*Benarkah jodoh manusia sudah dituliskan, bahkan sebelum ia lahir ke dunia*?
"Apa Bu? Menikah?" Mata Humaira membulat sempurna mendengar ucapan ibunya.
Gadis dua puluh dua tahun itu terkejut. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ibu menyuruhnya untuk menikah. Padahal Humaira baru dua minggu kembali ke tanah air setelah menjadi TKW di Malaysia.
"Iya, Maira. Ini wasiat bapak yang harus kita hormati." ujar sang ibu sambil menatap dalam kedua bola mata putrinya.
Wanita bernama Zaenab itu sebenarnya tidak tega untuk memaksa Humaira menikah, tapi tiga hari yang lalu ia mendapat telepon untuk segera melaksanakan wasiat perjodohan antara putrinya dan cucu dari keluarga Haji Ahmadi.
"Tapi kenapa harus buru-buru, Bu? Aku masih pengen berbakti sama ibu dulu." Humaira melanjutkan.
Ia sudah membayangkan bagaimana nantinya jika ia benar-benar menjadi sorang istri. Tentu dia harus lebih mengabdi dan melayani suaminya.
"Aku gak tega ninggalin ibu sama Adam lagi. Dua tahun aku udah jauh di Malaysia, sekarang aku pengen kumpul sama keluarga, Bu."
Ibu Zaenab menggeser posisi duduknya hingga merapat ke dekat sisi putrinya yang duduk di ujung sofa. Benar, ia pun sangat merindukan putrinya kala itu. Hari-harinya penuh dengan air mata karena tak bisa memeluk anak sulungnya yang berada jauh di negeri Jiran.
"Iya Maira, ibu paham. Tapi wasiat ini juga harus kita laksanakan. Ibu merasa punya tanggung jawab."
"Emang aku dijodohin sama siapa, Bu?"
Ia melirik ke arah ibunya yang mulai senyum-senyum sendiri.
"Sama cucunya Haji Ahmadi- pemilik Pabrik Rattan Jaya. Kamu tahu, kan?"
"Pabrik Rattan Jaya?" Kening Humaira berkerut.
Karena tidak mau terlalu lama menganggur, satu minggu yang lalu Humaira mengirim surat lamaran pekerjaan ke tiga perusahaan besar yang ada di dalam kota. Dan salah satunya adalah PT. Rattan Jaya yang memproduksi beragam produk furniture dengan pemasaran luas hingga ke luar negeri.
Sungguh ajaib! Tiba-tiba saja kini dirinya dijodohkan dengan cucu dari pemilik pabrik besar tersebut.
"Kenapa sama dia, Bu?Apa almarhum Bapak kenal keluarganya?"
"Sangat, Bapak kamu sangat mengenal Almarhum Haji Ahmadi. Maira tahu kan cerita masa kecil Bapak bagaimana?"
Humaira mengangguk. Tak sekali dua kali ia mendengar bapak bercerita tentang masa kecilnya yang tidak seberuntung dirinya.
"Bapakmu yatim piatu sejak umur delapan tahun, Maira. Dia terpaksa harus ikut tinggal dengan Uwaknya yang punya tujuh anak. Waktu itu, hampir saja bapak gak bisa sekolah karena gak ada biaya." Ibu Zaenab bercerita.
"Untungnya bapak bertemu dengan Haji Ahmadi yang sangat baik."
Mata dan telinga Humaira fokus pada cerita yang sedang disampaikan oleh ibunya.
"Dari dulu, Haji Ahmadi dikenal sebagai orang yang dermawan dan menyayangi anak yatim. Dia punya banyak anak asuh yang disekolahkan, termasuk bapak kamu, Maira. Kata bapak, karena dia pintar, dia juga dimasukkan ke pondok pesantren untuk belajar ilmu agama hingga lulus."
"Jadi ini perjodohan untuk balas budi ya, Bu?" Humaira mendengus.
Gadis itu tidak memungkiri kebaikan Haji Ahmadi tapi dia juga belum bisa menerima perjodohan yang terlalu cepat ini. Dia bahkan tidak mengenal sama sekali siapa sosok yang akan dijodohkan dengannya.
"Kamu bebas menilai, Maira. Tapi ibu gak keberatan kalau punya menantu keturunan Haji Ahmadi. Bukan karena hartanya, tapi sikap welas asihnya pada sesama. Siapa tahu cucunya juga mewarisi sifat terpuji kakeknya!"
Humaira hanya diam seribu bahasa.
"Kata Bapak, cucu laki-laki Haji Ahmadi ada dua. Ganteng-ganteng semua mirip kakeknya. Yang mau dijodohkan dengan Maira yang paling bungsu. Namanya Irgi Ahmadi."
\*
"Nah, ini putri saya, Humaira." ucap ibu Zaenab seraya tersenyum ke arah tiga orang tamu yang malam itu sengaja bertandang ke rumahnya.
Pertemuan itu memang sudah direncanakan.
"Manis sekali!" seru salah seorang tamu bernama Ibu Elisa.
Wanita cantik itu memandang wajah Humaira begitu lembut. Namun siku tangannya menyentuh lengan putranya yang duduk di sebelah kanan.
"Bener gak?"
Sang putra yang bernama Irgi Ahmadi memandang sekilas wajah Humaira. Menurutnya, gadis yang akan dijodohkan dengannya tidaklah jelek, hanya saja penampilannya biasa saja. Jika diperhatikan pakaiannya malah terlihat kampungan.
Sementara itu, Humaira hanya berdiri di sisi ibunya sambil berusaha menunjukkan senyum ramah.
Sebenarnya ia merasa tidak nyaman karena gamis pink yang ia kenakan malam itu, ukurannya terlalu besar. Bahkan desain baju pilihan ibunya itu sama sekali tidak sesuai dengan seleranya.
"Maira, ayo salim dulu, nak!" seru ibu Zaenab memberi kode.
Dengan sopan, Humaira berjalan menghampiri tiga orang tamu yang sedang duduk di sofa. Tangannya lalu menyalami mereka satu persatu. Mulai dari pasangan Pak Rafli dan Istrinya-Ibu Elisa kemudian yang terkahir anak mereka-Irgi. Namun Humaira hanya memberikan salam tanpa menyentuh tangan laki-laki itu.
"Sepertinya Bu Zaenab sudah tahu maksud kedatangan kami kemari." ujar Pak Rafli memulai pembicaraan.
Pria berusia lima puluh dua tahun itu melirik istrinya sesaat. Meski bukan untuk pertama kalinya, tapi Pak Rafli sangat gugup saat meminta anak gadis orang untuk menikah dengan putranya. Apa lagi gadis itu adalah pilihan langsung almarhum bapaknya.
"Iya Pak Rafli. Saya sudah ngobrol dengan Humaira." jawab Ibu Zaenab sambil tersenyum.
"Jadi Humaira bersedia kan, menikah dengan Irgi?"
Mata Pak Rafli tiba-tiba beralih menatap calon menantunya penuh harap.
Humaira pun terkejut. Pertanyaan itu terlalu terburu-buru meski ia memang sudah membahas masalah perjodohan itu dengan ibunya.
"Insyaallah, Pak." Akhirnya Humaira memberanikan diri.
Ia menyembunyikan jemarinya yang sedikit gemetar. Tak dipungkiri, ada perasaan khawatir jika jalan yang akan ia pilih salah. Terlepas dari itu, dia hanya ingin berbakti pada orang tuanya.
"Alhamdulillah!" Ibu Elisa bernafas lega.
Tangan kanannya menepuk pelan paha putranya.
Irgi anaknya penyayang Maira. Di rumah dia melihara dua ekor kucing. Saya yakin dia juga bisa jadi suami yang baik buat Maira." Lanjutnya sambil tersenyum manis.
"Aamiin!"
"Aamiin!"
Ketika seisi ruangan memiliki harapan yang sama tentang wasiat perjodohan itu, Irgi justru menunjukkan sikap yang sebaliknya.
Sejak pertama kali ia sampai di rumah itu, tidak ada setitik pun senyum di bibirnya. Raganya memang ada di sana tapi hatinya berada di tempat lain. Ia hanya berharap, acara formalitas itu cepat berakhir.
Pak Rafli menyuruh Irgi dan Humaira untuk ngobrol berdua di teras supaya bisa saling mengenal satu sama lain.
"Jujur aja, aku udah punya pacar. Dan aku gak mau putus sama dia." Tanpa ragu, Irgi menyampaikan isi hatinya tepat di hadapan calon istrinya.
Humaira yang duduk di sebelah laki-laki itu terkejut. Dia buru-buru mengangkat tangan kirinya dari atas meja bundar yang membatasi kursi mereka.
Ia tidak menyangka, calon suaminya terang-terangan berkata seperti itu.
"Kamu bilang begitu gak, sama orang tua kamu?" tanya Humaira.
Diperhatikannya sosok Irgi dari samping kiri tempat ia duduk. Badannya tinggi, parasnya juga sangat rupawan. Andai laki-laki itu tidak berkata tentang perempuan lain, mungkin Humaira akan jatuh hati padanya.
"Yang bener aja, mana mungkin aku bilang begitu!" seru Irgi ketus.
Irgi beralih menatap Humaira.
Wajah calon istrinya itu sangat polos tanpa make up sama sekali. Tubuhnya juga dibalut baju gamis panjang serta jilbab pink yang menutup bagian dadanya. Dia sungguh jauh berbeda dengan pacarnya yang bernama Aylin.
Selain memiliki wajah yang cantik, Aylin pandai berdandan serta modis dalam berpenampilan. Kepopulerannya sebagai influencer dan beauty vloger membuat Irgi sangat bangga menjadi kekasihnya.
Namun wasiat perjodohan mengacaukan semuanya. Dia malah harus menikahi gadis lain pilihan kakeknya.
"Ya, kita nikah aja sesuai wasiat itu. Tapi hanya pura-pura. Enam bulan saja. Habis itu kita pisah." ucap Irgi tanpa beban.
......
Jika Allah sudah berkehendak, manusia bisa apa....
Setelah persiapan yang sangat singkat, akhirnya Irgi dan Humaira melangsungkan pernikahan di rumah Humaira. Acara yang dibuat sangat sederhana dan tanpa ada resepsi. Yang hadir pun hanya keluarga dekat serta sedikit tamu undangan.
Orang tua Irgi memang sengaja menunda acara resepsi sampai tahun depan karena kedua kakak Irgi sedang berada di luar negeri. Ibu Elisa ingin menunggu kepulangan mereka lalu membuat acara resepsi yang meriah.
Begitu selesai ijab Qabul, Irgi langsung diantar oleh paman Humaira selaku wali untuk menemui pengantin wanita di kamarnya.
Ternyata Humaira yang didampingi ibu serta sahabatnya sedang berjalan menuju tempat ijab Qabul berlangsung. Hari itu tidak seperti biasanya, Humaira dirias sangat cantik oleh MUA pilihan mama mertuanya.
Sang mama juga lah yang memilihkan baju pengantin untuk anak-anaknya. Seleranya cukup tinggi. Dia tidak pernah sembarangan menyiapkan pakaian untuk acara penting seperti pernikahan. Uang tak masalah baginya asal setiap momen penting memiliki busana dan potret yang indah untuk dokumentasi.
Ibu Elisa memilihkan sebuah setelan beskap warna putih untuk Irgi serta kebaya putih cantik untuk Humaira. Keduanya terlihat serasi saat disandingkan bersama.
Irgi menatap Humaira yang kini berdiri tepat di hadapannya. Ia sedikit takjub karena gadis itu nampak berbeda dengan baju pengantinnya.
Ia juga masih tidak percaya kalau Humaira telah sah menjadi istrinya.
"Ayo baca doanya, Irgi!" seru sang Papa mengingatkan.
Semalam Papa Irgi mengajarkan langsung dan menyuruh putranya untuk menghafal doa pernikahan.
Irgi mengangkat tangannya lalu meletakkannya di atas kepala Humaira. Dengan suara lirih bibirnya mulai membacakan doa yang semalam coba dia hafal.
"Barakallahu li wa lak, wa Baraka 'alayna wa jama'ah banana fi khair..."
Selesai berdoa, Irgi menurunkan tangannya.
Giliran Humaira yang mengulurkan tangan untuk menyalami suaminya.
Mempelai pria bingung tapi akhirnya ia membiarkan istrinya mencium punggung tangannya.
Sementara itu, Humaira terus menundukan wajahnya. Ia tidak berani menatap suaminya dari dekat.
Saat itu, semua mata memandang ke arah mereka.
"Cium! Cium!"
"Cium dong!"
"Ayo ciuuumm!"
Beberapa suara menggema di tempat itu.
Irgi menghela nafas. Ini bukan pernikahan impiannya tapi dia akan mencoba menepati wasiat kakeknya.
Sedikit ragu, Irgi mendekatkan wajahnya ke depan kepala Humaira. Ia pun mengecup bagian ubun-ubun istrinya yang tertutup jilbab.
Beberapa flash kamera langsung mengabadikan momen spesial tersebut.
Irgi dan Humaira hanya perlu bersandiwara sesaat di depan banyak orang.
****
"Di mana koperku?" tanya Irgi setelah semua rangkaian acara selesai.
Dia sudah melepas kopiah putihnya. Dua kancing bajunya juga dibiarkan terbuka karena merasa gerah.
"Ada di kamarku." jawab Humaira.
Irgi sama sekali tidak bersikap hangat seperti pengantin baru pada umumnya.
"Anterin aku ke kamar! Aku mau ganti baju."
"Ke arah sini." Humaira bejalan menuju kamar diikuti oleh suaminya.
Begitu sampai di depan kamar, Humaira segera membuka pintu namun sepertinya ada benda yang menghalangi dari dalam. Setelah diperiksa, ternyata di kamar itu banyak sekali barang-barang seserahan yang diberikan keluarga Irgi untuk Humaira.
"Bantu aku! Penuh banget!" seru Humaira pada suaminya.
"Ya ampun! Kenapa ditaruh di sini si?" Irgi nampak kesal.
Dia lelah sekali. Namun tangannya tetap membantu Humaira untuk menggeser bingkisan-bingkisan indah itu. Ia ingin secepatnya merebahkan tubuh di atas tempat tidur.
"Maira, AC nya tolong nyalain dong! Gerah ni!" Irgi mengibas-ngibaskan bajunya yang sudah berantakan.
Bulir-bulir keringat juga nampak membasahi wajahnya.
"Di kamarku gak ada AC. Aku nyalain kipas aja ya!"
Dengan sigap, tangan Humaira memencet tombol kipas angin besar di sudut kamarnya.
Hembusan angin langsung terasa.
Irgi hanya bengong. Dia tidak yakin bisa tidur nyenyak malam ini. Kipas angin biasanya membuat perutnya kembung. Tapi suhu saat musim kemarau seperti ini rasanya seperti oven panas.
"Kondisi kamarku memang begini. Kamu sabar aja! Besok kan, kita pindah dari sini." ujar Humaira menenangkan.
"Hemm, apa kamu beneran mau tinggal berdua sama aku?" Irgi melirik istrinya.
Tanpa sungkan dia duduk di atas tempat tidur Humaira. Sementara matanya memperhatikan istrinya yang terus berbenah.
"Pengantin baru umumnya begitu kan? Kita iya kan saja permintaan mama dan papa Kamu."
"Oke kalo gitu. Aku mau telpon pacarku dulu. Kalo kamu ngerasa keganggu, bisa keluar kamar!" Irgi merogoh saku celananya untuk mencari ponsel.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam.
Humaira sudah merasa lelah. Rangkaian acara pernikahan memang dimulai siang hari namun persiapannya sudah dilakukan sejak pagi hari.
Setelah ijab Qabul, ia dan Irgi juga sibuk menyalami tamu undangan yang datang lalu melakukan pemotretan pengantin beserta keluarga besar mengikuti arahan dari fotografer.
Hingga malam hari, tamu-tamu dan keluarga Irgi baru meninggalkan tempat acara.
Sungguh, Humaira ingin beristirahat. Tapi suaminya malah sibuk menelpon perempuan lain.
Dengan sedikit kesal, akhirnya Humaira keluar kamar untuk mencari kasur lipat yang biasa diletakkan di ruang tengah. Tapi benda itu ternyata sedang dipakai Adam untuk rebahan sambil menonton acara TV.
Humaira kembali lagi ke kamar dengan lemas. Mau tidak mau ia harus berbagi tempat tidur dengan suaminya.
"Mending kamu cepat bersih-bersih! Ini udah malam." ujar Humaira setelah keluar dari kamar mandi.
Gadis itu baru saja mandi dan berganti pakaian. Dia tidak bisa tidur jika badannya kotor dan lengket.
"Memangnya kita mau ngapain?" Irgi menatap istrinya yang kini memakai piyama panjang.
Irgi Heran, istrinya tidak mau melepas jilbab juga. Humaira hanya menggantinya dengan jilbab model instan dari bahan kaos.
"Tidur lah, kamu pikir mau ngapain? Jangan GeEr!" Humaira mengibaskan handuk yang baru ia pakai dengan kesal.
"Terus kamu tidur tetep paket jilbab, gitu?" Irgi masih terheran-heran.
"Terserah aku. Kan Kamu yang bilang kita cuma pura-pura nikah. Sebisa mungkin aku harus tetep jaga aurat."
"Jangan terlalu serius! Aku kasihan kalo Kamu kegerahan. Buka aja gak papa. Aku gak bakalan nafsu!"
Irgi masih duduk di tepi tempat tidur. Kini hanya memakai koas dalam dan celana panjang.
"Dari pada ngoceh terus, mendingan mandi! Kamu bau asem, tahu gak?"
"Malah ngatain lagi!"
Irgi mencium bau badannya sendiri yang memang belum mandi.
"Itu kenyataan!"
"Kamu galak juga ternyata. Kemarin perasaan jinak."
"Berapa jam lagi Kamu duduk di situ? Aku mau tidur."
"Iya bawel!" Irgi pun berdiri dengan wajah masam.
Sambil bersungut-sungut, Irgi pergi ke kamar mandi yang terletak di samping kamar.
***
Malam semakin larut..
"Baby, aku bobok dulu ya! Kamu juga harus istirahat! Have a nice dream!" Terdengar Irgi menyudahi panggilan telepon dengan pacarnya.
Irgi kemudian membuat suara mirip kecupan sambil menempelkan bibirnya pada ponsel.
Humaira yang tidur membelakangi sang suami hanya pura-pura memejamkan mata. Padahal ia mendengar semua percakapan mesra tersebut.
Tak terasa, butiran air mata jatuh hingga membasahi bantalnya. Dadanya terasa sesak.
Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan.
Bukan pria yang mencintai gadis lain yang ia harapkan menjadi jodohnya.
Bukan pula situasi penuh kepura-puraan yang ingin ia jalani.
"Kamu udah tidur, Maira?" Tiba-tiba Irgi menghadap ke arah punggung istrinya.
Humaira tak menjawab.
"Besok jangan lupa, kita ke rumah mama! Terus bantu aku packing barang-barang aku dulu. Baru kita pindah ke rumah baru. Oke?"
Sang istri tak bergeming.
"Aku tahu Kamu belum tidur. Jangan lupa bangunin aku! Aku gak bisa bangun sendiri!"
Malam telah berganti menjadi pagi
Saat Humaira bangun, Irgi terlihat masih tidur dengan pulas di sampingnya. Padahal semalam laki-laki itu tidur seperti kuda lumping kesurupan. Semua area tempat tidur dikuasainya. Guling yang ditaruh di tengah sebagai pembatas pun lari entah kemana!
Humaira hanya menghela nafas. Sejenak ia menepuk-nepuk badannya yang terasa sakit karena terkena tendangan kaki suaminya.
"Hei, bangun! Kita kesiangan. Mau sholat subuh gak?" seru Humaira sambil berdiri.
Namun suaminya tak bergerak sama sekali. Wajahnya sangat polos seperti orang tidak berdosa.
"Irgi bangun! Udah siang tahu!" Humaira menaikkan nada suaranya.
Laki-laki itu tidak bergeming. Ia masih dalam posisi memeluk erat guling yang sudah Humaira pungut dari lantai bawah.
Sampai Humaira selesai melaksanakan sholat subuh, tak satu senti pun posisi suaminya bergeser.
Humaira menjadi kesal. Tangannya lalu menepuk pelan pundak suaminya.
"Bangun, udah siang! Kita harus ke rumah mamah dan pindahan hari ini!"
Sang suami belum juga membuka matanya.
Karena sudah sangat kesal, Humaira akhirnya menepuk keras pundak Irgi hingga berbunyi.
Paakk!
Paakk!
Ia tidak akan berhenti sampai suaminya bersuara dan bangun dari tempat tidur.
"Auu, sakiiit!" teriak Irgi sambil menangkap tangan istrinya yang menempel di pundak.
"Makanya bangun! Udah siang ini." Humaira berusaha menarik tangannya.
"Bisa lembut dikit gak si banguninnya? Kasar banget jadi istri!"
Irgi bangun lalu menatap Humaira yang duduk di tepi kasur.
"Aku udah sepuluh kali bangunin Kamu, tapi Kamu kayak orang mati, gak gerak-gerak! Harus ditepuk dulu baru bangun!"
"Ini namanya ditabok bukan ditepuk! Sakit semua badanku." Irgi meringis sambil mengelus pundak kirinya.
"Kamu sadar gak semalam tidur kayak orang kesurupan? Kakiku ditendang! Tanganku ditindih sampe aku hampir jatuh ke bawah!"
"Hah? Mana mungkin?" Irgi melotot tak terima.
Baru kali ini, dia harus bertengkar dengan orang lain di pagi hari. Biasanya dia selalu dibangunkan oleh asisten rumah tangganya dengan penuh kesabaran. Tidak seperti pagi ini, dia dimarahi istrinya sendiri.
"Aku kalo tidur anteng sampe pagi."
"Anteng dari Hongkong! Sayang aja aku gak pasang CCTV di sini! Kalo ada, Kamu pasti kaget sendiri ngeliat kelakuan Kamu waktu tidur!"
"Suami bangun tu harusnya disiapin kopi sama sarapan, bukan dimarahi kaya gini." Irgi memasang wajah cemberut.
"Kalo Kamu mau aku jadi Istri beneran, Kamu juga harus bersikap seperti suami betulan dong! Sebelum tidur bukan malah telponan sama perempuan lain!"
Irgi terdiam. Memang tidak seharusnya ia berharap pada Humaira untuk bersikap layaknya seorang istri sungguhan. Dia sendiri yang meminta untuk menjalani kepura-puraan ini.
"Perutku sakit, kayaknya karena pake kipas angin sampe pagi." Irgi tiba-tiba memegangi bagian perutnya.
"Ya udah matiin aja kipas anginnya."
Humaira jadi iba melihat suaminya yang tidak terbiasa dengan fasilitas sederhana di rumahnya. Cucu dari Pengusaha sekelas Haji Ahmadi pasti selalu hidup mewah.
"Aku pengen mandi air hangat." Lanjut Irgi sambil melirik istrinya.
Dia sudah mengecek, tidak ada water heater di dalam kamar mandi.
Humaira semakin sadar, Irgi pasti terbiasa dilayani di rumahnya. Terlepas dari semua itu, sejak kemarin ia telah sah menjadi istrinya. Artinya secara hukum agama, dia harus patuh pada suaminya.
"Oke, aku mau masak air dulu. Kamu tolong bereskan tempat tidurnya!"
"Iya, iya.."
***
Humaira berpapasan dengan ibunya di dapur.
"Suamimu udah bangun, Maira?" tanya Ibu Zaenab sambil menuangkan air panas untuk membuat teh.
Ia tersenyum lalu mengamati putrinya, apakah malam pertamanya berjalan dengan lancar atau tidak! Namun ia bingung karena Humaira tetap memakai jilbab di dalam rumah.
"Udah Bu. Aku mau masak air buat dia mandi." jawab Humaira.
"Ibu tadi beli lontong sayur. Masih ada dua bungkus lagi buat Kamu dan Irgi di meja. Bentar lagi ibu berangkat kerja ya. Maaf gak bisa bantu Kamu pindahan, Maira."
"Iya, gak papa, Bu. Kata Irgi, pembantu di rumah mama juga bantuin beresin barang-barangnya."
"Syukurlah kalo gitu. Mulai sekarang Kamu harus berbakti sama suamimu. Layani dia dengan baik, temani dia juga dalam segala kondisi."
"Iya, Bu." Humaira menunduk.
Ia tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Semua yang dikatakan ibunya adalah kewajiban seorang istri. Tapi apakah dia harus melakukannya jika sang suami tidak benar-benar menganggapnya seorang istri!
"Katanya, rumah tangga itu ibadah terpanjang. Belajarnya seumur hidup. Ujiannya gak pernah tentu jadwalnya, tapi balasannya adalah surga."
Ibu Zaenab menatap Humaira lekat.
"Ibu sudah menjalaninya dengan almarhum Bapak. Memang tidak mudah, tapi niat kami menjalaninya untuk ibadah pada Allah. Sekarang giliran Kamu, Maira."
"Kalau dia gak cinta sama aku, gimana Bu? Kita kan dijodohkan." Mata Humaira berkaca-kaca.
Entah mengapa, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mengingat perkataan Irgi tentang perempuan lain yang dicintainya, membuat hatinya teramat perih.
"Cinta atau tidak, berbakti saja karena itu adalah kewajiban seorang istri. Ibu yakin kalau Kamu tulus, cinta akan menemukan jalannya sendiri."
***
Selesai mandi, Irgi langsung berganti pakaian lalu mencari Humaira di dapur. Perutnya sudah sangat lapar.
"Apa menu sarapanku pagi ini?" Tiba-tiba Irgi berdiri di belakang Humaira yang sedang menghangatkan makanan.
"Aduh, Kamu ngagetin aja!" Humaira terkejut melihat suaminya muncul dari balik punggungnya.
Dia masih belum terbiasa dengan sosok Irgi yang mungkin akan sering berada di jangkauan pandangnya.
"Aku lapar."
"Iya, tunggu di meja makan aja. Aku lagi angetin lontong sayur. Ibuku tadi pagi-pagi beliin sebelum berangkat kerja."
"Mama kerja dimana?"
"Aku manggilnya, Ibu."
"Iya, maksudku Ibu. Dia kerja dimana?"
"Rumah makan Padang."
"Kalo Adam kemana? Gak keliatan dari tadi."
"Dia udah berangkat ke sekolah dari jam enam tadi."
"Ooo..."
Irgi berjalan ke arah meja makan yang tidak jauh dari dapur.
"Tunggu bentar, coba berbalik!" panggil istrinya.
"Kenapa?" Irgi berbalik menghadap Humaira yang telah mematikan kompor.
"Kamu yakin mau pake baju kayak itu?"
Humaira memperhatikan baju yang sedang dipakai Irgi.
"Memangnya kenapa? Ini baju favoritku." Irgi menunjuk kemeja kotak-kotak yang ia kenakan.
"Bajunya gak masalah, tapi itu kusut banget kayak lap."
"Ya, ini dari koper. Mau gimana lagi?"
"Buka! Biar aku setrika dulu."
Irgi terdiam sesaat tapi kemudian ia membuka kemejanya lalu memberikan pada istrinya. Kini ia hanya memakai kaos polos sambil menatap gadis itu heran.
"Kamu makan lah! Aku setrika baju ini dulu."
Humaira meletakkan semangkuk lontong sayur di atas meja. Dia juga menyodorkan sebungkus kerupuk sebagai pelengkap.
"Minumnya, itu ada teh di teko. Kalau mau yang dingin ambil aja di kulkas!" Tangannya menunjuk lemari es yang ada di sudut ruangan.
"Emang Kamu gak sarapan?" Irgi memperhatikan istrinya yang nampak sibuk bolak-balik.
"Aku udah duluan tadi."
Humaira lalu bergegas ke ruang tengah tempat ia biasa menyetrika.
Awalnya, dia ingin bersikap masa bodo dan tidak mau peduli pada Irgi, mengingat pernikahan ini hanya pura-pura tapi ia sadar kalau secara hukum agama, ikatan itu nyata dan sah. Ia masih takut akan dosa bila tak mencoba berbakti pada suaminya.
Sebagai anak sulung, Humaira juga sudah terbiasa membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Dia pula yang selalu memperhatikan secara detail semua keperluan adiknya selama ibu bekerja.
Sehingga tak heran, bila Humaira begitu peka pada keperluan Irgi yang kini juga telah menjadi tanggung jawabnya.
Sambil menyetrika, Humaira terus mengingat perkataan ibunya supaya sungguh-sungguh berbakti pada suami, apa pun yang terjadi. Sama seperti yang Ibunya lakukan pada almarhum bapaknya semasa hidup.
Entahlah, dia bingung dengan pikirannya. Sendiri.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!