NovelToon NovelToon

Jenderal Reinkarnasi Kebangkitan Permaisuri Tak Dianggap

Bab 1 – Jenderal Mati, Permaisuri Bangkit

Langit malam mendung saat hujan gerimis membasahi kota Zhaoyu—markas militer terbesar di Asia Timur. Petir menyambar di kejauhan, menerangi sejenak bangunan bertingkat tinggi yang penuh dengan kamera pengawas, senjata canggih, dan pasukan elite yang lalu-lalang.

Tapi di ruang rapat bawah tanah lantai lima, hanya ada satu orang yang berdiri tegak dengan wajah dingin menatap layar hologram berisi pergerakan pasukan musuh. Tubuhnya ramping tapi berotot, mengenakan seragam militer hitam dengan lambang bintang tiga di bahu kanan dan emblem sayap perak di dadanya.

Dialah Letnan Jenderal Fuan, jenderal perempuan termuda dalam sejarah militer modern. Di usia dua puluh tujuh tahun, ia telah memimpin lebih dari 30 operasi rahasia internasional, menumpas pemberontak, menyelamatkan sandera, bahkan membongkar jaringan mata-mata tingkat tinggi.

Namun malam ini... dia dijebak.

“Kau yakin markas kita aman?” tanya Fuan tanpa menoleh, berbicara pada satu-satunya orang di ruangan bersamanya Kapten Kai Ren, tangan kanannya sejak mereka lulus akademi militer tujuh tahun lalu.

Kai tersenyum kaku. “Sangat yakin, Jenderal. Semua perimeter sudah dikunci. Tak ada celah.”

Fuan mendesah. “Lalu kenapa aku merasa ada yang aneh?”

Kai diam. Matanya berkedip cepat.

Dan saat itulah terjadi ledakan keras mengguncang lantai dasar markas. Lantai bergetar. Listrik padam. Alarm merah menyala. Sirene meraung.

Fuan langsung meraih pistol dari pinggangnya dan bergerak cepat ke layar komando cadangan. Satu persatu titik di peta berkedip merah.

“Kita diserang dari dalam! Itu ruang logistik senjata berat!”

Kai tidak bergerak.

Fuan meliriknya, matanya menyipit. “Kai? Apa yang kau—”

DOOOR!

Satu tembakan menembus bahu Fuan dari samping.

Bukan musuh. Tapi Kai.

Darah muncrat. Fuan jatuh berlutut, menahan sakit.

Kai berjalan perlahan ke arahnya. Wajahnya campuran antara rasa bersalah dan kemenangan.

“Maaf, Fuan... tapi aku tak bisa menolak tawaran mereka. Mereka menjanjikan pos jenderal utama. Aku lelah hidup di bawah bayanganmu.”

Fuan menatapnya penuh amarah, darah mengalir di dagunya. “Kau... pengkhianat…”

Kai mendekatkan alat pemicu ledakan yang digenggamnya. “Aku akan dikenang sebagai pahlawan setelah kau mati dalam ledakan ini.”

Ia menekan tombol.

BZZZZ—BOOOMMMMMM!!!

Suara ledakan mengguncang seluruh markas.

Lantai retak. Langit-langit runtuh. Api berkobar.

Tubuh Fuan terpental ke udara, lalu tenggelam dalam gelap.

---

Gelap. Sunyi. Dingin.

Tak ada rasa sakit. Tak ada tubuh. Hanya kesadaran kosong yang melayang di ruang hampa.

"Apakah ini akhir?" bisik hati Fuan

Tidak. Karena tiba-tiba ada suara menggema, dalam dan tak dikenal, seolah dari dimensi lain.

“Kau belum selesai. Dunia lain membutuhkanmu. Nasib mereka bersamamu…”

Fuan ingin berbicara, tapi tak punya mulut.

Cahaya terang muncul di hadapannya, membentuk pusaran cahaya biru dan emas. Daya hisapnya begitu kuat, menyeret jiwanya masuk.

Fuan tak punya pilihan.

Dan dia pun... jatuh.

---

Dunia lain. Kekaisaran Changmin. Tahun ke-307 Dinasti Langit.

Udara dingin menyelimuti istana pangeran ketiga, istana dengan nama indah: Istana Bulan Giok. Tapi di balik nama itu tersembunyi kebusukan yang luar biasa.

Di dalam kamar permaisuri, seorang wanita gemuk berwajah pucat terbaring lemas. Gaun tidurnya basah karena baru saja ditarik dari danau belakang. Matanya tertutup, bibirnya kebiruan, kulitnya nyaris tak bernyawa.

“Permaisuri... bangunlah... mohon... jangan tinggalkan hamba…” terdengar suara tangisan disana

Pelayan setia bernama Yuyu menangis tersedu di samping ranjang. Ia satu-satunya yang peduli pada Permaisuri Fa Niangli, istri sah Pangeran Ketiga Changmin.

Tak ada satu pun selir datang. Bahkan sang pangeran tak peduli. Semua mengira Fa Niangli hanyalah wanita gemuk, lemah, tidak cantik, tidak memiliki bakat kultivasi, hanya pemberian politik dari Keluarga Fa yang terkenal.

Yang tak mereka tahu... dia dibunuh oleh selir kesayangan pangeran sendiri, Hua Rong, yang juga sepupunya. Fa Niangli diracun, lalu didorong ke danau ketika tubuhnya lemas.

Tidak ada yang menolong.

Dan kini tubuhnya… kosong.

Yuyu mengelus tangan tuannya, tubuhnya bergetar.

“Jika Anda pergi… siapa yang akan melindungi hamba?” ujar Yuyu sembari menangis tersedu sedu

Tiba-tiba, tubuh Fa Niangli kejang satu kali. Yuyu menjerit. Tapi kemudian...

Mata itu terbuka.

Bukan sembarang mata. Tatapan tajam, penuh bara, seperti harimau yang baru bangkit dari kubur.

Fa Niangli—atau lebih tepatnya Fuan dalam tubuh Fa Niangli—menarik napas dalam-dalam, paru-parunya perih.

“Dimana aku?” gumamnya pelan.

Yuyu tercekat. “Pe... Permaisuri...?”

Fuan mencoba duduk, dan terkejut oleh berat tubuhnya yang luar biasa. Ia memandang ke cermin perunggu di samping tempat tidur dan nyaris tidak percaya.

Wajah gemuk. Rambut acak-acakan. Mata sembab. Tapi ia bisa merasakan sesuatu... di balik daging tubuh ini ada kekuatan yang besar, seperti naga yang tidur puluhan tahun.

Lalu potongan-potongan ingatan masuk ke kepalanya. Memori Fa Niangli. Masa kecil, penghinaan, dipaksa menikah, dijauhi keluarga kerajaan, dan akhirnya dibunuh oleh sepupunya.

Fuan mengepalkan tangan. “Jadi ini tubuh baruku… dan nasibmu sekarang jadi milikku.”

---

Yuyu masih gemetar saat membantu Fuan berdiri. Wanita itu berjalan pelan ke jendela kamar dan menatap ke luar. Cahaya bulan bersinar lembut, dan suara angin malam menggetarkan tirai halus.

“Yuyu,” katanya tegas.

Pelayan itu terkejut. Nada suara permaisurinya berbeda. Lebih dingin, lebih pasti, lebih... kuat.

“Dengar aku baik-baik. Mulai sekarang jangan sebut aku lemah. Kita akan mulai dari awal. Tapi diam-diam. Biarkan mereka pikir aku masih sama. Biarkan mereka meremehkanku.”

“Pe... Permaisuri... Anda benar benar bangun, hiks hiks hiks......tapi... Anda... Anda berubah...” ujar Yuyu

Fuan menoleh, mata tajamnya seperti pisau. “Aku bukan lagi Fa Niangli yang lama. Tapi aku akan membalaskan dendamnya.” jawab Fa Niangli dengan tegas dan penuh tekat

Yuyu menjatuhkan diri berlutut. “Hamba akan setia sampai mati!”

Fuan tersenyum tipis. “Kau pelayan pertama yang bisa kuberi kepercayaan.” lalu mengelus kepala Yuyu pelan

---

Keesokan paginya, seluruh istana gempar. Bukan karena permaisuri bangun dari kematian. Tapi karena satu hal yang aneh: berat badan Fa Niangli turun lima kilo dalam semalam. Pipi tembamnya sedikit mengempis. Mata bengkaknya mengecil.

Para selir membicarakan dengan nada sinis.

“Jangan-jangan dia kesurupan.” ujar salah satu selir disana

“Sudah mati pun, tetap tak bisa membuat pangeran melirik.” ujar yang lain pula

“Hua Rong memang lebih cocok jadi permaisuri.” ujar penjilat disana

Fuan mendengar semua itu dari balik tirai. Tapi dia hanya tersenyum.

“Beri mereka waktu. Tidak lama lagi... mereka semua akan bersujud di kakiku. Untuk sekarang biar Hua Rong naik ke langit dan setelah itu aku akan menariknya ke dasar neraka ” ujar Fuan atau Sekarang kita panggil Fa Niangli.

Bersambung

Bab 2 – Bukan Lagi Permaisuri Gendut yang Lemah

Cahaya pagi menembus jendela kamar Fa Niangli, menari-nari di tirai tipis yang menjuntai anggun. Burung-burung kecil berkicau di taman belakang istana, tapi suara itu tidak menenangkan hati para pelayan yang tengah bersiap-siap di dapur kecil dekat paviliun permaisuri.

“Dia masih hidup?” bisik salah satu pelayan sambil merapikan nampan sarapan.

“Katanya begitu. Tapi mungkin cuma bertahan beberapa hari lagi. Racun dari Selir Hua tak pernah gagal.” ujar pelayan lain

“Hush! Jangan terlalu keras. Kalau Yuyu dengar, bisa dipelototin seharian.” pelayan satu lagi me peringati

Yuyu, pelayan setia Fa Niangli, lewat sambil membawa air rebusan bunga anggrek biru. Wajahnya serius seperti biasa, tapi kalau diperhatikan baik-baik, matanya berbinar sedikit berbeda. Ada cahaya harapan yang tak tampak sebelumnya.

Di dalam kamar utama, Fa Niangli sedang duduk di depan cermin perunggu. Tangannya memainkan anting besar di telinganya aksesoris mencolok yang dulu membuatnya tampak lebih gemuk dari seharusnya. Kini, dengan mata tajam Fuan yang menghuni tubuh itu, ia menyadari satu hal: dirinya bisa jauh lebih cantik dari ini.

“Yuyu,” panggilnya dengan nada tenang.

Gadis itu segera masuk. “Ya, Permaisuri?”

“Mulai hari ini, singkirkan semua perhiasan berat. Tak ada lagi anting sebesar piring, tak ada jepit rambut yang seperti pagar kerajaan. Aku bukan rumah ibadah.” ujar Fa Niangli

Yuyu menahan senyum. “Baik, Permaisuri.”

Fa Niangli berdiri. Gaun tidurnya longgar, dan ia menyadari… tubuh ini mulai berubah. Malam tadi, ia sempat melakukan meditasi singkat refleks dari kehidupan lamanya sebagai jenderal. Tanpa sadar, ia menyerap energi spiritual dari udara. Tidak banyak, tapi cukup untuk membakar lemak dan mengaktifkan aliran qi dasar dalam tubuh ini.

“Bagaimana reaksi mereka?” tanyanya sambil meraih jubah tipis biru muda dari gantungan.

Yuyu mengangkat alis. “Mereka?”

“Mereka yang berharap aku mati. Para selir, para pelayan… dan tentu saja, suamiku yang tercinta.” jawab Fa Niangli

Yuyu tersenyum miring. “Selir Hua bilang padaku bahwa istana ini siap mengadakan upacara pemakaman hari ini.”

Fa Niangli menghela napas pelan, lalu menoleh. “Bagus. Kita beri mereka kejutan.”

Pagi itu, suasana aula makan istana ketiga sunyi. Selir Hua duduk anggun di sisi kiri meja utama. Gaun merah darahnya menyapu lantai, dan rambutnya ditata tinggi seperti gunung yang hendak runtuh.

Ia tersenyum manis, pura-pura bersedih, sambil menyesap sup rebung dengan lembut.

“Sayang sekali, Permaisuri tak bisa bergabung pagi ini,” katanya dengan nada manis menusuk. “Mungkin racun—eh, maksudku, penyakit—yang dideritanya terlalu berat.”

Beberapa selir lain terkikik pelan, menutupi mulut dengan tangan.

Tiba-tiba…

“Permisi.” suara itu terdengar dari depan pintu

Semua kepala menoleh.

Seorang wanita melangkah masuk ke aula. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai alami, hanya dijepit dengan penjepit kecil giok biru pucat. Gaun sederhananya membalut tubuh yang… tidak lagi bulat. Lebih ramping. Lebih… hidup.

Fa Niangli.

Selir Hua nyaris tersedak.

Selir-selir lain menahan napas.

Pangeran Ketiga yang baru datang dari sisi kanan aula menatap dengan kening berkerut. “Kau…”

Fa Niangli tersenyum tipis. “Pangeran Ketiga, selamat pagi. Maaf, tempat ini tampaknya telah berubah menjadi ruang duka. Aku hampir saja merasa mati sungguhan.”

Ketegangan membeku di udara.

Pangeran Ketiga Chang Rui berusaha mengontrol ekspresi. Ia belum pernah benar-benar memperhatikan istrinya. Baginya, Fa Niangli hanya alat politik, wanita gemuk yang membosankan dan tidak bisa kultivasi.

Tapi wanita di hadapannya sekarang… benar-benar berbeda. Tatapannya tajam, langkahnya ringan, bahkan nada bicaranya penuh kepercayaan diri yang menusuk.

“Bukankah kau sakit parah?” tanya Chang Rui datar.

“Aku? Sakit?” Fa Niangli tertawa lembut. “Ah, aku hanya tidur agak nyenyak malam itu. Mimpi indah. Sepertinya aku bertemu dewa kematian, tapi dia bilang aku terlalu keras kepala untuk mati.”

Selir Hua menggertakkan gigi.

“Dan kamu…” Fa Niangli meliriknya, suaranya mendadak dingin. “Hati-hati saat menyuguhkan teh malam untukku. Kali berikutnya, racunmu akan ku jadikan masker wajah agar kulitku makin cerah.”

Selir Hua tersentak, tapi tak bisa membalas.

Pangeran Ketiga berdiri. “Cukup. Jaga lidahmu, Fa Niangli.”

Fa Niangli menoleh padanya. “Aku menjaganya baik-baik. Sayang sekali, hatimu tidak sebaik lidahmu.” Fa Niangli lalu pergi begitu saja dan membuat mereka semua membeku.

...----------------...

Beberapa hari setelah itu, perubahan Fa Niangli menjadi buah bibir istana.

Setiap pagi ia berjalan keliling taman. Tidak hanya itu, ia meminta Yuyu membuatkannya makanan sehat setiap hari. Daun lotus kukus, kaldu ayam spiritual, dan air rebusan bunga ginseng.

Tubuhnya mulai membentuk lekukan anggun. Kulitnya semakin bersih. Gaunnya tampak kebesaran. Tapi lebih dari itu… aura yang ia pancarkan berubah.

Ia mulai membaca kitab kultivasi yang dulu bahkan tak pernah disentuh. Dan dengan mudah... ia memahami semuanya. Bahkan lebih dari itu ia merasakan aliran energi dalam tubuhnya mengalir semakin lancar, seperti sungai yang menemukan hulu.

"Kekuatan dalam tubuh ini mulai bangkit." batin Fa Niangli

Dan saat malam hari, ketika semua orang tidur, Fa Niangli duduk di taman belakang, di bawah sinar bulan.

Meditasi.

Tangannya membentuk mudra kuno yang entah kenapa, jari-jarinya tahu secara alami.

Aura emas samar muncul di sekitarnya. Tanah bergetar pelan. Di dalam dirinya, segel yang selama ini mengunci kekuatan kuno… mulai retak.

Tiga minggu berlalu.

Seluruh istana sudah tidak bisa berpura-pura tidak melihat perubahan sang permaisuri.

Dan suatu pagi yang cerah, di depan seluruh selir dan pelayan…

Fa Niangli mengumumkan:

“Mulai hari ini, aku akan mengajukan permohonan cerai kepada Pangeran Ketiga.”

Semua orang terdiam. Burung pun berhenti berkicau.

Chang Rui langsung datang dengan muka masam. “Kau gila?”

Fa Niangli mengeluarkan dokumen cerai yang ditandatangani langsung oleh pejabat istana.

“Tidak. Aku sudah sembuh dari kegilaanku mencintai orang yang tidak bisa mencintaiku.” jawab Fa Niangli santai

Suara tawa tertahan dari para pelayan terdengar.

“Aku akan meninggalkan istana hari ini. Kembali ke keluargaku di perbatasan. Jangan khawatir, aku tak akan membawa satu pun barang dari istana ini. Karena... semuanya pun tak pernah benar-benar milikku.” sambung Fa Niangli

Chang Rui hanya bisa memandangnya bingung, marah, tak berdaya. Ada satu rasa di hatinya yang tidak bisa di jelaskan oleh kata kata, ia bahka bingung apa itu tapi tidak bisa menemukan jawabannya sampai Fa Niangli pergi dari sana ntak terlihat lagi.

Sedangkan Selir Hua yang awalnya ingin menyindir, tapi justru tersedak sendiri karena gugup. Ia bingung dan merasakan perasaan takut.

Dan Fa Niangli pun melangkah pergi, kepalanya tegak, rambutnya berkibar, meninggalkan istana itu untuk selamanya.

Bersambung

Bab 3 – Perjalanan ke Perbatasan, Keluarga yang Terlupakan

Chang Rui hanya bisa memandangnya bingung, marah, tak berdaya. Ada satu rasa di hatinya yang tidak bisa di jelaskan oleh kata kata, ia bahka bingung apa itu tapi tidak bisa menemukan jawabannya sampai Fa Niangli pergi dari sana ntak terlihat lagi.

Sedangkan Selir Hua yang awalnya ingin menyindir, tapi justru tersedak sendiri karena gugup. Ia bingung dan merasakan perasaan takut.

Dan Fa Niangli pun melangkah pergi, kepalanya tegak, rambutnya berkibar, meninggalkan istana itu untuk selamanya

Angin pagi mengusap pelan wajah Fa Niangli saat kereta kayu tua yang ia tumpangi mulai meninggalkan gerbang istana kekaisaran. Tanpa iring-iringan pelayan, tanpa pengawalan kehormatan, bahkan tanpa pamitan dari siapa pun, ia pergi begitu saja.

Hanya satu orang yang duduk bersamanya di dalam kereta: Yuyu, pelayan mungil yang setia dan kini nyaris seperti adik sendiri.

“Mereka benar-benar tak menahan kita,” gumam Yuyu pelan, menatap ke luar dari celah jendela.

Fa Niangli menyeringai kecil. “Tentu tidak. Apa gunanya menahan seseorang yang mereka anggap tak berguna?”

Ia melirik ke arah kotak kecil di pangkuannya. Di dalamnya ada dokumen cerai resmi, satu baju bersih, beberapa gulungan uang logam, dan… sebuah liontin tua berwarna hitam pekat bentuknya seperti tetesan air, tapi tak memantulkan cahaya. Ia menemukannya di balik lemari kayu di kamar saat berkemas. Entah kenapa benda itu memanggil jiwanya.

“Perjalanan ke perbatasan butuh lima hari,” kata kusir dari depan, “kalau tidak ada badai, atau binatang buas mengamuk.”

“Kalau ada binatang buas, kita beri Yuyu makan dagingnya,” balas Fa Niangli tenang.

Yuyu menatap tuannya dengan horor. “Permaisuri! Itu... sadis!”

“Aku bercanda,” sahut Fa Niangli, lalu tersenyum geli. “Tenang saja. Aku lebih buas dari binatang manapun.”

Hari pertama perjalanan berjalan tenang. Fa Niangli mulai terbiasa dengan tubuh barunya yang lebih ringan berat tubuhnya berkurang drastis sejak seminggu terakhir. Energi spiritual mulai meresap sendiri saat ia tidur, bahkan tanpa latihan formal.

Setiap malam, saat mereka berhenti di penginapan pinggir hutan, Fa Niangli duduk bersila dan bermeditasi di bawah langit terbuka.

Yuyu yang tidak tahu-menahu soal kultivasi, hanya bisa terkagum-kagum melihat aura ungu yang samar-samar mengelilingi tubuh tuannya. Dalam diam, Yuyu berpikir, “Apa Permaisuri berubah jadi dewi?”

Pada malam ketiga, saat mereka menginap di desa kecil sebelum mendaki jalan ke arah perbatasan, datang rombongan bandit yang mengira kereta tua mereka milik saudagar lemah.

“Keluar! Serahkan semua barangmu!” seru para bandit itu

Yuyu gemetar di balik kereta. Tapi Fa Niangli membuka pintu perlahan, lalu turun tanpa ragu.

Pemimpin bandit itu berjanggut tebal dan bertubuh besar meludah ke tanah. “Wah, ternyata wanita... dan cukup... gemuk—eh, maksudku, cukup unik. Hahaha! Malam ini, ikut kami saja!”

Fa Niangli menatap mereka dengan mata kosong. “Aku sedang dalam suasana hati buruk.”

Bandit itu tertawa makin keras. “Apa yang bisa kau lakukan? Wanita lemah sepertimu tak bisa—”

BOOM!

Satu hentakan kaki Fa Niangli ke tanah, dan gelombang energi spiritual memecah tanah di bawah kaki bandit itu. Lima orang terlempar ke pohon. Pemimpinnya terjerembab, memuntahkan darah.

Yuyu dari balik kereta: “...Oh.” seru tertahan melihat kejadian itu semua

Fa Niangli menoleh santai. “Yuyu, ambil satu kantong uang dari pemimpin mereka. Sebagai kompensasi untuk gangguan tidur kita malam ini.”

Bandit itu tak sadar. Yuyu dengan lincah mengambil kantong uang dan kembali ke dalam kereta.

“Permaisuri, hamba takut... tapi juga terpesona.” ujar Yuyu pelan

Fa Niangli tersenyum kecil. “Bagus. Simpan rasa takutmu. Itu akan menyelamatkanmu suatu hari nanti.”

Hari kelima, mereka tiba di Benteng Salju Tepi Langit perbatasan paling utara Kekaisaran Changmin.

Di sana berdiri Keluarga Fa, klan militer tertua dan paling disegani, meski kini sudah jarang terlibat dalam politik istana.

Pintu gerbang dibuka setelah pengawal mengenali lambang segel keluarga di tangan Fa Niangli.

“...Itu... itu Nona Besar?!” seru salah satu penjaga dengan ekspresi terkejut. “Tapi... Anda terlihat… sangat...”

“Kurus?” tanya Fa Niangli, mengangkat alis.

Penjaga itu mengangguk gugup.

“Bagus. Setidaknya mata kalian tidak rusak.” jawab Fa Niangli

Kediaman utama keluarga Fa di perbatasan adalah bangunan kayu besar, sederhana tapi kokoh. Dindingnya penuh senjata dan lukisan medan perang. Di sinilah tinggal Jenderal Fa Longwei, ayah Fa Niangli, yang saat ini sedang berpatroli di luar kota.

Yang tinggal di rumah adalah Madam Qin, ibu Fa Niangli, dan Fa Jinhai, kakak kandungnya yang setahun lebih tua dan juga seorang pendekar ahli tombak.

Ketika Fa Niangli masuk ke aula utama, seluruh rumah nyaris membeku karena syok.

“Niangli...?” bisik Madam Qin, berdiri dengan mata berkaca-kaca.

Fa Jinhai menjatuhkan cangkir tehnya. “Kau... tubuhmu... wajahmu... KAU KELUAR DARI ISTANA?!” suaranya meninggi, antara marah dan bingung.

Fa Niangli mengangguk tenang. “Ya. Aku menceraikan Pangeran Ketiga dan memutus semua hubungan dengan istana.”

“Apa kau gila?!” seru kakaknya, melangkah mendekat. “Kau—kau baru setahun menikah! Apa mereka menyakitimu?! Katakan saja, aku akan ke ibukota dan menghabisi bajingan itu satu per satu!”

“Tenang, Jinhai Ge” ucap Fa Niangli. “Kau terlalu berisik untuk orang yang tombaknya lebih tajam dari otaknya.”

Fa Jinhai melongo.

Madam Qin mendekap putrinya. “Kau benar-benar pulang… Kau pulang...”

Setelah semua tenang, Fa Niangli duduk dan mulai bercerita tentang penghinaan, perlakuan selir, sang suami yang mengabaikannya, dan akhirnya keputusannya untuk pergi.

Air mata Madam Qin mengalir deras.

Fa Jinhai mencengkram gagang tombaknya. “Pangeran itu benar-benar tak tahu diuntung. Dan aku diam-diam merasa bangga kau menceraikannya duluan.”

Fa Niangli menatap mereka. “Aku datang bukan hanya untuk pulang. Aku ingin kita pergi dari sini. Tinggalkan perbatasan, tinggalkan Kekaisaran Changmin. Mari kita bangun hidup baru di tempat lain. Aku punya... sesuatu untuk dimulai.” mendengar itu Madam Qin dan Fa Jinhai menatap Fa Niangli bingung tapi tetap mengangguk setuju.

Malam itu, saat semua tertidur, Fa Niangli duduk bersila di loteng tua rumahnya. Liontin hitam yang ia temukan di istana kini menggantung di depannya.

Perlahan, ia tuangkan qi ke dalam liontin itu.

WUUUUNG—

Cahaya hitam lembut terpancar. Suara nyaring berdesir dari dalam.

"Pemimpin... akhirnya kau kembali..." Suara tua dan dalam menggema dari liontin.

Fa Niangli membuka mata.“Pemimpin?”

"Kau adalah pewaris terakhir Sekte Langit Tertinggi... tubuh ini pernah menyimpan kekuatan langit. Sekarang... waktunya kebangkitan." ujar liontin itu

Cahaya dari liontin itu meresap ke tubuh Fa Niangli, dan dalam sekejap, ia bisa merasakan kekuatan yang dulu tertidur kini mulai bangkit.

“Dunia... bersiaplah.” bisik Fa Niangli

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!