NovelToon NovelToon

Petualangan Danu

Bab 0: Prolog

Kedamaian senja menyelimuti kota dengan bangunan-bangunan kokoh dari susunan batu bata dan sebuah kastil besar yang berdiri di tengah kota.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama saat seorang pemuda dengan plakat berangka satu di pinggangnya, terjun ke tengah-tengah prajurit yang berpatroli dari jendela kastil yang dia pecahkan.

Sang pemuda tertawa terbahak-bahak, mengabaikan pandangan bingung prajurit dan kesatria yang mengepungnya. Perhatian seorang kesatria langsung tertuju pada kotak yang di bawa oleh pemuda itu.

"Kotak itu ..., Pencuri ...! Tangkap dia ...!!" perintah sang kesatria.

Pemuda itu tersenyum dan melemparkan beberapa bola yang berdesis lalu meledak di tengah barisan mereka.

Pemuda itu lari keluar bersama kumpulan pencuri lain yang muncul dari sela-sela pemukiman dan membuat barisan prajurit terpecah bela karena tidak tahu, siapa di antara mereka yang membawa kotak itu.

#####

Pengejaran besar-besaran dilakukan untuk menangkap kumpulan pencuri itu.

Seorang pencuri berambut coklat menjadi salah satu incaran mereka. Beberapa pasukan mengejarnya melewati jalanan utama dan bangunan-bangunan penduduk.

"Semuanya lewat sini!" panggil seorang prajurit pada rekannya.

Mereka mengejarnya hingga gang yang tertutup tembok tinggi.

"Itu dia!" teriak mereka.

Para prajurit mendekat dengan pedang yang diacungkan pada sang pemuda dan tersenyum licik.

Seorang prajurit maju dan berkata, "berikan kotak itu kepada kami! Atau ...."

Sang pemuda menyeringai dan berkata, "atau apa?"

Dia melompat ke dinding dengan lincah, meraih sela batu bata dan melompat melewati tembok penghalang dengan mudah.

Para pasukan itu berdecak kesal dan mengumpat sebelum mengambil jalur lain.

Kepala sang pencuri mendongak keluar, terkekeh saat melihat gang yang sepi karena kebodohan para prajurit.

Dia melompat dan berjalan dengan santai melalui gang itu sambil memainkan plakat kayu angka 1 yang terikat di pinggang.

#####

Kegaduhan terjadi di penjuru kota dikarenakan pencurian itu. Para prajurit masuk ke pemukiman penduduk tanpa permisi, menggeledah setiap sudut yang bisa mereka geledah.

Semua penduduk meringkuk di sudut rumah, takut dengan tindakan prajurit yang brutal tanpa mereka ketahui sebabnya.

Sementara kekacauan terjadi, para pencuri merayakan kemenangan mereka pada bangunan-bangunan bobrok di ujung kota.

"Hahaha ..., kita dapat tangkapan besar hari ini," puji seorang pencuri. Teman-temannya ikut tertawa puas. Mereka duduk mengitari perapian yang telah padam.

Ada sekitar 15 orang dalam kelompok yang telah berkumpul. Mereka bernyanyi dan mabuk bersama, menertawakan pasukan kerajaan yang gagal menangkap mereka.

Namun, tidak ada barang berharga tanpa harga yang mahal.

Seorang pemuda dengan plakat angka dua datang. Tubuhnya penuh luka dan tengah terpontang-panting ke arah mereka.

"Lari!! Pergi dari sini!" Teriak pemuda itu.

"Ha? Bicara apa dia?" tanya seorang pencuri yang mabuk pada pencuri lainnya.

Beberapa dari mereka mendekati sang pemuda, menyambutnya dengan keadaan mabuk.

"Lari!!"

Pemuda itu berteriak dengan putus asa, tapi rekan-rekannya sudah terlalu mabuk untuk memahami perkataan pemuda itu.

"Hai.., kenapa kami harus lari?!" tanya mereka.

Pemuda itu telah sampai pada pintu masuk pemukiman kumuh tapi suara melengking terdengar menyusulnya.

Pemuda itu menoleh ke belakang dengan panik.

Jlep.

Sebuah anak panah menancap pada tubuhnya dan menjatuhkan sang pencuri muda.

Teman-temannya diam sesaat lalu menoleh pada kegelapan - asal panah itu ditembakkan.

"Serangan...!!"

Para pencuri berlarian kabur melewati jalan lain, tapi telah ada seorang dengan jubah hitam yang menghadang jalan mereka. Dia memegang sebilah pisau di tangannya.

Wajahnya tertutup tudung kepala, menyisakan bagian bawah wajah yang tertutup topeng bergigi tajam untuk mereka lihat.

Para pencuri sempat berhenti dan saling menoleh. Mereka memastikan kalau orang itu sendirian.

Saat telah yakin, Mereka menyerbu orang itu bersamaan. Mereka mengeluarkan golok yang mereka sembunyikan di dalam pakaian mereka.

Sosok misterius itu tidak mundur dengan serbuan itu. Dia memainkan pisau yang dia pegang, memutarnya beberapa kali dalam genggaman tangan.

Sosok itu berjalan santai mendekati kerumunan pencuri yang menyerbu.

Seorang pencuri menerjang maju dan berusaha menikam sosok misterius itu. Tak berselang lama, matanya melotot, bukan karena adrenalin yang terpompa, tapi karena sebilah pisau yang menusuk perutnya.

Sosok misterius itu bergerak dengan cepat tanpa dia sadari, lalu melirik kepada pencuri lain yang mendekat.

Pisau ditarik dari perut yang menyemburkan darah lalu menghilang bersama sang pengguna dan muncul di tengah serbuan pencuri yang berteriak tak berdaya, pada gerakan cepat dan mematikan.

Situasi berubah dengan cepat, penyerbuan mereka menjadi pembantaian sepihak.

Suara teriakan kematian memenuhi pemukiman kumuh. Sebuah teriakan beruntun yang berasal dari rintihan rasa sakit dari orang-orang yang merenggang nyawa.

Bau amis menyeruak keluar dari mayat yang tergeletak diatas genangan darah mereka sendiri.

Sosok itu berdiri dengan tegak di atas tumpukan nyawa, tanpa ada setetes darah pun yang mengotori pakaiannya.

Dia menatap dengan sinis tumpukan mayat itu dan menoleh pada sisi yang tertutup bayangan.

"Keluarlah, semuanya sudah mati, tinggal satu orang yang lolos. kejar dia!" perintah sosok itu pada anggotanya yang menampakkan diri dari sisi gelap itu.

#####

Serangga-serangga kecil berterbangan pergi dari semak-semak yang diterobos oleh seorang pemuda yang berlari dengan napas yang tersengal-sengal dan keringat yang membasahi tubuhnya.

napas nya terpekik saat mendengar suara gemeresik pepohonan yang bergoyang di belakangnya.

"Ha ... ha ... kenapa bisa jadi seperti ini ...? Kenapa ...?" keluhnya sambil terus melangkah ke depan. "Padahal semuanya sudah sempurna. Kami telah berhasil mencuri artefak itu, tapi ... kenapa malah jadi seperti ini?"

Pemuda itu terjungkal dan berguling pada dataran landai di depannya karena akar pohon yang muncul ke permukaan.

"Sial ...!"

Dia menggerutu sambil terus berjalan hingga sebuah lereng terjal terpampang dihadapannya, sementara suara yang mengejarnya semakin dekat.

"Ha ... Jangan bercanda ...!" Pemuda berambut coklat itu merengek dalam keputusasaan. "Padahal semuanya sudah direncanakan dengan baik. Kami tinggal menjualnya diam-diam dan hidup mewah setelah ini, Tapi ... kenapa harus ada mereka ...?! Siapa mereka ...?"

Tanah yang bersimbah darah serta bau amisnya yang membuat napas terasa berat, terlintas dipikirannya bersamaan dengan ingatan tentang teriakan teman-temannya.

Sang pencuri muda itu berdiri menyaksikan itu semua dari kejauhan dan segera berlari begitu menyadari keadaannya.

Tanah yang dia injak basah karena tetesan air matanya, dia menunduk dan memegang erat plakat angka satu yang masih terikat.

"Maafkan aku .... Seharusnya aku datang lebih cepat," batin sang pemuda sambil menatap pasrah dua orang berjubah hitam yang muncul dihadapannya.

Seseorang dari mereka melesat cepat dan mencekik sang pemuda hingga terangkat dari tanah.

Tapi, terdengar suara berdesis dari telapak tangan si pemuda, diikuti percikan api kecil, dan BOM..!!

Terjadi ledakan besar yang membuat kotak yang dia bawa jatuh ke dasar jurang, meninggalkan kepulan asap tebal dan sosok hitam yang mengamati dari balik asap.

#####

Kotak itu menghantam bebatuan dan meluncur bersama pecahan batu, menggelinding sampai akhirnya menabrak seekor katak dan terjebur ke dalam sungai kecil di sana.

Air sungai membawa kotak itu pergi bersama arus yang mengalir, melewati hewan-hewan yang berkumpul pada tepian sungai yang berbatu.

Kotak itu terus melanjutkan perjalanannya, melalui rusa kecil yang terkejut saat kotak itu menyentuhnya, buaya yang hanya membiarkannya lewat, hingga sungai besar yang menyambut pelayaran kotak itu.

#####

Satu minggu kemudian,

Kicauan burung yang merdu berpadu dengan suara gemericik air sungai yang jernih. Burung-burung itu bernyanyi, mandi, dan berkumpul di tepian sungai.

Sementara kupu-kupu terbang di sisi lain sungai dan mendarat pada bunga yang tengah mekar, menyaksikan burung-burung yang bermain air secara bergantian.

Pada suasana yang tenang dengan cahaya cerah matahari yang menembus dedaunan itu, seorang gadis datang dengan anggun dari balik semak-semak.

Burung-burung terbang menjauh saat dia datang, memberikan pemandangan yang sangat gadis itu nikmati.

Gadis itu memiliki rambut berwarna merah, mata keemasan, dan kalung Rubi yang melingkar di lehernya.

Kaki-kaki putih dan halusnya melangkah masuk ke dalam sungai, perlahan, dan menikmati sensasi menggelitik dari air dingin yang mengalir.

Dia duduk pada batu besar, menggoyang-goyangkan kakinya yang menyentuh air.

Senyum gadis itu manis, pandangan teduhnya membuat burung yang semula pergi datang mendekat padanya, membiarkan gadis itu mengelus bulu lembut mereka.

Suara desiran air sungai membuatnya mengantuk secara perlahan, hingga gadis itu menguap dan terlelap.

"Ha ... eh ...?"

Gadis itu terkejut saat sebuah kotak misterius menyenggol kakinya, dia turun ke dalam sungai yang dangkal dan mengangkat kotak dari kayu itu.

"Klara ...!" Panggil seseorang dari kejauhan.

Gadis cantik itu menoleh pada sumber suara dan menghampirinya sambil membawa kotak yang dia temukan.

Dia tidak sadar dengan lingkaran sihir yang bersinar di bawah kotak yang berkedip, entah apa yang ada didalamnya.

Bab 1: Kotak Misterius

"Klara ...!"

Suara panggilan seorang remaja laki-laki berambut hitam yang menyusuri hutan, berjalan di bawah rimbunnya pepohonan dan tupai kecil yang mengamatinya dari ketinggian.

Dia mengamati sekitarnya, mencari seseorang yang dia panggil dengan wajah kesal.

"Kak Danu ..." jawab seorang gadis dari kejauhan.

Pemuda itu mendongakkan kepalanya, mencari sumber suara yang memanggilnya dari balik semak-semak yang tinggi.

Danu berdecak kesal dia menggerutu dalam hati, "ini semak-semaknya yang tinggi atau bocahnya yang terlalu pendek sih?!"

Dia melangkah maju, menyingkirkan semak belukar yang menghalang, sambil terus memanggil gadis yang dia cari.

"Klara ... kamu di mana ...?"

"Di sini ..."

"Mana ...?"

"Sini ... samping pohon mangga ..."

Danu berhenti sejenak dan kembali mendongak, mendapati pohon yang dimaksud Klara ternyata telah terlewat di belakangnya.

Dia segera menepis setiap halangan yang ada dan menerobos rumput yang tumbuh tinggi.

Danu muncul dengan dengan tubuh penuh ilalang yang menempel pada baju, rambut, dan wajahnya.

Klara tertawa saat melihat Danu yang menatapnya dengan kesal.

Danu mengernyitkan mata karena kesal. Dia berkata, "anak ini ya ... sudah susah dicarinya, malah ketawa setelah aku temukan. Makannya, tumbuh itu ke atas jangan ke bawah."

Klara langsung berhenti tertawa dan berjalan melewati Danu, tak lupa menginjak kakinya.

"Esk ..." decak Danu kesal dengan kelakuan Klara.

Danu mengikuti gadis itu dari belakang, membiarkan Klara berjalan melalui jalan yang dia buat sebelumnya.

Danu terus memperhatikan Klara dan menyadari jalan yang mereka ambil agak berbeda, bahkan lebih baik dari jalan yang dia lalui, dengan semak belukar yang tumbuh di kiri kanan jalan, tidak menghalang jalan yang mereka ambil.

"Klara, kamu tahu jalan ini dari mana?" tanya Danu heran.

Klara berbalik dan mengejek sambil menjulurkan lidah, "Rahasia, bek ..."

Urat wajah Danu mencuat sambil mengepalkan tangan di belakang kepala Klara.

"Rasanya aku ingin menjitak gadis kurang ajar ini, he ... awas saja ..." Batin Danu.

Pada akhirnya Danu cuma bisa menghela nafas saat mereka sampai di ujung hutan.

Cahaya terik matahari segera menyambut mereka, membuat netra mata mereka menyipit untuk beberapa waktu. —menyesuaikan diri dengan perubahan intensitas cahaya.

Klara mendekat pada Danu dan menyodorkan sebuah kotak kayu yang dia bawa sejak tadi.

Danu melirik kotak itu dan bertanya dengan pesimis, "apalagi ini?"

Klara cemberut dan menjawab dengan antusias, "Klara menemukannya di sungai tadi. Klara rasa ada sesuatu yang ajaib di dalamnya."

"Wah ... ajaib ... benarkah?" Balas Danu dengan wajah terkejut yang dibuat-buat.

Klara kembali cemberut dan menginjak kaki Danu, hanya saja Danu telah mengetahui gerakan Klara. Dia menghindari injakan Klara dan menginjak balik dengan lebih keras.

"Ah ..."

Klara menjerit kesakitan. Dia berlutut sambil mengelus kakinya yang sakit. Mata gadis itu melotot pada Danu yang tersenyum puas.

"Kak Danu jahat ..." keluh Klara.

"Ya, aku memang jahat, terus kenapa?" jawab Danu sambil mendekatkan wajahnya.

Klara berdecak kesal dan menimpuk wajah Danu dengan kotak kayu yang dia bawa. Danu terpukul mundur dan mengerang kesakitan karena pukulan itu.

Dia memegang wajahnya yang memerah dan menatap tajam Klara.

Danu berjalan melewati Klara dengan kesal dengan kedua tangan terkepal, sementara Klara membanting kotak yang dia bawa hingga kotak itu terbuka dengan sendirinya.

Cahaya terang keluar dari dalam kotak yang terbuka, memperlihatkan untaian kata-kata aneh yang bertebaran layaknya sebuah tali, kemudian mengitari Klara yang panik.

Klara melangkah mundur tapi ditahan oleh untaian yang mengekang pergerakannya. Tubuhnya akan terdorong setiap kali menerobos untaian aneh itu.

"Kak Danu ... Tolong ...!" Panggil Klara yang merengek di dalam kekangan cahaya misterius.

Danu berhenti melangkah, menghela nafas sejenak, sebelum berbalik dan terkejut.

Matanya segera melebar, dia berlari ke arah Klara dan meraih tangan gadis itu.

"Klara...! Pegang kuat-kuat ...!"

Danu mencoba menarik tubuh Klara, tapi tubuh gadis itu seperti terikat kuat sehingga Danu kesulitan menariknya.

Air mata Klara menetes dari matanya, menatap Danu yang tengah berusaha melepaskannya dari sana.

"Kak Danu ... lepaskan!" perintah Klara yang telah pasrah.

"Apa maksud mu?" tanya Danu.

"Lepaskan tanganku Kak!! Pergi tinggalkan Klara sebelum kakak ikut terjerat!" perintah Klara dengan lebih keras.

Danu tidak menggubrisnya, tangannya tetap memegang kuat tangan Klara dan terus berusaha meski wajahnya telah memerah dan tubuhnya basah oleh keringat.

Tangan mereka berdua gemetar karena tenaga yang mereka paksakan kelua. Tak lama kemudian, untaian itu mulai mengitari tangan Danu.

Danu tidak peduli tapi tidak dengan Klara. Dia melepaskan jari-jari yang bertautan dengan tangan Danu, secara perlahan menarik tangannya kembali.

Tulisan aneh itu berputar cepat mengitari tubuh mereka dan bersinar lebih terang hingga menyilaukan mata Klara dan Danu, melahap mereka ke dalam keheningan total.

Benar-benar sunyi, sampai tidak ada bau, suara, dan warna yang dapat mereka tangkap.

#####

Sehelai daun jatuh dari pohonnya, terbang mengikuti tiupan angin, mengambang, dan terombang-ambing hingga jatuh menyentuh wajah Danu.

Danu menggercapkan matanya. Pengelihatannya yang buram di sambut oleh cahaya matahari sore yang menyilaukan, bersama suara dengung ringan yang hilang seiring waktu.

Danu duduk dan memperhatikan sekitarnya. Dia masih di tempat yang sama, dengan burung-burung yang berkicau di pepohonan dan bau dedaunan kering yang datang terbawa angin.

Semuanya terasa familiar dalam ingatannya.

"Sebenarnya apa yang baru saja terjadi?" gumam Danu yang masih kebingungan.

Danu beranjak berdiri dan menyadari Klara tidak sadarkan diri di sampingnya —memegang erat tangan Danu.

"Klara?"

Danu terdiam sebelum ingatan kejadian sebelumnya kembali dengan rasa sakit kepala yang kuat meski sesaat.

"Klara ..." panggil Danu sambil menggoyangkan tubuh gadis itu. "Klara bangun! Klara!"

Klara mengerang dan membuka matanya, menatap lembut Danu yang tampak panik.

"Kak Danu, dimana kita?" tanya Klara sambil menggosok-gosok matanya.

Danu menghela nafas lega lalu berdiri dan membersihkan tubuhnya yang penuh debu dan dedaunan kering.

Klara menguap panjang dan tersedak karena kotoran yang Danu kibaskan.

"Uhuk-uhuk ... Ih ... Kakak! Bisa gak agak jauhan dikit kalau ngibasin debu!" protes Klara yang masih terbatuk-batuk.

Danu tertawa kecil dan mengulurkan tangannya pada Klara. Gadis itu menyambut tangan Danu, melupakan rasa kesalnya yang telah lalu.

Terdengar suara kayu yang bergeser di tanah dari kotak yang tersandung. Klara menoleh pada kotak itu, kepalanya berdenyut-denyut karena ingatan yang masuk.

Tubuh mungilnya yang gemetar segera bersembunyi di balik tubuh Danu. Dia melirik kotak itu sambil menarik mundur tubuh Danu perlahan.

Danu menyentuh tangan Klara yang menariknya, tersenyum pada gadis itu sambil melepaskan tangan itu darinya.

Klara masih khawatir, tapi tatapan teduh Danu memberinya sedikit keyakinan untuk membiarkan Danu mendekati kotak itu.

Danu mengambil kotak itu dan mengambil ancang-ancang dengan kuda-kuda rendah dan satu tangan ditarik kebelakang.

Danu mengambil nafas panjang sambil mengalirkan energi aura yang ia miliki ke seluruh aliran darahnya.

Aura, energi yang berasal dari energi kehidupan setiap makhluk hidup, menguatkan mereka dan membantu penggunanya memanipulasi indranya.

Atau, bisa juga dikatakan bahwa aura adalah kepanjangan dari nyawa.

Klara melihat energi kebiruan melapisi tubuh Danu dan berpusat pada genggaman tangannya.

Danu menggeram dan melemparkan jauh-jauh kotak itu dengan seluruh tenaganya, jauh ke dalam hutan.

Klara melihat ke arah jatuhnya kotak yang membuat angin berdesis saat terlempar. Suasana menjadi hening sejenak sebelum terdengar suara burung-burung yang panik dari ke jauhan.

"Kakak ..." panggil Klara pada Danu yang tersenyum puas.

Danu menoleh pada Klara yang menunjuk dadanya dengan mata heran. Danu segera melirik bagian yang Klara tunjuk dan terkejut.

Sebuah lingkaran sihir tergambar pada dadanya. Bukan hanya Danu, tapi Klara juga memilikinya pada bahunya.

Mereka mengetahui tanda Klara saat angin meniup lengan bajunya dan menampakkan lingkaran yang sama.

Lingkaran dengan tulisan yang tidak pernah mereka lihat.

"Kakak, bagaimana ini?" Tanya Klara dengan panik.

Danu mencoba menggosok tanda itu, berharap lingkaran itu hilang meski tidak berhasil.

Dia menghela nafas dan menatap tajam mata Klara.

"Klara berjanji lah untuk menyembunyikan tanda ini dari siapapun sampai kita tahu apa ini!"

Klara mengangguk dan mengajukan kelingkingnya kemudian Danu mengaitkan kelingkingnya dengan Klara.

"Baiklah janji ya ...?" Tanya Danu - memastikan kembali.

"Janji," jawab Klara.

Klara tersenyum lega pada Danu yang berfikir, "kenapa sih setiap kami berjanji harus mengaitkan jari kelingking dulu. Apa cuma kami yang seperti ini ya?" - tanpa Klara sadari.

#####

Pada sebuah bangunan yang lembab dan gelap, kontras dengan hutan yang cerah dan dipenuhi kehangatan.

Hanya cahaya obor yang redup sebagai penerang, seorang lelaki penuh luka dengan tangan kiri yang hilang terduduk di hadapan seorang berjubah hitam dan wajah yang tertutup topeng putih.

Sosok itu berdiri tegak di depannya. Lingkungan dengan pencahayaan remang itu membuat tubuh sosok itu tersamarkan, menyisakan topeng putih yang terlihat jelas.

Mereka tidak sendirian, ada tiga orang dibelakang orang yang lemas itu. Mereka semua mengenakan jubah dan topeng yang serba hitam.

Sosok topeng putih melirik mereka dan berkata, "Jadi, kalian gagal membawa kotak itu kembali?"

"Maafkan kami Master," jawab mereka serempak.

Sosok itu diam untuk waktu yang lama, membuat suasana menjadi semakin tegang, seolah sosok itu ingin mereka merasakan keheningan yang mencekam ini lebih lama.

Sebuah hukuman yang menyerang mental mereka dengan kehadiran yang membuat mereka tidak berani berkutik.

Sosok itu berjalan mendekati sang pemuda dan memperhatikan plakat bernomor 1 di pinggang sang pemuda.

Tangannya mencengkram kepala pemuda itu. Awalnya, tidak ada yang dia rasakan, kecuali detak jantung yang berdegup kencang serta keringat dingin yang melewati luka pada tubuhnya.

Tapi itu hanyalah awal yang singkat.

Suara teriakan segera menggema ke seluruh ruangan. Mata sosok topeng putih itu menatap tajam mereka bertiga.

Dia berkata dengan suara santai yang anehnya lebih menakutkan dari jeritan rasa sakit si pemuda.

"Dengarkan baik-baik suara rasa sakit ini! Dengarkan! Aku pastikan kalian akan meneriakkannya juga jika kalian gagal lagi!'

Darah keluar dari kepala yang di cengkram, sosok yang mendominasi itu tidak peduli. Dia menoleh pada salah satu orang di depannya.

"Kau! Lacak dan ambil kembali kotak itu bagaimanapun caranya. Jika kotak itu terbuka ...

Ambil kembali meski kamu harus menguliti orang yang membukanya!!"

Sosok itu menekan kalimat terakhirnya dan menoleh pada yang lainnya.

"Sedangkan kalian, pergi dan hukum bangsawan yang lalai itu! Pastikan dia merasakan sesuatu yang lebih menakutkan dari kematian tanpa memberikan bekas fisik padanya!"

"Bergerak ...!"

Tiga sosok berjubah hitam menghilang di dalam kegelapan, meninggalkan pemuda yang tidak sadarkan diri di depan atasan mereka.

Bab 2: Keriangan Sebelum Pulang

Barisan pohon yang rimbun tumbuh rapi di sepanjang jalan, menjadi tempat berteduh bagi serangga dan hewan-hewan kecil lainnya.

burung-burung kecil berkicau dari sarangnya, sementara burung dewasa terbang silih berganti membawa makanan untuk mereka.

Danu dan Klara berjalan berdampingan di antara keramaian yang damai itu, masih dengan rasa khawatir yang mereka simpan dalam-dalam.

Langkah mereka serempak, meski Danu jauh lebih tinggi dari Klara. Danu menoleh pada pondasi-pondasi bangunan yang baru didirikan.

Para tukang meletakkan alat yang telah mereka gunakan pada sebuah gudang kecil secara bergantian. Wajah peluh mereka tersenyum lebar saat mereka bertukar candaan sebelum beranjak pergi dari sana.

Danu menghela nafas dan berkata pada Klara yang berdiri di sampingnya, "Klara, kalau tidak salah kita bertemu pertama kali di sana bukan?"

"Mana?" tanya Klara.

Danu menunjuk pada rumah yang baru jadi pondasinya saja.

"Tidak, bukan di sana," jawab Klara dengan yakin.

"Loh? Bukannya dulu waktu itu kamu di ganggu sama Si Sofi di sana?" — Danu

"Hi ... Kak Danu ini bagaimana sih?! Kita kan sudah pernah ketemu sebelum itu?" — Klara.

"Masak?" — Danu.

Klara mengangguk keras.

Danu tersenyum melihat pipi Klara yang ikut mengembang saat Klara menatapnya dengan yakin.

Danu berjalan lebih cepat dan menggoda, "ah ... kamu aja yang kepedean. Mana pernah kita ketemu sebelum kejadian itu?"

Klara mempercepat langkahnya, mengikuti langkah kaki Danu.

"Ih ... kepedean bagaimana sih?! Kan, dulu kita sudah ketemu saat Klara baru pindah ke desa ini!" jawab Klara.

Danu terhibur dengan jawaban antusias Klara yang kesal. Langkahnya semakin cepat sampai setengah berlari.

Namun, Klara yang lebih pendek harus berlari kecil untuk mengikuti langkah Danu yang lebih lebar.

Danu tertawa kecil dan berkata, "aku tidak ingat tuh ... kapan kita ketemu?"

"Katanya papa 8 tahun lalu kakak cubit pipi Klara sampek Klara nangis, lalu Kakak malah lari keluar rumah saat ibu kakak marah." —Klara.

"Itukan 'kata papa' kamu! kamu sendiri tidak ingat? lagipula ya.. sekarang saja umur mu baru 12 tahun, berarti saat itu kamu masih 4 tahun dong?!" —Danu.

Klara menyipitkan mata sambil berfikir keras dengan apa yang Danu katakan, lalu menggaruk-garuk kepalanya — bingung harus menjawab apa.

Danu kembali tertawa kali ini lebih riang dan tersenyum pada Klara yang mulai berkeringat. Tatapan mata Danu tampak teduh, dia memandang jalan yang akan mereka lalui, sambil bertanya dalam hati, "apa benar kami pernah bertemu sejauh itu?"

Klara mulai merasa kelelahan, dia menyeka keringat yang membasahi wajahnya dan menarik ujung pakaian Danu.

"Kak ... pelan sedikit ..." keluh Klara.

"Hem ..." Danu melirik Klara dengan licik dan berjalan lebih cepat sampai Klara harus berlari untuk mengikutinya.

"Ayo kejar aku, Klara!" Tantang Danu.

"Ah ... Curang!! Kakak 'kan lebih tua 3 tahun dari Klara!"

Mereka berlari melewati orang-orang desa yang baru kembali dari ladang dengan membawa hasil panen mereka.

Orang-orang desa tersenyum pada tingkah kedua anak itu, meski terkadang Danu dan Klara menyenggol seseorang dan membuat orang itu hampir jatuh.

"Hai ... Nak! Hati-hati!" teriak seorang lelaki yang mereka senggol.

Lelaki itu tersenyum dibelakang mereka sambil menata kembali barang bawaannya yang sempat terjatuh.

Meski kesal, dia tidak bisa marah pada Danu dan Klara yang masih kecil, begitu juga warga yang lain, mereka hanya bisa mengelus dada sambil sesekali menghela nafas.

Suara tawa Danu mengisi kedamaian pada tiap jalan yang dia lewati. Klara mengejarnya dengan kesal, beberapa kali tangan putihnya hampir meraih pakaian Danu, tapi Danu selalu menghindar dengan lihai dan mengejeknya.

Klara yang sudah lelah berhenti dan berteriak dengan kesal, "Kak Danu berhenti ...! Klara udah gak kuat!"

Danu memperlambat lajunya, memperhatikan Klara yang telah basah oleh keringat dengan nafas yang tersengal-sengal.

Dia berhenti menggoda Klara dan menghampiri gadis itu.

Klara meliriknya dengan kesal, bisa-bisanya Danu tidak berkeringat banyak padahal nafas Klara sendiri sudah tidak beraturan untuk mengejarnya.

"Hemp ..."

Klara memalingkan wajah dan menyilangkan tangan di dada, tentunya hal itu tidak membuat Danu merasa bersalah dan malah semakin ingin menggodanya.

Tapi tiupan angin sekali lagi membuka tanda lingkaran pada bahu Klara yang mengingatkan Danu akan kejadian sebelumnya.

Danu mengurungkan niatnya, dia berbalik dan membungkuk.

"Ayo naik! Kalau kelamaan aku tinggal nanti!"

Klara tersenyum dan segera naik ke punggung Danu. Dia melingkarkan tangannya pada pundak Danu.

Danu berdiri dan melangkah santai bersama Klara yang dia gendong.

cahaya senja menyinari jalan yang akan mereka lalui bersama angin sejuk yang menerpa wajah mereka, membiarkan kedua anak itu merasakan kesejukan di bawah sinar matahari yang hangat.

Mereka diam sejenak untuk sekedar menikmati kebersamaan yang mereka telah lalui.

sebelum Danu membuka pembicaraan.

"Klara, sekarang kamu sudah semakin dewasa, mulai besok aku sudah tidak bisa menggendong mu seperti ini lagi."

Klara mengeratkan pegangannya dan bertanya dengan sendu, "kenapa? Klara kan suka digendong sama kakak!?"

Danu terkekeh dan menjawab, "itu kamu, kakak ma ... terpaksa gendong kamu, lagian kita ini bukan saudara kandung!"

Klara membenamkan wajahnya pada punggung Danu.

"Jadi, Kak Danu gak mau main sama Klara lagi ya?"

Danu berhenti melangkah dan menurun Klara, tampak wajah yang lesu saat dia diturunkan.

Danu meregangkan tubuhnya untuk sekedar bersantai, lalu menjawab, "kakak tidak berkata akan meninggalkan mu, tapi kata ibu kakak, 'seorang wanita itu ada untuk dihargai jadi kakak tidak boleh sembarangan menyentuh wanita,' apalagi yang sudah remaja seperti kamu!"

Klara masih diam, melirik rumah bertingkat 2 di dekat mereka.

Danu melanjutkan, "Kita akan tetap bermain seperti biasanya kok, Kakak kan dulu pernah janji untuk berteman dengan Klara."

"Jadi, jangan sedih ya~"

Klara tersenyum dan mengangguk pelan.

Pintu rumah itu terbuka dan menampakkan seorang wanita berambut merah yang melambaikan tangan pada Klara dan Danu.

Danu membalas lambaian tangan itu dengan riang dia berbisik pada Klara sebelum pergi.

"Klara, ingat untuk menyembunyikan tanda itu dari bibi ya ..."

Klara kembali mengangguk sambil memperhatikan siluet Danu yang perlahan menghilang dalam perjalanannya kembali.

"Klara ..." panggil wanita yang tak lain adalah mamanya.

Klara baru mengambil langkah pulang saat Danu benar-benar tidak terlihat dan kembali pada pelukan mamanya dengan riang.

Meski ada sedikit kehilangan di dalam hatinya.

#####

Jauh dari pemukiman desa yang tenang dan tentram, lebih tepatnya pada pedalaman hutan di sisi Utara desa.

Sebuah kotak menyangkut pada sebatang pohon palem besar.

Terlihat sinar dari sebuah lingkaran sihir di bawah kotak yang agak retak, memancing perhatian kera-kera yang bergelantungan dan beberapa rusa kecil yang melewatinya.

Sinar redup yang berkedip-kedip seolah memanggil sesuatu.

Pertanyaannya siapakah yang kotak itu panggil?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!