Intan Berlian, gadis cantik berusia 23 tahun, harus mengalami kebutaan karena kecelakaan yang dialaminya tiga tahun yang lalu.
Tunangannya, Harris Bagaskara, membatalkan pernikahan mereka dan malah memilih untuk bertunangan dengan adik perempuannya, Hilda Annisa. Intan yang hancur mencoba bunuh diri, tetapi Papanya tiba di rumah tepat waktu dan menolongnya.
Dalam perjalanan ke rumah sakit, Purnomo, Papa Intan mencoba memahami apa yang terjadi dan berbicara dengan Harris dan juga Hilda.
"Kau harus menceritakan pada Papa apa yang terjadi di sana!" Ucap Pak Purnomo.
Hilda langsung membalas dengan senyum ironisnya tentang apa yang terjadi.
"Apa lagi yang harus dijelaskan selain fakta bahwa dia memang sudah gila." Ucap Hilda.
"Harris?" Ucap Pak Purnomo, berharap ada penjelasan lainnya.
"Om, dia tidak terima dengan kenyataan bahwa aku akan menikahi Hilda." Ucap Harris.
Pak Purnomo langsung menoleh ke calon menantunya itu. Wajahnya yang serius menunjukkan bahwa dia tidak suka dengan apa yang didengarnya.
"Apa kau pikir putri-putriku adalah sebuah barang dalam sebuah etalase? Kau datang, memilih satu, lalu ketika kau bosan, kau tinggal menukarnya? Hilda masih terlalu muda untuk menikah." Ucap Pak Purnomo.
"Papa, Harris dan aku saling mencintai. Papa tidak bisa menghentikan kami untuk menikah." Ucap Hilda.
"Diam, Hilda. Saling mencintai? Yang benar saja, si bodoh ini cuma memanfaatkan kita, dan Papa tidak akan biarkan dia begitu saja melakukan semuanya." Balas Pak Purnomo.
"Apa Om tetap tidak setuju meskipun aku menawarkan sesuatu yang menguntungkan sebagai balasannya?" Ucap Harris.
Harris menatap Hilda, yang mengerti persis maksudnya, lalu tersenyum.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Saat Intan sedang memulihkan diri di rumah sakit, Papanya mengatur perjodohan untuknya dengan Sean Alexander, seorang pria yang wajahnya tak pernah dilihat siapa pun, dan ditakuti banyak orang. Semua orang mengira dia bersembunyi karena cacat atau karena usianya yang sangat tua, dan reputasinya yang kejam, ditambah dengan rumor tunangannya yang bunuh diri, menghalangi kemungkinan menemukan istri yang sesuai dengan keinginannya.
Namun, memanfaatkan fakta bahwa Intan buta, Pak Purnomo tidak keberatan menawarkan putrinya itu untuk dinikahi dengan Sean. Dan karena Intan juga ingin bunuh diri, jadi tidak masalah jika dia melakukannya setelah menikah, karena pernikahan itu akan memberikan keuntungan yang sangat besar baginya, dan di saat yang sama, dia tidak perlu menghadapi masalah yang datang dengan kehadiran Intan dalam hidupnya. Karena setelah menikah, maka Intan akan lepas dari tanggung jawabnya.
Setidaknya itulah yang dipikirkan Pak Purnomo.
Ketika dia pergi ke kamar putrinya dan memberitahunya tentang apa yang telah diputuskannya, Intan tidak dapat mempercayai semuanya.
"Bagaimana bisa Papa melakukan hal ini padaku?" Ucap Intan.
"Bukankah kau ingin mati, Intan? Setidaknya dengan cara ini, kau akan membawa manfaat bagi keluargamu." Balas Pak Purnomo.
"Apakah aku ini seperti itu bagi Papa?" Ucap Intan.
"Anak laki-laki berperan sebagai ahli waris, sementara anak perempuan berperan untuk memberikan pernikahan yang menguntungkan bagi keluarga. Apa itu sulit untuk dipahami?" Ucap Pak Purnomo.
Intan sudah tak berdaya untuk berdebat. Dia memunggungi Papanya dan hanya menangis. Dia tak percaya Papanya sendiri menjualnya demi pernikahan yang hanya bisa menguntungkan bagi Papanya.
"Pernikahanmu tiga hari lagi. Jangan coba-coba untuk melakukan hal yang aneh-aneh." Ucap Pak Purnomo lalu pergi meninggalkan Intan yang masih saja menangis.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di tempat lain...
"Pak, kami sudah menerima konfirmasi. Keluarga Pak Purnomo menyetujui usulan itu." Ucap Julian, sekretaris Sean.
"Aku tidak ingat pernah mengirim lamaran pernikahan pada keluarga itu." Balas Sean.
"Anda memang tidak melakukannya, Pak, tapi mereka menghubungi kami dan mengatakan mereka menerima pernikahan dengan putri sulung mereka." Ucap Julian.
"Wanita itu pasti menginginkan uang dan ketenaran. Dia akan melayani tujuan kita dengan baik. Kabarnya pernikahannya akan dilangsungkan tiga hari lagi. Apa ada keluhan dari mereka?" Tanya Sean.
"Tidak ada keluhan apapun, Pak. Mereka bahkan menerima kenyataan bahwa tidak akan ada pesta yang dirayakan." Jawab Julian.
"Bagus, mereka tipikal orang oportunis. Mereka tidak peduli aku orang asing, atau rumor yang beredar tentangku. Mereka hanya melihat keuntungan yang ditawarkan pernikahan ini. Aku ingin tahu apakah mereka akan segembira itu saat pernikahan ini berakhir." Ujar Sean.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di hari pernikahan...
Intan dibawa ke rumah barunya dan di sana, dia mulai didandani, dan dipersiapkan untuk pernikahannya. Dia tidak punya hak untuk memilih, tapi dia sudah menerima takdirnya. Jika keluarganya sendiri tidak menganggapnya sebagai manusia, dan hanya dianggap sebagai alat tawar-menawar demi harta, maka tidak ada ruginya bagi Intan untuk setuju menikah.
"Kau terlihat cantik sekali, Kak. Sayang sekali kau menikah dengan orang tua gila yang membunuh calon istri pertamanya. Tapi kurasa kau tidak peduli, lagipula, kau sudah mencoba bunuh diri." Ucap Hilda sinis.
Hilda lalu memegang erat pergelangan tangan Intan yang terdapat jahitan bekas luka yang disebabkan saat Intan hendak bunuh diri waktu itu. Hal itu lantas membuat Indah menjerit kesakitan.
"Hilda, kau menyakitiku. Apa belum cukup kau merebut Harris dariku?" Ucap Intan.
"Merebutnya darimu? Aduh, kakakku sayang, apa kau benar-benar mengira dia milikmu? Biar kuberitahu, Harris dan aku sudah berpacaran sebelum kau menjadi orang buta yang tak berguna.
Plak!
Suara Intan menampar Hilda bergema di seluruh ruangan.
"Ahhh!" Teriak Hilda.
"Kau seharusnya berterima kasih padaku. Aku menjadi buta karena melindungimu, dan Mama kita akhirnya meninggal. Dan kau malah berterima kasih padaku dengan tidur dengan tunanganku? Dasar tak tahu diri." Ucap Intan kesal.
"Sialan! Kau memukulku. Kalau kau mau tahu lebih banyak, menikahkanmu dengan pria tua itu adalah ideku dan Harris. Kami membicarakan lamaran pernikahan ini dengan Papa karena kami hanya ingin menyingkirkan orang tak berguna sepertimu. Jadi, setelah aku menikah dengan Harris, kami akan mengambil alih perusahaan, dan kau akan selalu menjadi wanita malang yang menikah dengan pria tua yang ditolak oleh semua wanita." Balas Hilda.
"Silakan saja. Kalian berdua memang cocok satu sama lain. Aku lebih baik menikah dengan orang asing daripada tinggal di rumah ini bersamamu." Ucap Intan.
"Tentu saja. Siapa yang tahu, mungkin dia akan membunuhmu sebelum malam pernikahan kalian. Haha." Ucap Hilda lalu pergi.
Intan menyeka air matanya yang jatuh tepat setelah mendengar pintu dibanting menutup. Seorang pelayan datang untuk membantu Intan masuk ke mobil karena Papanya bahkan tidak punya rasa iba pada putri sulungnya itu.
Intan dimasukkan ke dalam mobil, dan orang yang ada didalam mobil mengatakan bahwa Pak Purnomo akan menunggu Intan di tempat pernikahan berlangsung karena dia sudah pergi menemui calon suami Intan lebih dulu.
Intan tahu benar, Papanya hanya pergi untuk memastikan pembayaran yang ditawarkan calon suaminya.
Bersambung...
Saat mobil berhenti di depan gedung acara pernikahan berlangsung, Intan menunggu di dalam mobil selama hampir dua puluh menit, dan tidak ada yang datang menemuinya.
Julian, sekretaris Sean sudah di pintu mobil, menunggu Intan untuk keluar. Mereka tidak diberi tahu bahwa Intan buta, dan sekretaris itu mengira Intan begitu angkuh sampai-sampai menunggu seseorang membukakan pintu untuknya, seperti wanita-wanita kaya manja lainnya yang sering dia temui.
"Wah, apa aku harus berurusan dengan perempuan yang bahkan tidak mau keluar dari mobil kalau tidak ada yang membukakan pintu untuknya? Aku kasihan padanya, tapi melihat betapa sombongnya dia, aku jadi tidak peduli lagi." Ucap Julian kesal.
Julian lalu berjalan ke pintu dan membukanya tanpa berkata apa-apa, dan Intan pun terdiam beberapa saat. Julian merasa semakin kesal karena Intan belum juga mau keluar dari mobil.
"Nyonya? Apakah Anda menunggu saya menggelar karpet merah?" Tanya Julian sinis.
"Apa? Oh, maaf. Papaku bilang dia akan datang untuk menyambut ku, tapi sepertinya dia juga lupa." Ucap Intan.
"Ugh, kau mau keluar atau tidak?" Julian semakin kesal.
"Bisakah kau membantuku?" Tanya Intan.
"Yang benar saja? Kenapa? Apa kau tidak bisa keluar sendiri? Kau buta, ya? Apa kau tidak lihat kalau aku sudah membukakan pintu untukmu?" Teriak Julian semakin kesal.
"Ya, aku memang buta. Bisakah kau membantuku sekarang?" Tanya Intan dengan tenang.
Julian kemudian menatap wajah Intan yang ditutupi kerudung tipis dan merasa malu atas perlakuannya.
"Maaf. Kami tidak diberi tahu bahwa Anda buta." Ucap Julian menyesal akan perlakuannya tadi.
"Tentu saja tidak. Papaku tidak akan mengungkapkan cacat pada suatu produk yang dijualnya sebelum menerima pembayaran." Balas Intan.
"Papa Anda menerima pembayaran dan mengatakan dia harus pergi karena ada urusan penting. Saya perlu memberi tahu atasan saya tentang hal ini. Bisakah Anda menunggu di sini?" Ucap Julian.
"Tentu saja! Aku akan menunggu. Lagipula tidak ada yang bisa aku lakukan." Balas Intan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pria yang diajak bicara oleh Intan sebelumnya tadi butuh waktu yang lama untuk kembali.
"Pak Driver? Apa kau masih di sini?" Tanya Intan pada supir mobil yang ditumpanginya.
"Ya, Nyonya." Jawab sopir itu.
"Bisakah kau menunjukkan jalan kepadaku menuju pintu masuk gedung ini?" Ucap Intan.
"Tentu saja, Nyonya!" Balas sopir itu.
Intan meletakkan tangannya di lengan sopir itu dan dia membawa Intan ke tempat yang diminta Intan tadi.
Intan lalu mengucapkan terima kasih dan mendengar langkah kaki sopir itu menjauh. Intan lalu melangkah beberapa langkah dan mendengar suara-suara, suara berat dengan nada jengkel yang kentara.
"Buta? Ini akan menghancurkan semua rencanaku, si brengsek itu sudah membohongiku. Aku akan membunuhnya karena sudah berani menipuku." Ucap Sean.
"Tidak perlu membunuhnya..."
Sean menoleh ke arah suara itu, seorang wanita bertubuh langsing berdiri di pintu dengan wajah terhalang cahaya, sehingga sulit untuk melihat wajahnya.
"Kau pikir kau siapa, ikut campur dalam sesuatu yang bukan urusanmu?" Ucap Sean kesal.
"Pak, ini calon istri Anda, Nyonya Intan Berlian." Ucap Julian.
Intan mengambil beberapa langkah hati-hati ke dalam gereja dan Sean akhirnya melihat wajahnya.
Intan memang wanita yang sangat cantik, tapi Sean tidak tertarik pada kecantikan. Dia membutuhkan seseorang untuk bertanggung jawab dan menjadi kambing hitam atas kedok yang diciptakan perusahaan untuk pencucian uang.
"Apakah kau mendengar semua yang kami katakan?" Tanya Sean.
"Ya, karena aku buta, bukan tuli!" Jawab Intan santai.
Sean mendekat dan memegang leher Intan begitu erat hingga Intan hampir kehilangan pijakannya.
"Kau merasa ini lucu ya? Singkirkan dia, orang cacat ini tidak akan berguna untukku." Ucap Sean pada Julian.
Ketika Sean melepaskan Intan, sambil melontarkan kata-kata itu, Intan mulai batuk dan menggosok lehernya.
"Tidak berguna? Serius? Itu bukan penghinaan terburuk. Apa yang bisa kau pikirkan? Kau harus mengambil kursus kilat dengan keluargaku, mereka tahu betul cara menghinaku. Begini, kau sudah membayarnya dan tidak akan menerima uang itu kembali lagi padamu. Bukankah akan merugikan jika kau menyingkirkan ku? Mengingat calon istri pertamamu bunuh diri. Jika aku menghilang, kecurigaan akan muncul di ranah publik." Ucap Intan.
"Lalu apa saranmu?" Tanya Sean.
"Sederhana, menikahlah denganku!" Jawab Intan dengan berani.
"Haha, kau bercanda!" Seru Sean tertawa mengejek.
"Apa masalahnya? Bagimu, aku hanyalah pengganti dari rencanamu." Ucap Intan.
"Dan apa yang ingin kau dapatkan dari pernikahan ini? Karena aku tahu kau pasti menginginkan sesuatu, mereka semua selalu menginginkannya!" Ucap Sean.
"Ya, tentu saja aku mau sesuatu." Balas Intan.
"Katakan padaku!" Titah Sean.
"Aku ingin balas dendam pada Papaku, adik perempuanku, dan mantan tunanganku." Ucap Intan.
"Aku bisa membunuh mereka, itu hanya masalah kecil." Balas Sean.
"Tidak! Aku tidak ingin kau menyakiti mereka, cukup ambil semua yang paling mereka hargai, uang, ketenaran, dan status. Lakukan itu, dan aku tidak keberatan dimanfaatkan untuk rencana jahat mu." Ucap Intan.
"Tahukah kau konsekuensi apa yang akan kau hadapi pada akhirnya?" Tanya Sean.
"Aku tidak punya apa pun lagi yang aku pedulikan." Jawab Intan.
"Bagus! Kalau begitu, kurasa kita bisa menikah." Ucap Sean.
"Hebat!" Seru Intan.
Intan mengulurkan tangannya kepada Sean, dan butuh beberapa detik untuk Sean menggenggamnya. Saat Sean menyentuh Intan, dia merangkul lengan Sean dan berjalan di sampingnya. Mereka pergi ke penghulu dan dia melakukan upacara singkat. Mereka menandatangani surat-surat dan meninggalkan gedung itu dalam keadaan menikah.
Sekretaris sekaligus tangan kanan Sean, Julian membantu Intan masuk ke mobil, dan begitu mereka masuk, Sean meminta Julian untuk mengantar mereka pulang ke rumah. Setibanya di sana, Intan kembali dibantu oleh Julian untuk turun dari mobil.
"Terima kasih banyak atas bantuanmu." Ucap Intan ramah.
"Kamar tidurnya ada di lantai dua. Lebih baik saya mengantar Anda ke sana." Ucap Julian.
"Dia bisa tinggal di kamar bawah." Ucap Sean.
"Tapi Pak, satu-satunya ruangan di lantai bawah adalah..."
"Aku tahu." Ucap Sean menyela Julian. "Tapi dia tidak akan ada di sini selamanya. Akan lebih baik baginya untuk tidak mematahkan lehernya jika jatuh dari tangga. Aku hanya memikirkan kesehatanmu, istriku tersayang." Ucap Sean.
"Haha, kau sama sekali tidak khawatir padaku, kau cuma berusaha menyembunyikan ku. Tapi aku tidak masalah dengan hal itu, tolong tunjukkan saja jalannya." Ucap Intan.
"Bi Lila..." Teriak Sean.
"Ya, Pak..." Balas seorang wanita berusia empat puluhan tahun bernama Bi Lila.
"Ini…
"Intan, namaku Intan Berlian, panggil saja Intan. Senang bertemu Anda." Ucap Intan.
Dia mengulurkan tangannya di depan Bi Lila, dan menatapnya dengan aneh tapi menjabat tangannya untuk memberi salam, dan Intan tersenyum.
"Dia akan jadi teman sekamar Bi Lila untuk sementara waktu. Dia akan butuh bantuan Bi Lila untuk berkeliling rumah ini." Ucap Sean.
"Tentu saja, Pak. Mari ikut saya, Nyonya. Saya akan membantu Anda." Ucap Bi Lila.
Intan mengulurkan tangannya ke arah suara Bi Lila, dan baru saat itulah Bi Lila menyadari mengapa bosnya mengatakan bahwa Intan butuh bantuan untuk bergerak.
Bersambung....
Bi Lila membawa Intan ke kamar dan menunjukkan padanya tempat tidur single di seberang kamar.
Intan duduk dan mulai melepas sepatu hak tingginya, sementara Bi Lila memperhatikan dengan tenang.
"Apakah ada yang ingin Anda tanyakan padaku?" Tanya Intan.
"Hah ? Kenapa Nyonya bisa tahu? Saya pikir Nyonya..."
"Ya, aku memang buta, tapi aku bisa mendengar napas mu. Aku tahu kau masih berdiri di sana, kau pasti penasaran, kan? Ucap Intan.
"Ya, maaf. Saya tidak mengerti kenapa Pak Julian mau mempekerjakan karyawan baru, apalagi yang tuna netra. Dan saya tidak mengerti kenapa Anda berpakaian seperti itu." Ucap Bi Lila.
"Aku bukan karyawannya. Aku dan bosmu menikah hari ini!" Ucap Intan.
"Apa? Anda istrinya Pak Sean? Maaf, saya tidak bermaksud kasar atau menyinggung Anda." Ucap Bi Lila.
"Tidak masalah, aku sama sekali tidak tersinggung. Apa kau tidak tahu kalau bosmu akan menikah hari ini?" Tanya Intan.
"Tidak, Nyonya. Pak Sean jarang ada di rumah. Dia cuma ke sini untuk mandi dan berganti pakaian. Kadang-kadang dia makan di sini, tapi jarang sekali." Ujar Bi Lila.
"Aku mengerti." Ucap Intan singkat.
"Tapi kalau Nyonya Intan istrinya Pak Sean, kenapa tidur sekamar dengan saya?" Tanya Bi Lila.
"Karena dengan begini aku bisa bergerak lebih mudah. Lagi pula, aku tidak akan tinggal lama di sini." Jawab Intan.
Bi Lila semakin bingung dengan apa yang didengarnya. Intan baru saja menikah dan malah mengatakan dia tidak akan tinggal lama di rumah suaminya.
"Koperku ada di mobil. Bisakah Bi Lila mengambilkannya untukku? Aku mau lepas gaun ini, rasanya tidak nyaman sekali." Ucap Intan.
"Tentu saja, Nyonya." Jawab Bi Lila.
Bi Lila pun pergi, dan Intan mulai melepas gaun pengantinnya. Sean sedang menuju ke kamar untuk berbicara dengannya, karena mereka perlu membahas bagaimana pernikahan mereka akan berjalan. Ketika dia tiba, pintu kamar itu sedikit terbuka. Dia melihat ke dalam dan melihat Intan hanya mengenakan lingerie. Dia tetap diam dan mengamatinya. Lagipula, Intan sangat cantik, dan rasa ingin tahunya pun muncul.
'Kenapa dia setuju menikah denganku padahal dia tahu jika aku hanya ingin memanfaatkannya? Dan kenapa dia ingin membalas dendam pada keluarganya tanpa menyakiti mereka? Apa yang sebenarnya terjadi padanya?' tanya Sean dalam hati.
Sean tersadar dalam lamunannya yang terus saja bertanya terlalu banyak dalam hatinya. Dia mendesah sangat pelan sehingga tidak dapat didengar oleh banyak orang, tapi Intan dapat mendengarnya.
"Hai? Bi Lila? Apa sudah menemukan koperku?" Tanya Intan.
Ketika tak seorang pun menjawab pertanyannya, Intan langsung mengambil gaun pengantinnya dan menutupi tubuhnya.
"Siapa di sana?" Tanya Intan sedikit takut.
Sean tidak menjawab, dia hanya pergi begitu saja dan Bi Lila tiba tak lama kemudian setelah Sean pergi.
"Nyonya, ini koper Anda." Ucap Bi Lila.
"Bi Lila? Sudah berapa lama Bi Lila di sana?" Tanya Intan.
"Saya baru saja tiba, ada apa Nyonya?" Balas Bi Lila bertanya balik.
"Apakah ada orang di lorong saat Bi Lila tiba?" Tanya Intan lagi.
"Tidak ada Nyonya, ada apa?" Tanya Bi Lila.
"Bukan apa-apa, mungkin cuma pikiranku saja." Jawab Intan.
Sebenarnya Intan yakin sekali bahwa dia mendengar napas seseorang. Dia berpikir mungkin dia hanya belum terbiasa dengan lingkungan sekitarnya. Dia mengambil kopernya yang diberikan Bi Lila dan meletakkannya di tempat tidur, mengambil baju ganti, dan menyentuhnya agar bisa berpakaian dengan benar.
Setelah berpakaian, Intan diberi tahu bahwa Sean perlu bicara dengannya di ruang kerjanya. Bi Lila mengantarnya ke sana dan, seperti biasa, Intan menghitung langkah-langkah kakinya agar dia bisa masuk dan tidak perlu bergantung pada siapa pun ketika dia butuh sesuatu.
"Apakah Anda selalu melakukan itu, Nyonya?" Tanya Bi Lila.
"Apa itu? Menghitung langkah?" Ucap Intan.
"Iya, Nyonya." Jawab Bi Lila.
"Ya, aku melakukannya karena aku perlu tahu di mana letak setiap perabotan atau dinding, sehingga di masa mendatang aku dapat bergerak sendiri tanpa harus mengganggu orang lain." Ucap Intan.
"Saya mengerti, tapi kapan pun Anda membutuhkan saya, Anda dapat mengandalkan saya, Nyonya. Lagipula, sebagian besar waktu hanya akan ada kita berdua di rumah ini." Ujar Bi Lila.
"Itu bagus, artinya kita akan menjadi teman baik." Balas Intan.
Bi Lila terkesan dengan kesederhanaan Intan, lagipula, dia istri dari Sean Alexander, bosnya. Tapi dia bertingkah seolah-olah dia adalah orang yang tidak penting, dia tidak mengeluh diminta tinggal di kamar pembantu tanpa sekalipun. Wanita lain jika ada di posisinya pasti akan menuntut haknya, tapi Intan tampak tidak peduli dengan hal itu.
"Baiklah, kita sudah sampai di pintu ruang kerja Pak Sean." Ucap Bi Lila.
"Terima kasih Bi Lila." Balas Intan.
Bi Lila pun pergi meninggalkan Intan.
Intan lantas mengetuk pintu dan beberapa detik kemudian dia mendengar suara Sean dari dalam ruangannya.
"Masuklah!" Teriak Sean dari dalam.
Intan membuka pintu perlahan dan melangkah maju. Begitu merasa sudah melewati kusen pintu, dia berbalik dan menutup pintu. Dia berdiri di sana, lagipula dia tidak tahu ukuran ruangan itu dan dia tidak ingin menabrak sesuatu dan tanpa sengaja merusaknya.
"Apa kau mau tetap berdiri di sana? Duduk lah." Ucap Sean.
"Kurasa aku perlu memakai tanda di leherku untuk mengingatkanmu setiap saat bahwa aku ini buta." Kata Intan.
"Kau begitu terlihat normal sampai-sampai aku lupa, majulah empat langkah." Perintah Sean.
Intan melangkah maju empat langkah sambil meletakkan tangan di depan badannya, tapi dia tidak merasakan apa pun.
"Dua langkah lagi." Ucap Sean.
Intan melangkah dua langkah lagi dan akhirnya merasakan kursi itu.
'Bukankah akan lebih mudah jika dia menyuruh ku melangkah enam langkah?' ucap Intan dalam hati.
"Bagi ku hanya empat langkah." Ucap Sean.
Sean menjawab seolah mendengar pikiran Intan.
Intan lalu duduk dan menunggu Sean bicara. Butuh waktu sekitar tiga menit, dan yang didengar Intan hanyalah suara gemerisik kertas, sedikit angin, dan suara kertas-kertas yang dilempar ke meja.
"Ini berkas yang harus kau tandatangani." Ucap Sean.
"Tentang apa ini?" Tanya Intan.
"Kau tak perlu tahu, lagipula kita sudah sepakat, bukan?" Balas Sean.
"Ya, kau benar. Bisakah kau memberi tahu aku di mana harus menandatanganinya." Pinta Intan.
Sean mendengus, tetapi Intan mendengar suara kursinya bergerak menjauh dan kemudian suara langkah kaki. Beberapa detik kemudian dia merasakan kehangatan tubuh Sean di sampingnya.
Saat membungkuk, aroma parfum Sean menyerbu hidung Intan. Dia menyentuh tangan Intan dan meletakkannya tepat di atas garis. Namun, Sean menatap wajah Intan, raut wajahnya lembut, dia tampak seperti gadis kecil. Sesaat Sean ingin menyentuhnya, tapi kembali tersadar ketika Intan menoleh ke arahnya dan bertanya.
"Apakah ini satu-satunya lembar yang harus ditandatangani?" Tanya Intan.
Sean menggaruk tenggorokannya dan berkata,
"Tidak, masih ada tiga lembar lagi, tanda tangani di sini." Ucap Sean.
Dia menunjukkan pada Intan semua tempat yang perlu ditanda tangani dan setelah semuanya ditandatangani dia duduk lagi.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!