NovelToon NovelToon

My Arrogant Cousin

Luka yang tak pernah pulih

Malam itu hujan mengguyur deras, menghantam keras jalanan dan atap-atap bangunan dengan irama monoton yang seolah membekukan segalanya. Di depan sebuah ruko tua yang sudah lama kosong, dua bayangan berdiri diam, berteduh dalam sunyi. Dingin malam tak hanya berasal dari udara, tapi juga dari hati yang mulai menjauh.

Jessica Claudia, perempuan berambut panjang dengan wajah teduh namun terlihat lelah, berdiri tegak meski tubuhnya terasa kaku. Di hadapannya, Yunan Damian, lelaki berpostur tinggi dengan ketenangan yang biasanya menenangkan, malam ini tampak berbeda. Dingin, tajam, dan menyimpan luka.

Tangan Yunan menggenggam rokok yang dibiarkan terbakar tanpa dihisap. Matanya tajam menatap tas Jessy yang terus bergetar. Nama yang sama terpampang berkali-kali di layar.

“Dia lagi?” tanyanya lirih namun penuh tekanan.

Jessy menarik napas dalam-dalam, mencoba menjaga ketenangan. “Iya. Dia cuma tanya kabar. Nggak penting.”

“Sepupumu itu?” Yunan menduga.

Perlahan Jessy mengangguk. “Dia tinggal jauh. Mungkin karena itu...”

Yunan langsung memotong, suaranya lebih dingin. “Yang selalu ikut campur urusanmu itu?”

Jessy menunduk, tak ingin memperpanjang. “Dia cuma peduli. Nggak lebih.”

Yunan menghela napas keras, lalu tatapannya makin tajam. “Kalau dia cuma sepupu, kenapa aku merasa dia lebih ngerti kamu dari aku?”

Jessy memilih diam. Pertanyaan itu lebih seperti tuduhan. Dia dan Fero memang dekat sejak kecil, tapi semua murni karena ikatan keluarga, tidak pernah melampaui batas.

Tapi Yunan tetap membisu, meski matanya seperti ingin menguliti semua rahasia yang mungkin tersembunyi di balik wajah Jessy.

"Bukan cuma dia yang bikin pikiranku kacau," ucap Yunan pelan.

Jessy menoleh. "Apa maksudmu?"

Yunan menarik napas panjang, menghembuskan asap rokok ke jalanan yang basah. "Samuel."

Nama itu seolah membentur udara. Dingin dan tajam.

"Dia rekan kerjamu. Juga mantanmu. Dan aku lelah pura-pura nggak lihat dia terus cari alasan buat deketin kamu."

Rahang Jessy mengencang. Ia menahan emosi yang mulai naik.

"Samuel sudah jadi masa lalu. Dia nggak punya urusan lagi denganku."

Yunan hanya memberi senyum tipis. Pahit.

"Tapi dia masih bersikap seolah punya hak. Dan aku yakin dia nggak asal cerita soal kalian."

Tatapan Jessy tajam.

"Kamu lebih percaya dia daripada aku?"

Yunan terdiam. Tidak mengangguk, tidak menggeleng.

"Kamu ingin aku menjelaskan apa lagi, Yunan?"

Tak ada jawaban. Hanya suara hujan.

"Ya, aku pernah punya masa lalu dengan dia. Tapi itu sudah lama. Dan aku nggak melakukan apa pun yang salah."

Nada suara Jessy terdengar datar, tapi jelas. Bukan karena takut. Tapi karena capek. Capek dianggap salah atas hal yang tidak pernah ia lakukan.

"Semua hal sudah aku ceritakan ke kamu. Aku nggak pernah menutup-nutupi."

Yunan masih diam. Tatapannya dingin, tanpa ekspresi.

"Kalau kamu mau pergi, silakan. Aku nggak akan tahan kamu. Tapi jangan tuduh aku atas sesuatu yang bukan kesalahanku."

Jessy menghela napas, menahan perih yang sejak tadi mendesak. Luka itu bukan datang dari orang luar, tapi dari dirinya sendiri, karena terlalu lama bertahan dalam hubungan yang membuatnya merasa salah terus-menerus.

Dulu, ia diam. Sekarang tidak lagi.

Yunan masih menatap, seolah mencoba membaca sesuatu di wajahnya. Tapi Jessy tidak menunduk. Matanya bening, tapi tidak rapuh. Badai di hatinya sudah reda. Ia tidak merasa perlu meminta maaf atas sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Tidak merasa perlu membuktikan apa-apa.

Karena kali ini, ia tahu satu hal:

Bukan dia yang salah.

"Kamu boleh marah," ucapnya pelan tapi tegas. "Tapi jangan paksa aku minta maaf atas hal yang nggak aku lakukan."

Yunan terdiam. Nada itu asing baginya, Jessy biasanya lembut, mengalah. Tapi malam ini berbeda. Tatapannya lurus, tidak goyah. Bukan menantang, tapi jelas.

"Kalau kamu lebih percaya omongan orang daripada aku, silakan. Tapi aku nggak akan buang waktu buat yakinin seseorang yang sudah memilih untuk curiga."

Kata-katanya seperti tamparan ke arah diam Yunan. Dan untuk pertama kalinya malam itu, Yunan tampak goyah.

Jessy memalingkan pandangan ke jalanan. Hujan masih turun. Tapi kali ini, tidak terdengar menyedihkan. Justru menenangkan.

Di dalam dirinya, ada yang menguat. Ia bukan perempuan lemah yang bisa diinterogasi hanya karena masa lalu. Ia tahu, masa lalunya bukan aib. Ia tidak lagi merasa perlu menjelaskan ulang hidupnya hanya untuk meyakinkan orang lain.

"Aku pernah disakiti. Tapi itu bukan yang membentukku," ucapnya pelan. "Yang membentuk aku adalah caraku bertahan. Dan aku nggak akan biarkan siapa pun merusaknya. Termasuk kamu."

Kata-katanya tidak keras, tapi mengandung berat.

Jessy bukan lagi wanita yang bertahan karena perasaan semata. Ia sadar, dalam hubungan apa pun, harga diri tetap batas yang tak boleh dilangkahi.

Yunan menarik napas panjang. Seolah menelan ego yang mulai pecah. Ia buang puntung rokok yang sudah padam. Menunduk.

"Maaf..." gumamnya lirih. "Aku terlalu emosional."

Jessy tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu mengangkat wajah ke langit.

"Aku nggak sempurna. Tapi bukan berarti aku pantas dicurigai terus."

---

Mereka dulu bertemu karena pekerjaan.

Tatapan-tatapan di ruang rapat. Obrolan singkat di tengah lembur. Cinta tumbuh dari tempat yang tak terduga. Tapi cinta tidak selalu lahir di tempat yang rapi dan indah. Kadang muncul di antara dokumen dan jam kerja yang melelahkan.

Dan dari semua masalah yang pernah datang, Samuel adalah yang paling menyita energi.

Bukan karena dia mantan. Tapi karena dia tidak tahu batas. Mengganggu, menebar rumor, dan yang lebih berbahaya: menanamkan keraguan dalam kepala Yunan.

Itulah luka terbesar Jessy.

Bukan Samuel. Tapi Yunan yang membiarkan dirinya terpengaruh.

Dulu Jessy diam. Tapi sekarang tidak lagi.

Malam itu tidak berakhir dengan pelukan. Juga bukan perpisahan.

Hanya jeda.

Antara dua orang yang sedang berpikir, hubungan ini masih layak diperjuangkan, atau sudah selesai sejak kepercayaan mulai hilang?

Dan jauh di dalam dirinya, Jessy tahu satu hal.

Kalau untuk mempertahankan harga diri dan kejujuran harus kehilangan segalanya, ia siap.

Karena malam itu, ia memilih berdiri untuk dirinya sendiri.

Batas yang mulai mengabur

Setelah malam yang tegang, keesokan harinya Jessy kembali larut dalam rutinitas kantor. Ia tenggelam dalam laporan dan rapat, mencoba menjauhkan pikirannya dari konflik semalam dengan Yunan.

Menjelang petang, hujan turun lagi. Gerimis menyelimuti kaca jendela dan udara kantor menjadi lembap. Pekerjaannya selesai lebih cepat dari biasanya. Yunan masih sibuk dengan tumpukan dokumen. Jessy pamit singkat, menyelipkan senyum tipis, lalu keluar dari gedung.

Langit mendung. Trotoar licin, aroma tanah basah menyeruak samar. Jessy berdiri di bawah atap kecil menunggu taksi. Sudah lima belas menit. Mobil lalu-lalang, tapi tak satu pun berhenti. Ia sesekali menengadah, menyeka tetes hujan dari poninya.

Sebuah mobil berhenti perlahan. Jendela diturunkan. Sosok yang familiar muncul, tersenyum santai... terlalu santai untuk seseorang yang tidak diundang.

“Jess,” sapa Sam sambil keluar dan membuka pintu penumpang. “Ayo, aku antar pulang.”

Jessy langsung menggeleng. “Terima kasih. Aku nunggu taksi.”

Sam menutup pintu mobil, mendekat sambil menyelipkan tangan ke saku jas. “Masih sama kayak dulu, ya? Menolak tanpa kasih penjelasan.”

“Aku punya alasan,” jawab Jessy datar. “Aku nggak mau bikin masalah baru.”

“Takut Yunan salah paham?”

Tatapan Jessy mengeras. “Aku takut kamu sengaja cari alasan buat ganggu aku.”

Sam tertawa kecil. “Kamu terlalu defensif. Aku cuma pengen kita tetap berteman.”

“Kita nggak bisa jadi teman, Sam,” ucap Jessy tegas. Ia memalingkan wajah.

Tapi Sam tidak pergi. Hujan makin deras. Jessy mulai menggigil. Tubuh lelah, kepala berat. Dan seperti biasa, kelemahannya: rasa tidak enak hati.

“Sekali ini aja, Jess. Aku cuma mau nganter pulang. Demi pertemanan. Aku nggak bakal maksa naik ke atas, sumpah.”

Jessy menarik napas. Ia ragu. Tapi akhirnya mengangguk. Ia tahu ini bukan keputusan terbaik, tapi ia hanya ingin pulang cepat dan beristirahat.

Perjalanan pulang sunyi. Hanya suara wiper dan hujan yang terdengar. Jessy menatap jendela, Sam sesekali mencuri pandang, tapi tak berkata apa-apa.

Di depan apartemen, Jessy cepat turun. “Terima kasih atas tumpangannya,” ucapnya, lalu berjalan ke pintu.

Tapi Sam menyusul. “Sebentar aja. Aku mau bicara. Nggak lama.”

Jessy ingin menolak. Tapi hujan deras, dan Sam sudah berdiri di ambang pintu. Ia mengangguk. “Sebentar saja.”

Apartemen Jessy rapi dan tenang. Ia menunjuk sofa biru di ruang tamu. “Duduk sebentar. Aku ambilkan minum.”

Sam tersenyum dan duduk. “Yunan sering ke sini?”

“Iya.”

“Kamu bahagia sama dia?”

Jessy tak menjawab. Ia mengambil dua botol air dingin dari kulkas. Saat kembali, Sam masih menatapnya. Sorot matanya sulit ditebak.... campuran nostalgia dan penyesalan.

“Kamu masih ingat malam aku nyatain perasaan?” tanyanya.

Jessy mengerjap. “Aku lupa.”

Sam tertawa pelan. “Waktu itu kamu gemetar, tapi bilang ‘iya’ juga.”

“Aku nggak gemetar,” potong Jessy dingin. “Aku cuma nggak tahu harus bagaimana. Kamu nyatain cinta di depan semua orang.”

Sam menunduk. Senyumnya menghilang.

“Aku bahagia waktu itu. Walau tahu kamu nggak sepenuhnya milikku.”

Jessy menatap tajam. “Kamu udah tunangan waktu itu, Sam. Aku nggak lupa.”

Hening.

“Aku minta maaf,” ucap Sam pelan.

“Maafmu telat,” balas Jessy dingin.

Sam diam. Tapi sorot matanya berubah...ada sesuatu di sana.

Lalu—

Pintu apartemen terbuka keras.

Yunan berdiri di ambang pintu. Basah. Entah karena hujan atau karena emosi. Nafasnya berat. Pandangannya langsung menancap ke Sam, lalu ke Jessy.

Ruangan mendadak terasa sempit.

“Kamu di sini?” tanyanya datar. Terlalu tenang.

Jessy berdiri cepat. “Kamu bilang mau lembur?”

“Udah selesai lebih cepat.” Yunan masuk ke ruang tamu. “Dan ternyata aku dapat hadiah begini.”

Sam berdiri. “Aku cuma mampir sebentar. Kami ngobrol. Itu aja.”

“Ngobrol?” Yunan mendekat. Tatapannya tajam. “Di apartemen pacarku, tanpa bilang siapa-siapa?”

“Sudah cukup, Yunan,” potong Jessy cepat.

Tapi Yunan belum berhenti. “Sejak kapan dia jadi pengganti komunikasimu ke aku?”

“Berhenti!” Jessy meninggikan suara. “Aku yang izinkan dia naik. Aku yang salah kalau itu bikin kamu marah. Tapi jangan salah paham!”

Yunan menatapnya. Matanya sempit. “Kenapa kamu selalu kasih dia ruang, Jes?”

“Kamu pikir aku sengaja?” suara Jessy mulai bergetar. “Aku cuma berusaha bersikap manusiawi!”

“Manusiawi atau naif?” sindir Yunan.

Sam mundur setapak. “Aku pamit. Udah terlalu lama di sini.”

“Bagus,” jawab Yunan dingin.

Sam menatap Jessy sekali lagi. Lalu membuka pintu dan pergi. Tapi sebelum menutup, ia berkata, “Dia layak dapat yang lebih baik.”

Pintu tertutup. Jessy terduduk di sofa. Tubuhnya lemas. Bukan karena takut, tapi muak. Lelah.

Yunan berdiri di dekat pintu. Dada naik turun.

“Kamu selalu menuduh. Selalu curiga. Seolah aku ini boneka yang bisa kamu tarik-ulur,” gumam Jessy.

Yunan mendekat. “Aku cuma takut kehilangan kamu.”

Jessy memandangnya lama, lalu berdiri.

“Kalau kamu terus mengekang, kamu akan kehilangan aku bukan karena orang lain. Tapi karena aku memilih pergi.”

Yunan terdiam. Pernyataan itu menghantamnya.

Sebelum ia menjawab, Jessy menyodorkan kaleng minuman dingin.

“Minum. Biar reda. Aku nggak mau berdebat malam ini.”

Yunan menerimanya. Membuka kaleng, lalu meneguk. Hening turun kembali, tapi kini terasa sedikit lebih tenang.

Beberapa menit berlalu.

Yunan mendekat, memeluk Jessy. “Aku cuma takut,” bisiknya.

Jessy diam. Tapi ia tidak menolak. Ia membiarkan pelukan itu mengikat, meski luka belum sepenuhnya sembuh.

“Aku mencintaimu,” ucap Yunan.

Jessy memejamkan mata. “Aku ingin kita saling menghargai. Bukan saling mengekang.”

Dan malam itu, dalam pelukan yang dingin tapi nyata, mereka sadar.

Cinta tidak cukup. Tanpa kepercayaan, yang tersisa hanya jarak dan luka.

Pecahnya batas kesabaran

Malam itu, di hari libur, Jessy melangkah ke dunia yang sudah lama ia tinggalkan...klub malam. Bersama Luna, Dera, dan Tya, ia pergi diam-diam tanpa sepengetahuan Yunan, kekasihnya.

Ragu sempat mencengkeram. Ia tahu Yunan tak akan menerima alasan apa pun. Pergi tanpa izin saja sudah cukup memicu ledakan. Dan jika Yunan tahu ia ada di tempat yang dibencinya ini, amarahnya bisa menghancurkan segalanya.

Ajakan teman-temannya datang seperti badai kecil yang tak bisa ia hindari. “Cuma sebentar, Jess. Anggap saja pelarian singkat,” kata Luna sambil menggandengnya. Dera dan Tya ikut mendesak, tanpa memberi ruang untuk mundur. Di balik ajakan itu, ada godaan yang sulit diabaikan: kebebasan. Sesuatu yang makin terkikis sejak ia bersama Yunan.

Suasana klub langsung menerpa. Musik menghentak dada, lampu neon menari liar, aroma alkohol dan parfum bercampur di udara. Bagi Jessy, ini bukan hal baru. Dulu, tempat seperti ini adalah pelabuhan untuk melarikan diri dari tekanan.

Sejak bersama Yunan, hidupnya berubah. Ia menjauh dari tempat ini, dari teman-teman, bahkan dari dirinya sendiri. Larangan demi larangan membungkusnya dalam sangkar tak kasat mata. Tapi malam itu, di bawah lampu kelap-kelip dan tawa sahabat-sahabatnya, ia kembali merasakan hidup.

Kebebasan itu menyelinap, membakar sesuatu yang lama padam. Jessy tersenyum kecil, menyingkirkan rasa bersalah yang menguntit pikirannya. Walau bayangan Yunan tetap ada, malam ini ia memilih menjadi dirinya sendiri.

“Ayo kita bersenang-senang!” teriak Luna, menuang minuman ke gelas Jessy. Dentuman musik tak menenggelamkan semangatnya.

Jessy menatap gelas itu sejenak. Ragu muncul, lalu hilang. Satu helaan napas, lalu ia meneguknya habis, membungkam suara hati yang memperingatkan.

“Kalau sampai Yunan tahu, bisa mati aku!” ujarnya setengah bercanda, nada panik masih tersisa.

“Tenang aja!” sahut Dera, menyenggol bahunya. “Aku udah bilang ke dia kalau kamu ke acara ulang tahun sepupuku. Dia gak bakal curiga.”

“Gila parah!” Tya tertawa miring. “Pacarmu udah kayak anjing penjaga. Semua gerakanmu diawasi, pergaulanmu dibatasi.”

“Aku aja gak berani ngajak kamu jalan,” timpal Luna. “Tatapan dinginnya... serem. Dia kayak takut kamu sadar ada hidup lain di luar dia.”

Jessy hanya tersenyum tipis. Semua itu benar. Hidupnya makin sempit. Mengobrol dengan laki-laki bisa memicu pertengkaran. Keluar tanpa izin bisa berujung debat panas. Hubungan mereka dikendalikan rasa cemburu dan kepemilikan berlebihan.

Malam ini, yang awalnya hanya keisengan kecil, berubah jadi perlawanan.

“Ayo, kita minum lagi!” seru Jessy. Ia menuang botol ke gelasnya, lalu ke gelas teman-temannya.

Tawa meledak. Musik menghentak, lampu-lampu berputar. Jessy tertawa lepas, menari, meneguk minuman berkali-kali, membiarkan alkohol mengaburkan kenyataan.

Di bawah lampu gemerlap, ia kembali menjadi dirinya. Bukan milik siapa pun. Bebas, liar, hidup.

Kepalanya mulai berat, langkahnya goyah, tapi senyum masih bertahan. Ia menengadah, membiarkan musik menelannya. Apa pun yang akan terjadi nanti, biarlah.

Klub malam itu menelan waktu. Jarum jam hampir pukul dua pagi.

“Pulang, yuk!” seru Dera, gelisah. “Takut pacarnya Jessy nyariin.”

“Mana mungkin,” sahut Tya santai.

Mereka menoleh ke Jessy, matanya sayu, pipi merah, langkah oleng.

“Sebentar lagi! Kapan lagi aku bebas kayak gini...” ucapnya, suara melantur.

“Gawat, dia mabuk,” kata Luna.

“Ayo pulang,” ujar Tya tegas.

Mereka keluar dari klub, udara malam menusuk kulit. Jessy diapit Luna dan Dera, menyanyi asal sambil tertawa. Di mobil, suasana tetap riuh. Pusing dan matanya berat, tapi hatinya hangat. Malam itu terasa seperti mimpi manis yang tak ingin ia akhiri.

Namun, keceriaan itu hanya bertahan sampai mobil mereka berbelok masuk ke halaman rumah Dera.

Rem mendadak diinjak.

Suasana seketika sunyi.

Di bawah temaram lampu pekarangan, berdiri sebuah mobil hitam yang familiar. Lampunya mati, tapi kehadirannya menciptakan tekanan yang langsung menusuk ke dalam dada Jessy.

Mobil itu... milik Yunan.

" Tuh kan, firasat ku benar! " ujar Dera ketakutan " Yunan ada disini! " lanjutnya

" Gimana, nih? " Luna menghentikan mobilnya

" Ngapain berhenti! dia udah tau kalo kita datang. Lihat pandangannya mengarah ke kita " kata Tya saat melihat Yunan turun dari mobil nya

 

Luna menelan ludah saat melihat mobil hitam terparkir di pekarangan rumah Dera. Ia langsung memperlambat laju mobil mereka hingga berhenti tepat di depan kendaraan yang sangat mereka kenal.

"Jes… pacarmu," bisik Dera, mengguncang bahu Jessy yang setengah terlelap akibat alkohol.

Kelopak mata Jessy terbuka separuh, cukup untuk melihat sosok tinggi berjalan mendekat dengan langkah tenang tapi menekan. Yunan.

Darahnya mendingin. Refleks, ia memejamkan mata lagi. Pura-pura tidur adalah satu-satunya cara untuk menghindari ledakan emosi yang ia tahu akan datang.

Pintu mobil terbuka. Yunan berdiri di sana, tatapan tajam menembus kabin. Luna panik, segera keluar.

“Maaf! Jessy kami ajak ke klub… dia mabuk,” ujarnya cepat.

Tak ada respons. Wajah Yunan datar, dingin. Ia hanya membuka pintu belakang dan mengangkat tubuh Jessy ke pelukannya. Lengannya kaku namun kuat. Jessy menahan napas, tetap berpura-pura tidur.

Teman-temannya hanya bisa terdiam. Aura Yunan malam itu dingin dan mengintimidasi.

Perjalanan pulang sunyi. Tangan Yunan kokoh di kemudi, pandangannya lurus ke depan. Udara di dalam mobil padat oleh kemarahan yang tak diucapkan. Jessy miring ke jendela, pura-pura tertidur. Ia tahu: diamnya Yunan selalu jadi pertanda badai.

Sesampainya di apartemen, Yunan menggendong Jessy masuk, membaringkannya di ranjang. Gerakannya terkontrol… sampai akhirnya.

Bruuuk!

Tubuh Jessy jatuh keras. “Sampai kapan kamu mau pura-pura tidur?” suaranya datar, tapi setiap kata tajam.

“Aku ketahuan, ya?” Jessy mencoba tersenyum malu, tapi tak mampu mengusir ketegangan.

“Sudah berani main ke klub sekarang, hah? Kamu tahu nggak, cewek yang suka clubbing itu dicap nakal.”

Jessy diam, menunduk. Kata-kata itu menghantam harga dirinya.

“Jangan-jangan Sam benar,” lanjut Yunan.

Jessy mengangkat kepala, kaget. “Sam? Dia bilang apa ke kamu?”

“Dia bilang kamu cewek nakal.”

Jessy menatapnya tajam. “Kamu percaya?”

“Kalau kamu bersikap begini, tentu aku percaya! Siapa yang tahu apa yang kamu lakukan di sana... mungkin saja kamu bersikap murahan.”

Plaaak!

Tamparan Jessy mendarat keras. Nafasnya memburu, matanya menyala.

“Sam bilang kamu juga pernah tidur sama dia,” tambah Yunan, suaranya menusuk. “Berapa laki-laki yang pernah tidur sama kamu?”

Plaaak!

Tamparan kedua. Lebih keras. Air mata mulai mengalir di pipi Jessy.

“MULAI DETIK INI KITA PUTUS!” teriaknya.

Yunan tidak mundur. Ia melangkah maju, mencengkeram lengannya kuat-kuat hingga memucat. “Putus, kamu bilang?” desisnya. Rahangnya mengeras, matanya gelap.

Tarikan Yunan membuat tubuh Jessy terseret mendekat. Jarak mereka hanya sejengkal, napasnya terasa di wajah Jessy.. panas, berat, dan penuh ancaman.

“Kalau aku nggak bisa memiliki kamu, maka orang lain pun nggak ada yang bisa,” ucapnya pelan, tapi lebih menakutkan dari bentakan mana pun. Jemarinya makin mengencang, seperti ingin meninggalkan bekas permanen di kulitnya.

Jessy menelan ludah, tapi tatapannya tetap menantang meski hatinya berdegup tak terkendali.

Di ruangan itu, udara berubah pekat. Tak ada lagi batas antara kemarahan dan bahaya. Yang tersisa hanyalah ketegangan yang siap meledak kapan saja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!