NovelToon NovelToon

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Desahan Di Balik Pintu Kamar itu...

Langit tampak redup sore itu, seolah ikut menyerap luka yang tak kasat mata. Rania memarkir mobil di depan rumah dengan hati lega karena berhasil menjemput Ibra, anak tirinya tepat waktu. Bocah sepuluh tahun yang duduk di bangku belakang, asyik bercerita tentang pelajaran seni dan temannya yang berulang tahun.

Begitu Rania membuka pintu rumah, hawa di dalam langsung menyeruak.. lembap, hangat, dan asing. Ada aroma samar di udara.. wangi sabun yang tak ia kenal, bercampur jejak parfum lembut yang biasa dipakai wanita. Bau itu bukan milik rumah ini. Bukan milik Rania. Tapi menggantung di langit - langit seperti sisa kenangan yang tak ingin pergi.

Ibra duduk di ruang tamu, melepas sepatu dan lelahnya sebentar. Sementara Rania beranjak ke ruang tengah, tapi saat ia hendak melangkah, terdengar suara. Samar, tapi jelas.

Derit ranjang. Teratur. Pelan. Diselingi desah napas yang ditahan, lalu dilepas dalam ritme halus, hampir seperti rintih yang dibisikkan.

Pintu kamar utama tidak sepenuhnya tertutup. Celah sempit itu seperti sengaja menyiksanya.

Di dalam sana, Niko.. suaminya berlutut di atas tubuh seorang perempuan, Wulan. Kedua tangannya menopang tubuh, kepalanya menunduk, bibirnya menciumi leher Wulan dengan gerakan lambat, sensual, dan penuh kenangan.

Tubuh Wulan melengkung, kedua pahanya terbuka, mengimbangi setiap dorongan. Jemarinya mencengkram seprai. Desah tertahan keluar dari mulut Wulan.

Kemeja Niko separuh terbuka, dan dari arah Rania berdiri ia bisa melihat bagaimana tangan mantan istrinya menelusuri dada pria yang dulu hanya jadi miliknya.

Deru napas mereka makin berat. Desahan Wulan lebih terdengar sekarang.. tinggi, patah, mendesak. Ranjang berguncang pelan, menciptakan irama erotik yang terus menghantam telinga Rania.

Rania berdiri mematung.

Jantungnya tidak berdetak. Ia bahkan tak yakin maish bernapas.

Itu bukan hanya pengkhianatan.

Itu penyiksaan.

Suaminya mencumbu mantan istrinya.. di ranjang yang selama ini menjadi saksi kelelahan dan kesetiaan Rania. Seprai yang ia ganti, sarung bantal yang ia cuci, kasur yang tiap malam ia tiduri sambil menatap langit - langit dan bertanya, "Apa aku cukup?"

Jawabannya kini tergambar jelas di balik celah pintu itu.

Rania menoleh cepat, berharap Ibra masih duduk manis di ruang tamu dan tak melihat perbuatan menjijikkan kedua orang tuanya. Setengah berjinjit… Rania menyusul Ibra, menyuruh Ibra untuk ke kamar dan mengganti baju. Anak itu menurut tanpa banyak tanya, berlari kecil ke arah kamarnya sambil membawa tas.

Rania berdiri mematung. Tidak menangis. Tidak berteriak. Tidak melempar atau memaki. Yang ada hanya kehancuran yang dingin... hampa dan mengerak. Ia memilih mundur perlahan, menutup pintu pelan seperti seseorang yang tak sengaja membuka kamar orang lain di hotel.

Di dapur, ia menarik napas dalam - dalam, menatap dirinya di kaca kulkas yang kusam. Kemudian berjalan ke kamar Ibra, mendapati bocah itu tengah mengganti kausnya dengan wajah polos.

"Sayang," katanya lembut, menahan gemetar di ujung lidah.

"Mau makan bakso nggak?"

Ibra menoleh, matanya berbinar. "Mau, tapi Papa mana, Ma?”

Rania tersenyum samar, menusuk dirinya sendiri. "Papa sedang tidur. Kita makan berdua aja, ya."

Dengan jaket tipis dan langkah ringan, mereka keluar rumah. Sementara di dinding kamar utama, ranjang itu masih berderit, berirama dengan pengkhianatan yang belum selesai.

Dan Rania, menggandeng tangan Ibra erat - erat, seolah itu satu - satunya bagian hidupnya yang masih bisa diselamatkan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bakso sore itu tak terlalu enak, tapi Ibra makan dengan lahap. Rania duduk di depannya, mengaduk - aduk kuah yang mulai dingin, pikirannya entah ke mana. Sesekali ia tersenyum ketika Ibra bercerita, pura - pura hadir seutuhnya, padahal jiwanya tertinggal di ranjang yang tak lagi suci.

Mereka pulang menjelang maghrib. Rumah sudah hening. Rania tahu Niko dan Wulan pasti telah selesai, mungkin sudah mandi, mungkin sudah membereskan tempat tidur... seolah bisa membersihkan dosa dengan air dan parfum.

Rania mengetuk pintu kamar Ibra, mencium kening anak itu sebelum tidur, lalu berjalan ke ruang keluarga di mana Niko duduk santai, menatap layar televisi yang entah menayangkan acara apa.

"Hai," sapa Niko datar, nyaris biasa.

Rania tersenyum tipis. "Hai juga."

Ia duduk di sofa, tidak terlalu dekat.

Ada jeda antara tubuh mereka, seolah ruang itu tahu betapa mereka kini bukan lagi suami - istri dalam makna sebenarnya.

Beberapa menit berlalu dalam diam. Suara televisi menjadi latar absurd bagi dua manusia yang sama - sama sedang menyembunyikan sesuatu.

Sampai akhirnya Rania membuka suara, suaranya ringan, nyaris ceria.

"Oh iya..... kamu ketiduran ya? Sampai nggak nanyain aku sama Ibra kenapa belum pulang."

Niko menoleh singkat, lalu kembali ke layar TV.

"Ya maaf, tadi kecapekan."

Rania tertawa kecil. Dingin. "Iya, aku ngerti. Pasti capek sekali kalau... ya, habis kegiatan fisik yang intens begitu."

Niko mematung sejenak. Tapi tidak berkata apa - apa. Tak mengakui. Tak membantah. Dan itu, bagi Rania, adalah bentuk pengakuan yang lebih telanjang dari apapun.

"Ngomong - ngomong soal Ibra," lanjut Rania, mencondongkan tubuh sedikit ke depan menatap lekat mata suaminya, seolah ingin mencari sisa kejujuran di wajah Niko.

"Kapan Wulan mau datang? Maksudku, bukannya dia bilang hari ini mau datang ya? Mumpung ada aku… gak baik kalau kalian bertemu hanya berduaan”

Mata Niko sedikit melebar. Tak ada yang salah dengan kalimat itu.Tidak secara eksplisit. Tapi nadanya... nadanya menusuk. Menohok.

"Entahlah," jawab Niko akhirnya, perlahan. "Aku nggak tahu."

Rania mengangguk pelan. "Sayang, ya. Aku pikir kalian sekarang… cukup akrab untuk ngobrol soal anak."

Hening lagi. Udara jadi berat. Tapi Rania masih tersenyum, tenang, seperti wanita yang tidak baru saja menyaksikan suaminya menggauli perempuan lain di ranjang yang masih menyimpan bekas tubuhnya sendiri.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Rumah telah sunyi. Ibra sudah terlelap di kamarnya, dan Niko di sofa depan TV... entah benar - benar tidur atau pura - pura. Tapi bagi Rania malam belum berakhir. Ada satu hal yang masih mengganggunya sejak ia kembali ke rumah ini, seprai di ranjang kamarnya.

Ranjang itu.

tempat di mana siang tadi tubuh suaminya menyatu dengan wanita lain. Di bawah atap rumahnya. Di tempat yang seharusnya milik berdua.

Dengan langkah pelan, Rania masuk ke kamar. Lampu ia nyalakan setengah, cukup terang untuk melihat, tapi tak terlalu menyilaukan. Tangannya langsung menarik seprai berwarna off white itu. Masih hangat, masih menyimpan aroma asing yang tak bisa ia jelaskan. Mungkin parfum Wulan, mungkin keringat mereka. Entahlah, tapi setiap helainya membuat perutnya mual.

Ia menggantinya tanpa suara. Mencabut sarung bantal, menarik seprai dari empat sisi, lalu menggulung semuanya ke dalam keranjang cucian. Ia buka lemari, mengambil seprai baru berwarna biru lembut, warna favorit Niko dulu.

Tak ada satu pun kata keluar dari mulutnya. Tapi di matanya, ada badai yang mulai pecah.

Setelah kamar tertata, Rania masuk ke kamar mandi. Ia duduk di lantai dingin, menyandarkan tubuh ke dinding keramik, dan disanalah ia membiarkan segalanya tumpah.

Tangisnya keluar tanpa suara. Hanya isak tertahan. Air matanya jatuh perlahan, tapi deras, seperti aliran luka yang tak pernah benar - benar sembuh. Kepalanya tertunduk, kedua tangan menutupi wajah.

Ia merasa hancur sehancur - hancurnya.

Bukan karena ia tak cukup kuat, tapi karena ia terlalu sering menahan. Terlalu sering menjadi istri yang baik, ibu yang bertanggung jawab, namun tak satu pun dihargai.

Dan malam itu, lantai kamar mandi menjadi saksi yang paling jujur dari seorang perempuan yang hancur karena masa lalu yang tak bisa ditinggalkan.

(Bersambung)...

Di Bawah Bayang - Bayang Wanita Itu

Pagi di kantor tak pernah benar - benar hangat bagi Rania. Meski matahari menembus kaca tinggi dan menyinari ruang kerjanya, suasananya tetap dingin. DIngin sorot mata sinis, lirikan tak ramah, dan bisik - bisik yang selalu berhenti ketika ia lewat.

Rania bekerja di perusahaan keluarga, milik mertuanya. Sebuah perusahaan kontraktor besar yang kini sedang ekspansi ke proyek - proyek pemerintah. Sejak dulu, sang mertua.. Pak Martin, meminta Niko untuk perlahan menggantikan dirinya memimpin perusahaan. Tapi Niko selalu menolak, dengan alasan "ingin fokus pada hal lain". Padahal semua orang tahu, hal lain itu adalah bisnis kecil - kecilan yang belum pernah jelas keuntungannya.

Dan seperti biasa, Rania yang harus turun tangan.

"Rania, kamu bantu Bapak dulu ya," kata Pak Martin waktu itu

"Tolong review proposal proyek jalan tol, Niko nggak bisa."

Sejak saat itu, satu demi satu tanggung jawab besar dilemparkan ke Rania.. tanpa jabatan, tanpa pengakuan, seolah ia hanya perpanjangan tangan tak terlihat. Bahkan stempel pun masih atas nama Niko.

Hari ini pun begitu. Saat Rania tengah memeriksa tumpukan laporan proyek, seorang rekan kerjanya, Dina, masuk tanpa mengetuk.

"Bu Rania, Pak Bram mau presentasi jam dua. Tolong Ibu aja yang mendampingi, Pak Martin mintanya begitu."

Rania mengangguk sopan.

"Oke, terima kasih, Dina."

Namun Dina hanya melempar senyum setengah bibir sebelum melengos pergi. Pintu ditutup agak keras. Tidak ada ucapan "sama - sama".

Rania sudah terbiasa. Di kantor ini, statusnya sebagai menantu pemilik perusahaan tak pernah benar - benar menjadi perisai. Bahkan sebaliknya.. itu menjadi alasan untuk membenci. Di balik meja - meja kubikel, orang - orang memandangnya bukan sebagai perempuan cerdas dan pekerja keras, tapi sebagai perempuan yang merebut Niko dari Wulan.

Wulan... nama itu masih menggaung bukan hanya di rumahnya, tapi juga di lorong - lorong kantor. Mantan istri Niko yang dulu sempat menjadi sekretaris direksi. Dicintai banyak orang. Disayang oleh Pak Martin dan Bu Ayu. Dikenal ramah dan cantik. Bahkan setelah mereka bercerai, Wulan masih menjadi semacam hantu yang hidup di perusahaan ini.. hantu yang membuat siapa pun yang datang setelahnya, termasuk Rania, tidak pernah cukup baik.

Rania tahu semua itu, tapi ia tak pernah mengeluh. Ia datang paling pagi dan pulang paling akhir. Ia hafal setiap angka dalam laporan keuangan, dan tahu letak kesalahan sebelum orang lain sadar ada masalah.

Tapi setiap kali rapat, pujian tetap jatuh pada Niko.. yang tak pernah hadir. Dan ketika proyek berjalan lancar, yang disebut di depan forum adalah "tim divisi lapangan" tanpa menyebut namanya. Sementara ketika ada kesalahan sekecil apa pun, suara Pak Martin dan Bu Ayu terdengar keras.

"Rania, tolong jangan sembrono. Kita ini perusahan besar, bukan tempat main - main."

Padahal bukan Rania pelakunya, tapi... siapa yang peduli?

...****************...

Sore itu, Rania berdiri di depan cermin kecil di toilet wanita, merapikan rambut yang mulai kusut. Di balik pantulan cermin, pintu terbuka, dan dua staf perempuan masuk, tidak sadar Rania ada disana.

"Sumpah ya, kalau gue jadi Wulan, gue nggak akan balik sama Niko. Dia kan udah nikah sama perempuan itu."

"Hah? emang mau balikan? terus nasib si Rania gimana?"

"Kayaknya mau balikan, soalnya Bu Ayu teleponan terus tuh sama mantan menantunya, mana mesra banget lagi ngomongnya."

"Jadi si Rania bakalan dibuang aja, gitu?"

"Bisa jadi, kalau Wulannya mau. Hubungan Pak Niko dan Wulan itu lebih kuat, soalnya ada anak mereka berdua.."

Rania tak bergeming. Ia hanya tersenyum samar, bibirnya sedikit bergetar. Lalu keluar dari toilet setelah dua staf itu keluar, dengan langkah tenang.

Ia tahu, dunia ini tidak adil. Tapi setidaknya, ia tahu ia masih bisa bertahan. Dan kadang - kadang bertahan adalah satu - satunya bentuk perlawanan yang tersisa.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Malam turun pelan di langit kota, menenggelamkan gedung - gedung dalam kabut tipis dan kelap kelip lampu jalanan. Suara kendaraan mendengung pelan, seperti nyanyian muram yang mengiringi detak jantung Rania yang mulai retak.

Ia duduk diam di dalam mobilnya yang usang, sedan tua keluaran tahun dua ribuan, catnya sudah pudar, jok belakangnya mulai mengelupas, dan radio yang tak lagi bisa menangkap siaran dengan jernih. Tapi mobil itu satu - satunya tempat di mana ia bisa menangis dengan bebas. Tempat dimana tak ada mata memandang, tidak ada telinga yang menilai, dan tidak ada nama Wulan yang tiba - tiba muncul seperti kutukan.

Rania masih menggenggam setir, tidak langsung menangis. Hanya duduk, mematung, membiarkan napasnya tertahan di dada yang sesak. Ada yang mengganjal, menggumpal di tenggorokan. Seperti kata - kata yang sudah lama ditahan dan kini memberontak. Dan akhirnya, pelan.. sangat pelan... air matanya menetes ke pipi, tanpa isak, tanpa suara.

Air matanya jatuh, bukan hanya karena penghinaan dan tatapan sinis di kantor, bukan hanya karena tidak dianggap meski ia telah mengerjakan semuanya dengan sempurna. Tapi karena ada rasa hancur yang tak bisa ia bendung lagi.. rasa dikhianati. Disingkirkan. Dibandingkan dengan perempuan lain yang tak juga lenyap, bahkan setelah sekian tahun.

Wulan.

Nama itu terus menggema di kepala Rania, seperti pukulan godam yang menghantam dadanya. Wulan di ranjangnya, Wulan di kantor tempat ia bekerja mati - matian. Wulan yang tak pernah gamblang diucapkan, tapi terus hidup di setiap sudut yang membuat mereka dibandingkan, dan selalu Wulan pemenangnya.

Rania mengusap wajahnya menggigit biar agar tidak menangis lebih keras. Hatinya berkata, cukup. Ia ingin berhenti. Ia ingin menyerah. Ia ingin keluar dari neraka yang disebut keluarga dan pekerjaan itu.

Ia sudah memutuskan malam itu, besok ia akan mengundurkan diri. Menyerahkan surat pengunduran diri kepada Pak Martin. Melepaskan semuanya. Biarlah Niko dan Wulan dalam ranjang yang sama, di kantor yang sama. Ia tak ingin menjadi bagian dari cerita yang terus menyakiti dirinya.

Tapi saat tekadnya sudah membulat kokoh, ponselnya bergetar. Nama Ibu muncul di layar.

Dengan suara yang masih parau, Rania mengangkatnya. "Hallo, Bu..."

Suara dari ujung sana terdengar lelah, serak, dan penuh keraguan.

"Maaf, Rani... Ibu ganggu. Tapi.. bisa nggak, kirim uang buat bayar listrik sama beli beras? Bapak juga besok harus kontrol ke dokter."

Rani terdiam. Dunia seolah membekukan segalanya. Sesaat lalu, ia siap mundur. Tapi suara ibunya yang renta, bayangan Bapaknya yang terbaring sakit tanpa penghasilan, menariknya kembali ke bumi.

"Rani ngerti, Bu," ucapnya, menahan sesak. "Besok Rani kirim, ya."

Setelah telepon terputus, Rania menatap bayangannya sendiri di kaca spion. Mata yang sembab, bibir yang pucat. Tapi dibalik semua itu ada seorang anak yang tak bisa meninggalkan orang tuanya kelaparan.

Sudah lama Rania memendam keinginan untuk bekerja di tempat lain.. tempat yang tak ada hubungannya dengan keluarga suaminya, tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar menantu dari pemilik perusahaan. Tapi keinginan hanya tinggal keinginan.

Mencari pekerjaan di luar sana bukan hanya sulit, tapi nyaris mustahil baginya. Bukan karena ia tak mampu, tapi karena posisinya terlalu terikat. Selama ini, uang nafkah yang diberikan Niko setiap bulan bukan berasal dari hasil kerja keras pria itu, melainkan dari kantornya.. kantor milik orang tuanya. Jumlahnya pun tak seberapa, hanya cukup untuk kebutuhan dasar, tapi cukup untuk membuat Rania tak punya celah untuk melawan.

Dan itulah kuncinya, ketergantungan. Selama ia masih menerima uang itu, berarti ia tunduk. Selama namanya masih terikat dalam struktur karyawan perusahaan mertua, berarti ia tak berhak menentukan arah hidupnya sendiri. Jika ia keluar, ia bukan hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga satu - satunya sumber penghasilan..yang sekaligus menjadi alat kontrol Niko atas hidupnya.

Bekerja di luar kantor keluarga bukan sekadar tak diizinkan, itu dicap pengkhianatan, yang berujung Niko hukum dengan cara yang tak kasat mata.. dingin, perlahan, dan menyakitkan.

Mengingat itu semua, Rania menyandarkan kepalanya di setir mobil.Menangis lagi. Tapi tangis kali ini bukan karena putus asa. Tangis ini adalah harga dari pilihan, bertahan demi orang tua yang tak tahu apa - apa tentang luka yang ditanggung anaknya.

(Bersambung)...

Ketika Rumah Tak lagi Rumah

Jarum jam hampir menunjuk angka sembilan malam saat Rania memarkir mobilnya di depan rumah.

Lampu teras menyala temaram, seperti biasa. Tapi malam ini, keheningan terasa berbeda.. lebih tebal, lebih menusuk. Bahkan jangkrik pun seolah enggan bersuara.

Dengan tubuh letih dan mata sembab yang ia tutupi seadanya di kaca spion, Rania membuka pintu perlahan. Dari ruang tengah terdengar suara - suara kecil.

Suara Niko.

Dan... Tawa samar seorang perempuan dari speaker ponselnya.

Langkah Rania terhenti di balik tembok ruang makan. Ia tak langsung masuk. Ia hanya berdiri, diam, menjadi bayang - bayang seperti yang akhir - akhir ini selalu ia lakukan.

"Iya, aku juga pengen Ibra lebih sering sama kamu. Tapi kamu tahu sendiri, dia masih butuh waktu untuk dekat lagi..."

Terdengar tawa lembut dari seberang.

"Kamu sih.. jarang ngajak aku ke rumah, anak itu pasti gampang dekatnya kok, asal kamu dorong..."

"Hahaha iya, iya. Aku ngerti. Nanti aku coba, ya. Biar kamu bisa ngobrol lebih dekat juga sama dia."

Nada bicara Niko terdengar asing di telinga Rania. Hangat, lembut. Nada bicara yang sudah lama tidak pernah ia pakai saat berbicara dengan Rania.

Tak ada suara tinggi, tak ada gerutuan lelah, tak ada tatapan malas seperti saat Rania hanya sekedar bertanya, "Sudah makan atau belum."

Ia menarik napas dalam, lalu melangkah masuk. Seolah baru tiba, seolah tak mendengar apa pun.

"Oh, kamu udah pulang?" tanya NIko buru - buru. Ia langsung mematikan speaker dan mengganti ke handset. "Tunggu sebentar ya," katanya pelan pada Wulan, sebelum berjalan cepat pindah ke kamar.

Rania berdiri di tengah ruangan, dadanya kembali sesak meskipun ia tak tahu untuk apa, toh ia pernah melihat yang lebih melukai, yang membuat hidupnya hancur. Persetubuhan Niko dan mantan istrinya.

Beberapa menit kemudian, Niko keluar dari kamar, menatap datar pada Rania.

"Kamu kenapa bengong?"

"Capek", jawab Rania singkat. Suaranya sengaja ia buat datar, menyamai lelaki itu.

"Capek terus kerjaannya. Rumah berantakan, makanan juga nggak ada. Kamu kira aku pulang kerja cuma mau lihat kamu lelah dan diem begitu."

Rania menoleh perlahan. "Oh... Kamu capek?"

Niko mendecak. "Ya jelas lah! Aku juga kerja!"

Rania tertawa kecil, getir. "Kerja? Bukannya hari ini kamu di rumah aja?"

Tatapan Niko langsung membara. "Apa sih maksud kamu? Mau nyindir aku? Kamu pikir kamu hebat banget di kantor? Hanya karena Bapak minta bantu?"

Tak ada gunanya bela diri, Rania tahu arahnya akan kesitu.

Ia hanya menatap laki - laki di hadapannya.. suami yang ia pikir akan jadi pelindung, kini lebih sering menjadi pemantik luka.

"Kalau aku hebat," katanya pelan, "mungkin kamu nggak akan terus - terusan nyari Wulan."

Niko terdiam seketika, tapi hanya sebentar.

"Jangan bawa - bawa Wulan. Dia cuma ibu dari Ibra. Kamu harusnya ngerti posisi dia di hidup anak kita!"

"Kalau cuma demi Ibra," Rania menatapnya tajam untuk pertama kali, "kenapa kamu bisik - bisik malam - malam, dan ketawa - ketawa kayak... masih punya rasa?"

Niko tak menjawab. Ia masuk lagi ke kamar dengan langkah berat, dan pintu setengah dibanting.

Rania masih berdiri di tempat yang sama. Ia tahu benar jawaban Niko tak lagi penting. Karena diamnya Niko malam ini lebih jujur dari semua kata - katanya selama ini.

Dan ia, sekali lagi, harus menelan kepedihan itu sendiri. Dalam rumah yang ia rawat, pada laki - laki yang tak lagi mencintainya, dan di antara bayang - bayang perempuan lain yang tak pernah benar - benar pergi.

Rania menunduk. Sepi di rumah itu menggantung seperti kabut yang enggan hilang, membungkus setiap sudut ruangan dengan kenangan yang dulu hangat.. kini hanya serpihan dingin yang menyesakkan.

Perlahan, pikirannya melayang.

Kembali ke masa sebelum semua ini terasa rusak.

Ia masih ingat betul bagaimana cerita tentang Wulan dulu dibisikkan pertama kali oleh keluarga Niko.

Bagaimana mereka menggambarkan perempuan itu dengan getir.

Penghambur uang, tak tahu diri, keras kepala, dan .. ibu yang buruk.

Sering pergi entah kemana meninggalkan Ibra yang masih balita di tangan pengasuh.

"Dia cuma mau harta." begitu kata ibu Niko suatu malam.

"Untung Niko cepat sadar sebelum semuanya habis."

Niko sendiri selalu mengulang - ulang narasi seperti itu, seperti mantra:

"Aku ditipu. Ran. Aku pikir dia mau berumah tangga, ternyata dia cuma pakai nama belakangku buat hidup enak. Aku harus selamatkan Ibra... dia butuh ibu yang benar."

Dan entah bagaimana, dalam retakan cerita yang dibangun Niko dan keluarganya, perlahan Rania masuk sebagai 'penyelamat'. Perempuan yang dianggap tepat, perempuan yang mereka banggakan.. cerdas, sukses, dan, katanya 'berkelas."

Ia ingat hari - hari saat karirnya sedang naik. Nama Rania sering disebut di media. Proyek - proyek penting ditawarkan padanya. Dan diantara para laki - laki yang memujanya, yang mencoba mendekat dengan segala cara, Niko hadir seperti cerita yang cinta yang lain.

Bukan yang memuja, tapi yang melindungi. Yang berkata:

"Aku tahu kamu kuat, tapi kamu nggak haurs selalu sendiri."

Yang berdiri di hadapan Ayahnya Rania, dan berkata dengan suara mantap.

"Saya janji, saya akan buat Rania bahagia."

Hari itu keluarga Niko datang beramai - ramai ke rumah Rania. Mereka tak sekadar melamar.. mereka memohon.

Ibu Niko bahkan sempat menangis, memeluk Ibunya Rania.

"Rania itu anugerah. Kami tahu anak kami penuh luka, tapi kami ingin dia sembuh.. dan Rania bisa membawa cahaya terang untuk hidupnya."

Dan saat itu, Rania percaya.

Percaya bahwa cinta bisa menyembuhkan seseorang. Percaya bahwa Niko sungguh ingin berubah, bukan sekadar melarikan diri dari masa lalunya.

Percaya bahwa ia tidak sedang dipakai untuk menambal harga diri seorang lelaki yang patah.. tapi diajak membangun sesuatu yang baru.

Namun malam ini, di ruang tengah yang sunyi, semua narasi itu runtuh seperti dinding tua yang tak lagi sanggup berdiri.

Rania mengatupkan bibirnya kuat - kuat, menahan isak yang mengendap di dada.

Wulan, yang katanya masa lalu, kini hadir lebih kuat dari sebelumnya.

Dan Niko, yang dulu bersumpah akan melindunginya, kini bahkan tak sanggup bersikap adil.

"Jadi ini, ya?" bisiknya lirih, ke udara kosong.

"Semua janji itu cuma dongeng untuk menutupi luka yang belum sembuh?"

Di luar, angin menggesek daun - daun dengan suara sayup. Rania berdiri diam. Tubuhnya kaku, tapi pikirannya bergetar.

Karena yang paling menyakitkan bukan hanya dikhianati. Tapi menyadari bahwa dirinya mungkin sejak awal hanyalah alat.. pengganti, pelipur, atau sekedar peran figuran dalam drama hidup lelaki yang tak pernah selesai dengan masa lalunya.

Dan rumah ini, tempat yang dulu dijanjikan sebagai 'awal baru', kini hanya menyisakan dinding yang mendengar lebih banyak dusta daripada doa.

Rania tak sanggup lagi, sungguh.

Malam itu juga Rania berkemas, membawa pakaian seadanya. Ia pergi tanpa pamit pada Niko yang sudah terlelap dan mungkin membawa nama Wulan ke dalam mimpinya.

(Bersambung)....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!