Semangat Desi menggebu untuk menuntut ilmu. Jarak tak jadi alasan mengejar impian. Harapan akan terwujud dengan modal tekad dan kemauan.
Desi melangkah keluar rumah meninggalkan Robby, kak dwiki, kak Dhea, ayah dan bunda. Perjalanan baru di mulai. Kisah baru yang dia sendiri tak tahu bagaimana nantinya. Kepergian ke kota malang, mengawali semua mimpi indahnya, yang ternyata dia dapatkan sekejap mata.
Desi duduk dekat jenderal bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan. Sudah dua puluh menit dia duduk, namun bus belum juga beranjak. Bangku di sebelah masih kosong.
Dia menatap ke luar jendela membuat kepalanya pusing. Semua kejadian seperti kaset terputar sangat jelas di kepala. Bahkan dengan jelas, dia bisa mendengar indahnya lantunan azan yang dulu di nantikan saat matahari di atas kepala.
"Assalamualaikum.... Boleh saya duduk di sini? "
"Astaghfirullahaladzim! " Suara seseorang menyadarkan dari lamunan panjang. "Hah?Maaf.... saya hanya kaget. ya silahkan. "
Desi menjawab tanpa melihat wajah orang di sebelahnya. Matanya fokus ke luar jendela
Desi masih tenggelam dalam bayangan kisah yang dua lalui d kota kelahirannya. Kegilaan para sahabatnya, betapa rusuh kelasnya, tentang ayah dan bunda dan Robby adik kesayangannya, tentang abangnya yang konyol, dan betapa bodohnya dua mencintai Bobby.
Bobby? Tunggu dulu! Desi merasa sangat familier dengan sosok yang menyapa barusan. Dia menoleh sebelah kanan.
Ya Allah, kenapa dia ada di sini? Desi terpaku melihat dia sedang sangat serius membaca Alquran kecil di genggamannya
"Astaghfirullahaladzim"
"Desi? Ada apa? Jangan terus memandangku seperti ini" Bobby menundukkan kepalanya
"Kenapa? "
"Bukankah itu zina? "
"Aku hanya memandangmu, tidak lebih, " kata Desi dengan cuek
Desi memang wanita berjilbab, dia sudah merasa sangat cukup dengan jilbab pasmina sehelai yang dia gunakan. Dia belum bisa di sebut wanita salehah yang sebenarnya.
Dia tidak sebaik wanita berjilbab pada umumnya. Bisa di bilang dia agak melenceng dari yang seharusnya. Desi adalah sosok wanita energik dan suka mengungkapkan yang dia pikirkan
Desi banyak bergaul dengan teman laki-laki sudah dia anggap seperti abangnya sendiri. Dia juga tidak bisa menjaga tawanya. Desi bukan cewek muslimah yang elegan! Dia jatuh cinta pada lelaki di sebelahnya, cinta pertama. Bahkan dia sudah pernah mengucapkan itu kepada Bobby
Desi tidak pernah peduli perkataan orang tentangnya. Dia hanya tahu bahwa dia mengagumi Bobby berwajah tampan dan berakhlak baik
"Aku tidak suka di tatap seperti itu. Bukankah kamu tahu itu? terangnya
" Ya, aku minta maaf "
Bobby kembali tenggelam pada ayat demi ayat yang di baca sangat pelan, desi masih bisa mendengar Bobby tengah melantunkan surat Ar Rahman, surat favoritnya. Desi tak lagi memandang Bobby
Bobby memasukkan Alquran kecilnya ke dalam tas punggungnya. Dia merasa aneh tidak mendengar kicauan Desi
Tumben gadis di sebelahku tidak berisik seperti biasanya
Bobby memberanikan diri menatap Desi. Ternyata dia tertidur. Sangat manis. Bobby merasa suka melihat Desi begini, tertidur dengan manis tanpa mendengarnya berceloteh
"Jangan melihatku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta"
Desi tersenyum penuh kemenangan dengan mata masih terpejam
Bagaimana dia bisa tahu aku melihatnya? pikir Bobby
"Emm.... apa? Tidak... aku hanya melihat itu"
"Itu apa? " Desi kembali tersenyum mengejek
"Di matamu banyak kotoran, " ejek Bobby.
Dia segera membuang pandangan ke arah pengamen sedang asik menyanyikan lagu dangdut. Dia tertawa tipis, dia merasa gadis di sebelahnya sedang memandangnya
"Berhenti menatapku seperti itu Desi! "
"Kenapa? Bukankah kamu tadi juga melakukan hal yang sama? "
Bobby mendengus mendengarnya. Ya, Desi benar.
Daripada mendengar celotehan lebih panjang, Bobby lebih memilih menghampiri pengamen
Desi melihat Bobby melangkah ke depan merasa bingung dengan tingkahnya
"Mau kemana tuh Bobby? Dasar lelaki menyebabkan! Dia boleh menatapku, tapi melarang aku menatapnya? aneh"
Desi sangat kesal dengan tingkah Bobby seperti bunglon, sejak empat tahun yang lalu. Pertama kali mereka bertemu, Desi mulai menyukai Bobby, laki-laki es itu sudah sangat beku. Terkadang, dia bersikap sangat manis, semanis es krim. "Ice Man", Desi menjulukinya
" Ini.... Kamu belum makan dari tadi? "
Tuh, kan, dia sok manis
"Apa? "
"Ini, aku cuma mau kasih mie buat kamu. Kalau gak mau, ya udah aku bawa lagi. "
Bobby hendak beranjak meninggalkan Desi yang masih terpaku
Iya,mau..... sini! "Desi merebut mie di tangan Bobby.
" Kamu ngapain sih? serius banget?
"Enggak, cuma lagi mikir aja, gimana jadinya kalau kamu aku dorong ke laut" ujar Desi cuek, beralih menatap serius Bobby
"Bob, terakhir nih ya. Aku mau tanya, kenapa kamu ga suka sama aku? "
"Emm, aku.... aku ga terlalu suka sama cewek yang agresif, urakan, petakilan. Aku suka cewek yang lemah lembut keibuan dan benar-benar pantes jadi istri aku nantinya. Aku gak mau pacaran.... karena cuma main. Dan yang serius, ya nikah"
"Bob? menurut kamu, aku seburuk itu? " Desi menatap Bobby dalam mencari kebenaran di matanya
"Enggak, bukan gitu maksud aku. Emm.... kamu cantik... cowok mana yang tidak tertarik sama kamu? Termasuk aku. aku ga bisa nerima kamu karena menurutku..... Kamu gak sayang sama diri kamu sendiri"
"Maksud kamu"
"Kamu seorang cewek. Gak seharusnya kamu seperti ini. Coba mulai cintai diri kamu sendiri, bukan menjatuhkan harga diri kayak gini, mengemis cinta seorang laki-laki" Bobby menyelesaikan kalimatnya di lanjutan keheningan panjang
Satu dua titik air mata mengalir di pipi Desi tak bisa di cegahnya.Dia tidak ingin menghapusnya. Biarlah air mata turun membawa semua luka yang sudah tak mampu dia tahan.
Kata kata Bobby menusuk hatinya.
"Iya, kamu benar, Bob Aku baru sadar, betapa bodohnya aku selama empat tahun mengharapkan kamu bahkan menatapku saja enggan. "
Desi memaksakan tersenyum, berbicara dengan air mata berlinang tanpa melihat lawan bicaranya.
"Tapi kamu harus tahu, Bob. Aku gak serendah yang kamu pikirkan. Aku ngelakuin ini cuma ke kamu. Dan aku janji... setelah ini.... aku gak akan ngelakuin hal bodoh. gak akan pernah! "
Desi berlari meninggalkan Bobby yang masih diam tak mengerti harus bagaimana. Entah ke mana tujuannya.
Desi ingin berteriak melepas semua ke gundahan yang dia rasakan. Tapi, mana mungkin? Dia bisa di kira gila.
"Air mata Desi tak mau berhenti mengalir di terjang kata kata tajam. Sungguh Desi benar benar tidak menyangka Bobby bisa berpikir dirinya serendah itu. Tapi, memang salahnya yang terlalu mencintai lelaki beku seperti Bobby
Brukk!
Ya Allah, apa lagi kesialan Desi hari ini? Desi berani bertaruh orang yang dia tabrak tak akan bisa memaafkannya. Bagaimana tidak? Handphone orang itu rusak.
"Astaghfirullahaladzim! "
Ya Allah, rasanya Desi tak ingin melihat wajah marah orang ini.
" Ma... maaf, aku enggak sengaja. Beneran deh".Desi menunduk takut
"Hey, Hape ku yang jatuh, kenapa kamu yang nangis? "
"Ma.... maaf. " Air matanya malah semakin deras. Dia terisak
"Hey, kamu kenapa? jangan nangis dong! Enggak, aku gak minta ganti, tenang aja"
Desi memberanikan diri menatap ke arah suara berat di hadapannya
Ya Rabb, apa lagi? Sungguh indah ciptaan mu bahkan Bobby tak ada apa apanya di banding lelaki ini. Astaghfirullah
Segera Desi menundukkan pandangan. Dia enggak akan mengulangi lagi hal bodoh yang di sebut "cinta".Sudah cukup!
" Ma.... maaf. "Hanya kata itu yang mampu dia ucapkan, lidahnya kelu. Air matanya tak lagi mengalir.
" yah, gak masalah. Mungkin hape itu bukan rezekiku. Tak perlu menangis seperti itu. "Suara laki-laki itu terdengar sangat santai. Dia sepertinya sudah sangat biasa membuang-buang barang mahal seperti itu
Desi tetap menunduk.
Lelaki itu menyodorkan tangannya ke arah Desi
" Dhika. "
"Desi."
Desi tak menyambut uluran tangan laki-laki itu. Dia hanya menangkup kan kedua tangan di depan dada.
Gadis itu sudah bertekad mengubah segala kebiasaan buruknya. Perubahan untuk dirinya sendiri, bukan lagi untuk Bobby
Dhika menarik uluran tangannya dan menggaruk tengkuk yang tak gatal
"Oh, sorry, kamu berasal dari mana? "
Apa apaan ini? Dia malah membuka topik obrolan.
Aku sedang sangat tidak ingin di nganggu, pleaseee!!!
"Hey, Desi, tunggu
Desi berjalan tanpa menoleh ke arah lelaki itu. Dia sedang ingin sendiri memperbaiki suasana hatinya
Dhika sangat tahu gadis yang berceloteh d ujung telepon akan mengamuk bak singa kelaparan karena teleponnya mati begitu saja. Ahh, tapi bagus karena dhika sudah sangat malas. Telinganya sangat panas sejak pertama dia meninggalkan rumah, tak ada matinya gadis itu menelepon dhika. Gadis aneh.
Berbicara tentang gadis aneh, gadis berkerudung yang menjatuhkan ponsel Dhika tak kalah aneh. Hape Dhika sudah rusak tak bisa di pakai lagi akibat jatuh, tapi justru dia yang menangis.
Baru saja Dhika mau beramah tamah, justru dia pergi begitu saja. Oh, astagaaa! Kasihan sekali hidup Dhika di kelilingi gadis aneh.
Dhika melihat seorang lelaki, pikirannya kosong. Matanya memerah seperti menahan tangis. Laki-laki itu tampak masih muda, mungkin dua atau tiga tahun lebih muda dari Dhika. Dia terlihat sedang labil.
Dhika sebenarnya sedang menertawakan dirinya sendiri. Ternyata anak muda ini tak sebodoh perkiraannya.
Dhika mengajak Bobby berbicara. Dhika memang supel, tetapi cukup banyak bicara untuk ukuran laki laki. Bobby tampak menyukainya.
Eiiittss, jangan salah sangka! Aku menolak cinta Desi bukan karena bang Dhika loh ya.
Mata Bobby tertuju pada sosok gadis sedang berdiri di depan sana. Pandangan gadis itu benar-benar kosong, sesekali air matanya menetes.
" Ya Allah, maafkan hamba yang jadi begitu jahat menyakiti gadis setulus dia ".
"Hey, Desi! kenapa kamu melamun? "
Bobby menoleh ke arah Dhika. Dari mana dia mengenal Desi?
Yang di panggil menoleh sekilas. Saat matanya menatap Bobby, terlihat jelas luka besar sedang menganga d sana.
Desi, sungguh.... bukan ini yang kumau. Maafkan aku, Desi, batin Bobby.
Desi berlari meninggalkan Bobby dan Dhika. Bobby ingin mengejar Desi untuk meminta maaf atas kebodohannya, sepertinya tak akan mungkin.
"Gadis aneh, sangat aneh. Apa kamu mengenalnya, Bob? "
"Eh i..... iya, bang, teman sekolahku. "
" Atau jangan jangan.... kalian? "
Abang ini menatapku aneh sekali. jangan jangan dia.... oh ya Rabb. "Abang suka sama temanku itu? "
"Entahlah, menurutku dia itu unik. Bagaimana menurutmu? "
"Dia cantik, baik, gadis paling tulus yang pernah kukenal, " jawab Bobby jujur.
"Sepertinya kamu sangat mengenal Desi? Kenapa tadi dia pergi begitu saja? " tanya dhika terlihat bingung.
"Ah, sudahlah, bang. Mungkin dia sedang ada masalah, " jawab Bobby sambil mengalihkan pandangan. Dia benar-benar merasa bersalah pada Desi.
Kenapa harus seperti ini jadinya? Aku pikir dia akan mengerti kata kataku, bukannya seakan membenciku seperti ini. Desi, maaf..... batin Bobby
Ya Allah, kuatkan hatiku, jangan sampai ada air mata yan menetes di hadapan dia
Akhirnya Desi menginjakkan kaki di kota malang, kota impiannya. Lusa nanti, Desi menghadapi tes masuk universitas negeri terkemuka di kota ini.
Desi memutuskan istirahat terlebih dahulu hari ini. Dia hendak memulihkan kondisinya yang sangat lelah. Lelah hati, lelah pikiran.
Desi memasuki kamar sepupunya, wulan. jarak usia keduanya tak terpaut jauh. Desi lahir seminggu lebih dulu di bandingkan wulan.
Tante dan om Desi sepertinya belum pulang dari kantor. Wulan sedang asyik membaca novelnya. Adiknya, Mulan, mengerjakan tugas di kamar sebelah.
Rumah ini begitu nyaman. Desi sangat rindu suasana kota malang.
Desi mencoba memejamkan mata. Gadis itu menghirup napas dalam dalam, mencoba menghilangkan sesak yang terasa menyumbat paru parunya. Ya Allah, beri aku kekuatan.....
" Mba, bangun! sholat asar dulu".wulan mengguncang tubuh Desi pelan.
Desi mengerjap perlahan. Kelopak matanya enggan terbuka.
"mba, keburu magrib nih. Ayah dan ibu nungguin mba di bawah".
" Iya iya. ya udah, kamu turun duluan aja sana".
Desi segera berwudhu dan menunaikan kewajibannya setelah itu dia turut menemui om dan tantenya.
"Desi, ayo duduk, Nak".
" Assalamualaikum, om tante".Desi tersenyum dan mencium tangan keduanya.
"Maaf ya, sayang, Tante gak bisa jemput di terminal tadi. Kerjaan tante gak bisa di tinggal".
" Iya tante, gak apa-apa "
"Tapi tadi Bobby nganter kamu sampai rumah, kan? "
Hah, Bobby"Eh i.... iya, tante".Desi terpaksa berbohong daripada tante nanti malah banyak bertanya.
" Jadi, kapan kamu tesnya? Besok barengan sama wulan aja cari lokasi tesnya ya. Tano gak bisa nemenin ".
" Tenang aja bu. Besok mba Desi pergi sama wulan, tapi sekalian jalan jalan. boleh, kan? "
Entah dari mana munculnya wulan, dia langsung menyambar ucapan ibunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!