"Aduh"
"Bertahanlah, terus bertahan."
"Aku harus lari sampai ke mana, Joy? Aku... Tidak tahan lagi, aku lelah,"
di seberang telepon, orang itu terus menyuruhnya. Berlari dan berlari, entah sampai kapan ini akan berakhir.
Gadis itu terjatuh, dia memegang kakinya.
Ada lebam kecil, sedikit goresan mengeluarkan darah.
"Sakit, hiks..."
"Tahan, bodoh! Kau tidak mau selamat?"
Gluk—nafas gadis itu tercekat, dia kembali pada sambungan telepon.
"Kalau aku tak bisa? Apa kau akan terus memaksaku?"
"YA! KARENA INI ADALAH JAWABAN DARI HIDUP DAN MATIMU! TINGGAL SEDIKIT LAGI! APA SUSAHNYA! DAPATKAN *MEMORI CARD* ITU, DAN BANGUN! AYO!"
"Em..."
Gadis itu ragu, dia berdiri pelan. Berjalan ke salah satu mesin, lalu mengotak-atik sebentar. Setelah apa yang dia dapat sudah ada ditangan.
Kini dia berlari sekencang-kencangnya, mungkin dia akan mengecek kebelakang agar bisa memastikan sesuatu.
Matanya memejam, melihat ada cahaya putih cemerlang didepan sana.
“Joy!—"
"Cepat!! Tidak ada waktu lagi!"
.
.
.
"Hosh! Hosh!"
"Akhirnya!"
"Ini bukan waktunya kau duduk saja, kembali ke tubuhmu cepat sebelum waktumu sendiri di dunia hantu habis." Ucap Joy, dia adalah salah satu hacker terbaik.
Kini gadis itu mengangguk, dia berlari secepatnya ke tubuh yang terbaring di atas lantai.
Wuish!! Masuk seperti diterpa angin kencang, gadis itu terbangun setelah menyelesaikan misinya.
"Joy! Aku berhasil! Aku berhasil!"
"Ini berkat keberuntungan mantra yang aku beli dari *dukun* kemarin, ya, tentu saja itu akan berhasil."
"Tapi Joy, aku mungkin takkan punya waktu banyak untuk hidup. Aku akan segera mati,"
"Jangan begitu!" Joy mendekat, memegang kedua lengan gadis itu. Percaya kalau bertahan hidup untuk sebentar saja mereka akan berhasil menyelesaikan aturan dajjal ini.
"Kenapa ini menimpa padaku Joy, mengapa?"
"Mengapa harus aku?"
"God juga tak memiliki pilihan, pasti dia memilihmu karena spesial, kau adalah sosok yang bisa menghapus hantu-hantu itu."
"Aku takut..." Gadis itu gemetaran sendiri.
Joy sebagai teman baik tidak boleh membuatnya menangis."di sini ada aku, Marina! Ada aku! Kalau kau tak percaya diri lalu apa gunanya aku!"
"Aku tak bilang begitu!"
"Tapi wajahmu seolah bicara seperti itu!"
"Aku tidak ya! Aku.. Hanya takut Joy! Aku hanya takut..."
"Hiks! Mereka semakin menakutkan..."
"Kenapa aku? Aku hanya siswi biasa, aku ingin hidup normal..."
"Ingin hidup normal?" Tanya Joy, dia berdiri melemparkan tablet pada gadis itu. Diterima dengan baik.
"Lihat sisa waktumu bodoh, kau kira aku tak sama menderitanya denganmu? Kalau aku tak disisimu siapa lagi yang mau membantu, hm?"
"Kita adalah orang yang dipilih *God* untuk menjadi salah satu kandidat orang selamat."
"Aku juga tak mau mati." Bisik Joy, dia merem.
"Aku juga, hiks..."
"Tapi... Jujur, hanya kita berdua saja yang bertahan Joy. Sebelumnya, ada banyak orang ditempat ini... Tapi mereka..."
"Mereka mati duluan dari takdir mati mereka yang sebenarnya, itulah yang tak kusukai diperaturan ini."
Marina mengelap mata dengan seragam sekolahnya, dia pelan-pelan berdiri. Karena bengkak di kakinya, yang juga sampai di dunia nyata keduanya beristirahat.
"Joy... Aku kangen mereka,"
"Disana mereka pasti sudah tenang, mereka sudah bermain di surga."
Joy ikut menatap langit laboratorium, dia menggenggam pelan tangan gadis itu. Matanya ikut terpejam pelan."Marina,"
"Kalau kita berdua sudah sama-sama menyelesaikan permainan ini, apa kau mau bermain ke kampung halaman ku?"
Marina terdiam, gadis itu melihat wajah laki-laki kurus disampingnya. Kampung halaman? Ah sudah lama juga dia tak pulang ke rumah yang ada ayah dan ibunya, pasti mereka menunggu.
"Aku mau." Jawab Marina. Semakin mengeratkan pegangan mereka.
Joy dan Marina sama-sama memejamkan mata, salah satu komputer yang tadi dioperasikan berhasil loading 100 persen. Lalu ada tulisan, (Tugas selesai, tugas terakhir)
.
.
.
"Haha!"
Ada dua anak kecil saling kejar-kejaran.
Marina melihat mereka berdua, mereka tak berhenti bermain dibawah pohon mangga.
"Ayo kejar aku! Kejar aku!"
"Jangan lari terus dong!"
Marina menuju ke mereka berdua, semakin dia mendekat mereka dan pohonnya seolah menjauh dari hadapannya. Tangannya tak berhenti melambai kedua anak itu.
"Kamu lagi baca apa??"
"Ini, seru lho!"
"Oh ya?"
"Um!"
"Emang ceritanya tentang apa?"
"Kalau gak salah gajah yang kalah sama semut!"
"Memang bisa?! Aku gak tau ada cerita aneh kayak gitu!"
"Hahaha, makanya kamu selalu ketinggalan terus."
"Aku bukan seperti itu ya!"
Marina membuka mata, nafasnya terus memompa dada. Keringat jatuh bercucuran.
'Mimpi aneh, '
'Sungguh aneh. '
'Joy? ' dia tak melihat keberadaan lelaki itu disampingnya. Dia langsung berdiri mencari, mengelilingi laboratium yang penuh bercak darah, dan amunisi pistol.
"Joy! Kau dimana?!"
"Kau dimana!"
Marina berkelilinh, tapi dia tak mendapati keberadaan laki-laki itu. Joy, seorang pemain tersisa yang bersamanya kini tak ada di tempat.
Tak berhenti Marina berteriak, lelaki itu selalu aktif kemana-mana. Bikin khawatir.
"Joy! Hiks... Kamu kemana..."
Suara alarm berbunyi, gadis itu langsung khas dengan suaranya."Su-suara ini..."
"Joy! Ada tugas!"
Dia menghampiri ke layar besar, disana tertulis."Permainan terakhir, selesaikan."
Dengan bahagia, Marina langsung lompat-lompat sendiri."Joy! Lihat! Ini... Ini akan... Berakhir..."
"Joy..."
"Maaf ada salah informasi."
"Marina Yuana Tia, selamat.... Anda jadi pemenang!"
"Ap-"
"Tu-tunggu aku belum bermain sama sekali lho, Joy masih belum berada di sini. Tunggu dia dulu sebentar ya, ya?"
Layar kembali menunjukkan. Foto awal Joy, milik lelaki itu pecah lalu menjadi foto abu-abu. Tersisa satu pemain, yaitu... Marina, hanya dia yang bertahan di sesi permainan ini.
"Selamat! Anda akan menjadi orang abadi yang bisa melanjutkan hidup 100 tahun kemudian! Anda telah berhasil menyelamatkan diri dari dunia monster dan hantu."
"Terimakasih telah berjuang..." Ucap di layar, memberikan emot senyum.
Tidak! Tidak... Bukan begitu sistemnya kan?
"Kalau kita berdua sudah sama-sama menyelesaikan permainan ini, apa kau mau bermain ke kampung halaman ku?"
"Hei, tenang saja. Aku adalah Joy si hacker terbaik! Aku tidak akan membiarkan aturan jahat ini mencekik leher kita, tau kan? Andalkan saja aku!"
"Oke?"
"Hanya tersisa kita berdua Marina, tolong tetap berdiri di sampingku."
"Marina..."
"Kau berhasil! Kita berhasil!! Hanya kita berdua, tapi kita bisa berhasil!!"
"Ini, sup kentang untukmu."
"Kita harus sehat bersama-sama kan?"
Joy memeluknya dari belakang, sambil berbisik."Marina..."
"Kau adalah sahabat terbaik yang aku punya, selamat... Kau sudah menang..."
"Hosh! Hosh! Hosh!"
"Aku berharap, kamu bahagia. Setelah ini, kita nikmati bersama kampung halaman kita, ya? Selamat menikmati nona, kau adalah gadis paling kuat yang pernah aku temui."
"JOY!!"
BRAK!!
Marina membuka paksa pintu toilet, dia melihat keadaan Joy yang terkapar lemas, tubuhnya seolah tinggal setengah badan, hingga beberapa menit lagi lelaki itu akan melebur seperti kapas.
"Joy... Kau jahat! Kau jahat!"
"Apa yang kau lakukan padaku sialan! Bangun! Bangun!"
"Bangun! Jangan tutup matamu! Ayo kita keluar bersama..."
"Ayo..."
Marina menunduk, dia memeluk erat kepala Joy.
Kepalanya perlahan menghilang, menyisakan darah yang tercetak jelas di lantai toilet.
'Kau menyuruhku bertahan, tapi dirimu sendiri tak mau bertahan... '
'Kaulah yang paling lemah, Joy... '
Bersambung...
Marina melewati hutan berkabut.
Matanya kosong, tak ada lagi nyala lentera kehidupan.
Tak ada lagi harapan untuk hidup lagi, lalu apa ini? Waktu hidup 100 tahun? Lebih baik dia mati ditelan monster daripada harus tersiksa sendirian.
"Kau ke mana saja? Kok tidak ada dua minggu ini?"
'Oh, singkat sekali ya... Di duniaku, terasa 10 tahun. '
Marina tak menjawab pertanyaan ibu kos, dan langsung menutup pintu begitu saja.
"Ada apa dengannya?"
Click-
Lampu menyala terang, Marina menaruh tas selempang ke atas meja. Dia melihat dirinya sendiri, darah yang seharusnya jadi corak seragamnya kembali lagi menjadi seragam putih seperti sedia kala.
"Mereka semua jahat, meninggalkanku..."
Marina membersihkan diri, setelah itu dia membuka satu bingkisan kotak kecil."Selamat untuk nona Marina Yuana Tia, anda mendapat kupon untuk membiayai apapun."
"Unlimited, tak kan habis."
"Selamat 🎊🎉"
"AKU TAK BUTUH!"
"AKU TAK BUTUH UANGMU! AKU TAK BUTUH UANGMU! AKU TAK BUTUH UANGMU!"
"AKH!"
Marina membuang kupon kartu ke tong sampah, dia menutup diri dengan selimut tebal.
.
.
.
keesokan paginya...
Ting...tong..
Ting...tong...
"Apakah Marina ada di rumahnya... Apa dia sudah kembali ke kosannya?"
"Hei, siapa kamu?" Seru ibu kos.
"Ah maaf, bu. Maaf mengganggu... Saya adalah guru pengajar Marina, dia adalah murid saya."
"Karena tak lama masuk, saya jadi khawatir bu. Maaf kalau saya mengganggu,"
Ibu kos melambai heran."Aduh, kamu cari Marina? Dia baru pulang kemarin malam. Tunggu sebentar ya, biar aku panggilkan dia."
Dug! Dug! Dug!
"MARINA!"
"KELUAR MARINA! ADA GURUMU ITU LHO! CEPAT KELUAR!"
"Ah sudah bu tak usah kalau memang tak ada."
"Kata siapa?! Ada kok dia, cuma seperti biasa, malas aja dia tuh."
"Saya tidak enak sendiri, maaf bu merepotkan,"
"Enggak lah."
Ibu kos terus menggedor pintu kos Marina, lalu pada ketokan keras ke sepuluh pada akhirnya Marina pelan-pelan keluar.
"Oh, ada apa bu?"
"Selain belum bayar uang bulanan, rupanya kamu bolos sekolah, juga, ya Marina? Mau ku telepon ayah ibumu?"
Marina mengucek mata, dia menguap kecil. Wajahnya pucat pasi seperti patung personel.
"Hanya itu kan, permisi saya mau lanjut tidur-"
"Hei sialan! Anak bandel! Lihat siapa di belakang ku ini! Dia terus cari kau! Tapi kau tak pulang-pulang, ku kira sudah mati. Lihat ini, gurumu mencari,"
Marina langsung membola mata lebar, dia melihat seorang yang akan menemui takdir kematiannya.
3 day 24 hour 60 second.
Waktu langsung dimulai, dia melihat tampang gurunya.
"Bu Siska..."
"Hm? Iya nak Marina? Ada apa?"
"Apa kamu bisa mengizinkan ibu masuk ke dalam?"
"Nak?"
Marina diam saja dipanggil, sampai ibu kos langsung menepuk tangan keras.
"Hei! Melongo aja kau Marina! Sambut gurumu masuk ke dalam!"
"Ah, iya..."
Marina melebarkan pintu, ruangan yang sangat sunyi dan sepi di dalam membuat ibu kos dan gurunya terdiam.
"silakan, bu Siska,"
"Oh, baiklah... Permisi bu,"
Ibu kosan ikut menunduk setelah guru dan murid masuk ke dalam. Ibu kos hanya menggaruk leher,"hm... Kenapa rasanya, ada yang aneh ya?"
"Ah sudahlah! Aku mau cuci piring, belum cuci baju, lalu bla...bla...bla..."
.
.
.
"Ini,"
"Tak perlu repot-repot Marina, kamu buat ibu jadi seperti tamu spesial di sini."
Marina diam saja, gurunya meneguk ludah. Dia menyesap teh yang masih panas.
"Ah! Wah! Panas..."
"Hati-hati."
Marina mengelap air teh yang belepotan di meja, ibu Siska juga ingin ikut membantu tapi segera diselesaikan dalam waktu dua detik.
"Marina..."
"Ibu khawatir denganmu nak, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada izin?"
"Tapi saat saya bicara pada orangtua mu, katanya kamu bersama mereka, pulang kampung. Benarkah itu?"
Marina terdiam, dia berhenti mencuci tangan. Matanya menatap tajam ventilasi jendela.
"Iya bu, saya pulang kampung. Maafkan saya, saya begitu rindu dengan keluarga saya hingga tak bisa membendung perasaan ini."
"Tapi dua minggu ini cukup lama lho nak, kalau bisa pakai surat keterangan ya?"
Marina langsung menunduk.
"Maafkan saya bu, tidak akan saya ulangi. Saya berjanji,"
Bu Siska menggeleng cepat,"bukan begitu maksudku Nak, tapi kalau bisa telepon ibu atau beritahu dulu dengan datang ke sekolah, kalau begini ibu jadi khawatir kalau kamu kenapa-napa."
Marina memegang celananya erat, dia memejam mata frustasi.
"Bu Siska..."
"Iya nak?"
"Tolong, tetaplah bertahan."
"Sampai selesai, tolong... Saya harus melihat wajah Anda lagi,"
"Um? Apa yang kamu bicarakan Marina?" Tanya gurunya, dia penasaran apa yang dimaksud.
"Bu, tolong."
"Setiap monster ada kelemahannya. Monster hitam itu yang paling susah, dan monster merah itu ada di tengah kesusahan sedangkan tak perlu khawatir dengan hantu-hantu kecil, tak perlu masalah,"
Bu Siska terdiam, diamnya mencoba berpikir apa yang terjadi di sini?
"Nak, kamu tak apa?"
"Apa yang terjadi... -"
Khawatir bu Siska memegang pundak muridnya.
Marina menepis tangan wanita itu, lalu digenggam erat."Bu, tolong... Jangan sampai anda kena mental. Tolong tetap bertahan sampai akhir, hanya itu cara anda bisa bertahan..."
"Saya akan sangat senang, kalau ibu bisa bertahan sampai akhir,"
Bu Siska sedikit tertawa kecut."Saya pun tidak tau apa yang kamu maksud nak, tapi... Mana mungkin saya begitu kan? Tentu ibu akan terus bertahan, ibu itu terus membimbing murid-murid ibu seperti kamu ini."
"Ibu berharap kamu bisa masuk kembali, ya?"
"Ah-"
"Baiklah" Lirih Marina, dia menunduk kecewa.
.
.
.
Papan iklan disentuh Marina.
Wajah yang tergantikan, Marina bisa mengenal persis siapa yang sebenarnya ada di dalam papan iklan ini.
Kini sudah terganti.
Yang mati seolah bukan lagi salah satu bagian dari dunia ini.
Tapi mereka seolah tak pernah dilahirkan.
Mereka yang dikira ada sudah tak lagi dikenal.
Hanya Marina saja.
Dia menuju ke kuburan, papan-papan nama dan juga note kertas milik orang-orang yang ditempel, berharap orang yang mereka doakan bisa bahagia di atas sana.
"Silakan, Rp 5.000 anda bisa mengambil 3 kertas catatan, dan satu keberuntungan,"
"Satu keberuntungan?"
'Itu mengingatkan ku pada dukun yang sebelumnya disewa Joy untuk membuatnya bisa menang permainan, rupanya itu hanya penipuan. '
"Aku beli catatan saja dan bolpoin."
"Silakan kak."
Marina menawar 3 kertas dan satu bolpoint, dia menulis semua nama pemain yang dia kenal sebelumnya di permainan itu.
Terutama lima orang yang sangat spesial dihatinya.
"Joy... Aku masih ingat denganmu. Jangan khawatir, kalau orang lain sudah melupakanmu. Denganku? Tidak akan."
Lalu dia tempel di tembok, berkumpul dengan ratusan nota yang hanya menjadi pernak-pernik mata."Tenanglah di alam sana."
"di manapun kalian."
Bersambung...
Bab Tiga
"Absen satu!"
"Hadir!"
"Absen dua!"
"Hadir!
"Absen tiga!"
"Hadir!"
Marina berdiri, "Absen dua puluh lima!"
Dia mengangkat tangan. Semua murid memandangnya. Bu Siska langsung menyuruhnya duduk.
"Baiklah, anak-anak, kita mulai kelas kita."
"Hari ini kita belajar sastra. Siapa yang mau membaca duluan?"
Marina terus memandang jendela, sejak saat itu dia tak berhenti memandang kosong. Tak ada lagi pupil mata hitamnya yang dulu, hanya ada keratapan dan kesunyian.
"Marina..."
"Marina..."
"Ei..."
"Bu Siska suruh kamu baca."
Marina berdiri, membawa buku ditangannya. Dia melihat anak-anak sekitar yang terus melihatnya.
"Ayo semangat, Marina..."
Ketika matahari mulai tenggelam di balik bukit,
langit mencoretkan jingga terakhirnya di lembar cakrawala.
Burung-burung kecil terbang rendah,
seperti mengantar hari kembali pulang ke rahim malam.
Daun-daun gemerisik lirih,
menceritakan kisah angin yang tak pernah lelah berkelana.
Sungai di kejauhan bergumam tenang,
menyanyikan lagu yang hanya dimengerti oleh bebatuan dan lumut tua.
Di balik semak, seekor kijang menatap hening,
lalu menghilang perlahan,
seperti mimpi yang tak sempat digenggam.
Sementara ranting-ranting tua merunduk,
menjadi saksi bisu waktu yang terus berputar.
Langit mulai berkerlip,
satu per satu bintang membuka mata.
Dan bumi—dengan segala bisunya—berdoa dalam diam,
agar esok, matahari sudi terbit lagi,
agar alam tetap bisa bernapas, meski manusia kadang lupa mendengarnya.
Prok! Prok! Semua orang tepuk tangan. Suara yang halus, dan raut wajah yang elok di mata mereka membuat semuanya terkagum-kagum.
"Wah! Marina, kau hebat! Kau hebat!"
Marina duduk terdiam, dia tak merespons tepuk tangan teman kelasnya.
Bu Siska juga menambahkan nilai A+ di buku nilainya. Dia sedikit teringat dengan ucapan muridnya kemarin. Lalu dia geleng-geleng kepala.
"Wah, bagus Marina... Bagus..."
"Ibu bangga sama kamu..."
"Silakan kalian melihat dan mencontoh irama Marina, ya? Dia seperti benar-benar masuk ke dalam puisi itu..."
"Baik bu..."
Anak perempuan di belakang Marina menepuk bahunya."Hei,"
"Ajarin aku dong, kamu hebat. Sungguh menakjubkan, aku tak tahu ada sisi seperti itu dalam dirimu. Dulu kau pemalu,"
Lalu yang lain juga ikut mendekat."Iya lho Marina! Sebelum kamu pulang kampung, dan gak bisa kita hubungi kamu sebelumnya bicara aja masih gagap, dan sekarang? Lancar sekali! Seperti robot!"
"Aku setuju itu!"
"Ehem." Bu Siska mengetukkan kayu di papan tulis."Jangan hanya bicara saja, ayo cepat kerjakan yang ibu tugaskan tadi."
"Baik bu!"
"Ibu mau ke UKS sebentar, ketua kelas... Tolong jaga temanmu.."
"Baik bu!" Hormat ketua kelas.
Mata Marina mengikuti punggung bu Siska yang keluar dari pintu.
Teman-teman kelasnya langsung menggerombol ke meja Marina, menanyakan ini, itu.
"Marina, kamu pulang kampung bawa oleh-oleh gak ke kita?"
"Marina, kamu bla... Bla... Bla..."
"Marina tugasmu udah belum, yang kemarin?"
"Marina..."
"Marina?"
"Ah, iya?" Tanya gadis itu, dia mendapat jentikan kecil dan langsung tersadar.
"Ada apa?"
"Kenapa diam saja?"
"Ada yang kamu pikirkan?"
"Eung..."
Marina meneguk ludah, dia segera berdiri. Berlari keluar kelas begitu saja.
"loh, mau kemana dia?"
"HOSH! HOSH! TUNGGU! JANGAN-JANGAN!"
"Aku juga sering keluar sekolah tanpa orang-orang sadari,"
"Atahu ini pertanda?"
Brak! Marina membuka pintu kasar. Orang yang menjaga di dalam langsung terkejut."Ah, siapa kamu! Masuk sesuka hati!"
"Maaf, apa bu Siska habis kemari?" Tanya gadis itu, tapi penjaga UKS yang menjaga kebingungan."Bu Siska? Memang iya? Daritadi saya jaga di sini belum ada kedatangannya,"
"Oh ini dia tak jadi ke sini rupanya. Katanya dia memberitahu ibu di chat, ada urusan penting sama tunangannya,"
"Apa..."
'Itu tidak mungkin, secepat ini? Bu Siska menerima misi sangat cepat, '
"Terima kasih atas informasinya, saya permisi dulu bu."
"Oh ya hati-hati."
Marina pergi dari UKS berlarian di sepanjang lorong. Sampai di jendela lantai dua, dia melihat bu Siska berjalan sendirian. Mata Marina mengecil, dia sengaja melihat kemana tujuan arah bu Siska.
"Ini kesempatan, aku juga harus mengikuti bu Siska."
Marina berjalan menuruni tangga, dia berhenti di ujung pintu."BU SISKA! TUNGGU!"
Bu Siska tak menoleh sama sekali, dia terus berjalan. Marina terus meneriaki namanya."BU SISKA! TUNGGU BU! JANGAN PERGI DULU BU!"
Lorong hitam tiba-tiba muncul, Marina berhenti. Dia serasa diterpa angin kencang, rambut panjang Marina ikut berkibar.
"Tunggu bu! Jangan masuk dulu!"
Bu Siska memasuki lorong hitam dengan mata putih. Marina tak sempat menyusul, dia terhantam tembok padat, terpental ke belakang.
Marina meringis, dahinya berdarah.
"Aish.... AISHH! SIAL! SIAL! SIAL!" Marina terus menghentakkan kaki tak henti-henti. Dia marah, merasa tak mampu. Marina duduk meluruskan kaki.
"Sialan!"
.
.
.
"Apa?! Bu Siska pulang duluan?!" Seru Hana, dia terkejut sambil makan cemilan.
Marina diam sebentar lalu mengangguk."Hm, dia diseret god yang aslinya iblis itu."
"Apa maksudmu?"
"Daritadi kamu bicara aneh-aneh terus Marina, aku jadi takut..."
"Huh~" Marina menghela napas, dia menidurkan diri di meja.
Hana di depannya menurunkan kepala. Memegang dahi Marina,"gak panas, juga gak dingin, tapi wajahmu pucat seperti drakula,"
"Pertanda apakah ini?"
"Aku gak sakit, lepas." Marina menepis tangan Hana. Gadis itu mengerucutkan bibir.
Lalu dia punya ide, agar Marina kembali bahagia."Marina tahu gak? Selama kamu gak sekolah, aku nemu menu baru di kantin lho! Mau makan ndak?"
"Ayo cepat kita makan."
"Ayo, aku lapar..."
Marina memejamkan mata."Haru... Aku malas..."
Hana terdiam, tangan Marina yang dia pegang tak ditarik lagi."Aku bukan Haru, aku Hana.... Marina! Jangan nyeleneh gitu deh. Bikin takut aja, masa baru pulang kampung dua minggu sudah gak kenal teman kelas sendiri?"
Marina langsung bangun."Maaf, bukan begitu... Kamu... -"
Marina melihat wajah Hana yang persis sekali dengan Haru, lelaki seperjuangannya dulu di game mematikan.
"Maaf, kamu mirip dengannya... Aku tak bisa membedakan,"
"Oh begitu? Aku mirip dengan temanmu? Apa dia tampan? Keturunan orang jepang?"
"Sepertinya... -"
"Eh-" Marina langsung ditarik berdiri. Hana tersenyum, sambil memeluk tangan Marina."Kapan-kapan kenalkan aku dengannya, kalau dia ganteng ya... Hehe.."
"Iya,"
'Kalau dia masih hidup... '
.
.
.
"Ini dia menu yang aku katakan, enak dan juga mantap. Gurih manis terus pedes. Kamu suka kan?"
"Ini..."
"Aku sudah makan ini berkali-kali." Jawab Marina tak tertarik.
Hana menggaruk kepala,"memang kapan kamu pernah makan? Ini baru launching lho, baru viral kemarin juga..."
"Masa kamu dari masa depan... Sih~" Goda Hana.
Marina diam saja, dia berpikir sejenak."Maksudmu makanan ini adalah menu baru,"
"Iya, aku kan sudah katakan memang benar-benar baru dan pemerintah baru menyetujui menu ini..."
"Tapi katanya kamu udah pernah coba, ya sudah aku ga jadi beli deh."
"Eh tunggu,"
Kruyuk~
Marina memegang perutnya, sekali-kali dia makan setelah dua hari tak makan sama sekali. Ia menahan makan yang cukup ekstrim.
"Belikan."
"O-oke." Kata Hana, dia langsung memesan dua makanan ke meja mereka.
Keduanya sama-sama duduk, Marina menyendokkan daging ke mulutnya. Rasanya benar-benar persis, 'makanan ini... Kenapa ada di sini? Seharusnya tak ada, '
'Kenapa bisa begitu? '
Marina teringat ucapan orang itu, orang yang dulu jadi teman satu perjuangannya.
"Waw, masakanmu memang beda dari yang lain chef."
"Hehe jelas, kakek ku memasakkan ini dan aku menirunya, lama-kelamaan resep jadul ini jadi kebiasaan makan di rumah kelahiranku, di zamanku itu..."
"Waw..."
Marina menjatuhkan sendok, Hana terkejut."Apa yang terjadi!"
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!