17 Juli Tanggal yang tak pernah Zahira lupakan. Dua puluh tahun lalu, di hari itulah ia mengikat janji suci dengan Hendro—mahasiswa tingkat akhir yang tengah KKN di kampung halamannya. Zahira, si kembang desa yang digilai banyak pria, memilih Hendro di antara sekian pilihan, termasuk Adit, dokter muda tampan yang tak kalah mempesona. Cinta membuatnya yakin. Tapi siapa sangka, hari istimewa itu kelak akan menjadi luka terdalam dalam hidupnya.
Zahira lebih memilih Hendro karena sikapnya yang tenang dan dewasa, berbeda dengan Adit yang sering bertindak urakan, penuh ego, dan merasa paling berkuasa seolah dunia harus tunduk padanya.
Zahira, wanita paruh baya berusia 40 tahun, tampak sibuk di dapur seorang diri, menyiapkan berbagai hidangan istimewa. Dua puluh tahun pernikahan tentu layak dirayakan, meski sepuluh tahun terakhir Hendro selalu lupa tanggal ini. Zahira mencoba memaklumi—ia percaya, kesibukan Hendro mencari nafkah adalah bentuk cintanya yang berbeda. Setidaknya, itulah yang ia yakini.
Zahira memiliki anak kembar, Angga dan Anggi, yang kini berusia 17 tahun. Meski melihat ibunya sibuk di dapur, tak satu pun dari mereka tergerak membantu. Kedekatan mereka dengan sang ayah membuat Zahira merasa terpinggirkan. Hendro pun terlalu memanjakan keduanya—setiap kali Zahira mencoba mendisiplinkan mereka, justru ia yang dimarahi suaminya.
“Kamu itu nggak sekolah, tahu apa soal didik anak!” Ucapan itu bukan sekali dua kali Zahira dengar dari Hendro. Setiap kali ia mencoba menegur Angga atau Anggi, kalimat menyakitkan itu selalu jadi tamparan yang menghancurkan hati. Saking seringa membuat Zahira kebal dan tidak merasakan lagi apa itu sakit hati, dan memilih mengalah bagaimanapun hendro adalah kepala rumah tangga.
Suatu hari, Zahira memarahi Anggi karena diam-diam membawa seorang laki-laki ke rumah saat mereka sedang sendiri. Bukannya menyesal, Anggi justru mengadu pada Hendro. Dan seperti yang sudah-sudah, Zahira lagi-lagi menjadi sasaran amarah. Hendro membela anaknya tanpa mendengar penjelasan istrinya. Di matanya, Zahira selalu salah. Selalu terlalu keras. Selalu kurang layak jadi ibu.
Tepat pukul delapan malam, aneka hidangan sudah tertata rapi di meja makan.
“Ngapain masak banyak-banyak?” tanya Hendro, yang malam itu tampil rapi mengenakan kemeja putih bersih.
Hati Zahira berdebar. Ia mengira suaminya ingat ulang tahun pernikahan mereka—berpakaian rapi, mungkin hendak mengajaknya makan malam romantis atau memberi kejutan istimewa. Harapan kecil itu tumbuh diam-diam di hatinya, meski realita sering kali tak seindah harapan.
"Hmm... ini hari spesial kita, Mas," ucap Zahira dengan senyum penuh harap dan bangga.
Matanya berbinar, seolah ingin mengabadikan momen yang ia yakini akan menjadi kenangan indah.
Meski lelah memasak seorang diri, senyum itu tulus—berharap cinta yang dulu pernah hangat masih tersisa di antara mereka.
Belum sempat Hendro menjawab, Angga dan Anggi muncul dengan pakaian rapi dan wajah penuh semangat. Melihat mereka berdandan begitu rapi, hati Zahira semakin berbunga. Ternyata, di balik sikap acuh mereka, anak-anaknya masih ingat ulang tahun pernikahan orang tuanya—begitu pikirnya, penuh haru.
“Pah, ayo kita berangkat,” ucap Anggi ceria, sama sekali tak melirik hidangan yang telah Zahira siapkan dengan penuh cinta dan air mata.
“Kalian mau berangkat ke mana?” tanya Zahira sambil tersenyum hangat. Ia pun sudah berdandan cantik, yakin bahwa malam ini adalah malam istimewa. Hatinya penuh sukacita—ternyata mereka benar-benar tidak melupakan ulang tahun pernikahan mereka. Tak mengapa hidangan belum disentuh, nanti bisa ia bagikan ke tetangga. Yang terpenting, malam ini mereka akan merayakan cinta yang telah terjalin dua puluh tahun lamanya.
Belum sempat mendapat jawaban, Rini—ibu Hendro—datang dengan pakaian rapi dan dandanan yang anggun. Hati Zahira kian menghangat. Bahkan Rini, ibu mertua yang selama ini dingin dan tak pernah benar-benar menyukainya, rupanya ingat juga hari ulang tahun pernikahannya. Zahira nyaris menitikkan air mata. Baginya, kehadiran mereka malam ini adalah bukti bahwa cinta dan keluarga masih punya tempat di hatinya.
“Ayo, Hendro, kita berangkat sekarang. Nanti keburu malam,” ucap Rini dengan nada tergesa namun penuh semangat.
“Tunggu sebentar, Mas, aku ambil tas dulu,” ucap Zahira sambil tersenyum, lalu bergegas menuju kamar.
“Kalau kamu ikut, lalu siapa yang jaga rumah?” ucap Hendro, datar dan dingin, tanpa sedikit pun menatap wajah Zahira.
“Deg.” Rasanya seperti ditikam dari dalam. Sakit, menusuk hingga ke tulang. Apa-apaan ini? Mereka berdandan rapi, bersemangat pergi—bukan untuk merayakan ulang tahun pernikahannya. Bukan untuk dirinya. Zahira tercekat, tak percaya.
“Mas, hari ini ulang tahun pernikahan kita… seharusnya kita merayakannya bersama,” ucap Zahira lirih, berusaha tetap tersenyum. “Aku sudah masak banyak, Mas. Kalau memang kita makan di luar, makanannya bisa aku sedekahkan ke tetangga.”
“Astaga Zahira, kamu ini sudah 40 tahun, bukan remaja lagi! Kenapa juga menghamburkan uang hanya untuk masak dan merayakan ulang tahun pernikahan?”ucap Rini dengan nada tajam
“Iya, kamu ini apa-apaan sih? Melakukan hal yang nggak berguna saja, ujung-ujungnya cuma buang-buang uang,” ucap Hendro dengan nada kesal.
“Pah, udah malam, kenapa sih harus banyak drama segala? Mau berangkat juga ribet banget,” ucap Anggi dengan nada kesal, tanpa sedikit pun peduli pada perasaan ibunya yang berdiri terpaku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Ayo, Pak, nanti Tante Ratna kelamaan nunggu,” ucap Angga sambil melirik jam, tak menghiraukan ibunya sama sekali.
Rasanya seperti ditampar berkali-kali saat Zahira mendengar nama itu disebut—Ratna. Wanita yang baginya tak ubahnya duri dalam daging rumah tangganya. Dari ibu mertua, suami, hingga anak-anaknya, semua begitu gemar membandingkan dirinya dengan Ratna.
Ratna, wanita karier dengan jabatan manajer, selalu tampil modis dan percaya diri meski usianya sudah paruh baya. Tapi anehnya, di usia segitu, ia belum juga menikah—namun bisa begitu bebas keluar-masuk rumah Hendro tanpa sungkan, seolah rumah itu miliknya juga.
Angga dan Anggi lebih sering mengadu pada Ratna daripada padanya—ibunya sendiri. Pernah suatu malam, Zahira menegur Anggi karena pulang larut. Anggi tak terima, lalu kabur dan menginap di rumah Ratna.
Bukannya mendukung sebagai sesama perempuan, Ratna malah menyindirnya dengan halus, penuh elegan tapi menusuk, “Jangan samakan kehidupan kita tahun 1990-an dengan anak sekarang. Semakin dilarang, mereka semakin menjadi. Kita sebagai orang tua harus berpikir lebih terbuka.”
Zahira hanya terdiam waktu itu, menggigit bibir, menahan air mata dan amarah yang tak bisa ia luapkan. Di rumahnya sendiri, ia terasa seperti orang asing—tak dianggap, tak dihargai. Dan kini, wanita itu... akan mereka temui malam ini? Di hari ulang tahun pernikahannya?
Pernah suatu kali, Angga pulang dengan tubuh penuh memar akibat tawuran. Saat Zahira memarahinya karena khawatir, Angga justru mengamuk, menghancurkan barang-barang di rumah, lalu pergi menginap di rumah Ratna. Bukannya mendapat teguran, Angga justru dibela. Zahira malah dimarahi Hendro dan dilarang ikut campur lagi dalam urusan anak lelakinya itu.
“Ayo, Pah, nanti Tante Ratna marah kalau kita nggak datang ke pesta ulang tahunnya,” ucap Anggi santai, tanpa menyadari luka di mata ibunya.
“Mas, apa ulang tahun pernikahan kita tidak lebih penting daripada menghadiri ulang tahun Ratna?” ucap Zahira lirih, berusaha tegar meski hatinya nyaris runtuh.
“Mamah…” bentak Anggi kesal. “Please, Mamah itu udah tua, ngapain juga kayak anak kecil, segala ulang tahun pengin dirayain? Nggak penting banget, deh!” katanya tanpa rasa hormat sedikit pun.
“Sudah, sudah, jangan ribut. Nanti keburu malam. Kasihan Ratna kelamaan menunggu,” ucap Rini dengan nada kesal. Lalu mereka pun pergi, meninggalkan Zahira seorang diri—bersama hidangan yang tak tersentuh dan hati yang remuk.
Zahira menatap hidangan spesial yang ia siapkan seorang diri sejak pagi. Di usia pernikahan yang ke dua puluh, ia masih berharap ada sisa kehangatan untuk menyambung hubungan yang nyaris retak.
Ingatan itu datang tanpa permisi—tentang pertemuan pertamanya dengan Hendro. Saat itu, Hendro nyaris melompat dari tepi jurang, hatinya hancur setelah diputuskan oleh Ratna, wanita yang sangat ia cintai. Zahira, yang kebetulan lewat, menyelamatkannya. Bukan hanya secara fisik, tapi juga jiwanya—dengan nasihat sederhana namun tulus, Zahira membuat Hendro bangkit lagi.
Hendro tampak begitu gentleman di mata Zahira. Tak butuh waktu lama, ia datang ke rumah dan langsung meminangnya. Mereka menjalin hubungan jarak jauh selama satu tahun sebelum akhirnya Hendro pulang untuk menikahinya.
Dua tahun pertama pernikahan mereka terasa seperti mimpi indah. Hingga di tahun keempat, Ratna kembali. Wanita itu datang perlahan, membawa senyum dan kata-kata bijak, mengajak Zahira bersahabat. Dan Zahira yang naif, percaya... bahwa Ratna tak lagi menginginkan Hendro. Ia salah.
Tahun keempat hingga tahun kesepuluh, Zahira hidup bagaikan ratu di istana kecilnya. Hendro begitu perhatian, selalu pulang membawa senyum, oleh-oleh kecil, atau sekadar pelukan hangat yang menenangkan. Zahira percaya, inilah kebahagiaan sederhana yang ia dambakan.
Namun memasuki tahun kesebelas, segalanya mulai berubah. Hendro semakin sering bepergian keluar kota, katanya demi pekerjaan. Sementara Ratna—perlahan namun pasti—semakin sering datang ke rumah. Anehnya, anak-anak pun lebih nyaman bersama Ratna, seolah Zahira hanya bayang-bayang di sudut rumah mereka.
Zahira tetap bertahan. Bercerai bukan bagian dari kamus hidupnya. Ia tumbuh dari keluarga yang utuh, melihat cinta orang tuanya bertahan sampai maut memisahkan. Itulah yang ia impikan: menikah sekali, lalu setia sampai akhir usia.
Malam itu, Zahira tak kuasa menahan tangis. Air mata mengalir deras di pipinya, namun suara tangisnya ia redam dengan menggigit ujung handuk. Ia tidak ingin siapa pun mendengar. Bagi Zahira, menjaga nama baik dan keharmonisan keluarga adalah segalanya. Ia bukan tipe istri yang suka mengadu atau mengumbar luka. Ia menahan semuanya sendiri—karena begitulah perempuan baik seharusnya, pikirnya... meski hatinya terus terkoyak hari demi hari.
“Makanan ini harus aku bagikan…” gumam Zahira pelan.
Dengan mata masih sembab, ia membungkus satu per satu hidangan yang dimasaknya dengan penuh cinta.
Malam itu, ia melangkah keluar rumah, menyusuri jalan gelap, dan mengetuk pintu-pintu tetangga. Satu per satu ia berikan makanan itu—bukan sekadar nasi, tapi sepotong hati yang nyaris hancur.
“Ini dalam rangka apa, Mbak Zahira?” tanya Bu Sumi, tetangga sebelah, sambil menatap bingung wajah Zahira yang sembab namun tetap tersenyum paksa.
“Dalam rangka syukuran, suami saya baru naik jabatan,” jawab Zahira dengan senyum yang sedikit dipaksakan, berusaha menyembunyikan getar di suaranya dan luka yang belum juga kering.
“Harusnya Mbak Zahira senang dong, Mas Hendro kan naik jabatan. Tapi kok malah menangis, ya?” tanya Bu Sumi heran, menatap lekat wajah Zahira yang tak mampu menyembunyikan luka di balik senyumnya.
“Oh, saya lagi sakit mata, Bu... jadi sering keluar air mata,” jawab Zahira pelan, masih berusaha menyembunyikan luka sebenarnya di balik alasan yang terdengar ringan.
“Ya sudah, terima kasih ya, Mbak. Semoga rumah tangga Mbak Zahira langgeng terus. Mbak Zahira dan Mas Hendro itu panutan kami, lho,” ucap Bu Sumi tulus.
Doa itu terucap tulus tapi bagi zahira terasa menyakitkan, Zahira hanya mengangguk dan tersenyum samar. Ia kembali melangkah, membagikan makanan dari rumah ke rumah, dengan hati yang sesak dan doa yang nyaris tak terdengar.
Lalu matanya menangkap sosok pria paruh baya yang sedang duduk di atas motor, mengenakan jaket ojek online, menunduk lelah di bawah lampu jalan yang temaram.
“Mas, ini ada sedikit makanan,” ucap Zahira lembut, sambil menyodorkan bungkusan dengan tangan gemetar namun penuh ketulusan.
“Zahira... kenapa kamu menangis?” tanya pria ojek online itu, suaranya pelan namun penuh empati.
Zahira mendongak, matanya membulat tak percaya.
“Adit? Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya terbata.
“Aku baru saja ngantar pesanan,” jawab Adit dengan senyum tipis, menatap Zahira lekat.
“Mm... kenapa kamu jadi tukang ojek?” tanya Zahira, heran melihat kondisi Adit.
Dulu, Adit adalah pria paling sombong yang pernah ia kenal—penuh percaya diri dan merasa dunia miliknya. Kini, ia tampak sederhana, jauh berbeda.
“Ya emang kenapa? Yang penting halal, nggak jadi koruptor,” ucap Adit santai, tanpa beban.
Zahira tersenyum tipis, tapi dalam hati bergumam, “orang ini… jadi tukang ojek pun masih saja sombong.”
Tetap Adit yang dulu—berubah rupa, tapi tidak sikap.
“Ya sudah, aku masuk dulu ke rumah,” ucap Zahira sambil melangkah pelan.
“Ok… hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku,” kata Adit dengan nada tulus.
“Ok,” jawab Zahira pelan, nyaris tak terdengar.
Dalam hati ia menggerutu, “Apa-apaan sih… aku cuma tinggal jalan sepuluh langkah udah sampai rumah. Kenapa juga bilang hati-hati di jalan?”
Namun entah kenapa, kalimat sederhana itu terasa hangat di hatinya.
Setelah sampai di rumah, perasaan Zahira terasa sedikit lebih lega.
“Benar kata orang, sedekah itu bisa melapangkan dada… sekarang aku merasa lebih tenang,” gumamnya pelan, sambil menatap langit malam yang sepi namun menenangkan.
Zahira lalu membersihkan rumah dengan tekun.
Ia tak ingin membiarkan dirinya diam—karena diam hanya akan menyeret pikirannya kembali pada luka dan sakit hati yang terus menggerogoti batinnya.
Saat memeriksa saku celana Hendro, Zahira menemukan sebuah struk belanja. Matanya membulat saat membaca: kalung emas 20 gram, 24 karat, senilai 36 juta—tanggal pembelian 15 Juli 2022.
“Kalung ini… untuk siapa?” gumam Zahira pelan.
Hatinya berdesir. Mungkinkah… untukku? bisiknya penuh harap yang ia sendiri takut percayai.
Hati Zahira terasa hangat, membuncah harapan baru. Mungkinkah kalung itu untukku? Dari gambar kecil di struk, terbayang kilau indahnya melingkar di lehernya—hadiah penuh makna di usia dua puluh tahun pernikahan mereka. Dengan hati-hati, ia melipat dan menyimpan struk pembelian itu di dalam laci kecil.
Ia kembali ke ruang tengah, menatap jam dinding yang berdetak pelan. Jarum panjang hampir menyentuh angka dua belas. Sudah pukul sebelas malam. Tapi Hendro, ibu mertuanya, dan anak-anaknya belum juga pulang. Zahira menghela napas panjang. Sunyi semakin menusuk.
Tangannya meraih ponsel Nokia 3310 miliknya—ponsel tua yang setia menemaninya selama lebih dari dua belas tahun. Ia dilarang memiliki ponsel Android oleh Hendro, katanya "tidak perlu dan bikin repot." Zahira tidak pernah membantah, karena baginya, menaati suami adalah bentuk cinta.
Ia ingin menelepon Hendro. Tapi ragu. Ia tahu, suara Hendro yang tinggi dan dingin akan langsung menyambutnya. Mungkin marah. Mungkin membentak.
Zahira lalu berjalan ke teras rumah. Ia melangkah pelan ke sudut taman kecilnya. Tatapannya tertuju pada pot bunga. Ia menunduk, lalu mengangkat pot itu—seolah mencari sesuatu yang telah lama ia sembunyikan.
“Ternyata Mas Hendro bawa kunci cadangan… berarti dia memang berniat pulang larut,” gumam Zahira pelan, getir.
Zahira terus menatap ke arah gerbang, berharap Hendro datang membawa kejutan—sambil menggenggam struk pembelian emas erat di tangannya.
Zahira masih duduk di teras, menatap ke arah jalan yang sepi.
"Si Adit itu ngapain sih masih di situ? Lagi cari orderan atau malah ngintai aku?" gumamnya pelan.
Pandangan Zahira tertuju pada motor Nmax yang terparkir tak jauh, dan seorang pria yang asyik menatap layar ponsel.
Tak ingin menimbulkan fitnah, Zahira memutuskan masuk ke rumah. Suaminya punya kunci cadangan, jadi tak ada gunanya ia terus menunggu di luar.
Zahira merapikan tempat tidur dengan rapi, lalu mengenakan gaun tipis yang sedikit menggoda. Ia menyemprotkan parfum lembut favorit Hendro, berharap malam ini suaminya pulang membawa kejutan manis. Harapan itu seolah masih ada dalam benak zahira.
“Mas, kamu galak, tapi baik banget… Kalung ini mahal sekali, pasti kamu sudah berusaha keras mengumpulkan uangnya,” gumam Zahira pelan, senyumnya mengembang dibalik harapan yang belum padam.
Zahira tertidur dengan pikiran yang masih dipenuhi harapan. “Siapa sih Ratna? Dia cuma mantan pacar Mas Hendro. Secantik dan semodis apa pun, tetap aku yang jadi istrinya,” gumamnya dalam hati, seolah menyugesti diri bahwa semuanya baik-baik saja, meski hatinya sebenarnya rapuh dan tak tenang.
Akhirnya Zahira terbaring lelah, menatap jam dinding di kamarnya.
“Sudah jam dua malam, tapi Mas Hendro tak juga pulang,” gumamnya dalam hati.
Ia menghela napas panjang. Matanya berat, namun hatinya gelisah. Rasa kecewa membuatnya sulit terpejam.
Dia membuka buku hariannya. Yang Hendro tidak pernah tahu, Zahira pernah menjadi penulis aktif di beberapa majalah terkenal pada masanya, antara tahun 1997 hingga 2004.
Majalah seperti Anida dan Gadis pernah memuat karyanya. Ia menulis dengan tangan, dan karena tulisannya menarik, redaksi tak pernah menolaknya. Nama pena yang ia gunakan: Hati Rembulan.
Kemudian Zahira mulai menuliskan kegelisahannya dalam untaian kata yang puitis. Setiap huruf seolah mewakili luka yang selama ini ia pendam. Setelah mencurahkan seluruh isi hatinya ke atas kertas, ia menghela napas panjang—ada rasa lega, seolah beban di dadanya perlahan terangkat.
Pagi tiba, rumah terasa sunyi. Zahira membersihkan rumah dan mencuci pakaian seperti biasa. Sesekali ia mencoba menelepon Hendro, namun nomornya tak aktif. Ia juga menghubungi Angga dan Anggi, hasilnya sama—semua nomor tidak bisa dihubungi. Hatinya mulai diliputi gelisah.
"Kalau masak, nanti nggak ada yang makan. Tapi kalau nggak masak, pasti semua malah marah," gumam Zahira, merasa serba salah dan tak tahu harus berbuat apa.
Akhirnya Zahira memutuskan untuk tidak memasak. Masa iya pergi ke pesta tapi tetap makan di rumah? Ia tak mau kejadian kemarin terulang—sudah capek-capek masak, malah dimarahi dan makanan tak disentuh sama sekali..
Zahira menyapu halaman dengan pelan. Saat matanya menatap ke tepi jalan, ia menghela napas panjang—Adit sudah tak ada. Sudut bibirnya terangkat tersenyum tipis, mengingat momen lucu ketika Adit dulu menyatakan cinta padanya di balai desa, dengan gaya sok percaya diri..
Adit naik ke atas meja dan berteriak, “Zahira, jangan panggil aku Adit kalau aku tidak bisa menikahimu!” suaranya lantang, membuat semua orang menoleh.
“Astagfirullah,” gumam Zahira sambil menggeleng pelan. Ia merasa bersalah, kenapa bisa mengingat lelaki lain, sementara statusnya masih istri Hendro. Walau hatinya pagi ini sakit zahira memlih setia walau itu hanya sebatas pikiran.
“Mbak Zahira,” sapa seseorang. Zahira menoleh, ternyata Bu Sumi sudah berdiri di belakangnya.
“Ada apa, Mbak?” tanya Zahira heran.
“Maaf ya, Mbak... saya mau kasih kabar buruk,” ucap Bu Sumi pelan.
“Kabar apa, Mbak? Nggak bagus lho pagi-pagi udah bergosip,” sahut Zahira dengan senyum tipis, mencoba mencairkan suasana.
Bu Sumi menarik napas panjang, wajahnya tampak ragu.
“Maaf sekali, Mbak. Bukan maksud saya memanaskan rumah tangga Mbak Zahira. Tapi saya rasa ini penting, dan Mbak harus tahu,” ucapnya serius, menatap Zahira dengan sorot mata penuh empati.
Zahira menunjukkan raut wajah sedikit kesal.
“Mbak, kalau mau menyampaikan sesuatu, sampaikan saja langsung. Jangan bertele-tele, jangan bikin orang penasaran,” ucap Zahira dengan nada sedikit kesal.
“Maaf ya, bukan maksudku untuk mengompori,” ucap Bu Sumi pelan, lalu menyerahkan ponselnya kepada Zahira dengan ragu.
Zahira mengernyitkan dahi.
“Kenapa Mbak ngasih ponsel ke saya?” tanyanya bingung.
“Aduh, Mbak... masa iya nggak punya ponsel Android?” sahut Bu Sumi heran.
Zahira hanya menggeleng pelan, menunduk sejenak. “Mas Hendro nggak pernah ngizinin saya punya,” ucapnya lirih.
“Aneh juga ya, suaminya pejabat tapi istrinya nggak punya ponsel Android,” ucap Bu Sumi dengan nada heran.
Zahira menghela napas panjang.
“Mbak... sebenarnya, kabar apa yang mau Mbak sampaikan?” tanyanya pelan.
Sumi membuka ponsel Android-nya, membuka status WhatsApp milik Anggi—anak Zahira.
“Lihat ini, Mbak,” ucapnya pelan sambil menyodorkan ponsel.
Zahira menatap layar. Foto pertama menampilkan seorang wanita berdiri menghadap kamera, tersenyum anggun.
“Itu Ratna,” gumam Zahira. “Oh… rupanya dia menikah. Syukurlah.”
“Syukur, Mbak?” tanya Sumi heran.
“Ya… artinya dia sudah menemukan pasangan, walaupun agak telat,” jawab Zahira datar, berusaha tetap tenang.
Sumi menggeleng pelan. “Lihat foto selanjutnya, Mbak…”
Ia menggeser layar. Zahira, yang tak akrab dengan ponsel Android, hanya bisa terpaku saat melihat foto berikutnya—Hendro, suaminya, sedang mengucapkan ijab kabul di samping Ratna.
Seketika dunia Zahira runtuh. Jantungnya berdebar kencang, tubuhnya limbung. Hampir saja ia jatuh jika tak segera ditopang oleh Sumi.
“Mbak Zahira… astaga,” ucap Sumi panik, lalu membantu Zahira masuk ke rumah dan merebahkannya di sofa.
Zahira memandang langit-langit rumah dengan tatapan kosong, seolah seluruh dunia telah mengkhianatinya.
“Mbak Sumi... pergi saja. Saya ingin sendiri,” ucapnya pelan namun tegas.
“Tapi, Mbak... saya khawatir—”
“Sudah, Mbak… saya cuma butuh sendiri,” potong Zahira dengan suara lirih, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
Sumi berdiri ragu, tapi ia tahu—Zahira adalah tipe wanita yang pantang menangis di depan orang lain, apalagi menunjukkan luka hatinya.
Dengan berat hati, Sumi pun melangkah keluar. Zahira tetap diam di sofa, menatap kosong, memeluk kehancurannya sendiri dalam sunyi.
Zahira menatap langit-langit rumahnya dengan pandangan kosong. Dua puluh tahun ia bertahan dalam pernikahan bersama Hendro—berjuang sendirian menjaga bahtera rumah tangga yang perlahan karam. Dan hari ini, tepat tanggal 17 Juli, Hendro menikahi Ratna.
“Kurang apa aku, Mas…” gumam Zahira lirih, nyaris tak terdengar. “Aku bertahan demi kamu, demi anak-anak, meski aku tak pernah dihargai. Aku tahan semua luka, aku telan semua penghinaan... hanya demi keutuhan rumah ini.”
Air matanya mulai jatuh.
“Tapi ternyata cintamu bukan untukku. Aku cuma persinggahan, ya? Ratna yang kamu pilih... sejak awal memang dia yang kamu mau. Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega selama ini?”
Zahira bangkit pelan, melangkah ke kamar. Ia menutup pintu, menggigit handuk untuk meredam isak tangisnya, namun tubuhnya bergetar hebat.
Kesedihan itu terlalu dalam.
Terlalu sepi.
Terlalu menyakitkan.
Ia masuk ke kamar mandi, menyalakan shower. Air dingin mengguyur tubuhnya, namun tak mampu meredakan panas di dadanya.
Dengan tangan gemetar, Zahira memutar musik shalawatan dari speaker kecil—keras, menggema ke seluruh kamar.
Ia berharap suara itu bisa menyamarkan tangisnya.
Dan air shower bisa menyembunyikan air matanya yang tak kunjung berhenti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!