kampus.

“Tapi… aku nggak ingat kalau aku pernah menikah. Kamu bohong ya?” tuduh Zeya, menatap Ares dengan tatapan menyipit penuh curiga.

Ares tidak terlihat terkejut. Ia malah menyentuh rambut Zeya dan membelainya pelan, seperti sudah menduga kalau pertanyaan itu akan muncul.

“Mana mungkin aku bohongin istriku,” ucapnya tenang. “Tenang aja, sayang… aku bakal bantu kamu ingat semua kenangan indah kita”tambahnya lagi.

Tatapan matanya mengunci mata Zeya. Dalam dan tegas Tegas. Seolah Ares tidak memberi ruang untuk Zeya membantah.

Zeya mengalihkan pandangannya, Matanya sibuk menelusuri isi kamar. Terlihat terlalu mewah dan asing,tidak ada foto atau barang pribadi yang terasa familiar bagi zeya.

“Kamu nyari sesuatu?” tanya Ares lagi, masih memperhatikan gerak gerik Zeya.

Zeya cepat-cepat menggeleng. “Cuma liat-liat aja. Kamarnya mewah juga ya… Berapa biaya dekorasinya?”

Ares terkekeh pelan. Gadis itu terdengar seperti seseorang yang ceria, meski sedang bingung.

“Kamu suka?” tanyanya.

Zeya mengangguk pelan. “Cantik dan Rapi. Tapi… kenapa nggak ada foto pernikahan di sini?”

Itulah yang dari tadi ingin ia tanyakan, tapi baru sekarang berani mengeluarkannya.

Ares tetap tenang. “Ruangan ini baru direnovasi. Jadi foto-fotonya belum dipasang didinding"

Zeya mengerutkan dahi. “Kamu pajang foto pernikahan di dinding?”

“Iya.”

“Sebesar apa?”

“Kira-kira sebesar poster.”

“Hah?! Segede itu?!” Zeya melongo, antara terkejut dan bingung.

Ares hanya tersenyum, menatapnya dengan penuh minat.

Zeya kembali menatap pria itu. Ada satu pertanyaan yang masih mengganggu kepalanya.

Zeya menarik nafas pelan sebelum mulai bicara.“Terus… kapan aku nikah sama kamu?”

“Lima belas Desember tahun lalu. Waktu kamu masih dua puluh tahun”jawab Ares tenang dan tidak ada tanda tanda ia berbohong,bahkan ia mengingat tanggal pernikahan mereka dengan jelas

sementara Ares masih mengelus rambut zeya pelan, seolah ingin menenangkan.Tapi justru itu yang membuat Zeya makin gelisah.

“Dia tampak tidak sedang berbohong,apa mungkin...aku beneran masuk ke tubuh orang lain?,istri orang?"pikirnya panik sendiri.

Zeya ingin bertanya lebih banyak. Tapi tatapan Ares membuatnya nyalinya ciut dan memilih untuk diam,meski kepalanya penuh dengan pertanyaan yang perlu di jawab.

“Zeya,” bisik Ares pelan, nyaris seperti mantra, “kamu hanya perlu percaya padaku.”

Zeya menarik napas dalam. Ia belum siap untuk percaya. Tapi saat ini… ia tidak punya pilihan lain.Selain… mempercayai pria yang mengaku sebagai suaminya itu.

Bab 02 Kenapa Semua Terlihat Sama?

Pagi masih muda ketika Zeya membuka matanya untuk kedua kalinya.

Tidak ada Ares di ruangan. Sunyi. Hanya terdengar suara detak jam dinding yang berjalan pelan, seolah ikut menjaga keheningan itu tetap utuh. Tirai putih melambai lembut dihembus angin dari jendela yang sedikit terbuka. Cahaya matahari menyelinap masuk, menari-nari di lantai marmer dingin yang bersih mengilap.

Zeya diam. Mengamati langit-langit kamar yang asing namun kini disebut "rumah". Ia menunggu beberapa saat, memastikan tidak ada suara langkah mendekat sebelum akhirnya perlahan-lahan bangkit dari ranjang besar bersprei putih halus itu.

Kakinya menyentuh lantai, dingin.

Ia menggigit bibir, lalu berdiri perlahan. Tubuhnya memang masih sedikit lelah, tapi rasa ingin tahunya jauh lebih besar dari rasa sakit di otot-ototnya.

Langkah pertamanya terasa ragu. Tapi begitu ia mulai berjalan, ia tidak berhenti.

Kamar itu besar. Sangat besar. Jauh lebih besar dari asrama mahasiswa yang sempit dan selalu riuh. Dindingnya dicat krem lembut, lampu gantung menggantung di tengah plafon tinggi, dan lemari besar dari kayu gelap berjajar di satu sisi ruangan. Meja rias, rak buku, dan satu lukisan klasik yang entah kenapa terasa terlalu kelam untuk ukuran kamar pengantin.

Zeya menarik napas, lalu berjalan menuju jendela. Ia menyibak tirai besar itu perlahan.

Pandangan di luar membuatnya nyaris lupa bernapas.

Taman luas membentang. Penuh dengan bunga warna-warni yang bermekaran sempurna,mawar putih, lavender, dan bunga lili yang berdiri tegak dalam barisan rapi. Jalan setapak dari batu alam membelah taman itu menuju sebuah gazebo kecil di kejauhan. Angin menerbangkan aroma bunga yang samar-samar menenangkan.

Indah.

Terlalu indah untuk disebut kenyataan.

“Apa ini semua milikku?” bisiknya sendiri.

Tapi ia tahu jawabannya. Ini bukan miliknya. Bukan dunianya. Bahkan mungkin bukan waktunya.

Zeya menatap ke kejauhan, lalu merapatkan tangan ke dada. Hatinya terasa penuh, tapi kosong pada saat bersamaan. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu,namun yang muncul hanya kabut.

Tidak ada wajah. Tidak ada suara. Hanya kehampaan.

“Kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa aku tiba-tiba jadi... istri seseorang?”

Ia menoleh, matanya tertumbuk pada cermin besar di sudut kamar.

Langkahnya pelan saat mendekatinya, seakan takut melihat sesuatu yang tak ingin ia temui. Tapi begitu bayangan dirinya terpampang jelas di kaca, ia membeku.

Wajah yang ia lihat... adalah wajahnya sendiri. Tidak ada yang berubah.

Kulitnya masih sama. Rambut panjang sebahu berponi tipis masih jatuh rapi di kening. Mata cokelatnya yang lebar menatap balik padanya dengan tatapan cemas. Tubuhnya,masih tubuh gadis dua puluh satu tahun, yang baru kemarin begadang demi menyelesaikan laporan anatomi.

Tidak ada luka. Tidak ada bekas operasi. Tidak ada perbedaan sedikit pun.

“Ini... tetap aku.”

Zeya mengangkat tangan dan menyentuh wajahnya di cermin. Dingin. Nyata.

Tapi hatinya tetap berontak.

"Kalau aku tetap aku, kenapa semua hal di sekitarku berubah?" bisiknya nyaris tak terdengar. "Apa aku benar-benar terlempar ke dunia lain? Atau ini cuma mimpi panjang yang terlalu nyata?"

Suara pintu terbuka pelan membuatnya terlonjak kaget.

Zeya menoleh cepat. Tapi bukan Ares. Hanya suara angin yang mendorong daun pintu sedikit. Ia menghela napas lega, lalu kembali menatap bayangannya.

Dan saat itulah ia menyadari satu hal, bahkan dirinya sendiri mulai terasa asing.

Bibirnya yang dulu suka tersenyum kini terkatup kaku. Sorot matanya berubah. Ada kegelisahan yang tidak pernah ia lihat sebelumnya dalam pantulan itu.

Ia adalah Zeya. Tapi bukan Zeya yang sama.

Seseorang telah menggantikan hidupnya. Menempatkannya di dunia yang asing. Di sisi seorang pria yang terlalu tenang, terlalu posesif... dan mungkin terlalu mencintai dengan cara yang salah.

Zeya memeluk dirinya sendiri.

“Kalau ini bukan tubuh orang lain, mungkin...aku melompati waktu di masa depan.”

*****

"Kenapa kamu turun dari ranjang?"

Nada suara Ares terdengar tenang, tapi ada ketegangan halus di baliknya dan tatapannya menyiratkan amarah yang ditahan.

Zeya menoleh pelan. “Aku hanya bosan berbaring. Jadi aku berdiri sebentar... dan melihat-lihat kamar,” jawabnya hati-hati.

Ares melangkah mendekat, lalu berhenti di hadapan Zeya. “Kenapa tidak menungguku?” tanyanya, kali ini suaranya lebih pelan, tapi menekan.

“Aku... tidak ingin mengganggu. Kupikir kamu sedang sibuk.”

Ares menghela napas. Jemarinya menyentuh pelan rambut Zeya, lalu mengusapnya dengan gerakan lembut. “Kenapa kamu bilang begitu? Aku sama sekali tidak merasa terganggu. Kamu istriku yang berharga, Zeya. Aku tidak mungkin mengabaikan permintaanmu.”

Zeya hanya menunduk. “Baiklah... lain kali akan kukatakan padamu.”

Senyum Ares mengembang tipis. “Istriku yang manis,” bisiknya sambil kembali mengelus rambut Zeya. “Apa ada sesuatu yang membuatmu penasaran?”

Zeya menggeleng pelan. “Aku hanya ingin melihat-lihat kamar ini... tidak lebih.”

Ares mengangguk seolah mengerti. “Setelah kamu sembuh, aku akan membawamu keluar. Kamu boleh melihat taman itu lebih dekat.”

Zeya menatapnya dengan mata berbinar. “Benarkah?”

“Tentu saja,” jawab Ares lembut. “Tapi tidak hari ini.”

Zeya mengerutkan dahi. “Tapi... aku merasa sudah sehat. Apa tidak apa-apa jika aku melihatnya sebentar?”

Ares menatapnya lama sebelum menjawab. “Tubuhmu masih lemah, Zeya. Aku tidak mau mengambil risiko. Tunggu beberapa hari lagi, sampai kondisimu benar-benar pulih.”

Zeya menatapnya, ragu. “Tapi bukankah... kamu bisa menjagaku? Kalau kamu bersamaku, apa masih tidak boleh?”

Ares menyentuh pipinya dengan lembut, tapi sorot matanya tak berubah penuh kontrol. “Justru karena aku menjagamu, aku harus memastikan kamu tidak memaksakan diri. Aku melakukan ini demi kebaikanmu. Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi, Zeya.”

Zeya terdiam. Tidak tahu harus membalas dengan apa.

Ada nada hangat dalam kata-kata Ares, tapi juga... ketakutan samar yang merambat pelan di dadanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!