NovelToon NovelToon

Kintania Raqilla Alexander

Bab Pertama

"Astaga, ini anak!" Nyonya Bella mengomel dengan nada jengah, kesal melihat kebiasaan putrinya yang tak kunjung berubah.

"Setiap hari Ibu yang harus bangunin. Kalau nggak, pasti telat atau malah nggak masuk sekolah lagi! Kamu itu sudah SMA, Qilla. Masa bangun pagi aja masih harus dibangunin terus?"

Perlahan, Qilla terbangun dari tidurnya. Tangannya mengusap kelopak mata yang masih terasa berat, sementara mulutnya menguap lebar-tanda kantuk belum sepenuhnya hilang.

Padahal sejak waktu subuh tadi, Qilla sebenarnya sudah bangun. Bahkan seragam putih abu-abu khas anak SMA pun sudah melekat rapi di tubuhnya. Namun, rasa kantuk yang tak tertahankan membuatnya kembali merebahkan tubuh, hingga akhirnya tertidur lagi.

"Iya, iya, Bu. Bangun kok, ini Qilla bangun," gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Ia pun perlahan duduk di atas kasur, mengerjap beberapa kali sebelum melirik jam di dinding.

07.56.

"Hah?! Astaga! Jam segini?!" serunya panik.

Seketika kantuknya menghilang. Qilla melompat dari tempat tidur, berlari kecil menuju meja belajar mengambil tasnya, lalu kembali sibuk mencari kaus kaki yang entah di mana.

Nyonya Bella hanya menggeleng sambil menyilangkan tangan di dada. "Makanya kalau Ibu bilang bangun, bangun! Nggak usah sok-sokan bilang ‘udah bangun kok’, tapi kenyataannya tidur lagi!"

"Iyaaa, Bu! Maaf, maaf, Qilla nggak sengaja ketiduran lagi," balas Qilla cepat, sambil memasukkan buku ke dalam tas dan mematut diri sekilas di cermin.

"Sarapan sudah Ibu siapkan. Jangan lupa dimakan sebelum berangkat. Jangan cuma bawa kantong kosong ke sekolah!" ujar Nyonya Bella sambil berlalu menuju dapur.

Qilla menarik napas panjang. “Hari yang penuh drama lama,” gumamnya pelan sambil tersenyum kecut, lalu segera bergegas turun ke bawah.

Dengan langkah terburu-buru, Qilla menuruni anak tangga sambil menenteng tas sekolah yang hampir saja terbuka resletingnya. Suara langkah kakinya terdengar tergesa, bergema di lantai rumah yang masih sepi kecuali suara nyaring TV dari ruang tengah dan aroma makanan hangat yang menyeruak dari dapur.

Begitu sampai di meja makan, matanya langsung menangkap sepiring nasi goreng lengkap dengan daging sapi dan irisan berbagai macam sayuran di pinggir piring. Segelas susu hangat juga sudah menantinya.

"Cepat makan. Ibu sudah telepon pamanmu buat nganter kamu," seru Nyonya Bella dari dapur sambil mengaduk teh.

Qilla langsung berhenti mengunyah. "Uncle Aldo? Ih... Qilla nggak mau, Bu! Qilla bisa naik motor sendiri kok!"

"Kamu udah telat, Qilla. Naik motor malah bisa makin telat. Lagian, pamanmu itu jago nyalip kendaraan. Setidaknya dia bisa pastiin kamu benar-benar masuk sekolah."

"Lagian, aku kan nggak pernah minta sekolah di luar, Bu. Aku lebih suka homeschooling. Tapi Ibu selalu paksa aku ini-itu!" sahut Qilla sengit.

"Huh... Aku cuma pengen hidup tenang dan damai kayak dulu, Bu. Nggak ada suara ribut-ribut yang ganggu pendengaranku," tambahnya kesal.

"Ya udah, tinggal aja di hutan sana kalau nggak mau dengerin keributan!" balas Nyonya Bella sambil memutar bola mata.

Baru dua sendok nasi masuk ke mulut, suara klakson mobil terdengar dari depan rumah.

"Itu pasti pamanmu. Cepat habiskan sarapanmu!" seru ibunya lagi tanpa menoleh.

Qilla buru-buru meneguk susunya, mengambil sepotong roti dan memasukkannya ke dalam plastik.

"Bu, makasih sarapannya! Qilla berangkat dulu ya!" teriaknya sambil menyambar tas.

"Jangan lari-lari! Dan jangan lupa baca doa!" teriak Nyonya Bella membalas.

Qilla melambai dari depan pintu lalu membuka pagar besar rumah mereka. Di luar, sebuah mobil sport hitam-merah terparkir dengan jendela terbuka. Dari dalam, Uncle Aldo menatap Qilla dengan ekspresi datar.

"Telat lagi ya, Nona Putri tidur," sindir Aldo sambil membuka pintu mobil dari dalam.

Qilla manyun. "Qilla nggak mau ikut uncle! Qilla mau naik motor sendiri, titik!"

Aldo menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi jangan bolos sekolah, paham?"

"Paham! Udah sana pergi," usir Qilla ketus.

Mobil Bugatti milik Aldo pun melaju pelan menyusuri jalan, meninggalkan Qilla yang masih berdiri menatap punggung mobil itu hingga menghilang di tikungan. Ia kemudian berjalan ke arah motornya.

Gadis itu mengendarai motor kesayangannya—hadiah ulang tahun dari kedua orang tuanya. Namun, bukannya langsung ke sekolah, Qilla justru berhenti di taman bunga yang tenang dan asri. Ia mematikan mesin, lalu duduk di bangku taman, membiarkan semilir angin pagi menenangkan pikirannya yang sedang kacau.

Tak lama kemudian, suara motor lain terdengar mendekat.

"WOI! Lo ngapain duduk di situ?" tanya seorang siswa dari atas motor ZX-25R hitamnya. Dialah Arion teman dekat Qilla.

"Arion, lo mau bolos bareng gue lagi nggak?" goda Qilla dengan senyum nakal.

"Buset, ngajak bolos lagi? Nggak bosen apa tiap hari begitu terus?"

"Di kamus hidup gue, nggak ada kata bosen buat bolos," jawab Qilla santai dan bangga.

"NGGAK! Nggak ada bolos-bolosan lagi! Cepetan berangkat! Pak Brian bisa-bisa bunuh lo kalau telat!" seru Arion panik.

"Sial!" Qilla buru-buru menyalakan motornya lagi dan melaju ke sekolah.

Sesampainya di kelas, suasana mendadak hening saat Pak Brian guru yang terkenal dingin itu masuk ke dalam ruangan. Semua murid langsung berdiri memberi salam.

"Pak! Di kepala Bapak ada daun, tuh!" seru Qilla tiba-tiba.

Pak Brian langsung refleks menyentuh kepalanya, mengacak rambutnya mencari-cari daun yang dimaksud. Ternyata tak ada apa-apa. Qilla tertawa puas, dan teman-temannya hanya bisa melotot sebal.

"Kintania Raqilla Alexander. Keluar!" suara Pak Brian tajam, penuh wibawa.

"Loh, Pak! Saya kan cuma bercanda tadi," ucap Qilla santai, seolah tak merasa bersalah.

Teman-teman sekelasnya sudah siap mengepal tangan mereka antara gregetan dan heran kenapa cewek selucu itu bisa sebandel ini.

"KELUAR, QILLA!"

"Wah, wah... Bapak nggak tahu ya? Ibu saya itu kepala sekolah di sini loh pak," kata Qilla santai sambil tersenyum usil.

Arion yang duduk di sampingnya langsung menendang tulang kering Qilla dari bawah meja. Qilla menoleh tajam.

"Keluar, bego! Lo nggak liat mata Pak Brian udah kayak mau nelen lo hidup-hidup?" bisik Arion ketus.

"Iya, iya, gue keluar. Bawel banget dah lo," jawab Qilla akhirnya sambil mengemasi barang-barangnya.

Saat Qilla hendak melangkah ke luar, tangan Pak Brian menahan lengannya.

"Jam istirahat nanti, ke ruangan saya," ucap Pak Brian datar namun tegas.

Bab Dua

"Pak Brian Jayden Bartles yang terhormat, saya izin pulang ya! Kepala saya tiba-tiba pusing!" ucap Qilla sambil memegangi kepalanya dengan ekspresi meringis dramatis.

Pak Brian hanya menatapnya dalam, tajam, penuh selidik.

Tapi Qilla tak menunggu persetujuan lebih lanjut. Dengan cepat, gadis itu langsung melenggang keluar kelas dan tentu saja langsung pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, nyonya Bella yang sedang menyapu teras langsung menghentikan aktivitasnya.

"Loh, sayang? Kok kamu sudah pulang? Ini baru jam setengah sembilan, sayang," ujar nyonya Bella heran, menatap putrinya dari atas ke bawah.

"Kata mas Brian aku boleh pulang, Bu. Disuruh istirahat di rumah," jawab Qilla sambil tersenyum sok lemah.

"Kamu sakit, sayang?" tanyanya cemas.

Qilla mengangguk pelan, tangannya memegangi kepalanya.

"Sakit banget, Bu... Auuuhh," ucapnya dramatis sambil merosot ke sofa.

Nyonya Bella langsung panik, duduk di sebelah Qilla dan memegang tangannya.

"Yang sakit bagian mana, Sayang?"

"Kepala, Bu… Ugh… Pusing banget..."

"Astaga, ini harus ke dokter! Ayo, kita periksa sekarang juga, sayang!" Nyonya Bella berucap sambil bangkit berdiri dan bersiap mengambil kunci mobil.

"Ehh, ehh… Nggak usah, Bu! Nanti juga sembuh sendiri kok. Qilla mau istirahat aja dulu ya. Byee!" Qilla langsung lari kecil ke arah tangga.

Nyonya Bella hanya bisa melongo, lalu matanya menyipit saat mendengar suara tawa Qilla di atas anak tangga.

"Ya ampun! Dasar anak manis kurang ajar! Berani-beraninya kamu bohongin ibu!" teriak nyonya Bella.

Wanita paruh baya itu hanya bisa memijat pelipis dan pangkal hidungnya, pusing menghadapi kelakuan anak semata wayangnya yang selalu penuh akal.

***

Malam itu, lampu-lampu warna-warni berkelip diiringi dentuman musik keras di sebuah club malam. Qilla berada di tengah keramaian, menari mengikuti irama seakan dunia miliknya. Tubuhnya bergerak luwes, rambutnya berayun setiap kali ia berputar.

"Hai, tampan. Sendiri aja nih?" godanya pada seorang pria yang duduk sendiri di pojok ruangan, terlihat mencolok dengan setelan hitam rapi dan aura dingin yang tak bisa disembunyikan.

Pria itu menoleh, memperhatikannya tanpa sepatah kata pun.

"Mau saya temenin nggak, tampan?" lanjut Qilla dengan senyum nakalnya. Dia lalu cepat-cepat meralat ucapannya sambil terkekeh. "Eh, maksud saya, nemenin saya gitu, om."

Pria itu menatap Qilla lebih tajam, ekspresi wajahnya masih dingin.

"Kenapa ada siswi SMA di sini? Kamu sadar tidak, kamu bahkan belum cukup umur buat masuk ke tempat seperti ini."

Qilla dengan santainya merangkul pundak pria itu, lalu menunjuk ke arah pintu masuk.

"Saya masuk lewat sana tuh, om," jawabnya enteng, seolah yang dia lakukan sah-sah saja.

"Kamu belum legal untuk ada di sini, Qilla," ucap pria itu, suaranya datar tapi tegas.

Qilla menyipitkan matanya. "Loh? Bapak guru? Pak Brian?!"

Brian mengangguk pelan, ekspresinya tak berubah.

"Sial." Bisik Qilla pelan. "Ketemu Pak Brian di club malam? Tamat riwayat gue."

Qilla mundur selangkah, ekspresinya berubah dari santai jadi panik. Dia melirik ke kanan dan kiri, seolah mencari celah buat kabur.

"Pak Brian... Gini, ini... Bukan kayak yang Bapak pikirin," ucap Qilla sambil nyengir kaku, tangannya mengusap tengkuk.

"Oh ya?" Brian berdiri dari kursinya. Tingginya membuat Qilla refleks menelan ludah. "Lalu, menurutmu, saya sedang mikir apa sekarang?"

Qilla tertawa kecil, canggung. "Mungkin... Bapak lagi mikirin kenapa murid secantik saya bisa nyasar ke tempat gelap kayak gini?"

Brian menghela napas panjang, memijat batang hidungnya, kebiasaan yang mulai Qilla kenal sebagai sinyal: bahaya, mau ngamuk.

"Ayo, kita pulang sekarang juga!" Tegasnya sambil meraih tangan Qilla.

"Eh, eh! Nggak bisa gitu dong Pak! Saya belum selesai dansa, lagian ini kan malam selasa—"

"Dan kamu masih pelajar," potong Brian tajam. "Yang seharusnya malam selasa nya di rumah, bukan di club malam!"

Qilla mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Brian terlalu kuat. Dia mengerucutkan bibirnya, mendengus kesal.

"Ih, rese banget sih Pak. Bapak tuh guru paling nyebelin yang pernah saya temuin tau nggak!"

Brian hanya menatapnya dingin. "Dan kamu murid paling bandel yang pernah saya ajar."

Dengan sedikit tarik-menarik dan gumaman protes dari Qilla, akhirnya mereka keluar dari club malam. Udara malam yang lebih tenang menyambut mereka.

Sesampainya di parkiran, Qilla menatap Brian dengan tatapan protes.

"Pak, boleh nggak satu hal aja sebelum pulang?"

"Apa?"

"Jangan bilang ke ibu saya, plis..."

Brian mengangguk, tapi kemudian menatap Qilla tajam.

"Asal kamu janji. Mulai besok, tidak ada lagi club, tidak ada lagi bolos, dan tidak ada lagi drama di kelas."

Qilla menghela napas panjang. "Oke deh, Pak. Tapi jangan berharap saya langsung jadi anak rajin. Proses ya, proses."

Brian hanya mendengus kecil. "Naik motormu. Saya pantau dari belakang. Sekali kamu belok arah, saya telepon kepala sekolah."

Qilla melongo. "Sial. Bapak lebih horor dari Pak Satpam sekolah."

Tapi yang namanya Qilla, anak paling bandel seantero sekolah, mana mungkin nurut begitu aja? Gadis itu malah melajukan motornya sambil sesekali menoleh ke arah mobil Brian yang mengikutinya di belakang. Tawa kecil lolos dari bibirnya saat melihat mobil Brian melaju lebih cepat, seakan ikut bermain kejar-kejaran.

Dengan spontan, Qilla memutar balik motornya dan kembali ke arah club malam. Tanpa pikir panjang, Qilla turun dari motor dan langsung masuk ke dalam club itu dengan langkah ringan dan penuh percaya diri.

Sementara itu, mobil Brian berhenti mendadak di parkiran. Pria itu buru-buru turun dan mengikuti Qilla masuk ke dalam club, menghela napas panjang. "Dasar anak nakal," gumamnya sambil menggeleng-geleng kepala.

Begitu melihat Brian masuk, Qilla melambai-lambaikan tangan sambil berteriak kecil karena tertutup dentuman musik. "Pak! Ayo menari!"

Brian tidak membalas ajakan itu, hanya menunjuk kursi di sampingnya. "Duduk!" Titahnya tegas.

Dengan cemberut, Qilla menuruti perintah itu dan duduk di samping Brian. "Kenapa balik lagi ke tempat ini? Dan kenapa tadi sempat pulang?" tanya Brian, suaranya nyaris tenggelam oleh musik.

Qilla mengangkat bahu santai. "Bosen di rumah, Pak. Lagian, dengerin Bapak ngejelasin rumus-rumus kayak buah jatuh dari pohon dengan kecepatan sekian-sekian duh, kepala saya serasa diputar blender. Saya tuh maunya pelajaran yang santai, nggak bikin pusing."

Brian tersenyum tipis, lalu mendekatkan wajahnya ke Qilla, membuat gadis itu sedikit mengernyit, tapi tak bergeming.

"Besok, kamu akan kena hukuman karena bolos dan masuk club malam. Seorang siswi SMA tidak seharusnya berada di tempat seperti ini," ucap Brian pelan tapi tajam.

Qilla justru terkekeh kecil. "Dan Bapak juga bakal kena hukuman, soalnya memberi contoh buruk pada murid. Kita satu tim dong, Pak. Romantis banget nggak sih?"

Brian menghela napas berat. "Saya benar-benar tidak mengerti cara pikirmu, Qilla."

Qilla tersenyum manis, memutar minuman cocktail di depannya. "Itu karena Pak Brian terlalu lurus. Sesekali, belok dikit biar hidup lebih berwarna."

Brian memejamkan matanya sejenak. Berbicara dengan Qilla memang selalu menguras tenaga. Bukan hanya dirinya, bahkan sebagian besar guru di sekolah pun sudah angkat tangan jika harus berurusan dengan gadis cantik dan imut yang satu ini.

Omongan Qilla tak pernah ada habisnya. Selalu ada saja alasan, candaan, atau celotehan nyeleneh yang membuat lawan bicaranya kewalahan. Meskipun baru duduk di bangku kelas 2 SMA, Qilla seolah sudah mencicipi semua bentuk hukuman yang tersedia di sekolah mulai dari yang ringan sampai yang paling ketat.

Bab Tiga

Keesokan paginya, Qilla terbangun dengan kepala berat dan badan terasa remuk. Perlahan gadis itu membuka matanya, mencoba mengingat kejadian semalam.

"Ikut saya," ucap Brian sambil menarik tangannya.

"Yakk! Lepasin tangan saya, Pak! Bapak mau bawa saya ke mana, hah?!" teriak Qilla sambil memukul-mukul tangan gurunya.

"Diam," titah Brian dingin.

Pria itu membawa Qilla ke sebuah kamar yang memancarkan kemewahan dan keanggunan dalam setiap detailnya. Dibalut dalam nuansa hitam elegan, ruangan ini berdiri megah dan berkelas. Tempat tidur king size dengan seprai hitam pekat dan bantal-bantal empuk bertengger anggun di atas karpet bulu lembut, memberikan kesan hangat sekaligus mewah.

Di langit-langit, lampu gantung modern berbentuk bola-bola kaca memancarkan cahaya temaram yang menciptakan efek dramatis nan memikat. Dinding kamar dihiasi panel kaca, lampu dinding artistik, serta ornamen besar berbentuk bulan purnama yang menambah sentuhan magis dan misterius.

Jendela besar dari lantai hingga langit-langit menampilkan panorama kota malam yang gemerlap, menciptakan suasana eksklusif dan romantis. Sebuah kursi santai minimalis dan meja bundar kecil ditempatkan di dekat jendela, menjadi sudut sempurna untuk menikmati malam dalam diam.

Di pojok ruangan, tanaman kering artistik memperkuat kesan kontemporer, sementara pencahayaan lembut dari berbagai arah membuat kamar ini terasa hangat, tenang, dan intim—ideal untuk beristirahat atau sekadar melarikan diri dari hiruk-pikuk dunia luar.

Awalnya, kamar ini disewa Brian untuk dirinya sendiri, tempat dia bisa beristirahat dalam kesunyian. Namun, takdir berkata lain. Malam itu, ketika Brian menemukan Qilla di sebuah club malam, dia membawanya ke tempat ini—tempat yang kini menjadi saksi diam bagi kisah mereka yang tak terduga.

"Wah gila, kamarnya mewah banget," gumam Qilla terpukau.

"Luas banget lagi." Batinnya.

"Eh, tapi. Kenapa Pak Brian menyewa kamar semewah ini sih?" tanyanya curiga.

"Awalnya saya ingin istirahat di sini. Tapi karena kamu ada di sini, jadi... Mari kita bersenang-senang," ucap Brian enteng.

Mata Qilla langsung membelalak.

"Tapi, Pak-"

Ucapannya langsung terpotong ketika Brian tiba-tiba mencium bibirnya. Qilla langsung mendorong tubuhnya.

"Pak Brian, gila ya?!" teriaknya marah. Tapi Brian malah mendorongnya pelan ke atas tempat tidur, lalu kembali menciumnya.

"Apa kamu mabuk, Qilla?" tanyanya.

"Saya sadar!" balas Qilla lantang.

"Kenapa kamu makin cantik, sayang?" bisik Brian sambil mengelus pipi Qilla.

"Terima kasih, aku emang cantik dari kecil," sahut Qilla, terpukau oleh tatapan gurunya.

Brian hanya tersenyum tipis.

Oke. Kita tinggalkan adegan semalam itu.

***

"Guru sialan!" Maki Qilla sambil menatap langit-langit kamar.

"Bangun! Jangan mengumpat sama guru sendiri seperti itu!" Terdengar suara nyonya Bella dari arah pintu.

"Yakk! Ibu?! Kenapa Ibu ada di kamarku?!" tanya Qilla panik.

"Kamu pikir ini kamarmu?" jawab nyonya Bella dengan nada santai.

Qilla mengedarkan pandangan, lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Hehe... Jadi... Kenapa aku ada di sini, Bu?"

"Semalam suamimu yang bawa kamu pulang. Katanya kamu tertidur di club malam. Kamu nggak ingat apa-apa?"

Qilla hanya menggeleng pelan. Wajahnya memerah.

"Guru brengsek." Batinnya.

"Terus, motor aku di mana?" tanya Qilla.

"Ya mana Ibu tahu. Kamu ini ya, baru bangun bukannya nanya udah jam berapa, malah langsung cari motor," omel nyonya Bella.

"Ibu kan sudah bilang berkali-kali, jangan ke tempat kayak gitu lagi! Itu tempat berbahaya nak. Kamu perempuan, masih sekolah pula. Nggak seharusnya ke tempat seperti itu!" lanjutnya dengan suara yang mulai meninggi sedikit hanya sedikit.

"Tapi, Bu-"

"Nggak ada tapi-tapian! Semua Ibu lakukan buat kebaikan kamu juga. Sekarang mandi, udah setengah tujuh! Cepet berangkat sekolah!"

Qilla hanya menghela napas. Pandangannya tertuju pada seragam SMA-nya yang tergantung rapi. Kepalanya masih pening, pikirannya melayang ke kejadian semalam. Untung Pak Brian nggak bilang apa-apa soal... Itu.

"Guru gila," gumamnya pelan, diiringi helaan napas panjang.

***

Di sekolah, suasana seperti biasa: ramai, bising, dan penuh drama. Siswa-siswi berlalu lalang di koridor. Beberapa menyapa Qilla saat melihatnya lewat.

"Gila! Lo bolos kemarin tapi nggak dihukum." Celetuk Gin, si cerewet.

"Iya lah, anak kepala sekolah. Aman lah," sambung Harris.

"Tumben lo diem? Biasanya mulut lo kayak speaker aktif," celetuk Harris lagi, heran melihat wajah Qilla yang murung.

"Eh sumpah, cara jalan lo kayak habis duel sama banteng!" tambahnya sambil mengamati langkah Qilla.

Qilla menoleh pelan. Ekspresinya galak. "Mulut lo bisa diem nggak sih? Gue lagi nggak mood," jawabnya ketus.

Harris bersiul pelan, pura-pura takut.

"Waduh, sinyal merah menyala. Fix, abis ribut sama si kakak ganteng ya?"

Qilla langsung mendelik tajam.

"Sekali lagi ngomong gitu, gue lempar sepatu beneran."

"Yah, maaf deh. Tapi serius, kenapa lo? Biasanya lo yang paling bawel. Dan lihat tuh, cara jalan lo kayak... habis di anu anjir!"

Qilla spontan menghentikan langkahnya, melototi Harris dengan wajah yang setengah salah tingkah. "Bangsat, itu mulut pengen banget gue lem sama batu bata!" Kesalnya, pipinya sedikit merona.

Harris menyipitkan matanya, makin curiga. "Fix. Cerita sekarang, atau gue culik ke kantin sampai lo buka suara."

Qilla hanya mendengus pelan, menguap kecil lalu menatap Harris dengan tatapan malas. "Nggak, ah. Gue ngantuk. Kantin mulu hidup lo, nggak bosen apa?"

"Yee, kayak lo nggak pernah aja," balas Gin sambil nyengir lebar.

Qilla memilih diam. Tanpa membalas lagi, gadis itu langsung melangkah masuk ke kelas dan menjatuhkan dirinya di bangkunya dengan lelah, enggan terlibat percakapan lebih jauh. Wajahnya terlihat letih.

"Kenapa lo?" tanya Arion, teman sebangkunya.

"Kepala gue pusing banget bro," sahut Qilla sambil memijat pelipisnya.

"Lo sakit? Atau pusing gara-gara nggak ada duit?" Canda Gin.

"Ya kali pusing karena nggak ada duit. Sorry ya, duit gue numpuk, men," balas Qilla sedikit nyolot tapi tetap dengan nada malas.

"Yee, sombong amat!"

"Udah diem deh, berisik. Gue mau tidur." Qilla lalu memejamkan matanya.

"Buset, sempat-sempatnya tidur di kelas," komentar Gin sambil menggelengkan kepalanya.

"Berisik, bangsat!" Sahut Qilla malas tanpa membuka mata.

Tak lama kemudian, suara langkah sepatu kulit yang sudah sangat familiar terdengar dari arah pintu. Brian masuk ke kelas dengan ekspresinya datar seperti biasanya, buku di tangannya dan sorot mata tajam yang menyapu seluruh ruangan.

"Selamat pagi," ucap Brian singkat, sambil meletakkan buku di atas meja guru.

"Selamat pagi, Pak," sahut seluruh siswa-siswi serempak.

Kecuali satu orang-Qilla. Gadis itu tetap berpura-pura tertidur di bangkunya, enggan membuka mata. Meski begitu, jantungnya berdebar tak karuan, seakan tahu tatapan tajam sang guru sedang mengarah padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!