NovelToon NovelToon

Pengantin Bayangan Jadi Tawanan

Bab 1

"Ayah!!!"

"Aku mohon, Ayah. Tolong bantu aku. Jangan menjualku seperti ini!" jerit Ellena meminta tolong pada pria paruh baya yang sejak tadi diam memperhatikan dirinya dibawa.

"Maaf Ellena, kamu terima saja. Demi ayah," ucap Kevin dengan wajah melemas, merasa tak tega. Namun, tidak ada pilihan lain selain mengorbankan putrinya.

"Dasar gila, ayah gila!" pekik Haven adik Ellena yang juga terus memberontak ingin menyelamatkan kakaknya.

"Jangan bawa kakakku!" jerit Haven mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia berhasil terlepas, namun satu pukulan kuat langsung mendarat di perutnya, membuat pria itu mundur beberapa langkah.

"Dasar, kau diamlah!" teriak orang-orang yang menahan mereka, terus menyerang Haven.

"Haven!" jerit Ellena.

"Sudah pergi saja! Dan jangan melawan terus!" sentak Archer berkacak pinggang menatap galak pada Ellena.

Wanita yang merupakan ibu tiri dan di depan matanya langsung menerima sejumlah uang hingga dirinya di bawa.

"Nona, silahkan masuk mobil tanpa melawan, jika tidak ingin adikmu kenapa-napa!" ucap pria berbaju hitam dengan tegas, mengarahkan Ellena masuk ke dalam mobil.

Ellena tidak ada pilihan. Memikirkan keselamatan adiknya, membuatnya pasrah masuk dalam mobil.

"Kenapa harus aku, ayah?" batin Ellena meremas kuat gaun hitam yang dikenakannya.

Mobil melesat dengan cepat membawa Ellena pergi semakin jauh dari kediamannya. Ia tak tau akan dibawa ke mana. Namun, bayangannya membuatnya menerka, hidupnya akan semakin menderita setelah ini.

Ellena, hanya bisa menangis dalam diam. Menatap orang-orang disekitarnya yang terlihat begitu menyeramkan. Anehnya ada sekitar lima mobil yang mengawalnya entah apa tujuannya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan. Bahkan Ellena sudah tidak tau arah jalan untuk pulang, saking jauhnya tempat itu dari tempat tinggalnya. Kini mobil yang membawanya pergi, memasuki halaman sebuah mansion mewah dan besar dengan nuansa berwarna hitam.

Gedung itu terlihat begitu mewah, megah, namun bagi Ellena tempat itu terlihat menyeramkan.

"Sebenarnya siapa yang membawaku? Siapa yang menginginkanku?" batin Ellena semakin gemetar. Keringat sebesar biji jagung jatuh dari pelipisnya saking gugupnya.

Mobilnya berhenti tepat di pintu utama mansion. Orang di sebelahnya kemudian turun membuka pintu lebar.

"Ayo turun!" ucapnya dengan suara tegas.

"Tidak mau! Ini di mana? Kembalikan aku!" ucap Ellena menangis ketakutan.

"Turun!" sentak pria di sebelahnya, mendorong Ellena hingga gadis itu mau tak mau keluar dari mobil.

"Ayo ikut!" Tubuh kecilnya diseret paksa memasuki mansion. Satu orang saja tak mampu ia lawan, apalagi dengan dirinya diseret dan dijaga beberapa orang.

"Ibu. Ibu tolong Ellena," batin Ellena. Ia hanya bisa menangis, menginjak setiap lantai dengan penuh ketakutan.

Sampai di depan sebuah ruangan. Nafas Ellena semakin tercekat. Ia membayangkan apa yang ada di dalam sana.

Salah satu diantara mereka mengetuk pintu. Hingga suara di dalam sana terdengar memerintahkan mereka masuk.

Pintu di buka, dan pandangan pertama yang dilihat sepasang kekasih yang mana perempuan itu tengah duduk di pangkuan pria dengan begitu mesra.

"Lovie ...," gumam Ellena mengenal wanita itu.

"Halo Ellena. Lama tidak bertemu," sapa wanita itu sembari tersenyum manis.

Ellena tidak membalas, tatapannya beralih pada sosok pria berwajah dingin yang memangku wanita bernama Lovie itu.

"Dan dia kan ...." Ellena meneguk ludahnya sendiri, mengetahui siapa pria itu.

Felix Willson. Sosok mafia dan pengusaha berdarah dingin, yang wajahnya sudah tersebar di layar kaca. Ia disegani, dan memiliki banyak musuh.

Ellena semakin berada dalam ambang ketakutan. Melihat keduanya di sana, membuatnya tau hubungan keduanya. Apakah dirinya berada di sana, karena masalahnya dengan Lovie?

Karena takut, mengeluarkan satu patah kata pun, Ellena tidak sanggup lagi.

"Tuan, ini wanita yang anda minta," sahut pria berjas hitam itu, mendorong pelan Ellena.

"Ya, kalian boleh keluar," sahut Felix mengibaskan tangannya dengan gerakan pelan, namun tegas yang tak bisa dibantah.

Ellena masih diam membisu. Wajahnya pucat pasi dan tubuhnya gemetar menatap dua orang di hadapannya.

Lovie menyinggung senyumnya, perlahan bangkit dari pangkuan Felix, dengan langkah yang santai dan anggun ia menghampiri Ellena.

Lovie mencengkram kuat dagu Ellena hingga mendongak, dan memperlihatkan wajahnya pada Felix.

"Sayang, bagaimana menurutmu? Pilihanku sudah tepat kan?" ucap Lovie, memberikan senyuman manisnya.

"Ya tentu saja sayang. Kamu sangat pandai memilih," balas Felix menatap Lovie dengan lembut dan penuh cinta, namun saat menatap Ellena tatapannya menjadi dingin.

Ellena menatap Lovie. "Kamu mau apa Lovie? Apa ini masalah ballet dua bulan lalu? Kau jelas tau aku dipilih menggantimu karena kamu datang terlambat!" ucap Ellena dengan cepat. Memberanikan diri menanyakan alasan dirinya dibawa ke sana.

Lovie melirik Ellena dengan dingin. "Jika kau tidak muncul masih aku bisa tampil! Padahal sudah jelas aku katakan, jangan ada yang menggantiku! Aku hanya terlambat sedikit karena mengurus pernikahanku kau malah datang ke panggung!" bentak wanita itu membuat Ellena tersentak.

Dirinya yang sudah berada dalam ketakutan membuatnya merasa gemetar hanya mendengar suara bentakan itu.

Lovie menghela nafas lembut. Wajah ketusnya kembali terlihat tenang. "Tapi, kamu tenang saja adik kecil. Ini bukan masalah itu kok. Malah aku bersyukur, berkat melihatmu tampil, aku jadi tau siapa yang pantas menggantikan nanti. Terima kasih ya," ucap Lovie mengusap lembut pipi Ellina yang diam dalam kebingungan. Lovie kemudian kembali dan duduk dipangkuan Felix.

Tangan Felix melingkar di pinggang ramping Lovie, dan mengusapnya dengan lembut.

"Jadi, sudah deal, dia yang akan menggantikanmu?" tanya Felix dengan lembut.

"Hm." Angguk Lovie.

"Baiklah baby," Felix kemudian menatap dingin pada Ellina yang masih dalam kebingungan.

"Besok, adalah pesta pernikahan kami. Kau bersiaplah, menjalankan tugasmu. Entah itu akan terjadi besok, atau hari berikutnya, kau harus menjalankan tugasmu dengan baik!" ucap Felix dengan tegas tak ingin dibantah.

Ellina mengerutkan keningnya, masih tidak paham akan pembicaraan yang terjadi itu.

"Tu-Tuan. Tugas apa yang harus saya lakukan?" tanyanya.

Dengan tenang Felix berucap. "Menggantikan posisi istriku nanti," jelasnya.

"Hah?" Ellina mengerutkan kening.

Namun, belum mendapat penjelasan lengkap, sebuah ancaman sudah disuarakan. "Dan jika kamu berani mengumbar siapa kamu dan siapa istriku, akan ku pastikan, adik tercintamu akan mati di tanganku, dan akan ku perlihatkan kepalanya padamu!" lanjutnya membuat Ellena tersentak dan ketakutan.

Dalam kebingungan akan maksud menggantikan, ia malah diancam seperti itu. Tubuhnya lemas, berlutut dan memohon. Ia tidak pikir panjang lagi, meski tidak tau resiko yang akan diterimanya, ia memilih menurut.

"Jangan menyentuh adikku Tuan. Aku akan melakukan apapun yang anda minta, tapi jangan melukai adikku!" ucap Ellena mengatup kedua tangannya memohon, membuat Felix mengulum senyum jahatnya.

"Kau tenang saja. Kau hanya perlu ingat, kau adalah pengganti, dan tidak boleh mengungkapkan kau adalah pengganti, pada siapapun itu, paham!" ucap Felix dengan tegas membuat Ellena seolah terhipnotis dalam ketakutannya.

"Paham, paham," jawab Ellena cepat. Ia paham meski masih bingung akan maksud, tujuan dan arah bicaranya.

Bab 2

Ellena pasrah. Ia juga belum mendapatkan jawaban dari tugasnya. Ia hanya tau tidak boleh mengatakan pada siapapun jika dirinya adalah pengganti.

Namun, pengganti apa? Kenapa ia malah didandani layaknya akan menikah?

Ellena menatap wajahnya yang sudah tampak begitu menawan dengan gaun pernikahan yang melekat di tubuhnya.

Wanita itu meremas-remas gaun pengantin itu dengan tangannya yang basah karena keringat.

"Kenapa? Apa maksud ini semua?" batin Ellena memandang sekitar. Melihat tempat yang tertutup dan tidak ada celah angin sedikit pun. Ia pun tidak mendengar apapun yang ada di luar sana. Yang ia tau, di luar sana sebuah pesta outdoor sedang dilangsungkan.

Ellena mengambil dan membuang nafas kasar, demi membuang rasa gelisah dan mencoba menerka-nerka apa tujuannya ia berada di sana.

Belum usai rasa gelisahnya. Pintu ruangan tempatnya berada di buka. Lovie dengan pakaian pengantin yang sama masuk dengan tergesa.

"Kau kemarilah!" seru Felix mengulurkan tangan.

"Ini ...?" Ellena terkejut, hingga ia belum merespon. Membuat Felix mendengkus dan segera menarik tangannya dengan kasar keluar dari sana.

Lovie yang melihatnya pun tersenyum santai. "Akhirnya, dengan wanita itu dibawa pergi, tidak ada lagi anak kecil yang bisa mengambil posisi baletku," ucapnya tersenyum senang.

Wanita itu kemudian berdecak pelan, menggeleng kepala seolah sedang menyayangkan sesuatu. "Huh, ternyata dugaan suamiku sama sekali tidak meleset. Kasihan sekali, dirimu Ellena," gumamnya duduk dengan santai di kasur sana.

Sementara itu di luar sana. Tubuh Ellena diseret paksa oleh Felix dengan perlindungan beberapa pengawal. Suara tembakan dan ledakan membuat Ellena tersentak dan gemetar ketakutan.

"Tuan, kenapa kita ke sana?" tanya Ellena mencoba menahan diri, saat mereka berjalan semakin dekat dengan aula pernikahan.

Felix menghentikan langkahnya. Ia kemudian kembali berbalik arah, bersama beberapa pengawal yang segera berada di belakangnya.

"Yak Felix!" suara teriakan itu menggema membuat mereka semua menoleh.

"Ayo cepat lari!" seru Felix menarik dan mencengkram kuat tangan Ellena.

Suara tembakan terarah pada mereka, membuat Ellena menjerit. Kakinya yang dipaksa bergerak cepat membuatnya semakin tersiksa.

"Tahan dia!" seru Felix terus menarik Ellena menjauh.

"Cepat larinya bodoh!" sentak Felix menahan diri agar tidak berteriak.

"Tuan, ada apa ini? Aku takut," tanya Ellena

"Diam!" sentak Felix saat mereka sudah memasuki gedung yang telah di dekorasi ala pernikahan untuk bagian dalamnya.

Nafas Felix memburu, ia mencengkram kuat pipi Ellena membuat wanita itu meringis kesakitan.

"Aku sedang berusaha melindungi istriku, dan ingat tugasmu, kau tidak boleh membocorkan pada siapapun atau adikmu yang menanggung resikonya!" ucap Felix dengan penuh penekanan dan sorot matanya yang tegas.

"Kau paham!"

Ellena mengangguk mengerti. Air matanya jatuh berurai begitu saja. Belum juga ia mengambil nafas, tangannya kembali ditarik paksa oleh Felix. Saat mereka akan masuk dalam lift. Tiba-tiba sebuah ledakan tembakan menghantam tombol lift hingga rusak, membuat Ellena terlonjak kaget.

"CK," Felix berdecih, membalikkan tubuhnya, dan menarik Ellena ke belakangnya.

"Felix Willson, kau tidak akan bisa kabur dariku!" ucap pria bertopeng dengan senjata di tangannya.

Felix menatap dengan dingin. "Kau benar-benar kejam, menghancurkan pernikahan yang sudah ku rancang begitu sempurna bersama istriku!" balasnya sembari mengeluarkan pistol di sakunya.

Ellena diam, nafasnya naik turun, dan seakan bisa terputus melihat kondisi di depannya itu.

Di belakang pria bertopeng itu, terlihat beberapa orang sedang adu tinju dan senjata. Suara tembakan dan ruangan yang kini dipenuhi bercak darah membuatnya gemetar dan berkeringat dingin.

Wanita itu mundur beberapa langkah, tubuhnya jatuh lemas ke lantai, ia tak mampu mengontrol rasa takutnya lagi.

Felix meliriknya sekilas dan berdecih, "dasar wanita lemah."

"Wah wah, sepertinya wanita tercintamu ketakutan, dan mungkin dia akan trauma setelah ini," ucap Pria bertopeng itu kemudian tertawa tanpa beban, seolah kemenangan ada di pihaknya.

Felix memandang dengan tenang, namun penuh aura yang menyeramkan. "Ya dan rasa traumanya akan kau bayar dengan nyawamu!"

Pria bertopeng itu menyinggung senyum santai. "Aku tidak akan kalah di sini!" ucapnya dengan dingin, sama sekali tidak gentar sedikitpun.

Pria itu menembakkan pelurunya ke arah Ellena, dan langsung ditepis Felix dengan peluru juga, hingga percikan muncul pada peluru tersebut.

"Ayo bertarung Felix, tapi jangan sampai kau mati, karena aku akan mengirim banyak hadiah pernikahan untukmu," ucap pria itu tersenyum menyeringai.

Di balik topeng itu Ellena bisa melihat sebuah kebencian dan dendam yang begitu dalam. Perlahan ia juga paham akan maksud Felix.

Tugasnya, yaitu menggantikan Lovie dalam keadaan berbahaya itu. Ellena memejamkan mata erat, dan menutup telinganya saat Felix dan Pria bertopeng itu, mulai mengadu senjata.

Kenapa harus dirinya yang berada dalam situasi berbahaya itu?

Ellena tidak melihat apapun. Namun, suara ledakan senjata terus terdengar.

Felix melirik sekilas pada Ellena. Ia bagaikan tameng yang melindungi wanita yang ketakutan itu.

"Felix aku pasti akan membalaskan dendam istriku!" seru pria bertopeng itu terus menyerang dengan gerakan insten.

"Lakukan jika kau mampu," balas Felix terus menahan setiap seringai dengan begitu lihai.

Saat Felix masih dengan fokusnya memperhatikan musuh, suara dari alat dengar yang terpasang di telinganya terdengar.

"Tuan, kita ke rencana B. Tuan harus mengalah. Beberapa orang mulai mendatangi tempat Nyonya."

Felix berdecih. Rencana A adalah tetap mempertahankan Ellena bersama mereka hari ini. Memamerkan Ellena sebagai istrinya diawal media, dengan begitu istrinya akan aman dan musuhnya akan menargetkan Ellena. Namun, sepertinya rencana awal itu harus mereka lepaskan.

Dor ....

Peluru melesat di dada Felix. Itu bukan bagian dari kesengajaan mengalahnya. Ia benar-benar kecolongan, hingga satu senjata api itu bersarang di sana.

Ellena membuka matanya saat merasakan percikan darah mengenai wajahnya. Matanya membulat dan syok melihat Felix sudah terduduk lemas di depannya.

Pria bertopeng itu tertawa. "Satu," ucapnya membuat Felix membulatkan matanya.

"Dua."

Felix memejamkan mata, tubuhnya jatuh lemas, merasakan pusing dan sakit di seluruh tubuhnya.

"Tidak. Dia tidak mungkin membunuhku. Ini pasti hanya obat bius," batinnya yakin.

Sangat yakin, pria itu tidak akan berniat membunuhnya. Karena mati menjadi hal yang paling ringan dalam denda mereka.

"Tiga."

Tubuh Felix jatuh lemas ke lantai. Sorot matanya tajam pada pria itu. Niatnya memang mengalah dengan sengaja. Namun, kalau tanpa sengaja membuatnya merasa rendah.

"Kau ...."

Pria bertopeng itu berjalan santai mendekat. "Kau jangan mati ya. Ingat, jangan mati! Hadiahku akan segera ku kirim," ucapnya dengan santai menendang-nendang tubuh tak berdaya Felix.

Felix tidak merespon. Bola matanya menyipit dan perlahan akan tertutup tidak sadarkan diri. Namun, telinganya masih mendengarkan dengan baik.

"Tuan, orang-orang semakin berdatangan menyerang. Nyonya di bawa ke ruang bawah tanah," sahut seseorang di earphonenya itu.

Felix menghela nafas lega. Setidaknya kekalahannya membuat istrinya aman saat ini. Beruntung ia sudah mempersiapkan tempat rahasia di ruangan ia meninggalkan istrinya.

Sementara itu ia tidak peduli saat melihat Ellena dibawa musuhnya itu.

"Tidak, aku tidak mau!" tangis Ellena memberontak.

"Ikut denganku, sialan!" sentak pria itu terus menarik paksa Ellena.

Darah yang menggenang di lantai langsung tersentuh di kaki Ellena, membuat wanita itu seketika pusing, matanya mulai berkunang-kunang. Melihat sekitarnya yang penuh darah membuatnya tak mampu menahan diri, hingga akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

"CK, merepotkan saja!" gerutu pria itu, menarik tubuh Ellena, membawanya ke pundak, dengan mudahnya membawa tubuh kecil itu pergi dari sana.

Bab 3

Air menyentuh wajah Ellena hingga membuat wanita yang lelap dalam tidur itu tersentak dan tersedak.

"Bangun!" suara sentakan itu membuat Ellena membuka paksa matanya.

Belum sempat ia sadar sepenuhnya. Kedua pipinya diapit dengan kuat, membuat wanita itu meringis.

"Sakit," keluh Ellena menatap pria asing di depannya itu, namun ia tau pria itu adalah pria bertopeng tadi.

"Akhirnya kau bangun juga," ucapnya sembari menampakkan seringaian jahatnya.

Ellena tidak menjawab, ia menoleh kanan kiri yang dipenuhi kardus dan barang lama, ditambah suasana yang kotor dan gelap menandakan itu adalah gudang. Ia juga merasakan tubuhnya yang diikat di kursi.

Pria itu membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Ellena. Sorot matanya yang penuh dendam dan rasa benci begitu terlihat jelas.

"Aku pasti akan membalaskan dendam istriku," ucapnya dengan suara serak, pelan namun terdengar menyeramkan, membuat Ellena merinding takut.

"Tu-Tuan. Apa maksud anda, saya tidak tau," ucap Ellena dengan nafas memburu. Wanita itu tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya sedikitpun.

Pria itu menyinggung senyumnya. Jemarinya bergerak lembut mengusap pipi Ellena, namun menjadi cengkraman kasar saat menyepit kedua pipinya.

"Kau mungkin tidak tau apa-apa. Tapi, suamimu sudah membunuh istriku!" ucapnya dengan penuh penekanan dan sorot matanya yang tajam.

Ellena membulatkan matanya, lalu menggelengkan kepala. "Tidak Tuan, tidak, anda salah orang. Seharusnya ...." Ellena tidak melanjutkan ucapannya, kala teringat akan ancaman yang diberikan Felix.

"Seharusnya apa huh?" Pria itu menatap dengan dingin.

Ellena mengatup rapat mulutnya, berusaha menahan diri. Mengingat masalahnya adalah sosok Felix yang kejam, membuatnya tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya.

"Kenapa kau diam saja huh?!" sentak pria itu, namun tidak membuat Ellena membuka mulut. Wanita itu hanya gemetar menahan rasa takutnya.

Pria itu terkekeh melihatnya. Pria yang dikenal Maximus Harington bangkit mendudukkan tubuhnya pada kursi kayu yang berada selangkah dari depan Ellena.

"Ellena, aku sempat lihat nama itu di dekorasi pernikahan. Itu namamu kan, Nama yang sangat cantik," puji Maximus membawa tubuhnya duduk di bangku kayu.

Ia mengangkat kakinya ke atas pangkuan Ellena. Lalu menyalakan sebatang rokok di tangannya, dan menyesapnya dengan lembut.

"Kau sangat cantik dan manis. Sayangnya ..., kau salah memilih laki-laki, sehingga harus berada di sini sekarang," ucapnya kemudian terkekeh dengan arogannya.

Ellena menunduk, menatap tubuh ya yang masih menggenakan gaun pengantin. Air matanya jatuh membasahi gaun itu sungguh ia tidak menyangka akan menjadi pengganti untuk kondisi itu.

Maximus, menghembuskan asap rokok dalam mulutnya, dan tersenyum kecil yang terlihat menyeramkan.

"Tapi, sudah terlambat untuk menyesal. Melaluimu, aku akan balas dendam," ucapnya menatap dingin pada Ellena.

Ekspresi takut Ellena, terlihat sangat menyenangkan di matanya.

"Harusnya bukan aku yang di sini," batin Ellena, hanya bisa menangis dalam diam.

"Aku sangat menunggu, Felix datang menjemputmu tapi sebelum itu ...." Maximus menyeringai, mencondongkan tubuhnya dan menghembuskan asap rokok dalam mulutnya, hingga mengenai wajah Ellena.

Ellena mengerutkan wajahnya dan sedikit terbatuk. Asap rokok tercium jelas di hidungnya.

"Aku akan bermain-main dengan tubuhmu lebih dulu," ucapnya sembari menyinggung senyumnya, membuat Ellena membulatkan matanya.

Ellena menggelengkan kepala, namun ia tidak berani mengeluarkan sepatah katapun.

"Tuan, anda ...."

"Siapa yang menyuruhmu bicara!" sentak Maximus memotong ucapannya, membuat Ellena segera mengatup mulutnya.

Tubuhnya gemetar, dan cairan bening jatuh dari sudut matanya.

Maximus menyinggung senyumnya. "Sepertinya selera baj*Ngan itu sangat buruk. Dia malah mendapatkan wanita cengeng, penakut dan merepotkan sepertimu," hinanya kembali menyesap rokoknya, dan kakinya turun dari pangkuan Ellena.

Ia mencengkram dagu Ellena, lalu mendekatkan wajahnya, membuat Ellena memejamkan mata dan berusaha menghindar.

Bibirnya dipaksa terbuka, dan saat itulah, bibir Maximus menyentuh bibirnya. Di sanalah Maximus menghembuskan nafas, mengeluarkan asap rokok dalam mulutnya.

Ia menjauhkan tubuhnya, bibirnya membentuk seringaian saat melihat Ellena terbatuk ringan. Terlihat mulut dan hidungnya mengeluarkan asap.

Bola mata Ellena memerah, asap yang masuk dalam tubuhnya membuat dada dan hidungnya terasa perih.

"Benar-benar payah," hina Maximus.

"Tuan, tolong jangan seperti ini," pinta Ellena memohon.

"Harusnya bukan aku yang di sini." Ellena melemaskan wajahnya, berharap mendapatkan ampun dari sosok menyeramkan itu. Namun, tatapan dingin dan angkuh itulah yang didapatkan.

"Tidak, ini memang tempatmu. Kau sudah memilihnya menjadi suamimu, dan kau harus menanggung resiko dari orang seperti suamimu," balas Maximus dengan tenang.

Ellena menggeleng. "Bukan, bulan aku," gumamnya berharap Maximus paham, dan memberinya ampun.

Maximus menatap dingin, merasa geram melihat dan mendengar, Ellina menangis. "Berhentilah menangis sialan!"

Ellena tersentak. Matanya terpejam kuat. Mau bagaimana ia tidak menangis, sedangkan ia dilanda ketakutan.

"Aku bilang berhenti menangis! Aku benci melihat orang cengeng!" sentak Maximus semakin meninggikan suaranya.

Tangis Ellena malah semakin pecah. "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku harusnya tidak berada di sini!" pekik Ellena tanpa ia sadari.

Plakk ....

Maximus melayangkan tamparan kuat di wajah mulus Ellena, membuat Ellena langsung terjatuh ke lantai bersama kursi. Debu di gudang itu, langsung berterbangan, dan masuk dalam pernapasannya.

Ellena meringis, kepalanya terbentur, ditambah pipinya yang terasa perih.

Tamparan perih itu meninggalkan bekas memerah di pipi putih nan mulus itu. Namun, Maximus terlihat tak merasa bersalah. Tatapannya dingin melihat Ellena menggerang kesakitan.

Maximus menyilangkan tangan di depan dada, matanya menyipit tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. "Berani sekali kau meninggikan suaramu padaku."

Suaranya rendah, tapi ada ketegasan yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah menekan lawan bicaranya, memaksa mereka untuk berpikir dua kali sebelum berucap.

Maximus kemudian membungkuk, dengan santainya menarik kursi Ellena agar kembali berdiri sempurna.

Ellena mengatup rapat mulutnya, ia tidak lagi berani mengatakan apapun. Ia berusaha sebaik mungkin agar tidak menangis, ataupun bersuarakan rasa sakitnya.

"Good, seperti ini yang ku suka," ucap Maximus mengulum senyum manis yang menyeramkan.

Tangannya bergerak lembut mengusap wajah Ellena. "Jangan menangis ya, dan menurutlah seperti anjing."

Maximus kembali berdiri tegak. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Satu tangannya mengepal, meremas dan mematikan rokoknya, setelah itu membuangnya begitu saja.

"Selagi kau patuh, kau akan baik-baik saja. Tapi ..., aku tidak menjamin, kau akan tetap hidup setelah suamimu datang menjemputmu atau tidak," ucapnya menyeringai dengan senyuman angkuhnya.

Ellena tercekat, ia hanya terus diam, karena takut untuk membalas ucapannya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, untuk mengalihkan rasa perih di pipinya, ditambah, cairan yang bisa ia rasakan mengalir di keningnya.

Maximus menghela nafas pelan, "maaf sudah menculikmu di hari pernikahanmu, kamu pasti sangat membayangkan malam pertama dengan suamimu. Tapi, tenang saja ...."

Maximus membungkuk, menyamai tinggi kepalanya dengan Ellena. "Aku akan mengganti suamimu, mengisi malam pertama kalian," ucapnya menatap lekat wajah Ellena yang sedang menahan rasa takut dan sakit itu.

Maximus memasukkan kedua tangannya dalam saku. Membalikkan tubuhnya membelakangi Ellena. "Bersiap-siaplah, orangku akan segera menjemputmu," ucapnya sebelum mengambil langkah pertamanya, meninggalkan Ellena di ruangan itu.

"Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa ada di sini. Aku harus kabur," gumam Ellena setelah Maximus hilang dalam pandangannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!