NovelToon NovelToon

Sang Pahlawan Dengan Sistem

BAB 1 : Akademi Beladiri Cyberland

Tahun 2100 adalah saksi bisu kehancuran dunia. Bencana apokaliptik yang tak terbayangkan telah melanda, ditandai dengan kemunculan "Gate" – gerbang-gerbang dimensi misterius yang merobek realitas. Dari celah-celah ini, monster-monster mengerikan menyerbu, menginvasi setiap makhluk hidup dan melemparkan dunia ke dalam kekacauan yang tak terkendali.

Kota-kota besar runtuh menjadi puing, peradaban nyaris musnah, dan umat manusia berdiri di ambang kepunahan.

Namun, di tengah keputusasaan itu, secercah harapan muncul. Sebagai respons terhadap ancaman yang semakin membesar, manusia mulai mengalami "Awakening", sebuah fenomena luar biasa yang menganugerahkan mereka sistem kekuatan – kemampuan super yang dulunya hanya ada dalam dongeng. Kini, dengan kekuatan baru ini, pertanyaan besar menggantung di udara: mampukah manusia mengatasi krisis yang mencekik ini, ataukah ada rencana yang lebih besar lagi yang tersembunyi di balik tabir kehancuran?

Di dalam tembok-tembok megah Akademi Beladiri Cyberland yang menjulang tinggi, harapan masa depan umat manusia terkumpul. Para siswa terbaik dari seluruh negeri berkumpul di sini, dipersatukan oleh satu tujuan: untuk mengasah kemampuan mereka hingga mencapai puncak, menjadi garda terdepan dalam menghadapi krisis apokaliptik yang kian menyebar tak terkendali.

Akademi ini terkenal dengan sistem pendidikan super ketat dan kurikulum tanpa kompromi, dirancang khusus untuk mencetak pejuang-pejuang tangguh yang siap mengorbankan segalanya demi kelangsungan hidup manusia. Setiap sudut akademi memancarkan aura disiplin, dari ruang latihan yang dipenuhi keringat hingga perpustakaan yang dijejali buku-buku strategi kuno dan modern.

Namun, di antara para calon pahlawan ini, ada satu nama yang sering disebut dengan nada campur aduk antara kekaguman dan frustrasi: Leon Watkins. Dikenal dengan reputasinya yang buruk dan sikapnya yang seenaknya, Leon adalah anomali di tengah lautan siswa berprestasi. Saat ini, ia duduk di barisan belakang kelas, merasakan kantuk yang tak tertahankan menjalar di setiap sel tubuhnya. Pelajaran instruktur Xu tentang teknik bela diri dasar sudah berlangsung selama berjam-jam, dan bagi Leon, itu adalah siksaan yang membosankan.

"Huaaammm," ucap Leon, menguap dengan malas, suaranya sedikit melengking di keheningan kelas.

Instruktur Xu, seorang pria paruh baya dengan rambut cepak dan sorot mata tajam, sudah dikenal sebagai figur yang sangat mengutamakan kesopanan dan disiplin, berbanding terbalik dengan sikap Leon. Kesabarannya terhadap Leon sudah menipis, dan kini mencapai puncaknya. Ia mengepalkan tangan, urat di kepalanya menonjol, lalu berteriak nyaring, "Leon Watkins!"

Leon hanya mengangkat kepalanya, melirik sekilas ke arah Instruktur Xu dengan mata setengah tertutup, lalu kembali merebahkan kepalanya di atas meja. "Aku ngantuk, jangan ganggu aku!" gumamnya, suaranya sedikit teredam.

Para murid lain hanya bisa menatap keduanya dengan ngeri. Reputasi Leon yang terkenal dengan kekerasan dan ketidakpatuhannya sudah melegenda di akademi. Tidak ada seorang pun yang berani menantang atau bahkan mencoba menasehatinya. Instruktur Xu, meski geram, akhirnya tidak melakukan apa-apa selain menghela napas panjang. Keduanya memang terkenal tidak pernah akur, bagaikan api dengan air, tidak ada kecocokan sama sekali dalam pandangan dan prinsip mereka.

Leon memang dikenal sebagai jenius yang dianugerahi sistem unik yang disebut "Dream". Sistem ini memungkinkannya untuk memanipulasi mimpi dengan cara yang luar biasa, bahkan menciptakan dunia impian yang terasa begitu nyata, di mana ia bisa mengontrol segala aspek di dalamnya. Kekuatan yang tak tertandingi ini membuatnya menjadi sombong dan tidak peduli dengan orang lain, merasa bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menyainginya. Baginya, dunia nyata adalah panggung yang membosankan, sedangkan dunia mimpi adalah taman bermain pribadinya.

Sementara itu, jauh di lubuk alam bawah sadarnya, di dalam dunia mimpi yang ia ciptakan, Leon tengah bertarung dengan sekawanan goblin. Makhluk-makhluk hijau kecil itu berlari dengan kecepatan tinggi, menyerang Leon dengan pedang-pedang yang tajam. Gerakan mereka cepat, serempak, dan terlihat mematikan. Namun, Leon hanya tersenyum sinis, senyum seorang predator yang sedang bermain-main dengan mangsanya.

Ia mengangkat tangan kanannya, dan dari telapak tangannya memancar gelombang energi kebiruan yang menghantam goblin-goblin itu dengan keras. Mereka terpental, tubuh-tubuh kecil mereka hancur menjadi partikel-partikel cahaya yang menghilang.

"Kenapa goblin-goblin ini semakin lama semakin lemah, padahal aku sudah meningkatkan statistik mereka hingga maksimal, atau apakah aku yang sudah terlalu kuat?" monolog Leon, terkekeh setelah menghabisi sekawanan goblin yang diciptakannya sendiri. Ia merasa frustrasi.

Bahkan di dalam dunianya sendiri, ia kesulitan menemukan tantangan yang sepadan. Kejeniusan dan kekuatannya telah melampaui batas yang ia tetapkan sendiri, dan itu justru membuatnya merasa hampa.

Di dunia nyata, suasana kelas akhirnya sedikit mencair.

Instruktur Xu, menyadari bahwa ia tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal hari itu, memutuskan untuk mengakhiri pelajaran lebih awal. "Sudah cukup untuk hari ini. Kalian semua bisa pulang dan beristirahat," katanya, suaranya sedikit lebih tenang.

Murid-murid lain bersorak gembira, bergegas mengemasi barang-barang mereka. Mereka menghargai setiap menit waktu luang yang diberikan di tengah jadwal akademi yang padat. Leon hanya mengangkat bahu, tetap duduk di tempatnya, masih memikirkan tentang kekuatan goblin-goblin di dunia mimpi. Ia masih mencari cara untuk membuat simulasinya lebih menantang, untuk memuaskan dahaganya akan kekuatan dan dominasi.

Tiba-tiba, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Leon, getarannya memecah keheningan yang mulai tercipta di kelas yang mulai sepi. Leon mengambil ponselnya, mengerutkan kening saat melihat ID pengirim. "Leon, aku menemukan sesuatu yang menarik. Temui aku di perpustakaan malam ini."

Pesan itu dari seseorang yang tidak dikenal. Tidak ada nama, tidak ada informasi kontak lainnya. Biasanya, Leon akan mengabaikan hal semacam ini. Namun, ada sesuatu dalam pesan itu yang membangkitkan rasa penasarannya. "Sesuatu yang menarik." Frasa itu berputar di benaknya.

Mungkinkah ini sesuatu yang bisa mematahkan kebosanannya? Sesuai dengan sifatnya yang selalu mencari tantangan dan hal-hal baru, Leon memutuskan untuk menemuinya. Ia berharap bisa menemukan sesuatu yang benar-benar baru dan menarik, sesuatu yang mungkin bisa memberinya sensasi yang sudah lama ia rindukan, jauh dari monotonnya simulasi mimpi.

Dengan senyum misterius yang tersungging di bibirnya, senyum yang jarang terlihat oleh orang lain, Leon akhirnya beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan kelas yang kini benar-benar kosong dan berjalan santai menuju perpustakaan, langkah kakinya tenang, pikirannya penuh dengan spekulasi.

Ia sama sekali tidak tahu apa yang menanti dia di sana, siapa pengirim pesan misterius itu, atau apa "sesuatu yang menarik" yang mereka maksud. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada secercah kegembiraan dalam dirinya. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari petualangan yang selama ini ia tunggu-tunggu.

Bab 2 : Pertemuan Rahasia

Leon menghabiskan sebagian besar sorenya terperangkap dalam simulasi realitasnya sendiri, memanipulasi mimpi untuk meningkatkan statistiknya. Di alam bawah sadar yang ia ciptakan, ia menjelajahi medan perang yang semakin imajinatif, menghadapi musuh-musuh yang ia rancang sendiri untuk menjadi lebih kuat, lebih cepat, dan lebih mematikan dari sebelumnya.

Keringat membasahi dahinya bahkan dalam tidur, otot-ototnya menegang seolah ia benar-benar menghadapi ancaman nyata. Ia mendorong batas-batas kekuatannya, berharap menemukan celah, kelemahan, sesuatu yang bisa memberinya tantangan yang berarti. Namun, seperti biasa, ia selalu melampaui apa pun yang ia ciptakan. Kekuatan "Dream" miliknya bagaikan pedang bermata dua: memberikan dominasi tak terbatas, namun pada saat yang sama, menjerumuskannya ke dalam jurang kebosanan yang tak berujung.

Ketika akhirnya ia menarik diri dari cengkeraman dunianya, kesadaran perlahan merayap kembali. Ia melirik ke luar jendela asramanya, mendapati langit telah dicat dengan nuansa oranye dan ungu, pertanda bahwa matahari baru saja terbenam. Sebuah desahan malas lolos dari bibirnya.

"Hahh, sebenarnya aku terlalu malas untuk pergi ke perpustakaan akademi," gumamnya, matanya sedikit menyipit saat ia meraih ponselnya. Pesan misterius itu masih ada di sana, huruf-huruf tanpa nama yang memicu rasa penasaran yang jarang ia rasakan. "Tapi aku juga penasaran siapa kira-kira yang mengirimi aku pesan."

Sifat Leon yang selalu mencari stimulasi baru akhirnya mengalahkan kemalasannya. Ia tahu, jika ia tidak pergi, rasa penasaran itu akan menggerogotinya sepanjang malam. "Ah, bodo amat lah, ntar juga bakal tau," ucapnya, berdiri dan meregangkan tubuh sebelum melangkah gontai menuju kamar mandi. Air dingin yang menyegarkan di bawah pancuran membantu mengusir sisa-sisa kantuk dan kebosanan dari alam mimpinya.

Malam itu menyelimuti Cyberland Academy dengan selubung kegelapan. Hanya lampu-lampu di koridor dan beberapa jendela perpustakaan yang masih bersinar, memancarkan cahaya lembut yang menembus kegelapan malam. Leon melangkah santai menuju perpustakaan, aura acuh tak acuh melekat padanya seperti bayangan.

Suasana sepi di koridor akademi kontras dengan keramaian siang hari, menciptakan rasa antisipasi yang tipis. Di dalam perpustakaan, bau khas buku-buku lama bercampur dengan aroma disinfektan. Ia menyapu pandangannya ke sekeliling, mencari sosok misterius yang mengundangnya.

Setelah menunggu beberapa saat, ponselnya kembali bergetar, memecah keheningan. Sebuah pesan singkat muncul di layar: "Pergi ke sudut perpustakaan, tempat buku-buku kuno." Tanpa ragu, Leon beranjak, langkah kakinya nyaris tak terdengar di lantai kayu. Ia menelusuri lorong-lorong rak buku yang menjulang tinggi, matanya menelisik setiap sudut hingga akhirnya, di sebuah pojok tersembunyi yang remang-remang, ia melihat siluet berjubah hitam tengah duduk di kursi yang tersembunyi di balik tumpukan manuskrip kuno. Orang itu melambaikan tangan dengan gerakan yang akrab.

"Leon, akhirnya kau datang! Aku sudah lelah menunggumu," suara familiar itu menggema pelan. Jubah hitam itu dibuka, memperlihatkan wajah yang ceria dan sedikit tembam. Senyum lebar terukir di bibirnya. Itu adalah Axel Maxx, salah satu dari sedikit orang yang bisa mentolerir sikap seenaknya Leon, dan mungkin satu-satunya yang secara aktif mencari interaksinya.

Axel Maxx adalah anomali di antara para murid akademi yang umumnya serius dan fokus. Ia dikenal sebagai individu yang pandai bergaul dan selalu riang, namun predikat "suka makan" tampaknya lebih dominan, terbukti dari tubuhnya yang berisi. Ironisnya, Axel adalah pemilik sistem kekuatan Petir, sebuah kemampuan yang memungkinkannya melancarkan serangan dengan daya hancur tinggi. Keluarga Maxx memang identik dengan kekuatan petir yang luar biasa, dan Axel sendiri adalah Tuan Muda Guild Maxx, salah satu guild terbesar dan paling berpengaruh di Cyberland City.

"Gendut, kenapa kau ada di sini?" ucap Leon, ekspresi terkejut yang jarang terlihat kini terpampang jelas di wajahnya. Ia tidak menyangka pengirim pesan misterius itu adalah Axel.

Axel terkekeh, senyum aneh dan sok misterius tersungging di bibirnya. "Aku yang menyuruhmu datang ke sini, tentu saja. Ada hal menarik yang mungkin kau sukai." Matanya berbinar penuh antisipasi.

Leon mendengus. "Hentikan wajah menjijikkan itu dan katakan hal menarik apa yang kau ketahui!" Rasa penasaran Leon semakin memuncak.

Axel tersenyum lebar, membusungkan dadanya yang berisi dengan bangga, seolah baru saja memenangkan lotre. "Aku menemukan Gate tersembunyi yang belum terafiliasi dengan guild manapun!" Ada nada kemenangan dalam suaranya. "Aku sudah menyuruh orang-orangku mencari informasinya, dan itu ternyata Gate Rank D: Red Spider Queen."

Mendengar itu, mata Leon sedikit melebar. Gate tersembunyi adalah penemuan langka dan berharga. Gate yang tidak terafiliasi berarti hadiah yang belum terbagi dan tantangan yang belum terjamah. Dan Red Spider Queen... itu adalah monster elit, bos yang biasanya menjaga Gate Rank D, dikenal karena racun dan gerakannya yang cepat. Meski hanya Rank D, ini setidaknya menjanjikan pertempuran yang lebih menarik daripada goblin-goblin dalam mimpinya.

"Aku berencana untuk raid di sana," lanjut Axel, menepuk pundak Leon dengan antusias.

"Apa kau ingin ikut denganku? Aku tahu kau penggila pertarungan dan sedang membutuhkan uang." Axel mengenal Leon lebih baik dari kebanyakan orang. Ia tahu bahwa meskipun Leon tampak tidak peduli, jauh di lubuk hatinya, Leon selalu mencari pertarungan yang menarik dan menguntungkan. Dan uang, ya, selalu menjadi motivasi yang baik.

Ajakan Axel membuat Leon berpikir. Ini adalah kesempatan langka. Sebuah Gate yang belum tersentuh, bos yang cukup menantang, dan peluang mendapatkan imbalan besar. Selain itu, Axel adalah satu-satunya orang yang tidak akan terkejut atau terintimidasi oleh kekuatan Leon, yang berarti ia bisa melepaskan diri tanpa menahan diri.

"Baiklah, aku ikut," ucap Leon, nada suaranya lebih bersemangat dari biasanya. "Kapan waktu berangkatnya?"

Senyum Axel semakin lebar.

"Lusa kita akan berangkat, jadi persiapkan dirimu sebaik mungkin." Ia tampak sangat senang dengan partisipasi Leon. "Kalau begitu, sampai jumpa besok lusa. Jangan telat, kita berkumpul di belakang akademi." Axel beranjak, jubah hitamnya melambai ringan saat ia berjalan cepat menuju pintu keluar perpustakaan.

"Oke, aku pasti datang," balas Leon, mengikutinya dari belakang dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Sebuah senyum tipis yang jarang terlihat kembali tersungging di bibirnya.

Dengan kesepakatan itu, Leon dan Axel berpisah di gerbang perpustakaan, masing-masing memiliki rencana dan tujuan yang berbeda.

Leon memikirkan bagaimana ia akan mempersiapkan diri di dunia mimpinya untuk menghadapi Red Spider Queen, membayangkan strategi dan serangan baru.

Axel, di sisi lain, mungkin sudah memikirkan bagaimana ia akan menghabiskan hasil rampasan atau mungkin sudah merencanakan menu makanan setelah raid.

Mereka tahu bahwa pertemuan mereka tidak akan berakhir di situ saja. Sebuah Gate tersembunyi, sebuah bos yang menanti, dan janji petualangan yang mendebarkan, Petualangan mereka baru saja dimulai.

Apakah Gate ini akan menjadi tantangan yang Leon impikan, ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu mereka di dalamnya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Karya pertama gays,kritik & saran tulis di komen😃

Bab 3: Jebakan

Pagi masih dini ketika Leon, dengan rasa malas yang tak sepenuhnya hilang namun diselingi antusiasme yang langka, mengikuti Axel menuju titik pertemuan.

Di belakang akademi, di antara pepohonan rindang yang menyembunyikan mereka dari pandangan umum, lima sosok berbalut seragam tempur hitam sudah menunggu. Mereka adalah para pengawal pribadi Axel, wajah-wajah tanpa emosi yang memancarkan aura efisiensi dan pengalaman.

Masing-masing dilengkapi dengan persenjataan canggih dan terlihat siap menghadapi apa pun.

"Baiklah, kita akan berangkat sekarang," ucap Axel, suaranya dipenuhi semangat yang kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ia memimpin rombongan, tubuh gempalnya bergerak lincah menuju pinggir kota Cyberland, ke sebuah area terpencil yang ditandai dengan reruntuhan bangunan tua dan vegetasi liar.

Leon berjalan di belakang, mengamati sekeliling. Udara pagi yang dingin menyentuh kulitnya, namun pikirannya sudah melayang ke depan, membayangkan pertarungan yang menanti. Meskipun ia sering terjebak dalam kebosanan, ia tidak pernah menolak kesempatan untuk menguji batas kekuatannya, terutama jika ada imbalan yang menggiurkan. Kehadiran para pengawal Axel menambah lapisan intrik. Axel memang tuan muda dari guild besar, jadi wajar jika ia memiliki pengawal elite.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah situs yang tersembunyi dengan baik. Sebuah retakan dimensi berwarna ungu gelap menganga di antara dua bangunan yang hancur, memancarkan aura dingin yang menggetarkan. Ini adalah Gerbang (Gate).

Tanpa ragu, Axel memberi isyarat. Satu per satu, mereka melangkah maju, menembus selubung energi yang berdenyut, dan masuk ke dalam.

Dunia di balik Gerbang terasa asing dan menindas. Udara di dalamnya tebal dengan aroma aneh yang menusuk hidung, campuran ozon dan sesuatu yang busuk. Cahaya redup berasal dari kristal-kristal bercahaya yang tumbuh secara organik di dinding gua, memantulkan warna ungu kehijauan yang suram. Tanah di bawah kaki mereka lengket, seolah dilapisi jaring yang tak terlihat. Mereka telah tiba di sarang Red Spider Queen.

Suara gemerisik halus mulai terdengar dari kegelapan di sekeliling mereka, menandakan kehadiran para penjaga sarang. Kemudian, dari balik formasi batuan yang runcing, muncullah gelombang pertama: sekawanan Red Spider Mini. Makhluk-makhluk seukuran anjing terrier ini memiliki delapan kaki ramping yang bergerak cepat, tubuh merah menyala, dan mata hitam pekat yang memantulkan cahaya redup. Mereka melesat maju dengan kecepatan luar biasa, taring-taring kecil mereka mengilat.

Para pengawal Axel segera membentuk formasi, senjata energi mereka berdengung. Sinar laser dan peluru energi mulai membelah udara, menghantam beberapa laba-laba mini, mengubahnya menjadi abu. Axel, dengan sistem Petirnya, mengangkat tangannya. Kilatan petir biru cemerlang melesat dari ujung jarinya, meledakkan kelompok laba-laba menjadi fragmen berasap.

Leon, di sisi lain, memilih pendekatannya sendiri. Ia melangkah maju, membiarkan beberapa Red Spider Mini mendekat berbahaya. Lalu, dengan senyum tipis yang penuh percaya diri, ia mengaktifkan sistem "Dream"-nya. Seketika, aura kebiruan samar memancar darinya, menyelimuti area sejauh sepuluh meter di sekelilingnya.

Perubahan di dalam domain mimpi itu seketika dan menakjubkan. Bagi laba-laba mini yang terperangkap, dunia di sekitar mereka tiba-tiba berputar. Dinding gua yang remang-remang berubah menjadi lorong-lorong sempit yang terus bergeser, kristal-kristal bercahaya memancarkan kilauan yang menusuk mata, dan suara gemerisik berubah menjadi bisikan-bisikan aneh yang mengganggu. Laba-laba-laba itu berhenti, gerakannya melambat, terjebak dalam ilusi yang menakutkan dan membingungkan. Beberapa mulai saling menyerang, taring mereka mencengkeram sesama, mengira mereka adalah musuh.

"Hanya ilusi dasar?" gumam Leon, sedikit kecewa melihat respons awal mereka. Namun, ia kemudian memperhatikan sesuatu. Meskipun terperangkap dalam ilusi, Red Spider Mini menunjukkan tanda-tanda adaptasi yang mengejutkan. Beberapa dari mereka mulai bergerak maju lagi, meski ragu-ragu, seolah mereka berusaha menembus kabut ilusi. Kecepatan mereka sedikit meningkat, dan serangan mereka, meskipun masih tidak terarah, tampak memiliki sedikit lebih banyak akurasi.

"Menarik," monolog Leon, sebuah percikan minat muncul di matanya. "Mereka beradaptasi dengan ilusi." Ini adalah sesuatu yang jarang ia temui dalam simulasi mimpinya sendiri, di mana musuh-musuhnya biasanya tunduk pada kontrol absolutnya.

Laba-laba yang lebih besar, Red Spider Juggernaut, kemudian muncul dari kegelapan, merangkak di dinding gua.

Makhluk raksasa seukuran truk kecil ini memiliki cangkang keras berwarna merah tua dan taring seukuran pisau belati. Mereka membawa beban berat, menggedor tanah dengan langkah kaki mereka yang tebal. Racun berwarna hijau pekat menetes dari taring mereka, meninggalkan jejak berasap di lantai.

Pertarungan semakin sengit. Para pengawal Axel bekerja sama dengan presisi militer, menembakkan serangan terfokus ke kaki-kaki Juggernaut untuk melumpuhkannya. Axel sendiri terus menembakkan kilatannya, meledakkan cangkang keras Juggernaut, meskipun efeknya tidak secepat pada laba-laba mini.

Melihat adaptasi Red Spider Mini, Leon memutuskan untuk meningkatkan kerumitan ilusi. Ia ingin melihat seberapa jauh adaptasi monster-monster ini bisa berkembang. Aura kebiruannya semakin kuat, domain mimpi meluas sedikit, mencakup area yang lebih besar dan mempengaruhi lebih banyak laba-laba.

Kali ini, ilusi yang diciptakan Leon jauh lebih kompleks dan brutal. Ia membengkokkan ruang dan waktu di sekitar laba-laba mini. Mereka tiba-tiba menemukan diri mereka berada di labirin rumit yang terbuat dari jaring laba-laba raksasa, setiap lorong dipenuhi dengan bayangan-bayangan bergerak yang menyerupai predator mereka sendiri. Aroma busuk yang menyengat berubah menjadi bau bangkai yang memuakkan.

Kemudian, ilusi itu diperkuat dengan badai yang kuat. Angin kencang yang tak terlihat menerpa laba-laba itu, melemparkan mereka ke dinding ilusi labirin, mengacaukan orientasi mereka sepenuhnya. Beberapa laba-laba bahkan mulai panik, memuntahkan jaring racun secara acak, yang malah menjebak sesama mereka. Jeritan-jeritan melengking yang hanya bisa didengar oleh Leon dan Axel bergema dalam domain mimpinya.

Namun, yang paling mengejutkan bagi Leon adalah ketika ia melihat beberapa Red Spider Mini yang lebih kuat mulai bergetar, lalu secara perlahan, memaksa diri mereka untuk bergerak maju menembus badai ilusi. Mata hitam pekat mereka tampak berkedip, seolah mereka sedang berjuang keras untuk fokus, untuk membedakan kenyataan dari ilusi. Ini bukan hanya adaptasi, ini adalah perlawanan.

"Mereka melawanku?" gumam Leon, senyum predatornya melebar. Ia belum pernah mengalami perlawanan mental seperti ini dari makhluk lain. Ini jauh lebih menarik dari sekadar meningkatkan statistik goblin. Ia merasakan adrenalin yang sudah lama tidak ia rasakan.

Dengan satu pikiran, Leon mengubah lanskap ilusi lagi. Labirin itu runtuh, digantikan oleh jurang tak berdasar di bawah kaki laba-laba. Badai itu berubah menjadi semburan api ilusi yang membakar mereka, sementara suara-suara bisikan diubah menjadi jeritan-jeritan mengerikan dari neraka.

Kali ini, adaptasi mereka tidak cukup. Laba-laba mini yang tersisa akhirnya menyerah pada kepanikan total. Beberapa roboh dan tubuh mereka menghilang seperti kabut, yang lain berlari tanpa arah, menabrak dinding asli gua sampai mereka hancur sendiri.

Pertarungan antara Leon dan sekumpulan Red Spider Mini berlangsung sengit, melibatkan duel mental yang tak terlihat oleh mata biasa, namun berakhir dengan kemenangan mutlak Leon.

"Haah, itu cukup melegakan," ucap Leon, menarik napas dalam-dalam, merasakan sedikit kelelahan yang menyenangkan. Sensasi ini, sensasi berjuang melawan perlawanan yang tak terduga, jauh lebih memuaskan daripada dominasi mudah atas musuh-musuh ciptaannya sendiri.

Mereka terus bergerak maju, melewati lorong-lorong gelap yang dipenuhi sisa-sisa laba-laba yang telah mereka kalahkan. Semakin dalam mereka masuk, semakin tebal jaring-jaring laba-laba yang melapisi dinding dan lantai. Udara semakin pengap, dan bau busuk semakin kuat. Tanda-tanda bahwa mereka mendekati jantung sarang.

Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar, sebuah gua raksasa yang jauh lebih tinggi dan lebih luas dari lorong-lorong sebelumnya. Di tengah ruangan, bertengger di atas gundukan kepompong dan jaring yang lengket, adalah sang ratu: Red Spider Queen.

Makhluk itu jauh lebih besar dari yang Leon bayangkan. Ukurannya setara dengan sebuah bus sekolah, dengan cangkang berwarna merah tua yang mengilap dan delapan kaki tebal berbulu yang dilengkapi duri-duri tajam. Sepasang mata majemuknya yang merah menyala menatap mereka dengan tatapan dingin dan cerdas. Dari perutnya yang membuncit, benang-benang jaring tebal terus dipintal, mengisi setiap celah di ruangan itu. Aura intimidasi yang luar biasa memancar darinya, terasa menekan di dada.

Axel dan para pengawalnya segera mengambil posisi tempur, senjata mereka diarahkan pada sang ratu. Jantung mereka berdebar kencang. Ini adalah bos Rank D, ancaman yang tidak bisa diremehkan.

Tiba-tiba, suara derak keras memecah keheningan. Pintu masuk ruangan boss yang baru saja mereka lewati, sebuah lubang menganga di dinding, tertutup rapat oleh lapisan jaring tebal dan lengket yang muncul entah dari mana. Secara bersamaan, suara alarm melengking mulai terdengar di seluruh ruangan, suara yang bukan berasal dari sarang laba-laba, melainkan dari semacam sistem peringatan buatan.

"Apa yang terjadi?" ucap Axel, memandang Leon dengan mata yang penuh kebingungan, otot-ototnya menegang. Suara alarm itu terdengar sangat tidak pada tempatnya di dalam sebuah Gate monster.

Leon tidak menjawab pertanyaan Axel. Matanya menyipit, memandang ke sekeliling ruangan. Ada sesuatu yang tidak beres. Jaring tebal yang menutupi pintu, alarm, dan kemudian... ia merasakan pergeseran energi yang samar, bukan dari monster, melainkan dari sesuatu yang mirip dengan sistem buatan manusia. Ini terasa familier, namun asing di tempat seperti ini.

"Aku rasa kita telah terperangkap dalam perangkap," ucap Leon, suaranya tenang namun matanya penuh kecurigaan. Ia tidak lagi memandang Axel, melainkan menyapu pandangannya ke dinding-dinding ruangan, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi.

Axel, yang panik, membentak. "Apa yang kau bicarakan, Leon? Kita harus keluar dari sini sekarang juga!" Ia mencoba menembakkan petir ke arah jaring yang menutupi pintu, namun jaring itu hanya sedikit berasap dan tetap kokoh.

Tiba-tiba, suara-suara aneh terdengar dari luar ruang boss, bergema melalui dinding-dinding gua seolah ada pengeras suara tersembunyi. Suara itu dingin, terdistorsi, dan sangat jauh dari suara manusia biasa.

"Selamat datang, para petualang," ucap suara itu, nadanya terdengar seperti sebuah rekaman yang diputar ulang, namun dengan sentuhan mengejek. "Kalian telah memasuki permainan yang sebenarnya."

Leon dan Axel memandang sekeliling, penasaran, bahkan ketakutan, tentang apa yang terjadi. Para pengawal Axel saling menatap dengan ekspresi cemas.

Pertarungan dengan Red Spider Queen kini terasa seperti masalah sekunder. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah memasuki permainan yang jauh lebih besar daripada yang mereka bayangkan, sebuah permainan yang mungkin dirancang oleh pikiran yang jauh lebih licik dari monster mana pun.

Leon, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasakan kegembiraan yang bercampur dengan kecurigaan yang mendalam.

Kebosanan yang selama ini membelenggunya telah sirna. Ini bukan hanya raid Gate biasa. Ini adalah perangkap, dan di dalam perangkap itu, ada sebuah misteri yang menanti untuk dipecahkan. Siapa dalang di balik semua ini? Dan apa tujuan sebenarnya dari "permainan" ini? Hanya waktu yang akan membuktikannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!