Suara mesin infus berdetak pelan. Matahari pagi menerobos tipis melalui tirai putih yang setengah terbuka, menimbulkan bayangan lembut di dinding ruangan. Mikayla terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan tubuhnya terasa seperti baru saja melewati badai panjang.
Pintu kamar diketuk dua kali sebelum terbuka pelan. Seorang pria dengan jas dokter masuk sambil membawa tablet medis di tangan. Wajahnya bersih, matanya tajam tapi hangat.
“Mikayla?” suara berat itu menyapa.
Mikayla menoleh pelan. Meski lelah, ia mengenali suara itu. Ia berusaha tersenyum. “Dokter Gio.”
Gio tersenyum singkat, mendekat dan memeriksa monitor di samping tempat tidur.
“Masih bisa senyum, tandanya kamu belum parah banget,” ucapnya ringan. Tapi nada bicaranya mengandung kekhawatiran.
“Aku baik-baik aja... cuma lambung sedikit rewel,” jawab Mikayla pelan.
Gio menoleh cepat dengan tatapan tak percaya. “Rewel? Mik, kamu pendarahan lambung. Kamu tahu itu karena kelelahan dan stres berkepanjangan? Tubuh kamu udah ngasih alarm bahaya sejak lama, tapi kamu selalu mengabaikannya terus.”
Mikayla menghela napas. Ia memalingkan wajah, menatap langit-langit.
“Aku cuma... nggak sempat istirahat.”
“Kamu harus mulai belajar memprioritaskan diri sendiri, Mik. Pekerjaan bisa menunggu, tapi kesehatan kamu nggak bisa diganti,” tegas Gio sambil menurunkan tablet medisnya dan menatap Mikayla langsung.
“Kamu butuh istirahat total. Nggak boleh banyak pikiran, apalagi stres. Itu bisa bikin lukanya makin parah.”
Mikayla terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia menahan. Ia terlalu lelah untuk menangis.
“Aku akan coba, Gio,” bisiknya lirih. “Tapi rasanya, aku tak sanggup lagi.”
Gio menarik kursi dan duduk di samping tempat tidur. Ia menatap Mikayla dengan serius.
“Mik, ini bukan cuma soal obat dan tidur. Kamu juga harus jaga pikiran. Apa pun yang lagi kamu pendam sekarang, kamu harus pelan-pelan lepasin. Tubuh kamu juga butuh istirahat.”
“Kalau damai itu nggak pernah ada dalam hidupku, gimana?” gumam Mikayla sambil tersenyum pahit.
Gio menatapnya dalam-dalam, lalu menjawab pelan. “Apakah kau memikirkan keluargamu itu?”
Mikayla tersenyum kecut.
“Lepaskanlah mereka, Mik. Kau pantas bahagia. Jangan mencari kebahagiaan yang semu. Bukankah kau sangat hebat? Keluarga mu itu sungguh tak layak untukmu.” ucap Gio yang tampak sedih melihat teman kuliah nya dulu yang sangat berprestasi itu kini sakit kronis dan tak ada satupun keluarganya yang peduli.
Mikayla hanya menunduk. Suaranya nyaris tak terdengar. “Terima kasih, Gio...”
Gio berdiri pelan, merapikan jas putihnya.
“Oke, sekarang kamu istirahat. Nggak boleh mikirin apapun yang bikin kamu pusing dan stres. Kamu berhak bahagia.”
Ia berjalan menuju pintu, lalu berhenti dan menoleh lagi. “Dan satu lagi, Mik... kamu nggak sendirian, oke? Setidaknya kamu masih punya aku.”
Mikayla menatap Gio, “Oke, Dokter Gio. Aku istirahat.”
Gio tersenyum, lalu keluar dan menutup pintu perlahan. Keheningan kembali mengisi ruangan, tapi kali ini tak terasa seberat tadi.
“Yah, setidak nya masih ada orang yang mengingatku.” lirihnya.
Mikayla baru saja memejamkan matanya, mencoba mengikuti saran Dokter Gio untuk beristirahat. Suasana kamar sunyi, hanya terdengar suara lembut mesin infus yang berdetak. Tapi tak lama, pintu kembali terbuka, kali ini tanpa ketukan.
Langkah sepatu hak tinggi terdengar menapak pelan namun penuh percaya diri. Aroma parfum mahal menyebar di udara.
“Wah... ternyata benar kamu di sini.”
Suara itu menghantam seperti palu. Mikayla membuka matanya perlahan, dan mendapati sosok yang paling tak ingin ia lihat hari ini, Elsa, adik angkatnya, berdiri di ambang pintu mengenakan gaun pengantin putih yang elegan, riasannya sempurna, senyumnya menusuk.
“Mau apa kamu?” tanya Mikayla pelan.
Elsa tersenyum sinis. Ia melangkah masuk tanpa ragu, “Yah, kupikir aku harus menyempatkan diri, melihat nasib orang yang dulu selalu lebih segalanya dari aku.”
Ia melirik Mikayla dari ujung kepala sampai kaki.
“Lucu ya, sekarang kamu tergeletak di rumah sakit, sendirian. Kau terlihat sangat menyedihkan. Sementara aku, aku akan menikah dengan Kevin. Tunangan kamu.”
Mikayla memejamkan mata rapat-rapat, mencoba mengusir suara itu. Tapi suara langkah sepatu Elsa terus mendekat, penuh irama seperti dentuman palu pada dinding hatinya yang sudah retak.
“Kau tahu, Kak,” suara Elsa lirih namun tajam, “dulu aku selalu iri padamu. Semua orang memuji kamu. Prestasi ini, nilai itu, kebaikan hati, kerja keras. Tapi aneh ya… semua itu nggak membuat mereka memilih kamu.”
Mikayla membuka mata pelan, menahan sakit yang perlahan merambat ke seluruh tubuhnya. Bibirnya bergetar.
“Aku… nggak pernah ingin bersaing denganmu, Elsa…”
Elsa mendengus pelan, lalu duduk di kursi samping tempat tidur Mikayla, menyilangkan kaki dengan anggun meski gaun pengantinnya begitu mencolok di ruangan putih itu.
“Oh, aku tahu. Karena kamu pikir kamu sudah menang dari awal, kan?” Ia tersenyum miring. “Tapi lihat sekarang. Keluarga mu, Ah tidak... keluargaku sekarang beberapa jam lagi akan melangsungkan pesta pernikahanku. Mereka tidak akan ke sini. Mereka memilihku.”
“Mereka... keluargaku...” suara Mikayla mulai pecah, lemah, seakan setiap kata adalah duri.
“Kau masih menganggap mereka keluargamu?” Elsa mendekat, berbisik di telinga Mikayla. “Kau lucu sekali, Mikayla. Kau bahkan sudah di benci dan dilupakan oleh mereka, bahkan untuk hari ini. Tak satu pun dari mereka datang. Mama Vivi bahkan membantu mencarikan gaun pernikahan yang mewah. Papa Julio nanti akan menggandeng tanganku di altar. Dan saudara mu itu, mereka sangat menyayangi ku hingga memberikan hadiah mewah untukku. Bukan kamu. Yah Bukan kamu, Mikayla.”
Air mata mulai mengalir di sudut mata Mikayla. Ia menoleh pelan, menatap Elsa dengan mata yang nyaris padam.
“Kenapa kamu melakukan ini padaku, Elsa? Bukankah aku selalu baik padamu? Tapi kenapa kamu selalu memutar balikkan fakta yang ada, dan membuat mereka membenci ku.”
Elsa tertawa kecil, dingin. “Itu dia masalahnya. Kau terlalu baik. Dan orang baik dan manja seperti kamu, Mikayla, sering kali berakhir sendiri. Karena dunia ini tidak peduli seberapa keras kamu berjuang.”
“Yah, sepertinya aku memang telah kehilangan segalanya,” bisik Mikayla. “Tapi kamu, masih tega datang ke sini dan menghancurkan sisa-sisa diriku.
Elsa berdiri, merapikan gaunnya, lalu menatap Mikayla seperti menatap musuh yang telah dikalahkan.
“Aku hanya ingin kau tahu, semua yang pernah menjadi milikmu, sekarang milikku. Kevin mencintaiku. Keluarga mu yang mengakui aku. Dan kamu?” Ia melirik infus yang menetes pelan. “Kamu hanya seseorang yang di buang dan terlupakan.”
Perut Mikayla tiba-tiba terasa seperti ditusuk pisau. Ia menegang, menekan perutnya sambil meringis. Napasnya memburu, dadanya naik turun tidak beraturan.
“Ah…” Mikayla memekik kecil. Tangan kanannya menggenggam selimut kuat-kuat.
“Apa itu? Sakit?” tanya Elsa dengan nada pura-pura prihatin. “Wah, sampai segitunya ya. Patah hati bisa membuat fisik hancur juga ternyata.”
Mikayla menggigit bibir bawahnya. Darah mulai merembes dari sudut mulutnya. Matanya melebar. Nafasnya mulai tercekat.
Elsa terdiam sejenak, menatap Mikayla yang mulai menggigil di atas ranjang. Nafas Mikayla mulai tersengal, wajahnya pucat dan penuh keringat dingin.
"S-suster..." bisiknya, mencoba berteriak, namun suara yang keluar hanya lirih dan parau. Tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin menyesakkan.
Elsa melangkah mundur satu langkah, tapi bukan karena khawatir, melainkan untuk menjaga jarak agar gaun pengantinnya tak terkena cipratan darah. Ia menyilangkan tangan di depan dada, menatap Mikayla dengan tatapan kosong.
"Oh, jadi kamu benar-benar sekarat?" suaranya datar, hampir terdengar bosan. Ia mendongak sedikit, lalu menatap Mikayla dengan senyum tipis. "Apa hari ini hari kematianmu, Kak Mikayla?"
Mikayla terbatuk keras, darah menyembur ke sisi bantalnya. Tubuhnya melengkung menahan sakit, pandangannya mulai kabur.
"G-Gio..." lirihnya, menyebut satu-satunya nama yang terlintas dalam kesadarannya yang mulai menghilang.
Elsa menunduk sedikit, wajahnya mendekat ke Mikayla. Senyumnya menyeringai, seperti iblis yang puas menyaksikan korban terakhirnya.
"Selamat tinggal, Kak Mikayla. Semoga kau bahagia... di kehidupan berikutnya," bisiknya manis. "Biarkan aku menggantikan mu sekarang. Menjadi putri satu-satunya."
Air mata jatuh dari sudut mata Mikayla. Napasnya semakin pendek, namun mulutnya masih mampu bergetar mengeluarkan kalimat penuh makna.
"Kau... akan... dapat... balasan nya, Elsa..." gumamnya, nyaris tak terdengar.
Elsa justru tertawa kecil. Ringan, namun Mengerikan.
"Balasan?" ia mengedikkan bahu. "Aku tidak peduli. Toh kau akan mati sebentar lagi. Dan lucunya, semua orang mengira penyakitmu karena stres dan kerja keras."
Ia berjalan anggun keluar ruangan, tanpa menoleh lagi. Pintu menutup pelan di belakangnya.
Mikayla menatapnya lemah, napasnya tercekat. Dahinya berkerut.
"Kenapa? Kau kaget? Biar ku beritahu, karna kamu akan mati sebentar lagi,"
Elsa mendekat lagi, berbisik tepat di telinga Mikayla, penuh racun.
"Itu karena racun yang selama ini ku tabur dalam makanan dan minumanmu. Racun langka, tak terdeteksi oleh tes laboratorium. Aku membelinya di pasar gelap. Hanya untukmu."
Mikayla menatap Elsa dengan mata melebar, tubuhnya menegang. Tak percaya.
"Dah, aku pergi. Mau menikah dengan Kevin, tunanganmu dan sebentar lagi akan menjadi milikku. Hahaha."
Elsa melangkah pergi dengan anggun, menyibakkan gaun pengantinnya. Ia tidak menoleh lagi.
Pintu kamar sudah tertutup. Elsa telah pergi. TApi ucapannya masih menggema di kepala Mikayla seperti mantra kutukan.
Napas Mikayla semakin berat. Dada naik turun dengan susah payah. Rasa nyeri menusuk perutnya tak tertahankan. Tangan kanannya bergetar hebat saat mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping ranjang.
"Tolong..." bisiknya lirih. Mata basah, jemarinya dingin.
Dalam kesadarannya yang semakin menipis, ia masih punya secercah harapan. Harapan bahwa keluarganya, walau satu saja, ingat dan peduli. Bahwa ia bukan benar-benar sendirian. Tidak seperti apa yang dikatakan Elsa tadi.
Dengan gemetar, ia membuka kontak "Papa". Ikon foto pria paruh baya dengan senyum lebar terpampang di layar. Jemarinya menekan tombol hijau. Suara nada sambung terdengar. Satu kali... dua kali...
"Angkat, Pa... tolong!"
Tetap tak diangkat.
Air mata mengalir tanpa suara. Ia menatap layar yang kembali gelap, lalu mencoba lagi. Masih tidak dijawab. Ia tidak tahu bahwa ayahnya sedang tertawa bersama para tamu, bersulang untuk pernikahan Elsa.
Dengan lemas, Mikayla berganti ke kontak berikutnya: "Mama".
Nada sambung kembali terdengar.
"Ma... tolong, Ma..." suara Mikayla bergetar.
Lagi-lagi tak diangkat. Mungkin sang mama sedang sibuk membenarkan veil pengantin Elsa. Atau tertawa di meja bundar bersama keluarga Kevin.
Mikayla menggigit bibirnya, mencoba menahan isak. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Air mata terus membanjiri pipinya yang pucat. Perutnya terasa seperti diremas dari dalam.
Namun ia belum menyerah. Ia membuka kontak Ryan, Kakak Pertama. Kakak sulungnya yang dulu sering menggendongnya saat kecil. Yang dulu selalu berkata, 'Kakak akan jaga kamu. Meskipun kamu sudah menikah'.
Dengan gemetar, ia menekan panggilan.
"Halo?" suara Ryan terdengar dari seberang.
"K-Kak... ini aku, Mikayla..."
"Mikayla? Kamu ganggu banget sih!" suaranya langsung naik satu oktaf. "Kamu tahu nggak aku lagi di pesta? Banyak tamu penting, dan kamu malah nelepon-nelepon!"
"Aku… aku di rumah sakit, Kak… aku... kesakitan..." suara Mikayla nyaris tercekat.
"Oh come on, Mik! Serius? Drama kamu nggak ada habisnya ya? Kamu pasti cuma cari perhatian karena Kevin nikah sama Elsa. Gedein hati dikit lah!"
"K-Kak, aku muntah darah, aku benar-benar kesakitan, kak." bisiknya, napasnya terputus-putus.
"Udah ah! Jangan bawa-bawa penyakit buat ngerecokin hari bahagia orang lain. Cukup ya! Jangan bikin malu keluarga!"
Klik.
Panggilan terputus.
Mikayla menatap layar kosong, matanya terbuka tapi tak melihat. Tangannya bergetar. Tubuhnya semakin menggigil, namun ia masih berusaha.
"Satu lagi… satu lagi..." gumamnya.
Ia membuka kontak Nathan - Kakak Kedua. Kakaknya yang lebih pendiam tapi selalu terlihat tenang. Hatinya berdoa... mungkin Nathan akan percaya.
Tombol hijau ditekan. Suara sambungan terdengar.
"Halo?" suara Nathan terdengar di seberang.
"Kak...Kak Nathan... ini aku... Mikayla..."
"Mik? Kamu kenapa?"
"Aku... aku di rumah sakit... perutku sakit... Bisakah kakak kesini?" suaranya lemah sekali.
Diam sejenak. Tapi bukan diam prihatin.
"Astaga Mikayla, kamu serius? Hari ini pernikahan Elsa dan kamu masih aja bikin ulah? Apa kamu pikir aku bakal percaya kamu? Kamu cuma mau ganggu acara ini kan?"
"Tidak, aku… sumpah… aku... sakit beneran..." isaknya tertahan. "Aku sendiri, Kak... tolong..."
"Udah cukup! Kamu nggak malu? Gedean dikit hatinya! Elsa lebih butuh perhatian hari ini. Dia hari ini menjadi pengantin, bukan kamu! Kalau kamu mau nangis, simpen buat diri sendiri!"
"Kak... aku... mohon..."
Klik.
Panggilan kembali terputus. Mikayla menatap ponsel yang tergelincir dari tangannya dan jatuh ke lantai. Tangisnya pecah, kali ini tak bisa dibendung. Isaknya lirih, tercekik, seperti suara bayi yang dibiarkan menangis sendirian dalam gelap.
“Kenapa…” bisiknya. “Kenapa kalian semua ninggalin aku…?”
Tubuhnya melunglai di atas ranjang. Monitor detak jantung mulai berbunyi tak stabil. Infusnya bergerak cepat, sementara wajah Mikayla memucat hebat. Darah kembali mengalir dari sudut bibirnya. Ia berjuang untuk tetap sadar.
Sementara itu, ponsel Mikayla di lantai menyala singkat. Satu notifikasi masuk dari grup keluarga,
"Selamat atas pernikahan Elsa dan Kevin! Sungguh pesta yang luar biasa!"
Tanpa satu pun menyebut nama Mikayla.
Suara mesin monitor semakin cepat. Pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan keras. Dokter Gio berlari masuk, diikuti dua perawat.
"Mikayla!" serunya panik saat melihat darah di bantal dan tubuh Mikayla yang menggigil hebat.
"Gio..." bisik Mikayla lemah, setitik harapan yang tersisa di matanya.
Tubuh Mikayla makin lemah. Matanya sudah setengah tertutup, napasnya tak beraturan, dan suara monitor detak jantung mulai terdengar kacau.
Dokter Gio berdiri di sisi ranjang, mengenakan sarung tangan dengan tangan gemetar. Dua perawat membantunya dengan sigap, memasang alat bantu napas dan menyiapkan suntikan adrenalin.
“Mikayla! Hei, Mik! Dengarkan aku! Lihat aku!” suara Gio parau, nyaris pecah. “Kamu nggak boleh pergi… kamu dengar, Mik? Kamu masih bisa diselamatkan! Bertahan, Mikayla! Aku mohon…”
Tapi tubuh Mikayla tak lagi banyak merespons. Wajahnya pucat, hampir transparan. Nafasnya tersengal dan terputus-putus. Matanya separuh terbuka, menatap kosong ke langit-langit yang kini seperti langit terakhir dalam hidupnya. Jari-jarinya sedingin es.
Air mata mengalir dari sudut matanya yang hampir tak berkedip.
Dalam kabut kesadarannya, Mikayla merasa dirinya melayang. Ringan. Seolah tubuhnya tidak lagi tertambat ke bumi. Suara-suara di sekelilingnya terdengar seperti gema dari dalam air. Cahaya langit-langit terlihat seperti titik jauh di ujung terowongan.
Tiba-tiba…
Suara langkah tergesa-gesa terdengar dari lorong luar.
“Mikayla!! Mikaylaaa!” suara lelaki menerobos udara, mengguncang ruangan seperti badai panik. Pintu didobrak keras.
Sosok laki-laki itu muncul. Tinggi, napasnya memburu, rambutnya kusut seperti habis berlari sejauh mungkin. Matanya liar mencari. Dan saat ia melihat tubuh Mikayla di ranjang, diam, hampir tak bernyawa, lututnya Lemas.
“MIKAYLA!! Aku di sini! Aku di sini!” teriaknya, mendekat, menggenggam tangan Mikayla yang dingin.
Mikayla membuka matanya sedikit. Suara itu seperti datang dari kejauhan, samar, menggema seperti suara dari balik kabut.
Mikayla berusaha membuka mata lebih lebar. Suaranya samar, bibirnya bergerak tanpa suara. “Siapa...?” hanya gerakan bibir, tak terdengar, seolah ia tak lagi memiliki kekuatan untuk berbicara.
“Mikayla… jangan tinggalin aku… Maaf aku baru datang menemui mu.” suara lelaki itu pecah. Tangisnya turun tak terbendung.
“Tuan, kami mohon keluar dulu. Biarkan kami menanganinya,” suara seorang suster tegas namun lembut. Bersama asistennya, mereka menyeret pria itu pelan, yang masih berusaha mencengkeram tangan Mikayla hingga jari-jarinya terlepas.
“Tapi aku, dia... Mikayla!”
“Tolong, Tuan!”
Dengan berat hati, pria itu dipaksa keluar. Tapi sebelum pintu menutup, ia menoleh sekali lagi, air mata mengalir deras di pipinya.
“Gio! Kalau kau membiarkan dia pergi, aku takkan pernah memaafkan mu! Selamatkan dia! Kumohon!”
Pintu tertutup kembali. Suara monitor mulai kacau.
“Tekanan darah turun drastis!” teriak suster.
Gio tak menghiraukan kata-kata siapa pun. Tangannya bergerak cepat. Tapi matanya sudah berkaca-kaca. Ia menekan dada Mikayla berulang kali, berharap keajaiban.
“Ayo, Mik… kamu janji mau istirahat. Ini bukan yang aku Maksud! Jangan gini dong… bertahan sedikit lagi…!”
Namun pandangan Mikayla sudah kosong. Ia menatap langit-langit putih untuk terakhir kalinya. Suara di sekelilingnya menjadi sunyi. Nyeri yang menghantuinya selama bertahun-tahun... perlahan sirna.
Dalam hati, satu kalimat terakhir terucap, “Jika aku diberi kesempatan hidup kembali… kumohon, jangan jadikan aku bagian dari keluarga itu lagi…”
Tak ada lagi rasa sakit. Tak ada lagi suara tawa sinis. Tak ada lagi racun, pengkhianatan, atau harapan yang dipatahkan.
Mikayla menutup matanya dan tak pernah membukanya lagi.
Flatline!
Monitor berubah menjadi garis lurus panjang. Bunyi ‘tiiiiiiiiiiiit’ memenuhi ruangan.
“Jantungnya berhenti!”
“CPR, cepat!”
Gio memompa dada Mikayla berulang kali. Putus asa.
"Ayo Mik, jangan gitu… kamu kuat… kamu selalu kuat…" suaranya pecah. “Jangan pergi… bukan gini caranya kamu menyerah…”
“Mulai defibrillator! Menjauh! Satu, dua, tiga, clear!”
Tubuh Mikayla sedikit terangkat saat kejutan listrik masuk, tapi tetap tidak ada respons.
“Lagi! Sekali lagi! Clear!”
Tak ada gerakan.
Gio mulai kehilangan harapan. Tapi ia masih memompa dada Mikayla.
Namun tubuh Mikayla tak merespons. Ia tetap diam. Terlalu damai… terlalu tenang.
Suster menatap Gio dengan mata merah. Ia menggeleng pelan.
Gio membeku. Tangannya yang masih menekan dada Mikayla perlahan berhenti. Bahunya turun. Napasnya gemetar.
“T-Tidak… ini bukan akhirnya dia…”
Tangis menetes di pipinya.
Suster mendekat ke Gio, pelan, sopan, tapi tegas. “Dok... kita harus mencatat waktu kematian pasien.”
Gio tak menjawab. Ia menatap wajah Mikayla yang kini tenang, seolah tertidur. Pipinya masih basah oleh air mata.
Dengan suara paling pelan, patah, dan bergetar, ia menjawab, “Mikayla Wicaksana… meninggal pukul... 17.46 sore... di tanggal 9 Juli 2025...”
Di luar ruangan, pria yang datang tadi terduduk lemas di lantai, wajahnya pucat. Tangannya menutup wajah, bahunya terguncang.
“Sabar, Tuan,” bisik asistennya, mencoba menenangkan. “Kami semua tak tahu keadaannya separah ini…”
Tangis menjadi satu-satunya suara.
Pria itu bangkit, mendorong pintu kembali terbuka dengan kasar. Pria tadi masuk, menyeret kakinya yang lemas. Ia langsung menarik kerah jas dokter Gio.
“Ku bilang kau harus menyelamatkannya! Kenapa dia tidak bangun?! KENAPA?!” suaranya meledak. Wajahnya basah oleh air mata.
Gio tak melawan. Ia hanya menatap kosong, lalu menepis tangan pria itu pelan dan pergi meninggalkan ruangan, bahunya turun, tubuhnya lunglai, langkahnya berat. Ia tak sanggup menghadapi kenyataan ini.
Sementara itu, pria itu berjalan pelan ke sisi Mikayla. Ia terisak, matanya menatap wanita yang kini telah tiada.
Satu per satu peralatan medis dilepas oleh suster. Alat bantu napas. Monitor. Infus. Semua dilepas perlahan.
Ia menyentuh pipi Mikayla dengan tangan gemetar.
“Kalau ada kehidupan kedua… aku janji, Mik…” suaranya lirih.
“Akan ku buat kamu menjadi ratu satu-satunya dalam hidupku. Aku akan buat kamu bahagia... tanpa mereka... tanpa keluarga yang menyakitimu…”
Tangisnya pecah lagi. Ia mengecup kening Mikayla yang dingin. Terlalu dingin.
Suster menatapnya dengan iba. Lalu, dengan perlahan, ia menarik kain putih dan menutup tubuh Mikayla… dari ujung kaki… hingga ke wajah.
Tepat sebelum kain itu menutupi seluruh wajahnya, Mikayla seperti tersenyum.
Senyum tipis… damai. Seolah luka bertahun-tahun akhirnya berakhir.
Seolah ia akhirnya bebas.
Langit berwarna biru keperakan membentang luas. Awan lembut seperti kapas terapung tenang, menyelimuti tempat yang tak bisa dijelaskan oleh logika manusia. Udara terasa hening namun hangat, penuh ketenangan. Cahaya keemasan jatuh dari langit, menyinari tanah putih yang tak berujung.
Di tengahnya, terdapat sebuah pelataran suci, dikelilingi pilar-pilar kristal yang tinggi menjulang, memantulkan cahaya halus seperti pelangi. Di atas singgasana batu putih berukir, duduk seorang pria muda berjubah panjang warna biru muda, rambutnya perak bersinar, matanya penuh kebijaksanaan.
Ia dikenal sebagai Tuan Raviel, Penjaga Catatan Jiwa, bukan sekadar pencatat amal, tapi juga pengamat hati manusia.
Tuan Raviel memandangi sosok perempuan yang berjalan perlahan ke arahnya. Dress putih sederhana menyelimuti tubuh Mikayla, rambutnya tergerai, dan wajahnya bersih tanpa luka. Ia tampak seperti dirinya yang dulu, sangat cantik. Bahkan dewa itu sedikit terpesona dengan Mikayla.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!