Clara merasa kepalanya pusing tiba-tiba saat ia melihat kekasihnya bercinta dengan sahabatnya sendiri yang sudah ia anggap seperti saudara kandungnya. Mereka berdua tampak terkejut seperti melihat hantu setelah menyadari Clara muncul dari balik pintu kamar dengan cake bertuliskan 'Happy 6th anniversary' yang telah jatuh berantakan di bawah.
"Sa–sayang ...." Kris wang, kekasihnya tampak panik sambil berusaha memakai kembali dalaman miliknya.
Leah Ivanova juga tak kalah terkejut. Ia tampak berantakan dan berusaha menutupi tubuhnya dengan kain yang kini Tanpa busana.
"Ini bukan seperti yang kamu pikirkan, Clara!" Kris berusaha mengambil alih Clara.
Gadis itu tersenyum kecut. Berani sekali ia bicara begitu padahal segalanya telah keliatan jelas?
"Memangnya ini apa, Kris!? Apa yang kalian lakukan! BAJINGAN!" Clara berteriak mengemukakan isi hatinya dengan jelas. Ia seperti memuntahkan sesuatu didalamnya yang meledak begitu saja. Matanya berair dan ia jelas menangis. "PENGKHIANAT! PENGKHIANAT!"
Merasa diteriaki oleh Clara, ego Kris naik dan ia mulai kesal. "Bisa tidak, kamu tidak teriak begitu?"
Clara merasa urat lehernya mau putus mendengar ucapan Kris. Apakah Kris sudah gila? "Tidak teriak? HAHAHAHA! Kau gila, ya? Bagaimana mungkin aku bahkan bisa tenang setelah melihat kamu dan Leah?" Clara melotot tak percaya. Ia tersenyum tapi senyumnya menyeramkan.
"Aku tahu kamu kaget, tapi reaksimu sungguh berlebihan. Itu sangat mengganggu! Lagi pula, aku dan Leah jadi seperti ini karena kamu sibuk dengan urusanmu sendiri setiap hari. Kamu bahkan tak punya waktu untukku sama sekali. Lalu, sekarang kamu marah karena ini? Ini kan salah kamu!?" Kris memanipulasi. Ia jelas tampak tak suka pada reaksi Clara.
Clara mengambil benda apapun yang paling dekat denganya lalu melemparkannya pada Kris. Laki-laki tidak tahu diri ini benar-benar menguji kesabaran Clara.
"DASAR BAJINGAN! Aku sibuk Bekerja karena terlilit Hutang! Kau sendiri tahu betapa aku bekerja seperti orang gila Selama ini!" Clara menggila. Ia marah dan juga sakit hati. Rasanya tidak enak dan pahit sekali. Kris berusaha menghindar lemparannya dan melindungi Leah.
"Hei! Hentikan, bodoh! Kami bisa terluka!?" Kris bicara seolah yang ia lakukan tidak menyakiti Clara.
Clara mendengus tidak percaya. Bisa-bisanya ada orang seperti Kris di dunia ini.
"Maafkan aku, Clara. Aku gak bermaksud nyakitin kamu. Hanya saja sebagai orang dewasa kami berdua sama-sama kesepian dan butuh kehangatan dari pasangan. Lagian kamu juga salah, karena tidak mau memberikan apa yang Kris inginkan" Leah menangis di pelukan Kris. Ucapannya yang terdengar manja membuat Clara merasa jijik.
Clara mendengus makin tidak percaya. Ia bingung harus tertawa atau menangis mendengar ucapan Leah. Kalau dipikir-pikir, keduanya memang tampak cocok karena sama-sama tolol dan tak punya hati.
"Tenanglah, Leah .... Dia memang pantas mendapatkannya. Perempuan egois!" Kris mencela.
Clara kini tertawa keras. Suaranya nyaring namun dipaksakan. Sebuah tawa yang tidak memuaskan dan kering namun cukup untuk mengekspresikan ketidakpercayaannya.
"Wah! Ini gila! Kalian yang berselingkuh tetapi aku yang disalahkan! Luar biasa!" Clara benar-benar tak habis pikir.
"Semua ini terjadi karena kamu! Kalau kamu lebih perhatian dan tidak egois, kita tidak akan seperti ini. Kamu berbeda dengan Leah yang manis dan baik. Kamu perempuan keras kepala yang menyebalkan!"
Apakah ia tidak salah dengar? "Parsetan dengan kalian!" Clara berteriak lalu berlari keluar, tidak tahan harus menghadapi sifat gila dua manusia itu.
Saat sampai di luar, ponselnya berdering. Sebuah nomor tidak di kenal kembali menerornya. Ia menarik nafas lelah sambil mengangkat panggilan.
"Sialan! Cepat lunasi hutangmu! Mau sampai kapan kamu lari, hah?" Suara dari seberang terdengar menyala.
Clara meraskaan kepalanya sakit mendengar makian dari balik telepon. Semua emosi bercampur jadi satu menciptakan sakit yang tak terdefinisi dalam dadanya.
Sudah seminggu Clara diteror oleh debt colector pinjaman online karena sebuah pinjaman yang bahkan tak ia lakukan. Tiba-tiba saja ia ditelepon dan dimintai uang dengan jumlah yang besar padahal ia sendiri tak melakukan pinjaman apapun dimanapun. Pantang baginya untuk meminjam uang.
Tak tanggung-tanggung, uang yang dipinjam senilai seratus juta rupiah. Untuk ukuran fresh graduate dan orang yang baru mencari kerja, seratus juta sangatlah banyak untuknya. Bagaimana mungkin mencari sepuluh juta saja ia sudah kesusahan mampu membayar uang sebanyak itu?
"Mas, saya lagi gak ada uang. Nanti saya usahakan cari. Tapi, saya mohon, kasih saya waktu. Itu bahkan bukan uang yang saya pinjam ..." Clara memohon dengan nada gemetar dan pahit. Sial sekali dirinya hari ini.
"Saya tidak mau tahu! Cepat lunasi hutangmu sekarang! Jual diri sana biar bisa bayar hutang!" Makinya sebelum mematikan telepon.
Clara merasa jiwanya disedot kedalam ponselnya. Ia baru saja memergoki kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya dan kini ia harus menerima telepon sialan dari seorang debt colector. Clara merasa hidupnya sudah hancur. Entah apa yang lebih buruk dari ini.
*
'Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Silahkan coba beberapa saat lagi...'
Sambungan telepon itu sudah puluhan kali terdengar di telinga Julian. Ia hampir mual menengar dialog itu dan mulai kesal karena pengulangan yang tak berarti. Sejak tadi, ia berusaha menelepon kekasihnya yang tak kunjung muncul padahal sebentar lagi acara pernikahan mereka dimulai.
"Apakah sudah ada jawaban?" Julian bertanya dengan penuh hati-hati pada Mr. Jhon, asistennya.
Pria tua itu menggeleng. "Belum sama sekali, Tuan. Kupikir, sudah saatnya kita menerima bahwa Nona Bright kabur sebab kerabatnya semua bahkan tak ikut hadir kecuali beberapa kenalan dan orang." Wajahnya tampak menyesal.
Julian merasa dirinya baru saja di tabrak truk. Tubuhnya lemas dan jantungnya berdebar kencang. Ia terduduk di bangku taman depan hotel ia menggelar pernikahannya dan mulai merasakan kekosongan yang hancur.
Ditengah itu, ponsel Julian bergetar. Nama yang tertera seakan membuat jiwanya kembali bangun dan segera ia mengangkat telepon.
"Sayang, aku minta maaf. Aku tidak bisa menikah sekarang. Aku harus pergi dan menjernihkan pikiranku dahulu. Aku mencintaimu tapi aku harus pergi. Aku sudah di pesawat dan akan berangkat sebentar lagi. Maafkan aku sekali lagi sayang. Aku sangat mencintaimu." Singkat, begitu pesan yang diberikan Irene begitu Julian menerima telepon.
Tanpa memberikan Julian kesempatan untuk bicara, ia langsung mematikan telepon sekaligus mematikan harapan Julian yang baru muncul.
Pesan singkat itu jelas menghancurkan Julian dalam waktu singkat. Ia jelas tak tahu harus bagaimana lagi. Haruskah ia masuk dan mempermalukan dirinya dengan membubarkan tamu undangan?
"Apa yang anda ingin saya lakukan, Tuan?" Mr. Jhon membaca ekspresi kecewa Julian dan ia tahu bahwa acara ini akan segera batal.
Julian menutup matanya sebentar, berharap ada secercah harapan dari yang maha kuasa agar ia bisa melakukan sesuatu. Pernikahan ini memang terjadi sangat cepat demi sang kakek yang sedang sakit keras dan divonis tak akan bertahan lama. Namun, ia dan Irene telah berkencan selama tujuh tahun. Tidak mungkin kekasihnya itu tak merindukan pernikahan.
Apakah ini terjadi karena Julian mengharapkan sang kakek tidak pergi sebelum ia menikah? Apakah karena tujuan pernikahannya telah salah? Tapi, ia mencintai Irene dengan tulus sejak dahulu. Apakah ini sebuah kesalahan juga?
Sekarang Julian makin stress karena kakeknya punya riwayat jantung dan tak akan sanggup menghadapi ini semua jika ia membubarkan pernikahan ini. Jika ia berani membubarkan pernikahannya, kakeknya mungkin tak akan sanggup menahannya.
Mata Julian terbuka ketika ia mendengar sebuah suara putus asa. Seperti sebuah sinyal yang kuat, kepalanya terputar mencari sumber suara itu. Dengan mantap namun diselimuti keraguan, kakinya dibawa melangkah menuju sumber suara itu. Melihat Julian melangkah tanpa tujuan, Mr. Jhon mengekor dari belakang.
"Apa!?" Suara itu menggantung penuh pilu.
Ketika Julian sampai, ia bersembunyi dibalik tembok karena mendengar suara itu terkejut dengan panggilan teleponnya.
"Baik, buk! Aku akan kesana." Tepat setelah itu, gadis yang menjadi sumber perhatian Julian terduduk dan mulai menangis tersedu-sedu.
"Kenapa sih! Kenapa hidupku harus begini! Kenapa!" Ia menangis hebat. Tubuhnya gemetar dan Julian bisa merasa kesedihan itu sebab ia juga ingin melakukan hal yang sama, sejujurnya.
Merasa iba, Julian mendekati gadis itu namun ditahan oleh Mr. Jhon.
"Sebaiknya kita pergi, Tuan." Ia menahan tangan Julian.
Julian melepas pegangan itu tanpa menoleh. Ia merasa penting untuk menuju gadis itu. Mr. Jhon memanggil dari belakang namun ia tak peduli.
Sambil mengulurkan sapu tangan, Julian berharap gadis itu menerima uluran tangannya. Tak akan Julian bayangkan bahwa kebaikannya itu akan membawa sebuah perubahan besar.
Clara menatap bingung ketika mendapati sebuah tangan terulur padanya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap bayangan seorang pria yang tampan dengan setelan jas rapih yang tampak seperti pengantin memberikan sapu tangan padanya.
Pandanganya yang berair membuat wajah pria itu tampak seperti sosok yang tidak nyata, bagaikan pangeran yang dikirim Tuhan baginya.
"Maafkan aku karena tidak sengaja mendengarkan apa yang kamu bicarakan di telepon, bahkan sampai lancang kemari." Julian bicara sambil menatap gadis itu.
Menerima permintaan maaf itu, Clara menerima sapu tangannya dan mengelap wajahnya yang basah dengan malu-malu.
"Aku mendengar semuanya."
Clara menyembunyikan wajahnya dibalik sapu tangan karena merasa malu. Mengapa pula orang ini harus mendengar penderitaannya yang memalukan.
"Sama seperti dirimu, aku juga mengalami kemalangan hari ini." Julian bercerita.
Clara tak sedang ingin mendengarkan cerita atau curhatan apapun dari orang lain. Ia sedang stress dan kacau dan ia harap siapapun bisa menutup mulutnya. Melihat Julian malah mengambil tempat di sisinya, ia siap untuk mengusir laki-laki itu.
Namun, sebelum Clara bicara, ponsel Clara mendadak berdering. Sebuah panggilan dari kerabatnya yang nyaris tak pernah mengontaknya muncul. Dengan heran, Clara menjawab telepon itu.
"Halo," belum sempat ia menjawab, ia langsung dihujani makian.
"Kurang ajar! Kamu jadikan saya jaminan hutangmu, ya!? Bayar hutangmu, bodoh! Kamu ini belum punya pekerjaan tapi sudah gaya-gayaan mau pinjam uang online! Cepet bayar! Suruh orang gila itu berhenti menerorku! Dasar sialan! Kamu pikir aku tidak sibuk, huh!?"
Mata Clara melebar mendengar makian beruntun itu. Tubuhnya mendingin karena merasakan ada yang tidak beres.
"Ma—maaf, Tante, tapi ada apa, ya? Kenapa saya dimaki-maki?" Clara sudah punya dugaan namun ia butuh validasi. Jantungnya berdebar kencang dan ia mulai berkeringat dingin. Aliran darahnya berbalik arah ia merasakan dirinya gemetar menanti jawaban yang ia coba tebak.
"Halah! Kamu kan jadikan nomor aku jaminan pinjol kamu! Kamu ya, bikin repot orang tua kamu! Gak tahu malu!" Lagi, ia dimaki dari balik telepon.
Clara merasa pijakannya melemah. Ia ingin pingsan saat itu juga. Tanpa menjawab, ia mengecek teleponnya dan melihat pesan WhatsApp miliknya telah penuh dengan pertanyaan yang sama. Semua relatifnya mempertanyakan hal yang serupa. Beberapa dengan nada lebih kejam dan ada yang tampak khawatir.
Air mata Clara mengalir. Ia yakin hidupnya telah hancur. Tubuhnya gemetar dan mendadak ia kehilangan keseimbangan. Beruntung, Julian ada disana dan segera menahannya.
"Kau tidak apa-apa?" Julian menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
Clara kini melihat Julian semakin tampak seperti seorang pria kiriman Tuhan tetapi segera ia menepis pemikiran itu dan berusaha berdiri tegak.
"Maaf ...." Clara meminta maaf dengan suara yang tertelan karena malu.
"Tidak masalah." Julian membalas, tampak sibuk mengambil sesuatu.
Clara mengambil ponselnya yang sempat jatuh dan takut-takut membaca pesan yang membludak. Beberapa telepon mulai masuk namun ia tak berani menerimanya.
"Ini." Julian merobek sebuah kertas setelah itu menulisnya dan memberikannya pada Clara.
Clara menerimanya dengan heran namun terkejut ketika ia melihat kertas itu merupakan sebuah check bank sejumlah satu miliar rupiah.
"Terimalah."
"Tidak! Tidak! Maaf, aku tidak bisa menerimanya." Clara menolak dengan sopan dan panik meskipun sebagian hatinya berteriak.
"Tidak, terimalah. Aku hendak menawarkan solusi untukmu dan untukku. Check itu anggaplah uang mukanya." Julian menjelaskan.
"Uang muka?" Clara merasa tersinggung.
"Jangan salah paham. Aku tahu kamu membutuhkannya dan aku juga butuh bantuanmu. Aku janji akan berikan lebih banyak asal kamu juga mau menolong aku." Julian menjelaskan dengan hati-hati.
Satu sisi hati Clara merasa marah dan direndahkan akan kejadian ini. Namun, ia kembali mengingat telah dibombardir hingga babak belur oleh pinjaman online sialan itu. Kini mereka malah melibatkan keluarga dan kerabat Clara. Hebat sekali Clara, masih bisa waras ditengah semua kegilaan ini.
"Dengar, aku murni berniat membantumu dan aku tak punya niat jahat apapun terhadapmu. Ini semua adalah bantuan yang aku berikan dengan tulus. Dan lagi, aku juga butuh bantuanmu. Situasiku sama gentingnya dengan situasimu. Kupikir, kita bisa saling menolong mengingat kamu memiliki apa yang kubutuhkan dan aku punya apa yang kamu butuhkan." Julian kembali menjelaskan dengan hati-hati.
Clara terdiam merasakan kebimbangan dihatinya. Terlalu banyak yang harus ia proses dalam satu hari ini.
"Sebelumnya, perkenalkan, namaku Julian. Julian Kim. Ini kartu namaku." Julian merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu bisnis miliknya.
Clara menerimanya dan membacanya dengan mata membulat. Ia terkejut. Lagi dan lagi plot twist kehidupan memutarnya. Banyak sekali kejadian dalam seharian ini dan kini ia merasa bangga karena mentalnya masih stabil. Pria tampan yang ada dihadapannya ini ternyata adalah CEO Hydro tech, salah satu anak perusahaan terbesar di negara ini. Kantor impian para budak korporat dalam meniti karir, tempat impiannya dalam melamar pekerjaan. Dari sekian banyak hal gila selama seharian ini, Julian adalah hal yang paling ia sukai.
"Siapa namamu?" Julian mengejar Clara untuk mengungkapkan namanya. Gadis itu tergagap memandang berulang kartu nama dan wajahnya dengan takjub. Julian tahu itu adalah reaksi lumrah semua orang setiap bertemu dengannya. Namun, ia sangat butuh nama gadis itu segera.
"Eh—oh ... Ah ...." Clara terbata-bata. Calon bos di masa depannya ada di depan mata. Ia tampak terlalu muda sebagai CEO perusahaan top dalam negeri. Apalagi, cara bertemu mereka yang luar biasa ini.
"Clara ...." ucapnya menelan suaranya di akhir.
"Baiklah, Clara." Julian menatap jam di tanganya sambil menghitung-hitung sesuatu. "Kita tidak terlalu terlambat."
"Ada apa?" Clara keheranan.
"Seperti yang kukatakan, aku butuh bantuanmu dan keadaanku sama gentingnya denganmu." Julian tersenyum menatap Clara. "Soal uang itu, kamu bisa langsung menggunakannya. Atau, kau ingin aku mentransfernya terlebih dahulu?" Julian menawarkan opsi lain pada Clara.
Gadis itu menggeleng. Meskipun kakinya ingin langsung berlari ke bank dan mencairkan uang miliknya dan menyumpal mulut sial para penagih pinjol, ia tetap harus sopan karena hal baik tak datang dua kali.
Clara merasa perasaannya tidak enak namun sepanjang hari ini ia telah mengalami kejadian yang buruk secara beruntun. Memangnya, apa lagi yang bisa lebih buruk dari ini semua?
"Memangnya, apa yang bisa aku bantu?"
Julian tersenyum merasakan persetujuan dari Clara. Meskipun Clara tak mengucapkannya, ia jelas sangat membutuhkan bantuan Julian dan uang yang diberikan Julian sangat amat cukup dan bahkan melampaui.
"Menikahlah denganku, Clara." Julian melamar Clara, gadis yang baru lima menit ia temui dengan sepucuk check bank yang membuat gadis itu hampir gila.
"APA!?" Clara tak bisa menahan dirinya untuk tidak berteriak setelah apa yang diucapkan oleh Julian barusan. Apakah laki-laki ini gila?
"Aku seharusnya menikah sekarang. Namun, karena pengantinku kabur, aku membutuhkan bantuanmu. Aku berjanji padamu akan memberikan apapun yang kamu butuhkan selama kamu menolongku. Anggaplah cek itu uang mukanya." Julian kembali menjelaskan.
Clara tertegun mendengarkan solusi dari Julian. Mode bertahan hidupnya mendadak aktif karena merasakan bahaya.
"Tidak. Aku tidak bisa." tolaknya dengan nada kaku dan kaget.
Julian maju dan memegang kedua pundak Clara untuk menatapnya lebih dalam. Jantung gadis itu kembali onar dan membuatnya kesulitan bernafas.
"Kamu bisa. Aku berjanji akan menolongmu. Aku akan membuat kontrak pernikahan kita. Namun, sebelum itu, kumohon selamatkan aku dari petaka ini dahulu." Julian terdengar serius.
Clara bimbang dan ragu namun sebagian hatinya menginginkan uang Julian. Apakah ia harus bertindak sejauh ini demi hutang?
"Tuan, kupikir kita harus segera kembali. Anda sudah menghilang selama satu jam dan para pegawai hotel sudah memberi peringatan keras. Kupikir pernikahan anda harus dibatalkan." Mr. Jhon muncul memberikan peringatan pada Julian.
Julian menengok dengan ekspresi kesal pada Mr. Jhon karena menginterupsi meskipun ia juga akhirnya gugup mendengarkan penuturan beliau.
"Kumohon ...." Julian kembali pada Clara dan memohon dengan tulus.
Tatapannya yang tulus dan penuh permohonan membuat gadis itu terenyuh. Clara mengingat lagi beberapa saat lalu ketika ia hampir gila karena tak memiliki solusi akan kesialan beruntun yang menimpanya.
Kini, dihadapannya muncul Julian yang yang sedang kesulitan namun menawarkan bantuan. Mereka berdua memiliki hati yang sama-sama sulit dengan masalah yang berbeda. Beruntung sekali Julian muncul dan memberikan solusi yang tepat pada Clara. Namun, menolong Julian sebenarnya adalah kesulitan Clara. Ia bahkan baru saja putus dan dikhianati oleh cinta yang palsu. Apakah ia harus menerima cinta palsu yang lain?
Sebuah panggilan kembali berdering membuat Clara melihat nama yang tertera. Ibunya sedang menelpon. Tadi, sebelum ini, ibunya mengatakan bahwa Aldo, adik laki-lakinya kecelakaan dan mereka sedang berada di rumah sakit. Clara yang sedang stress merasa dia akan segera gila dan begitulah ia bertemu dengan Julian. Entah apakah telepon ini berarti ibunya mencarinya untuk sang adik atau ekspresi keterkejutan mengenai hutang pinjolnya.
"Tuan ...." Pria paruh baya itu mendekat dan mencoba menarik Julian untuk melepas Clara.
Dengan lemah, Julian menurut dan perlahan menghindar karena ia tahu bahwa Clara tampak sulit untuk setuju mengenai ide ini. Wajahnya menjadi gelap dan suram karena tak berani memutuskan pilihan melepaskan Clara.
"Apakah ada yang bisa menjamin kamu tidak berbohong?" Clara maju selangkah memberikan keputusan dengan sebuah pertanyaan.
Julian berbalik menatap gadis itu sambil tersenyum sumringah, menyambut harapan yang bersemi kembali.
*
"Lama sekali. Jam berapa mereka mulai?" Seorang pelayan tampak mengecek kembali jam di tanganya sambil mengusap keningnya yang lelah.
Orang-orang disana tampak bersantai namun menggerutu karena acara yang seharusnya dimulai terus menerus ditunda. Mereka mengeluhkan lembur dan mulai kesal dengan penundaan ini.
"Hei! Kabarkan pada para tamu untuk memisahkan tamu pengantin wanita dan tamu pengantin pria." Pria lain yang berpakaian seperti crew acara berlari dengan panik. "Cepat! Acara akan segera dimulai!"
"Apa? Tiba-tiba saja?" Pelayan itu tampak kebingungan.
"Cepat! Kita tak punya banyak waktu."
Dengan gesit, ruangan yang tadinya santai berubah ribut. Aula pernikahan yang mulai mengeluh dan kesal karena keterlambatan yang terlalu lama kemudian terdengar lega dan berisik ketika MC masuk dan mulai bicara.
"Hadirin sekalian, mohon maaf atas keterlambatan kami karena ada kesalahan teknis. Untuk itu, kami menginformasikan untuk undangan yang datang dari kerabat mempelai perempuan bersedia menuju lorong kiri. Atas perhatiannya, kami ucapkan terimakasih." Jelas MC.
"Ada apa ini?" Kakek Julian bertanya dengan heran pada putranya, Ayah Julian.
Pria itu menggeleng kebingungan. Ia tak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh putranya.
"Terima kasih atas perhatiannya. Saya minta kita yang tersisa untuk mengisi bangku yang kosong dari pihak mempelai perempuan. Acara segera dimulai."
Tak berselang lama, pintu masuk terbuka dan Julian muncul kemudian berjalan maju kehadapan altar untuk pemberkatan. Semua orang tampak antusias dan lega setelah sekian lama menunggu. Semua kerabatnya bertepuk tangan dan memberi salam padanya.
Acara sangat meriah hingga tiba saatnya pengantin wanita memasuki ruangan. Semua orang tampak heboh menunggu. Ketika pintu terbuka, mendadak satu aula diam karena terkejut.
"Cantik sekali ...." Beberapa orang terdengar bersuara.
Julian yang berdiri jauh darinya ikut merasa tertegun menatap Clara dalam balutan gaun pengantin. Gadis itu terlihat jutaan kali berbeda dengan apa yang ia lihat barusan di taman hotel. Entah bagaimana jantung Julian bergetar. Mungkinkah efek adrenalin pernikahan dadakan ini?
Clara melangkah maju menuju Julian. Matanya tak bisa ia fokuskan kearah lain karena tempat ini sangat asing baginya. Rasanya seperti memasuki dunia lain dan satu-satunya tempat ia bisa nyaman hanya Julian, laki-laki yang ia temui lima menit yang lalu.
"Astaga! Dia bukan Irene!" Salah satu tamu wanita menutup mulutnya rapat karena terkejut. Para gadis disekitarnya juga tampak heboh dengan kebenaran di aula pernikahan. Seseorang telah menyadari keberadaannya yang janggal. Entah bagaimana ia akan bertahan kedepannya.
Clara melangkah dengan senyum yang dipaksakan, namun di dalam hatinya bergemuruh badai yang tak terlihat. Gaun putih di tubuhnya terasa seperti pakaian pinjaman untuk peran yang bukan miliknya. Setiap langkah menuju Julian mengiris harapannya sendiri, harapan yang dulu ia simpan untuk Kris. Tapi pagi ini, semuanya hancur bersama pengkhianatan Kris dan Leah. Tangannya yang meremas buket bunga seakan mencoba menahan racun emosi yang menjalar dari dada hingga ke ujung jari. Pernikahan ini bukan tentang cinta, bukan tentang mimpi namun hanya peran sunyi dalam sandiwara yang terlalu menyakitkan untuk diakui.
"Acara pernikahan segera kita mulai."
Upacara pernikahan berjalan dengan lancar, meninggalkan bekas yang aneh di hati Clara. Satu aula pernikahan terkejut mendengar nama yang berbeda dengan apa yang mereka lihat di undangan. Beruntung, tak terjadi kekacauan yang berarti meskipun Clara tahu, ia tak mungkin bisa terus tenang.
Mereka berdua kemudian berhadapan untuk melanjutkan acara. Julian tenang karena kakeknya baik-baik saja. MC mengambil alih dan mulai mengoceh mencairkan suasana. Clara merasakan gugup karena ini pernikahan pertamanya baik secara harfiah maupun kontrak.
"Baiklah! Sekarang, saatnya kita masuk ke acara utama, mempelai pria, silahkan mencium istri anda yang baru!"
Suara bersemangat dari MC membuat Clara membulatkan matanya kaget dan kembali memandang ke arah tamu undangan dengan wajah khawatir. Ia menatap Julian yang juga panik namun berusaha menenangkannya.
Ia menggeleng menolak Julian namun laki-laki itu mengangguk mengiyakan. Dengan panik, Clara mundur merasakan wajah Julian semakin dekat. Jantungnya berdebar dengan gila dan ia merasakan gugup luar biasa. Julian semakin dekat dan makin membuatnya menggila. Ketika laki-laki itu menutup matanya, Clara merasa mati di tempat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!