"Ayo kita berangkat, Sayang! Kamu sudah siap, kan?" Naura yang sedang memoles wajahnya di depan meja rias seketika menoleh ke arah pintu kamar.
Sang suami, Azriel terlihat sudah rapi dengan kemeja batiknya, pria itu kini melangkah ke arah Naura sambil terus menatapnya dari atas sampai bawah.
"Sudah, Mas. Aku tinggal pakai lipstik, setelah itu selesai," jawab Naura seraya tersenyum manis.
Ia mulai memoles bibirnya dengan lipstik berwarna nude yang terlihat sempurna di wajahnya yang putih bersih.
Meskipun Naura berasal dari desa, tapi kulitnya putih mulus alami meski tanpa melakukan perawatan mahal.
"Naura, kenapa kamu tidak memakai baju yang sama sepertiku? Mama bilang kita sekeluarga akan memakai baju yang sama. Istri Mas Rio dan Mas Rangga juga pakai baju yang sama, kenapa kamu beda?" tanya Azriel yang terus menatap penampilan istrinya hari ini.
Wanita itu bingung harus menjawab apa karena ia memang tidak tahu akan ada rencana seperti itu sebelumnya.
Hari ini mereka akan menghadiri acara pernikahan kerabat dekat Azriel dari keluarga sang mama.
Hanya itu yang Naura tahu dan tidak tahu jika mereka akan memakai baju yang sama di hari pernikahan itu.
"Aku justru tidak tahu, Mas. Aku tidak tahu kalau kita akan pakai baju yang sama, jadi aku langsung pakai baju yang ini saja. Memang semuanya pakai baju yang sama, ya?" Naura balik bertanya dan dijawab dengan anggukan kepala oleh sang suami.
Naura menghela nafas panjang, karena ia memang tidak tahu tentang rencana tersebut.
Ia dan suaminya baru menikah sekitar enam bulan yang lalu. Bisa dibilang mereka masih termasuk pengantin baru.
Namun, pernikahan mereka tidak digelar secara mewah dengan alasan kondisi calon mertuanya yang sedang sakit dan tidak bisa mengurus semuanya.
Padahal saat Naura sudah tinggal di sana, ia melihat ibu mertuanya baik-baik saja dan dalam kondisi bugar.
Namun, Naura lebih memilih diam karena ia juga sebenarnya merasa malas jika harus menggelar pesta mewah yang pastinya akan menguras banyak tenaga.
"Sebentar ya, aku tanya Mama dulu. Kamu tunggu dulu di sini, mungkin Mama lupa ngasih baju punya kamu. Kamu tahu sendiri kan kalau Mama orangnya pelupa," ucap Azriel yang menahan istrinya agar jangan keluar kamar.
Setelah itu ia langsung melangkah keluar kamar meninggalkan istrinya di sana.
Apa mungkin mertuanya lupa?
Padahal tadi jelas-jelas suaminya mengatakan kalau kedua istri kakak iparnya sudah memakai baju yang sama.
Kenapa ibu mertuanya bisa lupa?
Akhirnya setelah menunggu suaminya yang tak kunjung kembali.
Naura memilih untuk menyusulnya keluar, mungkin saja suaminya mengalami kesulitan sehingga belum membawakan baju tersebut.
"Ya, tidak bisa seperti itu dong, Ma. Bagaimanapun juga Naura adalah menantu di rumah ini. Jadi, sudah seharusnya dia juga mendapat baju yang sama seperti menantu Mama yang lain. Aku saja dapat masa Naura tidak?"
Deg!
Mendengar suara Azriel, Naura seketika menghentikan langkah.
Apalagi setelah ia mendengar suara suaminya yang sepertinya sedang berdebat dengan sang mama.
Naura menarik diri dan memilih untuk bersandar di dinding pembatas antara kamar ibu mertuanya dan ruang keluarga.
"Azriel kamu jangan marah-marah dulu, dengar dulu penjelasan, Mama. Baju itu pemberian keluarga Tante Gina. Jadi Mama hanya memberikan yang mereka beri saja, jangan salahkan Mama. Lagian penting sekali ya baju yang sama untuk istri kamu? Tidak pakai baju yang sama juga tetap bisa pergi, kan?"
"Kalau dia tidak mau pergi juga tidak apa-apa. Tapi kamu tetap harus ikut," jawab Mama Sovi yang membuat hati Naura bak diremas.
Ia tidak menyangka kalau kata-kata itu akan keluar dari mulut ibu mertuanya sendiri.
Padahal selama ini sikap acuhnya ia anggap sebagai sikap biasa karena mereka memang tidak terlalu akrab.
Tapi, Naura benar-benar tidak menyangka kalau ia akan diperlakukan seperti ini.
"Kalau Naura tidak ikut, aku juga tidak mau pergi. Mama jangan berharap aku akan pergi tanpa Naura," ucap Azriel tegas yang membuat suasana menjadi semakin panas.
Ada perasaan hangat menjalar saat mendengar ucapan sang suami yang membelanya.
Naura benar-benar tidak menyangka kalau Azriel akan membelanya seperti ini.
Ini memang hanya masalah baju, tapi bukan hanya tentang baju. Tapi tentang dianggap atau tidak, diakui dan diterima.
Bisa dibilang ini adalah awal mula, Naura mengetahui jika keluarga suaminya tidak pernah mau menganggapnya sebagai keluarga.
Meskipun selama menikah dengan Azriel, Naura merasa tidak pernah berbuat salah.
Ia juga tidak pernah sekalipun menyinggung perasaan mereka.
Tapi, kenapa mertuanya itu tidak bisa bersikap layaknya orang tua pada anaknya.
"Azriel! Inilah yang membuat Mama tidak suka pada perempuan itu. Setelah kamu menikah dengannya, kamu jadi pembangkang dan lebih membela istrimu daripada Mama. Padahal jelas-jelas yang merawat kamu selama ini adalah, Mama. Bukan dia, surga kamu itu ada di Mama. Sampai kapanpun," bentak Mama Sovi yang membuat suasana seketika berubah hening.
Tidak ada lagi jawaban atau bantahan dari Azriel.
Naura juga sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menangis. Ia berusaha bersikap tenang.
Sebelumnya ia juga sering mendengar cerita tentang seorang mertua yang kejam.
Ia bahkan sering melihat betapa menderitanya menjadi menantu orang kota.
Naura terus membatin mencoba untuk menguatkan diri sendiri.
"Dari awal kamu menikah dengan dia sebenarnya Mama tidak pernah setuju, Azriel. Dia hanya perempuan kampung yang sama sekali tidak cocok untuk menjadi bagian dari keluarga kita. Dia bahkan seorang pengangguran,"
"Bukannya membantu keuangan keluarga kita. Dia malah menambah mulut untuk diberi makan. Kamu mengerti kan sekarang? Jadi jangan harap akan ada baju untuk istri kamu,"
"Memang lebih baik dia tidak memakai baju yang sama dengan keluarga kita. Jadi tamu-tamu di sana tidak tahu kalau dia adalah menantu keluarga Handoyo. Bisa malu Mama kalau sampai mereka semua menanyakan soal asal-usulnya Naura." Ucap Mama Sovi panjang lebar.
Tanpa ia ketahui kalau Naura sejak tadi mendengar ucapan pedasnya itu.
Membuat hati wanita itu terasa semakin sakit, rasa sesak terasa menghimpit paru-paru.
Meskipun ia sudah berusaha menahan air mata agar tidak luruh. Namun, nyatanya ia tidak sekuat itu.
Apakah seorang gadis desa sehina itu, bahkan untuk diterima sebagai menantu saja ia tidak pantas.
Tanpa Mama Sovi ketahui, Naura sebenarnya bukanlah seorang pengangguran atau beban untuk keluarga mereka.
Naura bahkan memiliki penghasilan yang lebih tinggi dari kedua menantu kesayangan di rumah itu.
***********
***********
"Sekarang katakan pada istrimu itu, kalau tidak ada baju yang sama untuk dia. Karena Mama tidak pernah menganggap dia sebagai menantu," sentak Mama Sovi, membuat Naura bergegas kembali ke dalam kamar.
Ia tak ingin Azriel tahu kalau sebenarnya ia mendengar pembicaraan keduanya.
Naura mengusap air matanya dengan kasar. Wanita itu terpaksa harus memoles kembali wajahnya agar tidak terlihat habis menangis.
Meskipun sebenarnya ia sangat malas jika harus bermake-up tebal seperti itu.
Begitu sampai di kamar, Naura langsung menutup pintu agar sang suami tidak merasa curiga.
Ia kembali duduk di meja rias, memperbaiki riasannya yang basah karena air mata.
Namun, gerakan tangannya seketika terhenti saat melihat pantulan wajahnya di dalam cermin.
"Apa orang desa sehina itu di mata kalian? Apa karena warna kulitku tidak seputih menantu Mama yang lain? Apa derajatku benar-benar tidak ada artinya karena aku tidak berpangkat dan memakai baju seragam seperti istrinya Mas Rio dan Mas Rangga?" Naura bergumam pelan sambil terus menatap pantulan wajahnya.
"Tidak, Naura. Kamu tidak seburuk itu, mereka hanya tidak tahu berapa banyak pendapatan kamu setiap bulan." Naura menggelengkan kepalanya demi menyemangati diri.
Padahal awalnya ia akan memberitahu mertuanya apa saja usahanya di desa.
Ia ingin mertuanya itu merasa bangga dan merasa senang memiliki menantu seperti dirinya.
Tapi, sepertinya ia akan memilih diam saja sambil terus memantau sang suami dalam mempertahankan dirinya di keluarga itu.
"Sayang," ucapan Azriel menyadarkan Naura dari lamunannya.
Dengan cepat ia memoles sedikit bedak tabur di bagian pipi dan kembali menoleh ke arahnya.
Raut wajah Azriel terlihat cemas dan tidak enak, ia sedang memutar otak untuk menjelaskan semuanya pada sang istri tanpa melukai perasaannya.
"Kenapa, Mas? Kenapa kamu seperti bingung begitu? Mana bajunya?" tanya Naura sambil menengadahkan tangannya.
Wanita itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, ia merasa penasaran dengan sikap apa yang akan diambil oleh sang suami.
Naura sebenarnya tahu kalau hal ini berat untuk suaminya, tapi tetap saja ia harus bersikap layaknya seorang istri.
"Emhhh, Sayang. Sebenarnya Mama bilang kalau baju kamu sudah dijahit dengan baju milik Mbak Ria dan Mbak Tina. Tapi... ternyata baju kamu belum selesai dijahit, masih di tempat tukang jahit. Jadi, Mama belum kasih bajunya sama kamu," Azriel menjelaskan dengan sedikit terbata.
Naura sebenarnya merasa iba saat melihat wajah suaminya yang tertekan, hanya saja ia berusaha untuk bersikap tenang dan seolah tidak tahu ара-ара.
"Oh ya sudah kalau begitu, Mas. Hanya masalah baju saja, kan? Aku juga masih punya banyak baju untuk datang ke sana," Naura mengukir senyum di setiap kalimatnya.
Azriel menatap sang istri penuh haru. Ia tidak menyangka jika istrinya akan sepengertian ini.
Selain cantik dan lemah lembut, Naura juga ternyata sosok yang penyabar. Begitu pikir Azriel.
"Sungguh, Sayang? Kamu tidak masalah kalau tidak memakai baju yang sama? Kamu tidak sedih?" tanya Azriel yang kembali memastikan.
Naura mengangguk cepat sambil tersenyum.
"Ya sudah, kalau begitu kita berangkat sekarang ya, tunggu sebentar. Aku juga akan ganti baju dulu. Agar kamu tidak sendiri, aku juga akan memakai baju yang warnanya senada dengan bajumu," ucap Azriel sambil membuka baju yang sebelumnya ia kenakan.
"Eh, Mas. Kenapa ganti baju sih? Kamu sudah cocok pakai baju itu. Kenapa malah diganti? Jangan, Mas. Nanti kalau Mama marah bagaimana?" Naura dengan cepat mencegah suaminya untuk berganti pakaian.
Sungguh hal itu pasti akan membuat suasana di rumah semakin memanas.
"Sudah kamu tenang saja. Seperti yang kamu bilang tadi, yang penting kita datang ke acara pernikahan itu. Masalah pakai baju apa, tidak terlalu penting," jawaban Azriel membuat Naura merasa terharu, wanita itu tersenyum lembut ke arah sang suami.
Ternyata suaminya lebih memilih untuk memakai baju yang sama dengannya. Daripada membiarkan istrinya sendiri memakai baju yang berbeda.
Mereka memang menikah atas dasar cinta dan tanpa adanya paksaan dari pihak lain.
Naura dan Azriel bertemu ketika Azriel datang ke desanya untuk melakukan KKN.
Sekarang Azriel sudah lulus kuliah dan berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas ternama di Jakarta.
Saat itu Azriel menjalani masa KKN dengan beberapa mahasiswa lain untuk melakukan riset.
Secara kebetulan, Azriel melakukan KKN di peternakan milik ayah Naura dan beberapa mahasiswa yang lain di perkebunan milik ayah Naura juga.
Tapi, saat itu Azriel sama sekali tidak tahu jika Naura adalah anak dari pemilik tempat mereka melakukan KKN.
Mungkin karena Naura berasal dari desa, keluarga Azriel tidak ada yang menyukainya.
Mereka menganggapnya kampungan karena tidak memiliki pakaian dan tas-tas mahal.
Terlebih, Naura tidak begitu menyukai hal-hal yang berbau fashion. Wanita itu lebih suka tampil seadanya, selama itu membuatnya nyaman.
"Aku sudah siap, Sayang. Ayo kita berangkat. Kalau seperti ini, kita terlihat seperti pasangan yang sesungguhnya," seru Azriel seraya menggandeng tangan sang istri.
Pria itu benar-benar membuat mood Naura membaik.
Ia pikir suaminya akan membela ibunya karena takut dianggap sebagai anak durhaka.
Tapi ternyata, Azriel masih tetap menghadiri acara itu tanpa harus menyakiti perasaannya.
"Tapi sekarang kamu berbeda dengan mereka, Mas. Aku takut nanti Mama malah marah sama kamu," ucapan Naura membuat Azriel seketika menghentikan langkah.
Pria itu berbalik hingga posisi mereka sekarang saling berhadapan. Kedua tangannya merangkum wajah sang istri.
"Dengar, Sayang. Saat ini hanya perasaan kamu yang harus aku jaga. Mama pasti akan mengerti dengan keputusanku. Mama juga tidak mungkin marah-marah di acara resepsi nanti. Lebih baik sekarang kamu siapkan saja perutmu, kita akan makan banyak di sana nanti," pria itu berbisik di akhir kalimat sehingga membuat Naura tertawa kecil.
"Ya sudah, ayo!" Naura kini kembali bersemangat untuk berangkat.
Hari ini ia sudah tahu bagaimana pandangan sang mertua terhadapnya.
Mulai hari ini, ia sudah membulatkan tekad untuk membuktikan walaupun tanpa jabatan dan seragam seperti menantunya yang lain.
Ia juga bisa memiliki penghasilan lebih banyak.
***********
***********
Meskipun tanpa memakai baju yang sama, akhirnya Naura dan Azriel tetap memutuskan untuk berangkat ke acara resepsi pernikahan itu.
Azriel mengatakan tidak enak jika mereka tidak datang, apalagi saat acara pernikahan mereka dulu Tante Gina sempat datang.
Meskipun wanita itu hanya datang untuk sekedar mengejek rumah Naura yang terlalu jauh dan berada di pelosok.
Padahal jika dibandingkan dengan daerah lain, rumah Naura terbilang tidak terlalu termasuk daerah pelosok.
Daerah itu masih bisa di akses dengan mobil, ada listrik dan juga internet.
"Mas, nanti di sana kamu saja yang kasih amplopnya. Aku malas kalau harus bertemu dengan Tante Gina," ucap Naura yang dibalas anggukan kepala oleh Azriel.
Ia tahu kalau sang istri tidak begitu menyukai adik kandung mamanya itu.
Karena bukan hanya cara bicaranya yang sering kali menyakitkan, tapi juga pertanyaan sensitif selalu dia tanyakan padanya dan istrinya.
Seperti pertanyaan kenapa lama sekali Naura hamil?
Kenapa kulit istrinya tidak seputih mereka?
Padahal bagi Azriel untuk tampil cantik tidak harus memiliki kulit yang putih.
"Iya, Sayang. Nanti biar aku saja yang kasih amplopnya. Tapi kalau masalah tidak bertemu Tante Gina, sepertinya tidak mungkin. Apalagi nanti pasti akan ada acara foto bersama, kan?" jawab Azriel yang kembali membuat Naura terdiam.
Membayangkan bagaimana nanti saat di sana saja sebenarnya Naura sudah sangat malas.
Apalagi jika harus foto bersama.
Apalagi saat ia mengingat kata-kata yang diucapkan oleh mertuanya tadi pagi. Benar-benar membuatnya merasa sakit hati sekaligus kesal.
Sebenarnya ada rasa sakit hati dan kecewa karena akhirnya ia mendengar sendiri bagaimana sang mertua yang masih tidak bisa menerimanya sebagai menantu.
Padahal selama ini Naura selalu berusaha untuk menjadi menantu yang baik dan tidak pernah membantah ibu mertuanya itu.
Ia juga selalu berusaha bersikap baik pada semua penghuni di rumah sang suami.
Bahkan ia sendiri yang memasak makanan untuk semua penghuni rumah.
"Kamu tenang saja, Sayang. Aku tidak akan membiarkan kamu disindir lagi oleh mereka. Maafkan keluargaku, ya! Aku juga tidak mengerti kenapa mereka sangat sensitif," ujar Azriel lagi yang kini meraih tangan sang istri dan mengecupnya lembut.
Hati yang sebelumnya terasa membara karena kesal, seketika terasa damai.
Setidaknya ia memiliki suami yang mencintainya tanpa syarat. Tanpa mempermasalahkan dari mana ia berasal.
"Mungkin karena aku gadis desa, Mas. Makanya mereka bersikap seperti itu," balas Naura yang seketika membuat bibir Azriel mengerucut.
Pria itu menatap istrinya dengan tatapan tidak suka.
"Tolong, ya! Aku tidak mau dengar kamu bicara seperti itu lagi. Memangnya kenapa kalau kamu gadis desa? Bagiku yang terpenting, kamu gadis baik-baik dan sangat menyayangiku. Bagiku jika dibandingkan dengan wanita yang ada di sini, kamu terlihat jauh lebih cantik dan manis," balas Azriel yang kembali mencium tangan istrinya lalu menaruhnya di pipi.
Naura hanya tersenyum melihat tingkah sang suami yang terkadang sangat manja.
"Semoga cintamu tidak pernah berubah, Mas. Selalu berada di pihakku meskipun tidak ada satupun keluargamu yang menyukaiku." Batin Naura seraya tersenyum.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di tempat yang mereka tuju.
Sebuah gedung mewah yang terletak di pusat kota.
Acara itu sepertinya digelar dengan sangat meriah, terlihat dari tempat parkir saja sudah terdengar suara meriahnya acara di dalam sana.
Naura merapikan kembali penampilannya sejenak di kaca spion depan.
"Ayo, Sayang," ajak Azriel yang kini sudah selesai melepas sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya.
"Ayo," balas Naura yang juga melakukan hal yang sama.
Mereka berdua sama-sama turun dari mobil dan berjalan ke arah teras gedung.
Di sana terlihat sudah banyak sekali tamu yang berdatangan dengan membawa kartu undangan.
Sedangkan Naura dan Azriel langsung masuk ke dalam dan melihat betapa mewahnya acara itu dengan banyaknya tamu undangan.
Naura tidak menyangka kalau Tante Gina akan mengadakan resepsi pernikahan semewah ini.
Setibanya di dalam, Azriel menyapa beberapa kerabatnya yang lain yang sudah lebih dulu hadir di sana.
Sedangkan Naura hanya terus tersenyum sambil menggandeng lengan sang suami.
Ia juga bisa melihat mertua dan kedua iparnya berdiri tepat di samping pelaminan.
Pelaminan dengan konsep modern itu terlihat sangat mewah.
Tiba-tiba ada rasa sesak yang menjalar ketika melihat betapa mertuanya begitu menyayangi dua menantunya itu.
Padahal posisinya sama dengan mereka, sama-sama menantu di keluarga itu.
Namun, hanya karena alasan ia berasal dari desa, sang mertua menganggapnya rendah.
"Kamu mau makan atau duduk dulu sambil melihat acara ini?" tanya Azriel seraya mendekatkan mulutnya ke telinga sang istri.
Jika tidak seperti itu, istrinya pasti akan sangat sulit mendengar suaranya. Karena saat ini mereka sedang berdiri tepat di samping sound sistem.
"Kita duduk saja dulu, Mas. Tamunya masih banyak. Lihat saja, antriannya sampai sepanjang itu. Aku malas kalau harus desak-desakan," jawab Naura yang dibalas anggukan kepala oleh Azriel.
Setelah memutuskan untuk duduk sebentar, Azriel mengajak istrinya untuk duduk di meja kosong.
"Sebentar ya, Sayang. Aku mau ambil minum dan camilan untuk kamu," ucap Azriel setelah memastikan istrinya sudah duduk dengan nyaman.
Azriel langsung beranjak ke tempat makanan, mengambil piring dan menaruh beberapa cemilan ke dalamnya.
Kedua sudut bibir Naura terangkat mengukir senyum, tatapannya tidak pernah lepas dari sang suami yang terlihat mengutamakannya sebagai istrinya.
Naura yang duduk sendirian, mengalihkan pandangannya ke sekeliling.
Ingin mencari keberadaan sang mertua dengan para menantu kesayangannya.
Setelah tadi ia sempat melihat mereka berada di samping pelaminan, sekarang mereka sudah tidak terlihat lagi di sana.
Padahal baru sebentar dirinya berpaling dan tidak memperhatikan, ia sudah kehilangan jejak.
Naura merasa penasaran bagaimana reaksi mertuanya setelah melihat Azriel, anak bungsunya, ternyata tidak memakai baju yang sama seperti mereka.
"Ini, Sayang. Makan lah, sebentar lagi kita akan bertemu banyak orang. Kamu harus kenyang dulu agar tidak pusing. Kamu juga tadi pagi hanya sarapan roti, kan?" ucap Azriel yang sudah kembali dengan membawa beberapa jenis makanan.
Azriel meletakkan makanan tersebut di hadapan sang istri.
Naura mengambil sendok kecil dan mencoba mencicipi es krim yang diambil oleh suaminya.
Rasa manis dan dingin dari es krim itu membuat moodnya sedikit membaik.
"Azriel, Naura. Kalian kapan datang?" saat keduanya sedang menikmati camilan, Tante Gina datang dan menyapa mereka berdua.
Naura segera menyimpan kembali sendok kecil di tangannya dan berdiri, berniat untuk menyalami Tante Gina.
Namun sayang, niat baiknya itu sama sekali tidak ditanggapi, wanita itu pura-pura tidak melihat dan langsung duduk di samping Azriel.
Naura yang merasa kecewa segera menurunkan kembali tangannya dan kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kursi.
**********
**********
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!