Pagi itu, suara telepon dari Rania membangunkan Ganendra dari tidurnya yang masih berat. Ia mengucek mata, lalu segera menjawab panggilan.
“Halo, Ran?” suaranya masih serak.
Di seberang, terdengar suara Rania, lembut namun terdengar jelas getar bahagianya.
“Mas... Ayah sama Ibu sudah setuju.”
Ganendra sontak terduduk, jantungnya berdegup cepat, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Serius, Ran?” suaranya nyaris berbisik.
“Iya, Mas. Mereka sudah kasih restu. Aku bilang, aku bahagia sama Mas, meskipun Mas cuma pegawai toko. Aku juga cuma pegawai honorer di kantor desa. Tapi kita niatnya baik, kan?”
Ganendra terdiam sejenak. Matanya mulai terasa panas. Ia tak pernah merasa sekaya ini meski gajinya pas-pasan.
“Iya, Ran... kita jalanin sama-sama. Terima kasih... udah berani ngomong ke orang tuamu.”
Di ujung telepon, terdengar tawa kecil Rania, diselingi helaan napas lega.
“Sekarang giliran Mas ngomong ke ibumu, ya?”
Ganendra tersenyum. Ia tahu, hidup mereka nanti tak akan mewah. Tapi dengan restu itu, rasanya dunia tiba-tiba menjadi lebih lapang.
Pagi itu, setelah selesai berbicara dengan Rania, Ganendra segera keluar dari kamar sempitnya. Di ruang tengah kontrakan kecil mereka di pinggiran Jakarta, seorang perempuan paruh baya tengah melipat sajadah usai salat Dhuha.
Perempuan itu adalah Ibu Siti Nurhaliza wanita tangguh yang mengikuti anak semata wayangnya merantau ke Jakarta setelah suaminya wafat lima tahun silam di Makassar.
Ganendra duduk di hadapan ibunya, matanya hangat menatap wajah teduh itu.
"Bu..." panggilnya lirih.
"Kenapa, Nak?" tanya Bu Siti sambil tersenyum, tahu benar nada suara anak lelakinya saat ingin bicara serius.
Ganendra menarik napas panjang.
"Saya sudah putuskan, Bu. Saya mau nikah."
Bu Siti terdiam, menatap anaknya dengan sorot mata penuh perhatian.
"Siapa gadisnya?"
"Namanya Rania, Bu. Kerja di kantor kelurahan. Umurnya dua puluh dua. Orangnya sederhana, baik... dan yang paling penting, orang tuanya sudah kasih restu."
Ia menatap ibunya dengan penuh harap.
"Sekarang saya butuh restunya Ibu juga. Dan kalau Ibu setuju, saya minta Ibu siap-siap. Kita ke rumah Rania buat melamar, resmi."
Bu Siti memejamkan mata sejenak, menahan haru. Air mata bening mulai menggenang di pelupuk.
"Jadi akhirnya anakku mau berumah tangga juga ya... Alhamdulillah, Nak. Ibu ridho. Ibu bahagia."
Ganendra meraih tangan ibunya, menciumnya penuh hormat.
"Kalau bukan karena Ibu yang selalu doain dan dampingi saya dari Makassar sampai ke sini... saya nggak mungkin sampai di titik ini."
Bu Siti tersenyum sembari mengusap kepala anaknya.
"Allah yang atur semuanya, Nak. Tugas Ibu cuma nemenin dan mendoakan. Kalau itu memang jodohmu, Ibu ikut ke mana pun kau melangkah."
Pagi itu, Jakarta terasa lebih hangat dari biasanya. Di balik kesederhanaan kontrakan mereka, sebuah keputusan besar lahir. Ganendra bukan lagi sekadar pegawai toko yang hidup seadanya, tapi lelaki yang siap memulai babak baru dengan keberanian, cinta, dan restu dari wanita paling penting dalam hidupnya.
Tanpa banyak tanya, Ibu Siti Nurhaliza segera berdiri dan berjalan ke lemari tua di sudut ruangan. Dari bawah tumpukan mukena dan kain batik, ia menarik sebuah kaleng biskuit bekas yang selama ini ia jadikan tempat menyimpan tabungan kecilnya.
Setiap recehan dari hasil menjahit, setiap sisa belanja harian yang disisihkannya, semua terkumpul di situ bukan untuk dirinya, tapi untuk hari istimewa anak semata wayangnya.
“Alhamdulillah... ternyata cukup,” gumamnya pelan, mata tuanya berkaca-kaca.
Tanpa membuang waktu, ia mengambil tas belanja dan bergegas ke pasar tradisional terdekat. Di sana, ia memilih satu per satu barang seserahan dengan penuh cinta: sirih pinang, songkok, sarung tenun khas Bugis, minyak wangi, perlengkapan salat, dan seperangkat pakaian pria.
Ia paham betul, ini bukan sekadar belanja, ini bagian dari kehormatan keluarga sebuah simbol niat baik dan tanggung jawab yang harus ditunjukkan dalam lamaran adat Makassar.
Sementara itu, di dalam kamar, Ganendra duduk sambil menatap ponselnya yang baru saja menampilkan pesan singkat dari Rania.
"Mas, siang ini datang ya. Papa dan Mama nunggu. Aku udah siap."
Telepon itu barusan membuat dada Ganendra terasa sesak oleh haru. Dua tahun ia dan Rania menjaga hubungan mereka dalam kesederhanaan.
Dua tahun saling menabung kesabaran, saling menguatkan di tengah pekerjaan yang serba pas-pasan. Dan hari ini, semuanya menjadi nyata.
Senyumnya tak bisa disembunyikan. Wajahnya berbinar. Ia berdiri, menatap bayangannya sendiri di cermin kecil di dekat jendela.
"Akhirnya, Ran... kita sampai juga di titik ini."
Siang itu, langit Jakarta seolah turut bersaksi. Antara kontrakan sederhana dan hati yang dipenuhi harapan, langkah kecil menuju rumah tangga pun dimulai.
Diiringi doa dari seorang ibu yang tak pernah lelah berkorban, dan cinta dari seorang perempuan yang sabar menunggu, Ganendra tahu: bahagia itu nyata meski dimulai dari tempat yang paling sederhana.
Setelah menyiapkan semua kebutuhan seserahan di pasar, Bu Siti tak ingin langkah besar hari ini hanya dijalani berdua dengan anaknya. Sebagai perempuan Bugis tulen yang menjunjung tinggi tata krama dan nilai adat, ia tahu pentingnya datang melamar dengan saksi keluarga dan tokoh masyarakat, meskipun mereka kini tinggal di tanah rantau.
Sepulang dari pasar, ia duduk sebentar melepas lelah, lalu segera mengenakan jilbab dan pergi berjalan kaki menuju rumah Pak RT yang tinggal beberapa gang dari kontrakan mereka.
“Assalamu’alaikum, Pak RT,” sapanya sopan saat pintu rumah dibuka.
“Wa’alaikumussalam, Bu Siti... Ada apa pagi-pagi begini?” tanya Pak RT sambil mempersilakan masuk.
Bu Siti tersenyum, wajahnya penuh harap.
“Mohon maaf mengganggu, Pak. Insya Allah, siang ini anak saya Ganendra mau melamar seorang gadis. Saya mau minta tolong, kalau berkenan, Pak bisa ikut jadi saksi dari pihak kami?”
Pak RT yang sudah lama mengenal mereka sebagai pendatang yang baik dan tak pernah bermasalah, langsung mengangguk senang.
“Masya Allah... kabar baik ini, Bu. Insya Allah, saya ikut.”
Tak berhenti di situ, Bu Siti lalu menghubungi seseorang yang sudah lama tak ia temui: Kak Daeng Malik, sepupu almarhum suaminya, yang kebetulan juga menetap di Jakarta bersama keluarganya. Hubungan mereka tak sedekat dulu, tapi darah tetaplah darah.
"Assalamu'alaikum, Kak Daeng... Saya Siti, istrinya almarhum Pak Ramli," ucapnya pelan saat suara berat itu menyapa.
"Astagfirullah... Bu Siti, iya... iya, saya ingat. Ada apa, Bu?"
Suara Bu Siti bergetar, entah karena grogi atau haru.
"Kak, kalau Kakak berkenan... siang ini anak saya mau melamar. Saya butuh perwakilan keluarga laki-laki. Cuma Kakak satu-satunya keluarga almarhum suami saya yang masih di Jakarta."
Di ujung sana, terdengar hening sesaat, lalu napas berat dan suara mantap menjawab,
“Insya Allah saya datang, Bu. Almarhum Ramli pasti bangga lihat anaknya siap menikah. Saya yang dampingi.”
Tangis kecil jatuh di sudut mata Bu Siti. Hari itu, ia merasa tidak sendiri. Ada yang membantunya menjaga wibawa keluarga, dan ada yang siap menyaksikan anaknya menjemput takdirnya sebagai seorang suami.
Di tengah kesederhanaan dan rindu kampung halaman, keluarga kecil itu bersiap. Bukan hanya membawa seserahan, tapi membawa niat baik, kehormatan, dan harapan untuk masa depan yang lebih lapang.
Siang itu, satu unit angkot berwarna biru laut tampak melaju pelan menembus jalan-jalan kecil Jakarta yang padat. Di dalamnya, duduk Bu Siti Nurhaliza dengan seserahan di pangkuan, Pak RT yang rapi dengan peci hitamnya, serta Kak Daeng Malik yang mengenakan baju koko putih dan sarung lipat. Ganendra duduk paling depan, gugup bukan main. Sesekali ia mencuri pandang ke cermin kecil di atas dashboard, merapikan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi sejak tadi pagi.
Angkot itu berhenti perlahan di ujung sebuah gang yang lebih lebar. Tapi alih-alih suasana sederhana seperti yang ia bayangkan, Ganendra justru terdiam kaku saat melihat apa yang terbentang di hadapannya.
Deretan mobil pribadi berwarna hitam dan silver berjajar di sepanjang jalan menuju rumah yang dituju. Beberapa bahkan menggunakan sopir, sebagian berpelat pejabat. Tamu-tamu berpakaian rapi tampak hilir-mudik, dan ada tenda kecil di halaman depan. Rumah itu sendiri cukup besar dan tampak megah dibanding rumah-rumah di sekitarnya.
Ganendra menoleh ke belakang, menatap ibunya dengan wajah yang mulai diliputi gelisah. "Bu... ini benar rumah Rania, kan?"
Bu Siti ikut menengok ke luar jendela angkot. "Ina mak... banyak betul mobil, Nak. Macam acara besar."
Pak RT ikut bergumam, "Jangan-jangan keluarganya pejabat ya, Ndra?"
Ganendra menelan ludah. Ia tahu Rania tak pernah banyak cerita soal keluarganya, selain bilang ayahnya pensiunan dinas daerah dan ibunya ibu rumah tangga. Tapi kini, kenyataan itu tampak berbeda.
Ia menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Dalam hatinya berbisik, “Ini bukan soal mobil, bukan soal rumah. Ini tentang hati, dan niat baik yang saya bawa.”
Bu Siti menepuk bahu anaknya lembut.
"Jangan minder, Nak. Kita bawa niat baik, itu yang utama. Kalau mereka terima, alhamdulillah. Kalau tidak... Allah tahu kita sudah datang dengan hormat."
Ganendra mengangguk, meski jantungnya berdetak semakin cepat. Ia turun dari angkot, mengatur napas, lalu membantu menurunkan kotak seserahan dari pangkuan ibunya.
Di balik kemegahan rumah calon besannya, ia melangkah dengan kepala tegak. Bersama keluarga kecil dan rombongan sederhananya, Ganendra tahu ia bukan membawa harta, tapi membawa keberanian dan cinta yang ia rawat dengan kesetiaan selama dua tahun.
Tapi matanya terbelalak melihat tulisan besar di jalan masuk rumah berlantai dua itu.
"Ini tidak mungkin!?"
Tiba-tiba langkah Ganendra terhenti. Matanya membelalak menatap spanduk putih yang dibentangkan tepat di gerbang rumah besar itu, dihiasi bunga-bunga dan pita emas.
“Selamat Bertunangan Rania & Sandi”
Tulisan itu menamparnya lebih keras dari angin yang menyapu wajahnya. Ganendra tercekat. Suara tawa dan riuh musik organ tunggal terdengar samar dari dalam.
Tangannya masih memegang kotak seserahan, tapi lututnya nyaris tak mampu menopang tubuhnya sendiri.
Bu Siti yang berjalan di belakangnya ikut membaca tulisan itu. Seketika wajahnya pucat, lalu menoleh cemas ke arah putranya.
“Ganendra… itu… apa maksudnya?” tanyanya Bu Siti.
Ganendra menggeleng pelan. Ia ingin percaya bahwa ini semua hanya salah paham. Tapi saat pintu gerbang terbuka dan muncullah Rania kekasih yang ia jaga dalam doa dan janji berbalut kebaya mewah warna peach, menggandeng seorang pria berkemeja batik mahal semuanya runtuh.
Tatapan Rania membeku saat melihat Ganendra berdiri di sana, memeluk kotak seserahan seperti seseorang yang salah alamat.
“Ra…nia…?” suara Ganendra serak.
Sandi, pria di samping Rania, melirik Ganendra dengan kening berkerut. “Siapa dia, Sayang?” tanyanya pelan namun cukup terdengar.
Rania menunduk, tudak ada jawaban. Hanya diam, seperti duri yang menusuk perlahan.
Bu Siti langsung menarik tangan Ganendra pelan. “Nak… kita pulang, ya.”
Tapi Ganendra masih menatap perempuan yang selama ini ia yakini akan menjadi istrinya. Yang selama dua tahun ia perjuangkan tanpa banyak bicara, tapi dengan doa yang tak pernah putus.
Kini, doa itu patah di depan matanya. Dan Ganendra berdiri di tengah pesta, sebagai tamu yang tak diundang, membawa seserahan untuk perempuan yang sudah memilih orang lain.
Kepalanya menunduk. Tapi sebelum melangkah pergi, ia berkata lirih cukup pelan, namun menusuk ke jantung Rania,
“Kamu nggak pernah bilang sedang dilamar orang lain…”
Dan dengan sisa harga dirinya, Ganendra melangkah pergi. Membawa kotak seserahan yang tak pernah sempat diletakkan. Membawa hati yang diam-diam hancur, tapi tetap memilih pulang dengan tenang.
Langkah Ganendra terhenti lagi saat tangan pamannya, Pak Mahfud, menahan lengan bajunya. Napas Ganendra masih tersengal, tapi ia menunduk, mencoba tetap tenang.
“Jangan pulang dulu, Nak. Kita belum dapat kejelasan,” ujar Pak Mahfud tenang tapi menahan emosi.
Pak RT, Pak Salim, Daeng Malik maju beberapa langkah, menatap langsung ke arah Pak Darto dan istrinya, Bu Erna, yang berdiri di teras rumah megah itu. Beberapa tamu mulai berkumpul, bisik-bisik semakin ramai.
“Kami hanya minta penjelasan,” kata Pak RT dengan suara lantang. “Hari ini kami datang dengan niat baik, membawa lamaran secara resmi seperti yang sudah dibicarakan dari jauh-jauh hari. Tapi kami malah disambut dengan acara tunangan yang bukan untuk Ganendra.”
Pak Darto mendengus pelan, lalu mengangkat dagunya. “Kalau tahu diri, harusnya kalian sadar dari awal... rumah kami bukan tempat untuk orang-orang dengan tampang pas-pasan dan seserahan ala kadarnya.”
Mata Bu Siti membelalak. Ganendra mendongak pelan, seakan tak percaya. Tapi sebelum ia bicara, Bu Erna ikut menimpali dengan suara nyaring.
“Rania itu anak tunggal kami. Cantik, pintar, masa depannya cerah. Masa iya mau dikasih ke anak supir angkot yang nggak jelas masa depannya? Dua tahun pacaran juga bukan jaminan, Bu! Maaf, tapi kami sudah terlalu sabar membiarkan hubungan nggak setara ini jalan terus!”
Orang-orang mulai terdiam. Beberapa tamu yang tadinya bersorak sekarang menutup mulut, malu sendiri mendengar ucapan itu.
Wajah Bu Siti memucat, tapi ia menggenggam tangan anaknya erat, berusaha tegar meski air matanya menahan luka.
“Kami datang baik-baik, Bu. Membawa niat tulus. Mungkin kami bukan orang kaya, tapi kami tidak pernah mengajari anak kami untuk merendahkan orang.”
Pak Mahfud mulai kehilangan kesabaran. “Hormat kami sudah cukup, Pak, Bu. Tapi kalian baru saja menunjukkan siapa yang sebenarnya tidak punya martabat. Bukan karena kami miskin kalian boleh semena-mena. Kami ini datang bukan minta, tapi memberi.”
Ganendra menatap lurus ke arah Rania. Bibirnya bergetar, tapi bukan karena ingin marah melainkan karena menahan hati yang diremukkan di depan umum.
“Aku datang bukan karena aku tak pantas, tapi karena aku percaya kamu pernah menganggapku layak. Tapi ternyata, kamu lebih takut kehilangan gengsi daripada kehilangan seseorang yang selama ini paling jujur menjaga cintamu.”
Rania masih diam. Tak berkata apa-apa. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri di sisi Sandi, membiarkan semuanya menyakitkan.
Pak RT pun menengahi. “Sudah. Kita tidak akan memperpanjang ini. Biar orang-orang lihat sendiri siapa yang menjunjung adab dan siapa yang menepikan rasa hormat demi gengsi.”
Pak Mahfud menepuk bahu Ganendra. “Ayo, Nak. Kita pulang. Bukan karena kalah, tapi karena kita masih punya harga diri.”
Dan dengan langkah pelan tapi penuh wibawa, Ganendra menggandeng ibunya, meninggalkan rumah besar itu.
Meninggalkan cinta yang ternyata tidak cukup kuat melawan ego.
Pak Darto yang sejak tadi menahan diri, akhirnya melangkah turun dari teras rumah dan menunjuk ke arah Bu Siti sambil tertawa merendahkan.
“Sudah cukup semua ini! Kalian datang ke rumah kami seolah membawa kehormatan, padahal siapa kalian sebenarnya? Bu Siti cuma tukang jahit keliling, janda pula. Mau kasih anaknya nikah sama anak kami? Huh, jangan mimpi tinggi-tinggi, Bu!”
Beberapa tamu yang tadinya mendukung acara bertunangan mendadak terdiam. Udara mendadak terasa panas, bukan karena matahari, tapi karena ucapan Pak Darto yang memotong urat harga diri.
Bu Siti menunduk. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap berdiri tegar di samping anaknya. Tangan keriputnya menggenggam ujung kerudung, menahan perasaan yang nyaris meledak.
Namun sebelum ibunya bicara, Ganendra melangkah maju. Suaranya tenang, tapi penuh ketegasan dan nyawa.
“Pak Darto…”
Semua mata menoleh padanya. Ia menatap lurus ke mata pria yang baru saja menghina ibunya.
“Benar, ibu saya seorang tukang jahit. Janda pula. Tapi dari tangan beliau yang kasar itu, saya bisa sekolah. Dari air matanya yang jatuh malam-malam karena lelah menjahit baju orang, saya belajar tentang keteguhan. Dari status janda yang kalian hina itu, saya belajar menjaga kehormatan keluarga, meski hidup pas-pasan.”
Ia menarik napas, lalu melanjutkan lebih dalam dan menohok.
“Dan kalau hari ini kalian lebih bangga memilih pria kaya untuk anak kalian, silakan. Tapi jangan pernah lupa… kemewahan bisa dibeli, tapi adab dan akhlak tidak semua orang punya. Kalian punya rumah megah, tamu banyak, pesta besar tapi maaf, Pak hari ini justru kalian yang memperlihatkan betapa miskinnya hati kalian.”
Suara bisik-bisik mulai terdengar. Beberapa tamu saling menatap, tak nyaman.
Ganendra melirik ibunya yang masih berdiri di belakangnya. “Saya bangga jadi anak tukang jahit. Karena dari ibu saya, saya belajar cara menjahit kesetiaan dan cinta dengan benang kejujuran, bukan kepura-puraan.”
Ia membungkukkan badan sedikit sebagai salam hormat, lalu melangkah mundur.
“Terima kasih sudah memperlihatkan wajah asli kalian. Hari ini saya tidak kehilangan tunangan, saya hanya diselamatkan dari keluarga yang salah.”
Suasana benar-benar hening. Pak Darto tak mampu berkata-kata. Bahkan Rania menunduk dalam diam mungkin menyesal, mungkin hanya malu.
Dan Ganendra berjalan pergi dengan kepala tegak, meninggalkan luka yang akan sembuh, dan harga diri yang tetap utuh.
Tepat saat Ganendra berbalik hendak pergi, suara lembut namun bergetar terdengar dari arah teras.
“Ganendra… tunggu.”
Langkah Ganendra terhenti. Ia menoleh perlahan, begitu juga semua mata tamu yang hadir. Rania akhirnya bicara. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, tapi matanya menatap Ganendra penuh rasa bersalah yang selama ini ia pendam.
“Aku tahu, aku salah dan aku nggak akan cari pembenaran.” dia menarik napas panjang, mencoba menahan air matanya. “Tapi kamu harus tahu, aku nggak pernah menyesal pernah mengenalmu. Dua tahun bersamamu, itu bukan permainan. Kamu orang baik dan kamu pria yang sangat pantas untuk dicintai. Aku cuma nggak cukup berani untuk melawan keinginan orangtuaku.”
Bu Erna mencibir pelan, namun Rania melanjutkan, lebih mantap.
“Dan kalau hari ini kamu merasa dikhianati, aku tidak akan membantah. Karena memang begitu kenyataannya. Tapi tolong jangan pernah ragukan betapa aku menghargai setiap perjuanganmu. Mungkin aku bukan wanita yang cukup kuat berdiri di sampingmu hari ini, tapi suatu saat nanti aku yakin kamu akan menemukan perempuan yang tidak hanya berani mencintaimu, tapi juga berani bertahan di sisimu, meski dunia menertawakan kalian.”
Air mata menetes perlahan di pipinya. Ia melangkah maju, melepas genggaman tangan Sandi tanpa berkata sepatah kata pun padanya.
Ia berdiri beberapa langkah dari Ganendra, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk menyampaikan isi hatinya.
“Terima kasih pernah mencintaiku dengan tulus. Terima kasih pernah membuatku merasa cukup hanya dengan pelukan sederhana dan mimpi-mimpi kecil. Dan maaf, karena aku membalas cinta sebesar itu dengan kebisuan dan kebodohan.”
Suasana sunyi. Bahkan angin pun terasa enggan berhembus. Beberapa tamu perempuan tampak menyeka mata, dan Pak RT pun terlihat menunduk, menghargai keberanian Rania berbicara.
Ganendra menatap Rania lama, dalam diam yang mengandung makna. Ia tidak marah, tidak menyalahkan hanya menatap seorang perempuan yang pernah ia jaga dalam doa, kini berdiri tak lagi sebagai miliknya.
Ia tersenyum tipis, getir, namun tulus.
“Kalau suatu saat kamu ingat aku, cukup ingat bahwa aku pernah datang dengan cinta yang jujur. Itu saja cukup.”
Dan dengan itu, Ganendra kembali berbalik. Kali ini tanpa beban, tanpa ingin kembali. Ia sudah melepaskan dengan cara paling laki-laki yang berani mencintai, dan lebih berani kehilangan.
Begitu Ganendra membalik badan untuk pergi setelah kata-kata terakhirnya pada Rania, suasana masih terdiam hingga akhirnya Pak Mahfud, pamannya, maju selangkah dengan dada bergemuruh dan mata yang mulai memerah karena menahan amarah.
“Maaf, tapi saya tidak bisa diam.”
Suaranya berat, menggema, membuat orang-orang kembali menoleh. Pak RT, Pak Salim, ikut berdiri di sampingnya, wajahnya tegang namun tetap tenang.
Pak Mahfud menatap langsung ke arah Pak Darto dan istrinya. “Kalian yang minta Ganendra datang, kalian yang sepakat dengan tanggal lamaran. Kami ini datang karena diundang secara baik-baik, bukan karena numpang numpang harap!”
Pak RT menambahkan dengan nada tegas, “Lalu sekarang, kalian buat acara tunangan untuk laki-laki lain dan menyambut kami seperti orang asing? Apa ini memang direncanakan dari awal? Apa memang niatnya dari awal untuk mempermalukan keluarga kami di depan umum?”
Pak Darto tersentak, namun belum sempat menjawab, Pak Mahfud kembali angkat suara. Kali ini lebih dalam, dengan kemarahan yang tetap bermartabat.
“Kami ini orang kecil, iya. Tapi bukan berarti kami bisa seenaknya dipermainkan! Harga diri kami mungkin tak semahal rumah kalian, tapi kami punya kehormatan. Kalau kalian memang tidak setuju dengan lamaran ini, kami bisa terima, asal disampaikan dengan hormat! Tapi yang kalian lakukan hari ini sungguh keterlaluan.”
Bu Erna tampak ingin membalas, namun Pak RT langsung memotong dengan suara dingin.
“Dan kalian bukan hanya mempermalukan Ganendra dan ibunya, tapi mempermalukan diri kalian sendiri di hadapan tamu-tamu kalian. Hari ini semua orang jadi saksi, mana keluarga yang menjunjung adab, dan mana yang menjunjung gengsi.”
Tamu-tamu mulai saling berbisik, suasana mulai tak nyaman bagi keluarga Rania. Beberapa bahkan terlihat mengangguk kecil mendengar perkataan Pak RT.
Pak Mahfud menatap tajam untuk terakhir kalinya. “Kami datang dengan membawa niat baik, bukan membawa malu. Tapi ternyata, yang membuat kami malu bukan karena ditolak, tapi karena telah percaya pada keluarga yang tidak tahu caranya menjaga kehormatan tamu.”
Lalu ia merangkul Ganendra, dan berkata pelan, “Ayo, Nak. Kita pulang. Lebih baik kita dihina karena miskin, daripada kaya tapi tak tahu cara menghargai orang.”
Dan dengan langkah penuh wibawa, rombongan kecil Ganendra pun pergi, meninggalkan pesta yang tampak megah tapi kehilangan maknanya.
Karena hari itu, bukan hanya hati yang patah, tapi wajah siapa yang benar-benar terhormat, akhirnya terbuka di hadapan semua orang.
Pak Mahfud yang sejak tadi menahan gejolak dadanya akhirnya maju selangkah lagi, wajahnya merah padam menahan marah namun tetap dijaga dengan sikap yang bermartabat. Ia menatap Pak Darto dan istrinya dengan tajam.
“Pak, Bu... kami ini orang Makassar. Ada siri’ na pacce dalam hidup kami. Ada harga diri, ada rasa malu, ada empati. Siri’ itu kehormatan. Pacce itu rasa malu kalau menyakiti orang, rasa pedih kalau mempermalukan tamu. Dan hari ini... kalian injak semua itu.”
Pak RT, Pak Salim, mengangguk pelan, ikut berdiri di samping Pak Mahfud.
“Bukan soal lamaran diterima atau ditolak. Kami bisa terima kalau ditolak dengan cara terhormat. Tapi ini? Kalian sengaja undang kami, padahal tahu kalian mau nikahkan anak kalian dengan orang lain. Ini bukan sekadar pembatalan, ini penghinaan.”
Pak Mahfud menunjuk ke arah kotak seserahan yang masih dibawa salah satu kerabat mereka, lalu menatap Pak Darto dengan sorot kecewa.
“Kami bawa seserahan bukan buat pamer. Kami bawa itu sebagai bentuk penghormatan. Tapi kalian balas dengan mencoreng muka anak kami, mempermalukan ibunya, dan menghina profesi orang tua yang kalian anggap rendah. Maaf, tapi ini bukan cuma soal cinta ini sudah soal siri’. Dan kami tidak akan tinggal diam!”
Bu Siti masih berdiri dengan kepala tegak, air mata tertahan di ujung matanya, tapi tidak ada yang lebih bangga daripada anak dan keluarga yang berdiri membelanya hari itu.
Pak RT akhirnya bicara, nadanya dalam dan penuh wibawa. “Kalau kalian lupa caranya menghormati tamu, biar kami pulang dengan harga diri yang masih utuh. Dan biarlah semua yang hadir hari ini jadi saksi, bahwa yang kaya belum tentu mulia, dan yang sederhana belum tentu hina.”
Pak Mahfud pun berkata lirih namun menusuk sebelum berbalik. “Kami pulang, bukan karena kalah. Tapi karena kami tahu siri’ na pacce tidak bisa dibeli dengan pesta besar dan nama besar.”
Dan dengan itu, rombongan Ganendra pun melangkah pergi. Kepala mereka tegak, langkah mereka pasti, karena mereka tahu lebih baik pulang membawa luka, daripada tinggal dan kehilangan martabat.
Saat rombongan Ganendra hendak benar-benar melangkah pergi, seorang perempuan paruh baya yang sedari tadi berdiri di samping Pak RT akhirnya angkat bicara. Ia adalah Bu RT, istri Pak Salim. Wajahnya teduh, tapi sorot matanya menyimpan ketegasan seorang ibu yang tak tahan melihat ketidakadilan.
Ia maju beberapa langkah, berdiri di antara kerumunan tamu yang masih terdiam. Dengan suara lantang namun hangat, ia berkata,
“Ananda Ganendra jangan tunduk begitu, Nak. Angkat kepalamu. Kamu datang hari ini membawa niat baik, membawa restu ibu, membawa harga diri. Tapi Allah lebih tahu siapa yang pantas untukmu.”
Ia menoleh ke arah Rania dan keluarganya, lalu kembali menatap Ganendra.
“Percayalah, suatu hari nanti kamu akan dapat jodoh yang bukan hanya lebih baik dari Rania, tapi yang juga tahu caranya menghargai perjuangan, mencintai dengan tulus, dan berdiri di sisimu bukan karena harta tapi karena hati.”
Beberapa tamu tampak mengangguk, bahkan beberapa ibu-ibu di belakang mulai menyeka mata.
“Kamu mungkin kalah di mata mereka hari ini, Nak. Tapi di mata orang yang tahu arti siri’ na pacce, kamu pemenangnya.”
Bu RT tersenyum lembut, lalu menepuk pundak Bu Siti. “Bu, Ibu harus bangga. Anak ibu lelaki sejati. Insya Allah… akan ada perempuan baik yang dikirim Tuhan, bukan hanya mencintai anak ibu, tapi juga mencium tangan ibu dengan penuh hormat.”
Bu Siti mengangguk pelan, matanya mulai berlinang. Ganendra pun menatap Bu RT dengan mata yang mulai basah, tapi senyumnya mengembang kecil senyum seorang lelaki yang tahu, meski hari ini ia ditolak, tapi ia tidak pernah kalah.
Dan hari itu, meski tak jadi membawa pulang calon istri, Ganendra pulang membawa sesuatu yang jauh lebih mulia yaitu kehormatan, doa, dan harga diri yang tetap utuh di mata orang-orang baik.
“Ya Rabb… Kenapa sesederhana ini harapan kami, tapi serumit ini jalan menuju bahagia? Ibu… Maafkan anakmu ini. Aku tak cukup tangguh untuk menjaga wajahmu tetap teduh. Aku tahu kau berusaha tegar, tapi aku bisa melihat retak itu di mata tuamu.”
“Dulu aku pikir, cinta cukup jadi alasan untuk diterima. Ternyata silsilah dan harga diri lebih dulu jadi hakimnya. Apa salahku lahir dari rahim seorang penjahit, dari pelukan seorang janda yang tiap malam menambal luka sendirian?”
“Kue dodorok itu, waje umba-umba yang dulu kuimpikan akan kau hantarkan sambil tersenyum bahagia,
kini hanya jadi simbol luka.
Bukan karena rasanya yang berubah, tapi karena maknanya tercabik.”
“Mereka menilai kami rendah.
Menginjak harga diri kami seolah darah kami lebih murah dari darah mereka.
Tapi Ibu selalu bilang...
Siri’ na pacce lebih tinggi dari segala yang mereka punya.
Dan hari ini aku memilih menunduk bukan karena kalah,
tapi karena aku tak ingin hatiku menjadi congkak seperti mereka.”
“Ya Allah...
Jika bukan Rania takdirku,
Tolong hapus namanya dari ingatanku.
Tapi jika Engkau masih menulis namanya di Lauhul Mahfudz untukku,
maka bimbinglah aku mencintainya tanpa harus mengorbankan harga diri ibuku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!