NovelToon NovelToon

Pusaka Penguasa Dunia

Bab 1. Jurang Kabut Akasia

Evindro melemparkan tubuh Yuki kembali ke atas tebing, melihat Yuki selamat, membuat dia bernafas lega. Evindro menoleh ke bawah dan menemukan jurang gelap yang seolah tidak berujung, perlahan-lahan tubuhnya mulai jatuh ke bawah.

"Ah, perasaan ini... Aku hampir melupakannya..." 

Evindro tersenyum tipis, tubuhnya sedang jatuh ke dalam jurang yang tidak terlihat dasarnya dan diselimuti kegelapan. Evindro tidak bisa melihat apapun meski matanya terbuka. Dia tidak mampu menggerakkan satu jarinya sekalipun ketika mencoba menggerakkan tubuhnya. Evindro hanya merasakan dirinya masih memegang Pedang Penguasa Malam dengan erat namun tubuhnya perlahan-lahan mulai mati rasa.

Terakhir kali Evindro merasa seperti ini ketika dia menghembuskan nafas terakhirnya pada kehidupan pertamanya. Evindro memejamkan mata, "Aku gagal menghentikan Era Kekacauan..."

Biarpun demikian, Evindro anehnya tidak merasa kecewa. Mungkin karena setidaknya dia berhasil membalas hutang budi di kehidupan lalu dengan Yuki pada kehidupan ini.

Satu demi satu pengalaman yang Evindro rasakan pada kesempatan keduanya ini mulai mengalir dalam pikirannya, dimulai dari pertemuannya kembali dengan Imam Idris pada saat dia membuka mata, perjalanan keduanya menuju Ibukota dan bersama menghentikan kudeta.

Setidaknya Evindro berhasil menyembuhkan Imam Idris dari luka dalam yang menyiksanya selama bertahun-tahun, melihat gurunya itu menikah dan memiliki keturunan. Evindro merasa sedikit pahit karena tidak memiliki kesempatan melihat Mughni tumbuh besar.

Wajah Aurora muncul berikutnya, pertemuan pertama dengan putri Gubernur tersebut di masa kecil, Evindro masih ingat bagaimana tulangnya hampir remuk karena gadis mungil itu, sifat manja dan kekanakan Aurora juga menjadi daya tarik tersendiri.

Keduanya tidak pernah benar-benar dekat meskipun Evindro beberapa kali menolongnya sampai akhirnya Aurora bergabung dengan Padepokan Al Hikmah dan akhirnya pergi menempuh perjalanan bersama, tentunya dengan David dan Wildan.

Pada awalnya Aurora tetap bersikap manja bahkan kadang egois tanpa memikirkan situasi yang sedang mereka hadapi namun seiring perjalanan Aurora menjadi lebih dewasa karena kejadian-kejadian yang mereka alami.

Mengingat Aurora membuat Evindro tertawa kecil meskipun sebentar karena dia sadar gadis itu akan begitu sedih karena kehilangan dirinya. Bukannya Evindro tidak mengetahui perasaan Aurora padanya namun dimatanya putri Gubernur itu masih terlalu muda untuk membuatnya jatuh hati. 

Evindro masih larut dalam fikirannya, kini giliran Maelin yang muncul, sejujurnya dia tidak pernah menduga dalam kehidupan ini bisa berkesempatan menjadi tunangan tokoh yang melegenda pada kehidupan pertamanya. Dia bisa melihat Maelin sebagai gadis kecil yang naif namun baik hati.

Banyak kejadian yang Evindro ingat kembali, hal-hal yang tidak pernah dia fikir bisa lakukan seperti menjadi pemilik saham Asosiasi Kitab Suci, Imam termuda, mencapai kemampuan Pendekar Bergelar sebelum usia 24 tahun, bertemu dengan banyak Pendekar Suci yang hanya dia dengar dari cerita pada kehidupan sebelumnya.

Mungkin yang paling berkesan adalah dia berhasil menguasai sebagian Ilmu Pedang Ilusi, ilmu yang lebih hebat daripada Empat Kitab Tanpa Tanding ditambah memiliki Pedang Penguasa Malam yang merupakan Pusaka Penguasa Dunia. 

"Maafkan aku... Kau pusaka yang begitu berharga tetapi justru harus terkubur bersamaku di jurang ini..." Evindro merasa bersalah ketika teringat Pedang Penguasa Malam yang berada dalam genggamannya, pedang pusaka ini seharusnya mengguncang dunia persilatan bukan jatuh bersamanya ke Jurang Kabut Akasia.

Jika difikir kembali, kehidupan kedua yang Evindro dapatkan ternyata lebih singkat dari perkiraannya namun dia mengalami banyak hal yang tidak dia duga juga sebelumnya. "Kurasa... Ini bukan kehidupan yang buruk..."

Sebuah ingatan lainnya mulai mengisi fikiran Evindro dan kali ini dia sendiripun terkejut karena tidak menduga ingatan seperti ini akan muncul di akhir hidupnya.

Dalam ingatan tersebut, seorang gadis yang terlihat berusia dua puluhan tahun sedang menoleh ke arah Evindro. Gadis tersebut memakai gaun merah bermotif garis-garis dan bunga emas yang tidak bisa ditemukan di pemerintahan Bengkulu, dia sedang berdiri di tengah ratusan burung merpati, sebagian burung masih berada di tanah sementara lainnya terbang disekitar sang gadis. 

Rambut hitam kecoklatan yang lurus sepinggang terlihat begitu sesuai dengan wajah cantik yang dimiliki gadis itu, matanya yang hitam sempurna dan bercahaya dengan senyuman tipis di bibirnya. 

Evindro hanya pernah bertemu sekali dengan gadis ini di kehidupan sebelumnya namun gadis itu seolah tidak pernah meninggalkan hatinya. Gadis yang sama muncul ketika dia menghadapi kematian di kehidupan pertama, sekarang gadis ini kembali hadir pada saat Evindro menghadapi kematian lainnya. 

Perbedaannya, kali ini ingatan itu datang bersamaan dengan kejadian yang berlangsung belum lama ini. Ketika Evindro bersumpah di depan Jurang Kabut Akasia bahwa tidak ada gadis yang sedang mengisi hatinya. 

"Dengan kata lain... tanpa kusadari, kau telah mengisi hatiku? Aku termakan sumpahku sendiri?" Evindro tertawa kecil, dia mulai merasa konyol karena terlambat menyadarinya. 

Seiring tawanya, rasa sakit di seluruh tubuh Evindro mulai menghilang, perasaan yang tidak asing baginya karena ini kedua kalinya dia mengalaminya dan dia yakin ini disebabkan dirinya kehilangan darah terlalu banyak.

Mungkin karena ini kedua kalinya dia mengalami sensasi seperti ini, tidak ada rasa takut yang dia rasakan melainkan dia merasa begitu tenang dan lega seolah ada beban besar terangkat dari pundaknya.

Ada sebuah perasaan yang asing, mungkin secara tidak sadar Evindro merasa bahwa Era Kekacauan tidak akan seburuk sebelumnya meskipun dia tidak di sana untuk menghentikannya.

Asosiasi Kitab Suci pasti masih akan membantu Padepokan Al Hikmah meskipun dirinya tiada, gubernur Bengkulu dan anggota dari lima keluarga bangsawan lainnya juga akan mengalami peningkatan pesat dalam waktu sepuluh tahun ke depan sementara Padepokan Bukit Siguntang? Evindro yakin mereka akan bisa mengatasi serangan ini dengan baik.

Setidaknya, meskipun tidak bisa menghentikan Era Kekacauan, beberapa tindakannya selama ini akan memberi perubahan pada situasi yang terjadi. Evindro berharap Imam Idris, Aurora dan semua orang dekatnya akan berhasil melewati Era Kekacauan dengan baik.

Mungkin ini cara Evindro menenangkan dirinya sendiri sebelum menutup mata untuk terakhir kalinya, dia bisa merasakan nafasnya sendiri semakin lemah.

"Tidak heran ini disebut Jurang Kabut Akasia, aku sudah jatuh selama beberapa waktu tapi masih belum menyentuh dasar..." Evindro bergumam pelan, dia tidak mengingat sudah berapa lama dia terjatuh tetapi semua kilas balik yang dia lakukan memakan waktu cukup lama.

Evindro berfikir kalau lebih baik dia menghembuskan nafas terakhir sebelum menghantam dasar jurang agar tidak perlu merasa sakit yang lainnya, tetapi andaikan itu terjadi mungkin dia tetap tidak merasakan apa-apa karena sekarang pun dia sudah tidak merasakan sakit yang sebelumnya dia rasakan dari luka yang disebabkan Seruni.

Bab 2. Pria Misterius

Evindro berfikir lebih baik dia menghembuskan nafas terakhir sebelum menghantam dasar jurang agar tidak perlu merasa sakit yang lainnya, tetapi andaikan itu terjadi mungkin dia tetap tidak merasakan apa-apa karena sekarang pun dia sudah tidak merasakan sakit yang sebelumnya dia rasakan dari luka yang disebabkan Seruni.

Evindro akhirnya merelakan semuanya, tidak lagi peduli dengan apapun yang akan terjadi padanya.

Yang pertama kali Evindro temukan saat kembali bisa melihat adalah jalan setapak yang mengeluarkan cahaya putih terang, dia menoleh ke kanan dan kiri serta belakang namun hanya menemukan kegelapan.

"Ah, mungkinkah ini jalan menuju dunia kematian?" gumam Evindro pelan, anehnya dia tidak merasa takut melihat kegelapan di sekelilingnya yang sebenarnya membuat suasana mencekam, mungkin disebabkan jalan setapak yang bercahaya di hadapannya.

Evindro mulai melangkahkan kakinya mengikuti jalan setapak tersebut, langkahnya terasa ringan dan setiap kali dia maju, tubuhnya terasa lebih hangat. Sensasi yang dirasakan Evindro sedikit berbeda dengan terakhir kali dia menghadapi kematian.

"Dulu aku mendapatkan kesempatan kedua untuk hidup, tidak mungkin aku mendapatkan kesempatan ketiga bukan?" Evindro menggaruk kepalanya yang tidak gatal, biarpun dia berkata demikian tetapi hatinya sedikit berharap terhadap kesempatan ketiga tersebut.

Langkah Evindro terasa semakin berat ketika dia memikirkan orang-orang yang ditinggalkannya sampai akhirnya Evindro berhenti melangkah maju. Situasi Padepokan Bukit Siguntang tidak menguntungkan saat dia tinggalkan, membuatnya menjadi khawatir andaikan Padepokan Bukit Siguntang tidak bisa bertahan.

Evindro menoleh ke belakang, berpikir untuk berjalan kembali namun ternyata jalan setapak yang dia lalui sebelumnya telah padam cahayanya. Evindro berniat melangkah dalam kegelapan namun tubuhnya menolak bergerak sesuai keinginannya jika dia berusaha melangkah menuju kegelapan. 

Evindro mencoba selama beberapa waktu sampai menyadari tindakan yang dilakukannya sia-sia, akhirnya dia pasrah dan mulai melanjutkan langkahnya maju ke depan.

Jalan setapak itu membawa Evindro ke sebuah pintu yang cukup besar serta asing bagi Evindro, seingatnya dia belum pernah melihat pintu yang bentuknya seperti di hadapannya sekarang. Pintu tersebut terbuka sendiri ketika Evindro telah cukup dekat, ternyata itu pintu untuk memasuki sebuah ruangan yang berukuran sedang.

Ruangan tersebut hampir kosong, tidak ada benda-benda lain kecuali dua kursi, sebuah meja dan papan catur terletak di atas meja tersebut berada di tengah ruangan. Evindro juga tidak sendiri, dia menemukan seseorang mengisi salah satu kursi yang tersedia dan sedang mengamati papan catur dengan serius.

Seorang pria dengan bentuk wajah terasa asing, Evindro yakin pria ini bukanlah penduduk pemerintahan Bengkulu tetapi dia juga tidak mirip dengan orang kota Jambi ataupun lainnya yang Evindro kenal.

Pria itu terlihat berusia hampir empat puluh tahun, rambutnya masih hitam sempurna dan memasang raut wajah tidak senang sambil mengelus jenggot panjangnya yang juga berwarna hitam.

Evindro mendekati pria itu berniat untuk bertanya tetapi Evindro mendadak jadi waspada ketika menyadari pria itu sepertinya bukan manusia.

Ketika sudah berada cukup dekat, Evindro bisa melihat kedua bola mata pria itu berwarna hitam pekat tanpa sedikitpun ada bagian putih seperti mata manusia pada umumnya.

"Maaf, apakah ini adalah dunia kematian?" Evindro menelan ludahnya, lagipula dia tidak punya pilihan lain karena terperangkap berdua di tempat ini. Melihat sosok dihadapannya, membuat Evindro semakin yakin dia tidak lagi di alam kehidupan.

Pria misterius itu menaikkan alis, memandang Evindro seolah menganggapnya bodoh. Dia menggunakan tangannya untuk menyuruh Evindro duduk di kursi yang ada di depannya.

Evindro menggaruk kepalanya, dia duduk dan memandang papan catur di hadapannya. Sedang ada permainan yang berlangsung dan bidak putih berada diposisi tidak menguntungkan. Pria misterius itu mengayunkan tangannya di depan papan catur, seiring dengan gerakannya bidak-bidak itu kembali ke posisi semula. 

Pria misterius itu memberi tanda agar Evindro mulai mengambil langkah setelah bidak tersusun rapi kembali, Evindro memang mendapatkan bidak putih.

"Apa ini ada kaitannya dengan aku pergi ke surga atau neraka?" Evindro bertanya dengan nada pelan.

Pria misterius itu mengerutkan dahinya dan sekali lagi memberi tanda agar Evindro menjalankan bidaknya.

Evindro mengelus dagunya dan memperhatikan situasinya dengan baik. Dia mulai melakukan beberapa asumsi sendiri dan akhirnya memutuskan untuk melakukan yang terbaik demi kemenangan. 'Mungkin untuk ke surga aku harus menang melawannya, mari kita lakukan ini...'

Evindro menjalankan bidaknya setelah berpikir sejenak, di sisi lain pria misterius itu langsung mengambil langkah setelah Evindro selesai meletakkan bidaknya. Evindro mengambil langkah yang lain dan pria misterius itu mengikuti. Setelah beberapa saat, Evindro yang mengerutkan dahinya karena pria misterius itu seolah tidak berpikir ketika meletakkan bidaknya, hal itu membuat Evindro merasa terancam dengan cara yang tidak dia pahami.

Setiap langkah yang diambil oleh Evindro membutuhkan waktu lebih lama dari sebelumnya sementara pria misterius itu selalu menggunakan waktu kurang dari sedetik untuk meletakkan bidaknya dan ketika Evindro sadar, posisi bidaknya sudah tidak menguntungkan. 

"Bagaimana bisa..." Evindro menahan nafasnya, melihat satu persatu bidaknya mulai dimakan oleh lawan sementara perlawanan yang diberikannya hampir tidak berarti.

Pria misterius itu tetap terlihat tenang, Evindro gagal menemukan tanda-tanda kesenangan ataupun perasaan lain yang biasa ditunjukkan oleh seseorang yang berada di posisi pria misterius tersebut seolah pria misterius itu merasa bahwa kemenangan adalah sesuatu yang wajar dia dapatkan dan bukanlah sesuatu yang istimewa.

Evindro menggigit bibirnya dan mulai memberikan perlawanan yang lebih keras, sementara pria misterius itu terus mengambil langkah dalam waktu kurang dari satu detik. Pikiran Evindro sama sekali tidak bisa fokus akibat cara bermain pria misterius itu.

Tidak peduli taktik yang Evindro ambil, pria misterius itu tetap tidak terlihat perlu berpikir menghadapi langkah-langkah tersebut dan memang posisi Evindro semakin terpuruk.

Evindro sudah terdiam selama lima menit, dia tidak melihat ada langkah yang bisa dia ambil lagi, posisinya sudah berada di ujung tanduk. Ketika dia sedang mengamati papan catur itu, tiba-tiba dia menyadari sesuatu.

"Tunggu dulu... Ini..." Nafas Evindro tertahan, ketika dia perhatikan lebih jauh ternyata posisi bidak di hadapannya sama dengan posisi bidak saat pria misterius itu belum menyusunnya kembali. Ketika itulah Evindro sadar, sejak awal dia hanya bermain di telapak tangan pria misterius itu. "Aku... Aku kalah..."

Evindro menjadi lesu, dia menyadari betapa lemah dan terlambat mengetahui dirinya dipermainkan oleh lawannya.

"Catur tidak terlalu berbeda dengan banyak hal, termasuk ilmu pedang. Seorang ahli pedang yang sesungguhnya akan bisa melihat seratus jurus ke depan, mengatur gerakan lawan seperti yang dia inginkan sehingga pada waktu pertandingan dimulai, kemenangan sudah ditangan." Pria misterius itu akhirnya bicara untuk pertama kalinya.

Bab 3. Zulfikar, Roh Pedang

Evindro menelan ludahnya, terdiam untuk waktu yang lama. Dirinya merasa mendapatkan pencerahan dari permainan ini. Tidak heran pria misterius itu bisa terus melangkah tanpa jeda karena semua langkah dan strategi Evindro nyatanya sudah diprediksi dengan tepat olehnya.

"Terima kasih telah membuka mataku..." Evindro memberikan hormatnya.

Pria misterius itu justru mendengus kesal, "Terima kasih kepalamu! Kau terlalu lemah!"

Evindro tersentak kaget, dia tidak menduga pria misterius itu akan berubah sikap secara tiba-tiba. Bukan hanya tidak merasa senang karena meraih kemenangan, pria misterius itu justru terlihat kesal pada Evindro.

"Aku memang masih harus banyak belajar..." Evindro tidak melawan ataupun tersinggung, dia hanya bisa menerima semua kemarahan pria misterius itu.

"Kau tidak hanya lemah tetapi sedikit bodoh, kau sudah berada di sini selama beberapa waktu tetapi masih berfikir ini alam kematian?" Pria misterius itu menaikkan alisnya.

Evindro batuk pelan, "Jika ini bukan alam kematian, lalu tempat apa ini?"

Pria misterius itu bukannya menjelaskan pada Evindro justru terlihat frustasi. "Argh! Aku terburu-buru memilihmu sebagai tuanku! Aku terlalu putus asa karena terbengkalai selama ratusan tahun!"

Mendengar pria misterius itu menggerutu membuat Evindro menggaruk kepalanya karena dia semakin tidak memahami situasinya.

"Aku membuat pengecualian karena kondisi rohmu, meskipun tubuhmu masih anak-anak tetapi rohmu berumur lebih dari seratus tahun. Aku menutup mata terhadap kualitas tulang dan jumlah tenaga dalammu yang menyedihkan... Namun belum setahun aku melihat cahaya, kau justru membawaku masuk ke dalam jurang!" Pria misterius itu mengangkat tangannya, terlihat ingin mencekik Evindro.

Evindro memundurkan kursinya, mengambil jarak lebih jauh untuk memastikan tangan itu tidak meraihnya. "Tunggu dulu, apa maksud anda? Kita baru bertemu disini, apa mungkin anda salah mengenali orang?" Evindro tidak menduga pria yang sebelumnya tidak mengeluarkan sepatah katapun ketika mulai bicara seolah tidak bisa berhenti.

Pria misterius itu memukul meja di hadapannya, membuat bidak catur maupun papan yang berada di atas meja itu terlempar ke atas dan berhamburan. Ketika pria misterius itu menemukan Evindro sungguh merasa kebingungan, dia terlihat semakin kesal.

"Kau lebih bodoh dari yang kukira, kau masih belum sadar siapa diriku setelah aku berbicara sebanyak ini?" Mata pria misterius itu menyipit.

Evindro berpikir keras sementara pria misterius itu mengintainya bagai elang yang sedang melihat mangsanya, "Em... Jika kukatakan aku sungguh tidak mengenalmu, apa kau akan semakin marah?"

Warna wajah pria misterius itu seketika berubah, tubuhnya bergetar sangat hebat.

"Em... Aku jatuh dari tempat yang sangat tinggi, mungkin aku mendarat dengan kepala lebih dulu..." Evindro menunjuk kepalanya, "Kufikir kemampuanku berfikir terganggu karena itu, bukankah itu mungkin?"

"Sudah kubilang ini bukan alam kematian!" Pria misterius itu memukul meja sekali lagi, kali ini meja yang terlihat kokoh itu terbelah menjadi dua.

Evindro bangkit dari tempat duduknya dan mengambil jarak beberapa langkah dari tempat asal dia berdiri.

"Namaku Zulfikar! Aku roh pedang dari Pedang Penguasa Malam!" Pria misterius itu menatap Evindro dengan dingin.

"Roh pedang?" Mata Evindro melebar, dia tidak percaya dengan hal yang baru saja dia dengar.

Evindro pernah membaca catatan di kehidupan sebelumnya, beberapa pusaka legenda di masa lalu dikabarkan memiliki kecerdasan sendiri dan yang paling cerdas adalah roh senjata seperti roh pedang namun menurutnya itu hanya legenda yang dibuat-buat oleh manusia.

Pada kehidupan sebelumnya ada tujuh Pusaka Penguasa Dunia yang didapatkan para pendekar Dunia Persilatan namun tidak ada yang menceritakan tujuh pusaka tersebut memiliki roh di dalamnya.

'Apa ini artinya Pedang Penguasa Malam tingkatnya lebih tinggi daripada Pusaka Penguasa Dunia?' Evindro mulai memikirkan kemungkinan lainnya.

"Kau masih berani melamun dalam situasi seperti ini?" Zulfikar menghela nafas panjang. "Perbedaan dirimu dan pemilikku sebelumnya terlalu jauh sampai membuat hatiku terasa sesak..."

"Roh pedang memiliki hati?"

"Apa aku tidak boleh menggunakan perumpamaan?" Zulfikar melotot.

Evindro tersenyum canggung, dia kemudian teringat bahwa dirinya telah membawa Pedang Penguasa Malam terjun bersamanya ke Jurang Kabut Akasia. "Maaf... Aku telah membuatmu ikut bersamaku..."

Zulfikar sebenarnya ingin berkata lebih banyak namun melihat penyesalan mendalam pada Evindro membuatnya mengurungkan niatnya. "Tenang. Semua belum berakhir, kau sudah tiba di dasar jurang namun tubuhmu hampir... Intinya, aku menggunakan kemampuanku untuk memulihkan kondisimu, meskipun tidak sepenuhnya, tetapi setidaknya kau bisa tetap hidup tanpa kekurangan apapun. Kau bisa memulihkan dirimu sendiri menggunakan sumber daya setelah sadar."

"Pedang Penguasa Malam memiliki kemampuan memulihkan pemiliknya?" Evindro jelas tidak pernah menduganya.

"Aku memiliki banyak kemampuan tetapi kau tidak bisa menggunakan satupun dengan leluasa jika mengandalkan kemampuanmu sekarang..." Zulfikar mulai merasa kesal lagi. "Aku mengerti kau ingin meningkatkan kualitas tulangmu karena Kitab Kaisar Naga atau apalah itu, tetapi tingkatkan tenaga dalammu juga!"

Evindro batuk pelan sebelum mengangguk.

"Aku memang berhasil memulihkan kondisimu yang seharusnya tidak tertolong itu tetapi sebagai gantinya aku harus tidur selama beberapa tahun ke depan..." Zulfikar menghela nafas. "Jangan mati! Aku tidak ingin saat aku bangun hanya untuk menemukan yang kulakukan sia-sia! Jangan bertindak gegabah seperti sebelumnya! Demi seorang perempuan kau mengorbankan nyawamu, dasar tidak punya otak!"

Evindro tersenyum canggung, tidak bisa membalas Zulfikar selain mengangguk pelan.

"Ingat pesanku baik-baik, jangan bertindak tanpa berfikir. Sampai aku bangun kembali, Pedang Penguasa Malam hanyalah pedang yang sangat tajam..." Kata-kata Zulfikar terhenti karena menyadari selama ini Pedang Penguasa Malam memang seperti itu di tangan Evindro, hal ini membuat kemarahannya kembali memuncak tetapi dia menahannya. "Kuharap saat aku terbangun, kau sudah bisa menggunakan beberapa kemampuan sesungguhnya dari diriku, membuatku kembali bersinar seperti yang Qutub lakukan!"

"Aku akan mengusahakan yang terbaik..." Evindro menjawab pelan.

"Aku tidak berharap banyak tetapi kau harus berusaha keras!" Zulfikar menunjuk wajah Evindro. "Sekarang pergi dari sini, hentikan orang gila yang menggunakan aku seperti cangkul!" Zulfikar mengibaskan tangannya, seketika Evindro berubah menjadi butiran cahaya. Zulfikar bisa melihat bibir Evindro bergerak untuk mengucapkan terima kasih tetapi dia menghilang sebelum suaranya terdengar.

Zulfikar menggeleng pelan sebelum menguap panjang dan bergumam sendiri. "Qutub, anak ini sungguh mirip denganmu, cerobohnya dan berani berkorban demi orang lain... Dia sering mengingatku padamu, mungkin itu alasanku memilihnya namun kuharap dia tidak mengalami akhir yang sama denganmu... Tidak, aku akan memastikan dia tidak menghadapi akhir yang sama. Evindro ini, dia harus menyelesaikan tugas yang tidak berhasil kau selesaikan."

Evindro merasakan sakit yang hebat di seluruh tubuhnya tidak lama setelah pandangannya menjadi gelap, rasa sakit itu menunjukkan dirinya masih hidup.

Perlahan-lahan Evindro membuka matanya dan melihat langit malam penuh bintang, selain kesakitan dia juga bisa merasakan dirinya terbaring di tanah. Evindro berusaha bergerak tetapi tubuhnya tidak mengikuti keinginannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!