NovelToon NovelToon

Bayang-bayang Yang Tidak Pergi

Bagian l : seorang wanita yang hilang. Jangan cari aku, aku hilang

Aku tidak pernah menyangka, bayangkan ini muncul setelah sekian lama seolah-olah aku menemukan buku tua yang dipenuhi debu ketika menyelami ruangan perpustakaan kuno disuatu tempat. Sepertinya juga, berbau tajam, kuno, apek dan banyak debu. Tidak suka, jelas sekali muncul dalam benak, dan sepertinya, aku membuangnya saja, takut mengotori tanganku. Kemudian, apa yang terjadi? Aku meninggalkannya dan membuangnya agar tidak memenuhi tempat-tempat.

Buku-buku kuno yang perlahan-lahan dihapus waktu, dihancurkan para serangga dan dikubur debu memang layak untuk dibuang, sama halnya juga dengan tubuh yang Kalian miliki. Jika kalian merasa tidak perlu, hanya perlu membuangnya. Jangan takut, jika Kalian memiliki keyakinan yang kuat untuk melakukannya.

Jika kalian sudah melakukannya, kalian tidak akan bisa kembali. Pintunya sudah ditutup. Tidak boleh ada penyesalan yang muncul, sebab penyesalan itu akan menggerogoti hati yang telah lama dipupuk dan keyakinan yang bersusah payah dibangun.

Mengapa orang memilih bunuh diri? Jelas sekali, mereka tidak butuh tubuh ini. Tidak butuh orang-orang disekitarnya dan tidak butuh bumi ini yang sering diperebutkan dari abad pertama. Semuanya adalah mereka yang sadar jika hidupnya tidak layak untuk dijalankan lagi.

Orang lain tidak akan bisa memperjuangkan mereka. Untuk apa memperjuangkan buku-buku yang usang dan penuh dengan lubang-lubang? Lebih baik, hancurkan saja, bakar saja supaya bisa menghangatkan tubuh-tubuh disekitarnya. Dan siapa tubuh-tubuh di sekitar? Tentu saja, orang-orang yang dimaksud keluarga, kekasih atau bahkan orang jauh yang hanya lewat saja, tapi memiliki ikatan.

...****...

Dua bulan yang lalu adikku meninggal, ditemukan gantung diri menyebabkan lehernya memiliki garis merah, menyulut api kebencian, kemarahan dan kebingungan diantara semua keluarga. Apa yang menyebabkannya mengambil tindakan itu? Apa dia sedang sakit?

Hati seluruh keluarga menjadi abu-abu, tapi hanya satu yang tidak merasakannya. Jauh sekali, diperkotaan yang penuh kebisingan, namun kebisingan itu tidak mampu mempengaruhi telinganya yang terbuka. Dia benar-benar pandai menjaganya. Alih-alih berpikiran aneh, aku menduga gadis kecil itu hanya coba-coba bunuh diri, dan hasilnya ternyata bunuh diri beneran. Ternyata rasa penasaran membunuhnya. Ini hal biasa bukan? Tapi aku merasa terhibur karenanya.

Tapi sayang sekali aku tidak bisa bertemu dengannya lagi. Tidak apa-apa, semoga dia bisa bertemu dengan para dewa dialam dewa.

Tapi, mungkin saja seluruh keluarga tidak akan menangis jika aku pergi, jauh dari rumah atau bahkan dunia ini, hanya karena mencoreng nama baik keluarga. Nama keluarga itu penting, tapi... Ayolah, itu hanya sebagai jenis huruf yang disusun, tidak hidup, tidak memiliki perasaan apa pun, bahkan hubungan darah.

Jika itu mati, kalian akan baik-baik saja.

Namun jika semua orang dikeluarga berpikir seperti itu, orang lain akan menyebutnya aneh dan tidak menghormati kepintaran leluhur yang dengan sudah payah memeras seluruh isi otak mereka untuk membuat huruf-huruf itu, hingga ketahap ini.

Deretan huruf yang dapat mengantarkan kerinduan seseorang, perasaan yang tersimpan lewat huruf-huruf dan usaha untuk melakukannya. Namun... untuk apa kita memikirkannya? Jagan terlalu dipikirkan ya. Ini adalah kata-kata omong kosong dari orang yang ingin hidup, merasakan keindahan dari sudut pandang lain. Ingat, aku tidak gila, aku bersuka cita karena kecerobohan seorang adik yang periang itu. Kamu pastinya bertanya mengapa aku bersuka cita? Tentu saja aku menertawakan kecerobohannya, seperti melihat anak kecil yang melakukan kesalahan dan itu lucu. Aku aneh? Aku gila? Itu adalah orang-orang yang tidak pernah benar-benar memahami dunia. Tapi, ingat jangan pernah memahami dunia. Dunia itu kejam ya.

Para petani harus memotong tubuh sayur untuk dimakan, peternak harus membudak, membunuh hewan peliharaannya. Para pekerja diperas untuk bekerja hingga batas kemampuannya dan dikendalikan orang diatas dengan kata-kata, ‘begitulah dunia harus bekerja.’ Para nelayan dan semuanya, mereka adalah pembunuh, penjahat dan bahkan aku yang menulis cerita ini untuk membuat kalian membacanya dan tertarik. Tulisannya tidak baik dan tidak berguna untuk kehidupan kalian, jadi jangan pernah menganggapnya serius. Anggap saja aku seorang kesepian yang mencari perhatian dengan menulis seperti ini.

Di dunia ini aku hidup damai, kemudian menikah dan kami membuat kesepakatan untuk tidak saling mencampur urusan satu sama lainnya, bukan karena dijodohkan, tapi itulah dunia kami, dunia yang aneh juga unik.

Suamiku bekerja dan pulang hanya untuk tidur. Aku selalu menulis di ruangan kerja tanpa menyadarinya pulang. Tentu karena dia tidak selalu menyapaku. Dia tidak bertanya mengapa aku tidak pulang menyaksikan pemakaman adikku. Jika pun dia bertanya seperti itu, maka aku akan menjawab, untuk apa mengistimewakan sisa-sisa kehidupan yang sudah tidak berguna? Perlu tanam saja, supaya berguna untuk tumbuhan dan tanah, buang semua Fotonya dan anggap dia tidak ada. Mengapa? Karena dia benar-benar sudah pergi. Jika kamu punya manisan dan kamu sudah memakannya, apa kamu akan mengenang pembungkusnya? Jangan pernah menjadi bodoh. Bakar saja, itu bisa menghidupkan api, menghangatkan tubuh. Tapi kemudian orang bertanya, ini kan manusia? Manusia punya perasaan. Kamu tahu, karena perasaan itu yang membuatmu menderita. Karena sebuah perasaan akan muncul, lalu menjadi sisa-sisa, dan ini menjadi kenangan dan kenangan ini akan menumpuk didalam diri manusia, dibawahnya hingga mati. Oleh sebab itu, gadis kecil yang belum mengalami banyak perasaan akan memiliki kehidupan yang jauh lebih baik, karena dia tahu kapan harus membuang hal-hal yang tidak berguna.

Foto yang kamu simpan hanya akan menyisakan kenangan yang menyakitkan.

Aku mulai teringat ibu saat ayah meninggal. Dan hidupnya menjadi muram seperti seorang pelukis yang melukis tanpa perasaan. Itu indah, tapi menyedihkan.

Ibu, oh ibu. Kau benar-benar harus menyimpan banyak sampah didalam dirimu sehingga itu membuatmu kesulitan berjalan. Saat kamu membakarnya kamu pun ikut terbakar.

Karena perasaan, orang hidup menyedihkan, semakin berusaha mengingatnya, semakin pula tersiksa. Beberapa orang menikmatinya, tapi itu bukan aku. Aku yang hidup sendiri dan membuang semua sisa-sisa kehidupan sebelumnya.

Aku hidup, tapi sejujurnya aku kosong seperti satu buku yang belum dituliskan. Mungkin aku harus menulis dengan hati-hati agar tidak hancur. Tapi aku merasa juga bukan buku kosong seperti itu.

Hidupku mungkin sudah hancur dan keluargaku membuangku tanpa perasaan apa pun. Mudah ya, membuang orang yang menurut mereka tidak layak untuk dikenang, tapi mereka kesulitan membuang perasaan-perasaan sampah didalam diri mereka. Di sini, siapa yang menyedihkan? Aku atau keluargaku?

Aku menikah diusia muda, bukan karena cinta, bukan karena harta, tapi janji. Saat malam pernikahan kami, aku berkata, “Tolong ya, tempatkan sisa kehidupanku di desa, di bawah kebun bunga yang banyak. Aku ingin menumbuhkan bunga-bunga yang indah yang menarik para serangga cantik.”

Dia hanya mengangguk waktu itu, tanpa bertanya dan membuat ekspresi. Entah mengapa, aku merasa dia benar-benar orang yang selaras denganku, menerimaku apa adanya tanpa banyak bertanya seperti tumbuhan yang senang tiasa menerima hujan meksipun mereka sudah kedinginan.

Aku tidak merasa aneh dan ibu juga bilang begitu.

Ketika aku kecil, aku sering menangkap jangkrik dikebun, disore hari yang terang dan dibawah cahaya matahari kuning yang menyala. Kemudian meletakkannya didalam toples. Memberinya lubang dan beberapa halai daun. Juga meletakkan cangkir kecil yang dipenuhi air.

Malam harinya, aku duduk, menghadap toples itu, mengamati jangkrik yang hinggap di atas daun yang kutaruh sebelumnya, mengamatinya, dan ketika ia mulai mengeluarkan suara, aku memejamkan mata, merenung dan berpikir apa maksud dari suara yang dikeluarkannya.

Aku melakukannya beberapa kali. Ayah, ibu dan adikku mengamatinya. Ayah tak peduli. Adikku hanya mengganggu beberapa kali dan menyerah. Tapi hanya ibu yang selalu mengamatiku dalam diam dan kemudian berkata, “Kamu memiliki hiburan yang unik. Nanti barangkali mungkin kamu akan menjadi orang besar.”

Ibu kemudian pergi dan tidak pernah mengganggu.

Aku melanjutkan apa yang kusukai. Adik perempuanku bertanya, “Kakak, mengapa menyukai jangkrik-jangkrik itu? Lihat, mereka ketakutan karena kakak!”

Aku hanya tersenyum. Senyuman adalah alat terkuat untuk menekan penolakan. Segera aku dianggap aneh dan sedikit berbicara. Adik Perempuanku sering mengatakan aku aneh dan aku tidak peduli dengan itu. Mengapa? Kamu harus tahu, orang yang paling menderita didunia ini adalah orang yang terlalu peduli dengan pendapat orang lain. Jangan seperti itu ya, jangan. Itu menyakitkan. Sebenarnya, kamu hanya perlu menjaga dirimu sendiri, tidak pernah sok menjadi pahlawan untuk satu keluarga. Kamu tidak akan bisa melawan siklus kehidupan yang mengalirkan darah, membawa kita entah kemana. Apa itu ke muara sungai yang jauh dan bertemu laut asin, tempat bagi jutaan mahkluk hidup didalamnya? Atau... Harus diserap tanah hingga tidak tersisa sedikit pun?

Jika kamu sangat peduli dengan orang lain, maka akibatnya kamu akan memberikan beban kepada tubuhmu. Itu tidak salah, hanya saja kamu harus tahu berapa beban yang bisa kamu bawa. Dan aku, tidak ingin memiliki beban itu. Aku hanya ingin berjalan sendiri, tanpa orang lain disisikku. Bagiku, mereka adalah sumber kesedihan dan menciptakan sisa-sisa kehidupan dimasa lampau yang menumpuk dihati kemudian perlahan-lahan melemahkan kehidupan yang singkat ini.

Aku setiap malam yang dingin, dengan hembusan angin sawah, aroma wangi rerumputan, diam diruangan kecil, mendengar jangkrik yang berbunyi. Mereka seolah melodi kesedihan yang mendalam diantara malam yang kelam. Mendengarnya sembari bersandar dimeja dan sering kali aku tertidur.

Ini adalah caraku menikmati musik dalam kesederhanaan anak seorang petani desa yang tidak mengetahui megahnya dunia kota yang penuh dengan kebisingan.

Jika aku tahu, kota itu adalah mahkluk hidup yang tidak pernah beristirahat, maka aku tidak akan pergi ke sana. Mahkluk itu adalah kehidupan, dan karena tidak pernah beristirahat, menjadi gila, bingung dan kacau. Kamu akan melihat udara yang dipenuhi debu, suara kendaraan motor yang menyakitkan telinga, orang-orang yang begitu banyak dan sampah yang menumpuk karena tidak ada tempat untuk mereka. Sampah, ya sampah. Tidak ada tempat teraman bagi mereka, mereka adalah kumpulan yang tidak pernah dipandang bagi manusia yang terlalu sibuk dan kesulitan hidup.

Sementara diantara pegunungan yang menghadang awan-awan lewat, seperti meminta hujan. Hamparan sawah Hijau yang membuat hati sejuk, disinilah aku hidup. Masa kecilku yang sering menikmati jangkrik yang berbunyi, kerbau yang mengaung dan anak-anak yang berlarian melintas pedesaan yang asri, jauh dari kehidupan kota yang serba sibuk dan cepat.

Ah, aku memiliki semuanya, padahal itu adalah masa yang berlalu dua puluh tahun yang lalu. Bagaimana dengan gubuk kecil yang ada ditengah sawah itu sekarang? Apa masih berdiri? Apa sawahnya masih asri dan dipenuhi warna kehijauan?

Aku bisa, sangat bisa untuk pergi melihatnya sekarang, namun aku tidak melakukannya. Itu adalah tindakan yang bisa membuatku kecewa. Kamu tahu, mungkin yang paling baik adalah diam disuatu ruangan yang tenang, memegang secangkir teh yang sudah basi, melihat pergerakan asapnya yang pelan-pelan diterbangkan angin.

Asap, oh asap. Aku merasa kehidupanku seperti asap yang terbang, perlahan-lahan atau cepat–tergantung bagaimana cara angin meniupnya. Ingin bergerak tinggi, lebih tinggi tanpa sadar teh dibawahnya mulai mendingin dan akhirnya tidak bisa menciptakan asap lagi, kemudian kehidupan asap itu memudar seperti orang yang lama pergi lalu perlahan-lahan terlupakan.

Tehnya basi, aku tidak berbohong. Teh ini sudah lama dikeringkan dibungkus dengan rapi kemudian ditambahkan pengawet. Tidak salah bukan menyatakannya sudah basi?

Saat aku meminumnya, rasa basi, aroma yang lembut dan keringat para petani bercampur dalam tenggorokanku. Begitu menyedihkan aku meminum seteguk teh ini dari banyak orang yang bekerja didalamnya tapi akhirnya terasa basi ditanganku ini. Aku mengingat ini, bagaimana orang berusaha untuk hidup yang baik, namun kematian dengan cepat mengambil semuanya. Dia tidak mengambilnya tapi merampasnya dari kehidupan kita. Dunia itu kejam, tapi seri sering kali kita menutup mata untuk tidak melihatnya. Ini tidak salah, hanya saja apa kamu terus berdiam diri tanpa melihat kenyataan yang ada didalamnya? Aku bukan Plato yang hebat itu, aku hanya mengambil dalam perenungan yang muncul dalam perjalanan hidupku yang singkat. Jika dibandingkan dengan sejarah, kehidupanku tidak ada apa-apa dan bahkan itu terasa tidak berguna. Mungkin benar adanya. Jika kamu melihatku berjalan dijalan kosong dan tidak mempedulikan hal disekitarnya, kamu tidak aka mencari tahu siapa aku dan apa yang aku lakukan. Kamu hanya berpikir aku adalah seorang wanita yang berjalan, ingin kesuatu tempat, melakukan sesuatu dan akhirnya kembali pulang. Begitu saja, hanya begitu. Kalian egois bukan? Kalian tidak akan berubah melihat caraku melangkah, melihat kepedihan yang aku sembunyikan dari cermin kedua mataku. Tapi... Kalian tidak salah. Sekali lagi, aku bukan siapa-siapa, aku juga bukan alat kalian, jadi secara alami kalian tidak akan memedulikanku. Kalian adalah orang egois.

Tehnya sudah hampir setengah habis dalam keheningan total. Ini sesuatu yang indah, dalam kehinaan ada keheningan, dalam penderitaan ada penderitaan. Semuanya tidak kosong bukan?

Aku tumbuh menjadi anak gadis cantik. Aku tidak pernah percaya dengan kecantikanku, karena semua itu membuatku sombong. Sesuatu yang tidak abadi tidak perlu dipuji-puji atau dirias. Jika kalian menyukainya, silahkan, tapi aku tidak. Aku suka itu, tapi ironis karena menyadari, aku akan mati, ayah akan mati begitu juga adik perempuanku akan mati.

Adik perempuanku yang perlahan-lahan disamarkan oleh kehidupan dan dihancurkan oleh harap-harap. Hanya manusia yang kolot jika terus memegang kepercayaan akan ada harapan yang baik dan semua itu akan terjadi. Beberapa orang berusia melakukan, beberapa orang hanya diam, untuk berharap. Dua tipe yang aku benci. Aku membenci harapan. Oleh sebab itu, kepergianku ke kota membawa kehancuran bagi harapan keluargaku yang sederhana didesa, yang tidak pernah tahu kejamnya kehidupan dikota. Mereka bertanya-tanya mengapa aku melakukannya. Aku tidak akan menjawab. Diam jauh lebih tajam dari jawaban yang menguras kehidupanku.

Aku mungkin membenci ini karena sikap ibu dan ayah yang menaruh harapan besar dipundakku, sementara mereka tidak tahu apa yang aku alami. Aku merasa jauh dari harapan dan bahkan mengecewakan mereka. Mereka selalu dihantui dengan keberadaanku dirumah yang aku bangun. Jauh dibukit yang memiliki pemandangan yang indah dengan ruangan yang indah dan luas. Aku tidak ada disana, tapi mereka menyadari aku masih disana, anak yang menghancurkan seluruh harapannya dan mereka akan selalu tenggelam disana untuk selamanya. Biarkan saja! Aku tidak peduli dengan mereka.

Rumah itu berdiri megah, menghadap kelembah yang luas. Cahaya matahari bersinar terang dari timur. Pemandangan rumah-rumah penduduk didepannya bisa terlihat dari sini. Rumah ini tidak hanya mewah, juga berada jauh diatas rumah-rumah yang lainnya. Aku pernah berkata, “Ibu lihat, lihatlah rumah-rumah dibawah ini. Di sana rumah lama kita. Di sana kita tinggal sederhana dan terbatas. Sekarang kita bisa berdiri disini, dan melangkahi rumah-rumah yang lainnya.”

Ibu bahagia waktu itu dan bangga melihat putri kecilnya tidak hanya tumbuh besar, juga tumbuh dengan kehidupan yang lebih baik darinya dan mampu membuatnya tidak pernah khawatir tentang masa depan yang suram. Namun, sikap ibu berubah ketika rumah megah dibukit itu dibangun atas lubang wanita yang dihancurkan oleh puluhan laki-laki dan tubuh wanita telanjang yang direkam kemudian disebarkan.

Aku tidak pernah peduli dengan tubuhku. Rusak? Biarkan saja, tubuhku akan rusak pada waktunya dan yang merusakkan tidak lain adalah waktu itu sendiri. Ibu orang bodoh. Tidak ada pekerjaan didunia ini yang rendah, semuanya indah dan dibutuhkan orang. Aku, sebagai perempuan sudah melakukan segalanya dan bahkan mengorbankan tubuh ini untuk mencapai apa yang kita impikan sejak lama. Ibu tidak pernah mengerti jika semua pekerjaan menghancurkan tubuh, entah itu cepat atau lambat. Dunia yang kejam, begitu aku pahami sekarang harus diperlakukan dengan kejam, jika tidak, kehancuran akan tiba. Jika kamu ingin menghancurkan batu, kamu harus memiliki palu yang sangat keras, jika lemah, nanti bisa saja palu itu yang akan hancur. Kamu harus menggantinya atau membelinya dengan yang baru. Tapi jiwa? Manusia diberikan satu jiwa, dan tidak pernah lebih. Jika itu hancur, maka tidak ada di toko yang menjualnya. Aku sudah menempa jiwaku sangat kuat dan aku tidak punya rasa malu ketika melakukannya.

Darah yang keluar dari lubang adalah pertanda dari proses penempaan jiwa. Setiap kali aku melakukannya, pikiranku kosong dan seperti mati suri. Aku bisa melakukannya saat empat tahun menjalaninya. Jiwa yang suci ini tidak sudi melihat tubuhnya di hancurkan seperti itu, sehingga mati suri.

Jiwa ini sangat kuat, tapi akhirnya dihancurkan oleh pondasinya sendiri, yaitu kalian, ayah, ibu, adik perempuan. Kalian menghancurkan jiwa ini seperti menjatuhkannya hingga retak. Kini masih membekas retakkannya, tapi jauh lebih baik. Kemudian adikku yang cantik mati bunuh diri. Aku tidak akan datang mengunjunginya. Kalian adalah sumber kematian bagi jiwa-jiwaku.

Ibu menelepon kemarin malam. Suaranya lirih menyampaikan kabar buruk itu. Aku hanya berkata, “Aku akan hilang, jangan cari aku.”

Aku membakar ingatanku

Anak bodoh!

Anak tidak tahu malu!

Dasar jalang!

Kakak, kenapa melakukan ini semuanya, apa yang terjadi?

Ya, ya, dan ya, kalian hanya bertanya tentang itu. Bukankah kalian menginginkan hidup berkecukupan, memiliki rumah yang indah dan dapat bersantai setiap pagi dan sore, berdiam diri diteras, menyaksikan keindahan cahaya matahari dan hamparan hutan yang dipenuhi pohon? Itu bukan yang kalian inginkan? Aku tahu, itu yang kalian inginkan dan aku juga berharap seperti itu. Namun... Ketahuilah, saat gadis kecil yang penuh harapan dan mimpi besar untuk kedua orang tuanya juga memiliki etika yang baik, tapi itu perlahan-lahan dihancurkan oleh dunia yang kejam.

Di kota, tidak ada orang yang datang mengatakan kasihan, tidak ada orang yang dapat membagi, dan bahkan membuang kencing pun punya aturan yang ketat. Jika ingin aman, semuanya butuh uang. Kota yang aku impikan menjadi tempat megah untuk menata kehidupan baru berubah menjadi momok yang menakutkan. Apa yang harus aku lakukan?

Aku sering merasa hancur ketika melihat rambut ayah dan perlahan-lahan memutih, tersiksa melihat Ibu yang sakit-sakitan dan adiku kecilku harus bekerja keras membantu keluarga alih bermain bersama teman-temannya. Pemandangan itu membuatku hancur, menderita, tidak mampu melihatnya. Aku ingin kalian merasakan keindahan kehidupan sebelum jiwa kalian diambil lagi. Kalian adalah orang-orang yang pantas mendapatkan kehidupan yang baik setelah melakukan semua tugas Kalian.

Jiwa-jiwa yang diberikan kepada Kalian sudah cukup Kalian gunakan untuk mengabdi untuk masyarakat. Kalian adalah sumber pangan mereka, namun sayangnya nasib kalian tidak sesuai dengan pekerjaan mulia yang Kalian lakukan.

Aku disini, punya harapan, tekad yang kuat untuk melakukannya. Aku Melakukan apa saja. Di banjiri keringat. Dibasahi hujan, dipanggang oleh Matahari. Semuanya aku lakukan untuk kalian. Tapi, biji yang memiliki kualitas rendah ini tidak akan bisa tumbuh baik dimana pun, bahkan ditempat yang subur sekali pun.

Sebab itu, aku mengambil pekerjaan itu dan menyerahkan seluruh tubuhku, bukan jiwaku. Namun akhirnya kedua hancur. Aku melihat anak kecil dipantai. Angin bertiup dan ombak ingin mendekatinya, suaranya lirih. Dia memegang buku tebal dan membakarnya. Api melahap semuanya tanpa sisa, angin dengan senang hati membantunya. Ibu, ayah dan adikku, lihat dia membakar buku yang selalu dipegangnya, menjadi pendomanya dan satu-satu hal yang membuatnya hidup. Tapi... Kalian menghancurkannya hingga berkeping-keping. Jiwa yang rapuh itu seharusnya kalian rangkulan, peluk dan jika perlu cium dia dan katakan, “Tidak apa-apa, kami mengerti semuanya. Kamu benar-benar kuat melakukannya. Kami tidak menyangka.”

Tapi justru hinaan yang Kalian lontarkan, menghancurkan Jiwanya yang rapuh dan membuatnya hancur.

Setiap pagi, aku harus mengumpulkan kepingan-kepingan jiwa lewat sinar matahari dan setiap hujan, aku berusaha menggenggamnya erat-erat. Oh, betapa melelahkannya. Lalu aku menjadi kosong. Kupikir akan mati dan tidak ada menangisiku. Aku pikir setelah melakukannya semua ada seseorang yang menangisi kepergianku, tapi tidak ada satupun yang menangisiku. Benar-benar menyedihkan.

Aku pergi, mencari tempat untuk bernaung, mencari kehangatan dan akhirnya aku menemukan selimut tua yang rusak. Dia seorang pria pekerjaan kantoran berusia tiga puluh tahunan yang mempunyai wajah gelap dan lelah yang dipenuhi karena dunia.

Aku waktu itu diam dibawah lampu jalan kecil dipertigaan gang yang sepi. Cahya putih ditiang itu membuatku merasa aman. Hanya cahaya itu yang aku miliki untuk memegang jiwa-jiwaku yang berlarian. Aku duduk, memeluk lutut dan menenggelamkan wajah dalam dua lutut yang ramping. Diam, menunggu seseorang datang. Dan waktu itu akhirnya orang itu datang, bertanya, “hey, mengapa kau sendiri disini?”

Aku mengangkat wajahku. Memperhatikannya lalu berkata, “Dunia itu melelahkan ya.” Aku diam sebentar memperhatikan Wajannya lalu berkata sendu, “Aku tidak punya tempat untuk pergi. Jika kau mau, kau bisa membawaku, memeliharaku dan beri aku makan setiap hari. Dengan begitu, aku, kucing ini akan setia denganmu.”

Mungkin karena tubuh ini, dia membawaku pulang, menikahiku dan aku mengatakan apa yang aku sebut pembatas. Dia setuju dan tidak mencampuri urusanku. Ini adalah awal dari duniaku yang baru.

Sekarang, didalam ruangan yang dingin dan suram aku duduk, membuat tulisan yang tidak akan pernah dimengerti seorang pun.

Laki-laki itu belum pulang dan tidak menyadari ibu memanggil kemarin. Ibu, aku tidak suka dengan ibu. Bagaimana keadaannya sekarang? Aku tidak ingin mengetahuinya. Aku berhenti menulis dan saat itu pintu dibuka dengan pelan dan penuh kecapean. Laki-laki itu muncul dengan wajah lesu.

Aku menghampirinya layaknya kucing dan membantunya melepaskan semua pakaiannya.

Dia melihat dadaku dan aku bertanya, “Kau menginginkannya malam ini?”

Dia sepertinya sangat lelah dan mengangguk atau malu mengatakannya. Aku membuka satu persatu kancing bajuku, membiarkan laki-laki ini menatap tubuh yang putih dan segar ini, tapi tidak suci lagi. Kemudian memperlihatkan belahan dada yang besar. Dia penuh nafsu. Aku bertanya, kamu menyukainya? Dia lagi-lagi mengangguk. Aku memerasnya kemudian membuka celanaku hingga memperlihatkan semuanya tanpa sehelai kain.

Nafsunya menjadi liar. Aku berkata, “Jika kamu harimau atau serigala maka aku akan mati dilahapmu. Sayangnya kamu bukan seperti itu.”

Dengan begitu aku menjatuhkan diri tanpa jiwa dan penuh kekosongan.

Keesokan harinya, aku bangun seperti biasa seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Pergi kebalkon dan menyiapkan satu cangkir teh. Aku duduk dan mulai mengumpulkan kepingan-kepingan jiwa yang keluar dari cahaya matahari yang hangat. Aku penasaran sampai kapan jiwaku akan sepenuhnya terbentuk kembali. Aku sudah membakarnya sebagai seorang anak kecil yang penuh dengan kehancuran, dan semuanya tidak bisa kembali lagi.

Aku mengambil teh, menghirup aroma kematian dan merasakan betapa dinginnya teh ini. Wajah adiku kecil muncul. Oh, dia yang polos dan orang yang menghentikan langkahku untuk pergi dari rumah. Dia ingin aku tetap tinggal, tapi aku tidak bisa melakukannya. Dia adalah satu-satunya wanita paling polos yang aku temukan dan sedikit mengalami perubahan dalam hidupnya. Jika bisa, biarkan dia begitu saja tanpa harus berjuang mencari kehidupan yang lebih layak. Kehidupan yang layak itu adalah kesederhanaan didesa, mencangkul, menanam padi dan duduk melihat gerombolan burung-burung melintasi langit. Aku lupa jika hidupnya sudah sempurna tapi karena aku tidak mengucapkannya, dia menjadi korban dari dunia ini.

Aku mulai berpikir aku egois, tapi bukankah semua orang itu egois?

Aku meminum teh kembali dan menghirup aroma bunga Dantura, tapi bukan aroma harumnya yang datang tapi kematian. Lalu angin tiba-tiba berhembus dan seorang wanita muda memakai rok putih berdiri diujung pagar menatapku dengan ekspresi tersenyum.

“Kamu pergi?”

Dia masih tersenyum.

“jika kamu pergi, silahkan. Kamu harus mengembalikan jiwa yang kamu pinjam.”

Dia hanya tersenyum lagi.

Aku percaya rohnya tidak tenang dan mencariku. Bunuh diri membuat rohnya rusak dan pemiliknya tidak mau mengambilnya lagi dan kemudian membiarkannya berkeliaran didunia ini. Mungkin roh-roh yang rusak ini adalah cikal bakal dari hantu-hantu yang berkembang dimasyarakat.

Aku sarapan dengan menu yang sama, cuaca yang sama dan bahkan dengan orang yang sama juga. Dia tidak berkata apa-apa dan ikut denganku makan, makan dengan seadanya, tanpa sesuatu yang baru. Mungkin karena itulah aku merasa tidak perlu mengganti hidangan ini. Aku ingin terus mencoba mencari hal-hal baru diantara hal-hal yang sering kulihat, kugunakan, bahkan yang kumakan.

Kami makan dalam suasana yang hening, tapi sebenarnya ada banyak hal yang bisa menarik perhatian kami, seperti suara-suara kendaraan yang lalu lalang, banyak orang yang rela berbaris masuk ke sebuah toko dan gerombolan burung dara yang terbang dengan peluit dikakinya. Aku bisa mengatakan kota itu banyak bicara dan membandingkannya dengan desa tempatku tinggal sebelumnya. Aku bisa bertanya, toko apa itu yang ramai pembeli hingga membuat orang mengantri untuk masuk dan juga memuji suara peluit burung itu yang menyemburkan suasana pagi. Namun... Kami hanya diam, tidak mengatakan apa, kecuali menikmati makanan yang membosankan.

Mungkin akan jauh lebih baik makan dengan hidangan yang baru, tapi aku lebih memilih hidangan yang lama. Dengan hidangan ini, aku bisa merasa menyelam kedalam masa alu, menghirup berbagai macam tanah dan menikmati bagaimana tumbuh kembang desa yang pergi kekota dengan penuh harapan. Bagaimana dia berjuang. Kesulitan-kesulitan apa yang dialaminya hingga akhirnya menghancurkan tubuhnya sendiri lalu berkata, ‘tidak apa-apa menghancurkan tubuh ini, aku masih punya jiwa’ lalu Jiwanya juga hancur.

Kisah yang indah jika aku bisa menjelaskannya dengan detai, mulai dari suasana, wajahnya, tindakannya hingga bagaimana dia berekspresi. Tapi... Lebih baik hanya sepotong demi sepotong. Tidak ada alasan khusus, hanya menyesuaikan selera.

Aku teringat ibu.

Betapa aku ingin membuangnya, aku masih mengingatnya, bukan merindukan kehadirannya, tapi kematiannya. Bagaimana jika ibu bunuh diri, menggantung dirinya, bukan karena ingin menghukumku, tapi tidak punya pilihan dan merasa malu karena tidak bisa memberikan pendidikan yang baik untuk anak perempuannya, sehingga terjun dalam dunia yang gelap.

Jika aku tahu itu yang terjadi, maka aku akan jauh lebih baik. Setidaknya sedikit, namun yang melakukan itu adalah adik perempuanku yang lugu. Aku tidak salah lagi, jika yang baik sepertinya akan mudah dihancurkan.

Aku merasa terbawa kemasa lalu memikirkannya. Aku melihat dia berjalan kerumah megah dibukit dengan ekspresi muram. Apa yang terjadi? Ah, tidak seperti yang kubayangkan, rumah itu ditinggalkan dan terbengkalai. Di sanalah adik perempuanku melepaskan Jiwanya. Aku berpikir rumah itu memiliki nama rumah pelepasan jiwa. Orang-orang akan takut pergi kesana setelah kejadian itu, tapi aku akan selalu datang, tidak tahu kapan dan berbicara sedikit dengan jiwa yang ada disana.

Namun, mengapa aku memikirkan semua ini? Aku sudah membakarnya bukan?

Aku harus berdamai dengan luka

Setelah kami makan hujan turun deras. Sesuatu yang tidak kami prediksikan akan terjadi, tapi tetep saja kami melakukan apa yang sering Kami lakukan; dia pergi kerja dengan mantel dan aku membersihkan piring-piring dimeja, merapikan tempat tidur dan membersihkan rumah. Ini adalah tindakan yang sering dilakukan, namun masih juga bermakna, seperti makan setiap hari, apa pun itu, itu membuat kalian bertahan dan bahkan terpaksa melakukannya. Ini adalah salah satu cara orang tanpa sadar menyiksa diri mereka sendiri, namun untuk kebaikan. Tapi jangan seperti aku ya. Aku adalah contoh dari keterpaksaan yang salah dan membuatku hancur berkeping-keping seperti aku seorang pemahat yang berusaha memahat kaca.

Dia tahu kaca itu akan hancur jika dipahat, tapi tetap saja melakukannya. Karena apa? Dia tahu jika dia bisa melakukannya, dia akan terkenal dan berita akan mengangkatnya dengan judul: ini langka! Seseorang Berhasil membuat karya seni dari kaca yang rentan hancur.

Dan jika ia gagal, tidak hanya kehilangan ketenaran itu, tapi juga kaca. Kaca itu adalah cerminan dari keberhasilan dan itu hancur berkeping-keping, berserakan dilantai.

Ah... Sayang sekali, benar-benar menyedihkan.

Aku menyelesaikannya dan duduk sebentar, kemudian berdiri melihat sisi jalan. Ada beberapa anak-anak seragam sekolah berjalanlah sambil berbicara. Sepertinya membicarakan tentang ibu guru yang tidak disukainya atau mungkin yang lain, tapi terserah, aku tidak peduli. Namun, aku teringat dengan pikiran, jika pikiran muncul apa pun bisa muncul dan jika tidak, maka tidak akan muncul apa-apa.

Pergi mengambil baju hangat dan payung aku keluar, menuruni left dan akhirnya tiba dipintu keluar.

Semuanya melakukan aktivitasnya masing-masing, dan hujan juga berjatuhan pelan diaspal yang panas. Ah, hujan, aku memikirkanmu. Meskipun sebagai orang membenci kehadiranmu, kamu adalah makanan bagi seluruh kehidupan dimuka bumi ini.

Karena hujan, kota yang sibuk ini terasa lebih segar dan gelap.

Aku berjalan selama satu menit dan akhirnya tiba dikanal yang sering kali membuatku terdiam sesaat. Ada air yang mengalir jernih dan karena hujan berjatuhan, ada gambar-gambar yang indah dipermukaannya. Kemudian di kedua sisi kiri dan kanannya, pohon willow dewasa tumbuh dengan daun-daunnya yang menjuntai kebawah.

Ketika pertama kali aku menatapnya, aku mengingat banyak filosofi yang berkaitan dengannya, katanya, pohon willow seperti ayah dan ibu kita yang tua, meksipun semakin tumbuh besar, daun-daunnya malah menjuntai kebawah, akar-akarnya jauh menjangkau kedalam tanah: walaupun ayah dan ibu kita saat tua berjalan membungkuk dan kesulitan berbicara, mereka memiliki pemikiran yang dalam seperti akar pohon willow. Tetapi... Karena itu, aku selalu mengingat mereka dan setiap itu muncul, aku merasa marah, benci, tapi juga merindukannya. Bukankah aku sudah membakar kenangan untuk mereka semuanya?

Aku melemaskan genggam tangan dan menghela nafas lalu pergi ke penyebaran jalan.

Tidak lama seorang wanita bergaun putih datang. Dia tersenyum sembari berkata, “Selamat pagi.”

Aku membalas dengan senyuman. Dan mulai bertanya, apa sikapnya tulus atau hanya kepalsuan yang sering terlihat.

Kami diam dan menyeberangi jalan. Dia langsung pergi kekiri dan aku menatapnya sebentar sembari memperhatikan langkah kakinya. Sepertinya dia sangat sibuk hari ini.

Aku mengikutinya kemudian berdiri dibawah pohon willow. Angin bertiup seperti menyambutku, sekolah berkata, ‘kamu berada ditempat yang tepat. Diamlah disini, kamu akan mendapatkan ketenangan.’

Maka aku akan diam disini sebentar. Tidak lama, karena perhatianku tertuju pada jembatan kecil disana. Rasanya pasti menyenangkan bisa pergi kesana.

Aku segera kesana.

Jembatannya kecil dan tanpa pembatas. Aku melangkah dengan hati-hati dan diam ditengah-tengah. Pohon-pohon willow seperti memelukku. Angin bertiup lagi, dan lagi-lagi seperti menyambut.

Aku menunduk, memperhatikan aliran sungai yang terus bergerak. Alirannya tenang dan kupikir indah jika terus menatapnya. Diam menatapnya dan mempertahankan alirannya, ternyata air seperti hidup juga. Tidak ada ikan kecil, tapi air yang mengalir sudah cukup indah untuk dipandang. Kurasa, kita perlu memandang apa pun dengan hati-hati untuk bisa menikmatinya.

Lalu tiba-tiba suara mobil mengerem mendadak terdengar dan ada seseorang tertabrak.

Aku mengangkat wajah untuk melihatnya.

Jauh disana, dijalan, seorang wanita tergeletak. Dia wanita yang tadi. Ah, dia yang tertabrak. Aku hanya bisa melihat lengannya dari balik mobil. Lengan yang indah. Lalu darah menyebar dan menyatu dengan air. Air yang dingin dan darah yang hangat. Aku tidak tahu apa kecelakaan itu disengaja atau tidak, namun aku tidak merasakan apa-apa, tapi bertanya, apa yang dirasakannya ketika ditabrak seperti itu? Apa dia sakit? Apa dia menderita? Atau semuanya berlalu begitu saja?

Semua orang menahan nafas sebentar untuk melihatnya dan dunia juga diam sebentar, tapi aku dengan malas memperhatikannya dan dingin. Kupikir salah satu hal yang membuatku sangat senang adalah melihat hal seperti ini. Entah mengapa aku senang seperti melihat orang yang memiliki nasib yang sama dengan apa yang aku alami. Dan rasanya menjadi lebih tenang.

Aku teringat dengan kematian adikku. Terasa membosankan dengan gantung diri seperti itu, tanpa darah dan sedikit luka, tapi mungkin karena sedikit itu, rasa sakitnya jauh lebih menyakitkan. Sementara ditabrak seperti itu mungkin jauh lebih baik, meskipun kelihatannya jauh lebih menyeramkan.

Orang-orang mengerumuni mayat yang dipeluk kehidupan hujan dari langit dan ya... memperlakukannya dengan baik kemudian menguburnya.

Begitu mudah satu kehidupan berlalu. Kupikir aku tidak akan melihat wanita itu lagi, tapi aku tahu apa yang ada didalamnya. Aku tidak akan menceritakannya, cukup hanya tahu saja.

Melihat kegaduhan itu, hatiku bergerak ingin pergi. Aku mengikutinya dan berjalan menjauh dari keramaian dan akhirnya tiba di toko yang tenang.

Aku diam disana sebentar, memperhatikan berbagai bunga dari kaca besar. Toko bunga. Ini adalah salah satu yang membuatku tertarik. Aku masuk dan aroma bunga berusaha menyenangkanku, tapi aku tidak bisa disenangi dengan cara seperti ini. Aku bukan gadis kecil lagi ya.

Pemilik toko bunga ini seorang wanita paruh baya yang memiliki senyuman seperti bunga Mawar dan berpenampilan menarik. Dia tersenyum saat aku masuk dan mempersilahkan untuk melihat-lihat bunganya.

Aku hanya mengatakan ya, tanpa melanjutkan dengan terima kasih. Mengapa? Dunia penuh dengan kepalsuan dan aku tidak ingin menghakiminya, jadi aku hanya mengatakan itu saja. Mungkin orang berpikir aku memiliki suasana perasaan yang buruk hari ini, biarkan saja. Aku teringat lagi dengan orang-orang yang mengerumuni mayat dijalan tadi. Aku penasaran, mereka datang ingin menolong atau melihat saja?

Ah, lupakan saja.

Aroma bunga membuatmu jauh lebih tenang. Mereka seperti berbicara dan memuji keharumannya sendiri dan kamu yang berada ditengah-tengahnya bingung harus memilih bunga apa.

Ada bunga mawar merah yang mengemaskan, bunga sedap malam yang elegan, bunga Krisan yang elegan, dan yang lainnya. Namun, aku sebentar tidak ingin memilih apa pun diantara mereka. Yang aku pilih adalah kekecewaan mereka. Aku senang bisa melihat wajah mereka yang kecewa. Itu adalah rasa yang membuatku senang dan hidup seperti hubungan sex yang aku lakukan beberapa hari sekali.

Aku sangat membutuhkannya seperti halnya dengan makanan:jika tidak makan akan kelaparan, jika tidak berhubungan sex maka aku tidak akan tenang. Lalu apa yang terjadi? Aku mudah bingung, depresi dan gila. Aku tidak ingin melihat dunia tersenyum karena kehancuranku. Aku ingin mengatakan, aku sangat kuat meskipun telah hancur dan ingin seperti cangkir indah yang retak karena keretakannya membuatnya lebih berharga dan indah.

Aku hanya melihat-lihat dan rupanya pemilik toko memperhatikanku kemudian bertanya, “anda menginginkan bunga seperti apa?”

Aku jadi memikirkan tentang bunga. Pertanyaannya seperti mencari bunga yang lain. Aku ingin mengatakan bunga yang beraroma kematian, sedikit aroma kehidupan dan berwarna gelap, tapi bunga seperti itu tidak ada disini. Sebab itu aku mengatakan masih memikirkannya.

Sejenak, dia berkata lagi, “Kemarin suami anda datang membeli sekuntum mawar. Apa anda mendapatkan hadiah malam kemarin?”

Pemilik toko sepertinya tidak punya hiburan lain. Aku menjawab tidak dan aku tidak memerlukannya.

Kami menjadi canggung. Aku lalu memiliki bunga sedap malam yang segar lalu bertanya kepada pemilik toko bagaimana bunga yang ini.

“Bunga yang indah,” katanya. “Bunga itu banyak yang beli dan selalu habis.”

“Sepertinya aku memilih bunga yang tepat, tapi bunga ini akan jauh lebih wangi ketika ditambahkan air dan saat malam tiba.”

“Anda benar.”

“Ya, tapi aku lebih suka tidak menghiraukan aromanya. Aku lebih suka membiarkannya layu perlahan-lahan kemudian membusuk.”

Wajahnya sedikit berubah tapi memaksakan senyuman. Tidak berbicara, tapi aku tahu ada rasa tidak enak didalam hatinya. Aku mendekatinya dan membayar.

Saat itulah, suara kerincingan yang manis terdengar, membuatku menoleh keluar. Itu lonceng angin dengan empat batang besi yang bergoyang-goyang. Ah, dia memiliki suara yang indah dan angin sangat baik memainkannya. Aku seperti anak kecil yang kembali kemasa kecilnya, menjadi anak yang periang, penyendiri dan tanpa beban. Dengan tenang mendengarkan jangkrik berbunyi. Jangkrik itu tidak berbunyi untuk meminta tolong, namun karena sudah waktunya.

Rupanya pemilik toko menyadari apa yang aku pandang dan berkata, “Jika anda menyukainya, anda bisa membawanya.”

Aku menoleh. “Aku ingin membelinya.”

“Terserah. Lakukan apa saja semasih batas normal.”

Aku membelinya tanpa mengucapkan terima kasih dan pergi dari sana.

Menurutku, ucapan terima kasih adalah salah satu hal yang dapat menyenangkan orang lain, dan aku hari ini tidak ingin menyenangkan apa pun, bahkan hujan yang masih berjatuhan.

Berjalan dan berjalan. Hujan terus menetes dan mulai mereda. Ah, akhirnya selesai juga.

Setelah sepuluh menit, aku diam menatap hamparan sawah yang hening dan berwarna hijau. Aku mengangkat lonceng angin sederhana ditanganku dan diam dalam diam seperti pohon. Lalu perlahan-lahan angin mulai bertiup memainkannya.

Bunyi pertama, aku merasa damai. Bunyi kedua aku seperti anak kecil yang berlarian diantara sawah yang luas. Bunyi ketiga... Aku merasa seperti duduk memperhatikan cahaya senja yang menyinari bukit didesa kami yang indah itu.

Aku memandang lonceng angin ditanganku dan berpikir, lonceng ini mengingatkanku dengan seorang gadis yang duduk didepan meja, melipat kedua tangannya untuk bersandar sembari mendengarkan jangkrik yang berbunyi, angin yang berbisik dan hamparan sawah yang menyapanya.

Ah, itu adalah waktu yang tenang. Sejenak, aku merasa berdamai dengan luka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!