Pagi yang tenang di kediaman keluarga Radian Saputra di Kota A. Matahari mulai menyusup melalui celah gorden kamar, namun Keyla Radian Saputra masih terlelap dalam mimpinya.
Tok tok tok! Suara ketukan lembut terdengar dari balik pintu kamar Keyla, diikuti suara yang akrab dan menenangkan.
"Keyla sayang, bangun dong. Nanti kamu telat ke sekolah, sayang," suara lembut mom Susi Maharani terdengar jelas dari luar.
Di dalam kamar, Keyla menggeliat pelan. Matanya mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang mulai terang. Sebuah erangan kecil keluar dari bibirnya.
"Ehm... ya, Mom," jawab Keyla dengan suara serak khas bangun tidur. "Keyla baru bangun. Tunggu sebentar, Mom."
mom Susi tersenyum tipis di balik pintu. Ia tahu betul kebiasaan putri bungsunya yang sedikit sulit bangun pagi.
"Baiklah, Sayang. mom tunggu di bawah ya. Jangan sampai lupa sarapan!" seru mom Susi sambil melangkah pergi, membiarkan Keyla bersiap-siap untuk hari yang baru di SMA Harapan Bangsa.Keyla menuruni tangga dengan langkah riang, aroma harum masakan pagi sudah menyeruak di seluruh ruangan. Ia melihat kedua orang tuanya sudah duduk rapi di meja makan.
"Selamat pagi, Mom, Dad!" sapa Keyla ceria.
"Selamat pagi juga, sayangnya Dad dan Mom," jawab dad Radian Saputra dan mom Susi Maharani serempak, senyum hangat merekah di wajah mereka.
"Silakan sarapan, sayang," ucap mom Susi sambil mengisyaratkan Keyla untuk duduk.
"Ya, Mom." Keyla mulai mengambil beberapa potong roti panggang. Ia kemudian menoleh mencari kedua kakaknya. "Oh ya, mana Kak Devin sama Kak Claudia, Mom? Apa mereka nggak sarapan bareng kita?"
mom Susi tersenyum tipis. "Biasalah, Nak. Kalau kakakmu yang satu itu," ia melirik dad Radian Saputra sekilas, "udah ke kantor dari subuh. Kamu tahu sendiri kan, Devin itu pekerja keras."
"Kalau Kak Claudia," lanjut mom Susi, "masih tidur mungkin, sayang. Dia kan semalam pulangnya agak larut karena ada pemotretan."
Keyla mengangguk mengerti. Memang begitulah rutinitas di rumah mereka. Devin yang gila kerja dan Claudia yang sibuk dengan jadwal modelingnya. Hanya sesekali mereka bisa berkumpul lengkap di meja makan."Mom, Dad, Keyla pamit pergi ke sekolah dulu ya," ucap Keyla sambil mencium pipi momnya, lalu dadnya.
"Ya, sayang," jawab mom Susi dan dad Radian bersamaan, senyum hangat merekah di wajah mereka.
dad Radian meletakkan sendoknya. "Keyla diantar sopir, Nak, atau pergi sendiri?" tanyanya, memastikan.
"Pergi sendiri, Dad. Pakai mobil," jawab Keyla mantap.
Ibu Susi langsung menyahut dengan nada khawatir yang lembut. "Hati-hati ya, sayang. Jangan ngebut-ngebut."
Keyla tersenyum. "Ya, Mom dan Dad!"
...Dengan lambaian tangan singkat, Keyla melangkah keluar menuju garasi, siap mengendarai mobilnya sendiri menuju SMA Harapan Bangsa. Ia tak tahu bahwa hari itu, seperti hari-hari setelahnya, akan ada bayangan baru yang menanti di gerbang sekolah, sebuah bayangan yang akan mengubah seluruh hidupnya.Keyla melangkah ke garasi, suara kunci mobil berdenting pelan. Ia membuka pintu mobil sport merahnya, bau kulit jok dan mesin yang siap melaju menyambutnya. Setelah menekan tombol start, mesin mobil meraung pelan sebelum akhirnya stabil. Keyla mengatur posisi duduknya, memasang sabuk pengaman, dan kemudian mulai mengemudikan mobilnya keluar dari halaman rumah megah itu.Mobil Keyla melaju pelan meninggalkan area perumahan elit, lalu perlahan bergabung dengan hiruk pikuk jalanan Kota A. Pagi itu, kota sudah terbangun sepenuhnya. Lalu lintas mulai padat, kendaraan roda dua dan empat bersahutan di jalanan. Klakson sesekali terdengar, menambah kebisingan kota yang tak pernah tidur sepenuhnya. Keyla terbiasa dengan pemandangan ini. Ia membelah kota yang ramai, melewati gedung-gedung tinggi yang menjulang, pertokoan yang mulai membuka, dan pejalan kaki yang bergegas menuju aktivitas mereka....
Mobil Keyla berhenti mulus di area parkir SMA Harapan Bangsa yang sudah mulai ramai. Ia mematikan mesin, mengambil tasnya, lalu keluar dari mobil. Begitu kakinya menjejak aspal, sebuah suara familiar langsung memanggilnya.
"Keyla...!"
Keyla menoleh kaget, sedikit terperanjat. "Eh, Cindy! Kamu ngagetin aja. Aku kira siapa tadi yang panggil aku," ujarnya sambil mengelus dada.
"Biasalah, Key. Cindy itu memang seperti itu orangnya, kayak kamu baru kenal saja," sahut Putri Mahardika yang sudah berdiri di samping Cindy, tersenyum jahil.
Dari kejauhan, beberapa siswa laki-laki terlihat berbisik-bisik sambil melirik Keyla dan teman-temannya. "Wow, cantik banget!" seru seorang siswa bernama Rio. "Most wanted sekolah kita memang cantik-cantik banget ya."
"Ya, Rio, betul yang kamu bilang. Aku jadi minder deh kalau dekat most wanted sekolah," timpal siswi perempuan yang duduk di samping Rio, tampak terkesima.
Cindy menarik-narik lengan baju Keyla, wajahnya terlihat antusias. "Key!"
"Ya, Cindy, ada apa?" tanya Keyla, merasa sedikit penasaran dengan ekspresi sahabatnya itu.
"Kamu tahu enggak hari ini ada acara apa?" tanya Cindy, suaranya berbisik penuh rahasia.
"Emang ada acara apa sih, Cindy? Kok penting banget?" Keyla menaikkan sebelah alisnya.
"Ya penting lah, Key! Soalnya calon suami idaman aku datang ke sekolah!" ucap Cindy dengan mata berbinar.
Putri langsung mencibir. "Alah, kayak ada-ada saja Cindy. Mana mau dia sama Cindy. Kamu jangan terlalu mengkhayal deh, Cindy."
"Yuk, kita ke taman," ajak Keyla, mencoba mengalihkan perhatian.
Namun, Cindy tak menyerah. "Keyla, percaya deh sama aku! Dia itu cowok ganteng banget, pemilik sekolah kita lagi, mana dia CEO yang masih muda!" Cindy tak henti memuja sosok yang ia maksud, tanpa sedikit pun tahu bahwa pemilik sekolah yang ia puja adalah seorang mafia terkenal. Ketidaktahuannya membuatnya terus mengkhayal tentang sang idola"Cindy, Putri, aku ke toilet sebentar ya," sahut Keyla, sedikit lega bisa melepaskan diri dari obrolan antusias Cindy.
"Ya sudah, pergi sana!" jawab mereka berdua serempak, masih fokus pada keramaian di sekitar sekolah.
Keyla melangkah cepat menuju toilet. Namun, saat ia berbelok di koridor yang agak sepi, bruk! Ia menabrak sesuatu dengan keras. Keyla hilang keseimbangan dan terjatuh.
Ia mendongak, merasa sedikit pusing, dan melihat seorang laki-laki berdiri di depannya. Ia tidak menawarkan bantuan sama sekali, hanya melihat dengan tatapan datar. Bahkan, tidak ada sedikit pun niat untuk meminta maaf.
"Hei, orang gila! Jalan itu pakai mata, jangan pakai kaki!" sembur Keyla, kesal karena rasa sakit di kakinya dan sikap acuh tak acuh laki-laki itu.
Namun, tidak ada sahutan dari lelaki itu. Dia hanya diam, memandang Keyla tanpa ekspresi.
"Dasar laki-laki brengsek!" desis Keyla, semakin jengkel.
Akhirnya, lelaki itu membuka suara, nadanya datar namun dingin. "Hei anak kecil, kamu jangan bicara sembarangan ya."
Mata Keyla membulat. "Enak saja kamu bilang saya anak kecil! Saya sudah besar tahu!"
"Besar, tapi kayaknya masih anak kecil," balas lelaki itu dengan nada meremehkan.
"Eh, orang gila! Minta maaf dong sama aku! Nih, kakiku jadi sakit!" Keyla menunjuk lututnya yang sedikit lecet.
Namun, lelaki itu tidak peduli. Ia hanya berbalik dan pergi begitu saja tanpa menyahut sepatah kata pun, seolah tidak mendengar perkataan Keyla.
"Dasar lelaki gila! Jangan sampai aku ketemu lelaki kayak gitu lagi!" gerutu Keyla sambil bangkit berdiri, membersihkan seragamnya.
Menuju Lapangan Sekolah
"Hei, Key!" Suara Cindy dan Putri memanggil dari kejauhan.
Keyla bergegas menghampiri mereka. "Kok kamu lama banget sih ke toiletnya? Ini acara sudah mau mulai, kamu lihat kan anak-anak sudah pada ngumpul?" tanya Cindy dengan tidak sabar, matanya berbinar. "Katanya pemilik sekolah sudah datang!"
"Yuk kita ke taman, cepat dong jalannya!" ajak Cindy, menarik lengan Keyla.
"Sabar dong, Cindy. Enggak sabaran banget sih ketemu cowok itu," jawab Keyla, sedikit kesal dengan desakan Cindy.
"Biasalah, Cindy, Key," sahut Putri, memaklumi tingkah laku sahabatnya.
Mereka bertiga kini berada di tengah kerumunan siswa. "Wah, anak sekolah sudah ramai banget ya untuk menyambut pemilik sekolah!" seru Cindy, semakin tidak sabar. "Ayo cepat!"
Keyla hanya menghela napas. "Aku nunggu di belakang saja. Aku malas, enggak penting juga."
"Ayo lah, Key!" bujuk Cindy.
Putri menepuk bahu Cindy. "Cindy, kalau Keyla enggak mau jangan dipaksa. Kita saja ya ke depan, kan kamu mau lihat banget cowok itu." Cindy akhirnya setuju, dan mereka berdua berjalan membelah kerumunan, meninggalkan Keyla di belakang. Keyla hanya bisa menggelengkan kepala melihat antusiasme Cindy.Antusiasme memuncak di lapangan SMA Harapan Bangsa. Siswa-siswi sudah berkumpul, berdesakan di depan podium yang telah disiapkan. Bisik-bisik dan decak kagum terdengar jelas, terutama dari para siswi yang tak sabar menanti sosok pemilik sekolah yang digadang-gadang tampan dan muda.
Akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun tiba. Seorang pria muda dengan aura karismatik naik ke podium, disambut sorakan meriah. Pembawa acara mengambil alih mikrofon, suaranya menggelegar.
"Tenang semuanya!" seru pembawa acara. "Pemilik sekolah sudah berdiri di depan kalian. Mari kita perkenalkan, Bapak Mek Lois Davinci! Berumur 25 tahun, di usia yang sangat muda ini, beliau sudah menjabat sebagai CEO msi crop terkenal di dunia dan kini menjadi pemilik sekolah kita! Mari kita berikan tepuk tangan untuk sambutan beliau!"
Tepuk tangan bergemuruh di seluruh penjuru lapangan. Suara-suara riuh rendah kembali terdengar dari para siswi. "Wah!" ada yang berseru, "Ganteng banget!" "Suami idaman banget!" timpal yang lain, seolah sedang menyaksikan idola pop.
Namun, di tengah keramaian itu, Keyla justru sibuk dengan dunianya sendiri. Bagi dia, hal semacam itu tidak penting. Ia memilih untuk agak menjauh dari kerumunan, tidak terlalu peduli dengan euforia para siswa-siswi lainnya.
"Keyla!" suara Cindy memanggil dari kejauhan, memecah fokus Keyla. "Sini dong!"
Keyla mengangkat kepalanya, mencari asal suara Cindy. Matanya menyapu ke arah podium, lalu terhenti. Betapa terkejutnya dia! Sosok yang berdiri di podium, yang baru saja diperkenalkan sebagai Mek Lois Davinci, adalah laki-laki gila yang tadi ia tabrak di toilet! Laki-laki yang tidak mau meminta maaf, yang bersikap dingin dan arogan padanya!
"Cindy!" panggil Keyla, suaranya sedikit tercekat oleh keterkejutan.
"Ya, ada apa, Key?" Cindy menoleh, masih dengan mata berbinar-binar memandang podium.
"Kita ke kelas yuk," ajak Keyla, nada suaranya berubah datar dan penuh kekesalan. "Nggak penting banget laki-laki gila itu yang kamu idamkan!"
Bersambung
Ting!
Bel masuk sekolah berbunyi nyaring, memecah hiruk-pikuk di SMA Harapan Bangsa. Semua siswa dan siswi bergegas masuk ke kelas mereka masing-masing.
Di koridor, Keyla, Cindy, dan Putri berjalan beriringan. "Key, hari ini ada pelajaran sama Bapak Killer ya?" tanya Cindy dengan nada lesu.
"Ya, kenapa itu, Cindy? Aku malas juga belajar sama Bapak Killer," sahut Putri, dan di diamin oleh Keyla.
"Gimana kalau kita nongkrong di kantin saja deh, Putri, Cindy?" usul Keyla, mencoba mencari jalan keluar dari pelajaran yang membosankan.
"Ya sudah, yuk!" jawab Cindy dan Putri serempak, setuju dengan ide Keyla.
Mereka bertiga pun melangkah menuju kantin yang sudah agak sepi. Namun, saat sampai di sana, Cindy memekik pelan. "Cindy, bukannya itu geng Lisa dan kawan-kawan?" tanya Putri, sedikit menunjuk dengan dagunya.
"Ya itu, Put! Aku malas banget ada geng perempuan kecentilan itu, sudah seperti nenek lampir," gerutu Cindy.
"Oh ya, kata Putri, bukannya Lisa itu pacarnya Daren, most wanted sekolah kita?" tanya Cindy. "Katanya Daren itu sudah lama mau putus, soalnya Daren itu suka sama Key tapi Keyla nolak dia. Tapi Lisa itu selalu nempel seperti perangko."
"Sudahlah, Cindy, Putri, kan aku mengajak kalian nongkrong, bukan malah menggosip hal yang tidak penting itu," kata Keyla, sedikit kesal karena obrolan mereka.
Saat itu, Rara dan Karin, sahabatnya Lisa, mendekati mereka. "Eh, anak manja yang sok kecentilan, ngapain kalian duduk di tempat kami?" ujar Rara dengan nada sinis.
"Eh, siapa juga yang mau dekat-dekat sama kalian, dasar nenek lampir!" balas Cindy tak kalah sengit.
"Sudah deh, Cindy, jangan diladeni. Kan mereka orang gila yang sok kecantikan padahal mirip nenek lampir," timpal Putri, membuat Lisa meradang.
Melihat situasi semakin panas, Lisa yang terpancing emosi langsung mendorong Putri. Keyla yang menyaksikan itu segera mendobrak meja kantin, menarik perhatian semua orang.
"Eh, Lisa! Kamu dan teman kamu itu jangan bikin ribut deh di sini! Aku itu butuh ketenangan, kalian malah membuat mood-ku hancur karena kehadiran kalian!" seru Keyla dengan nada tajam. "Kami di sini cuma pengen nongkrong, bukan mau ribut!"
Keyla melirik kedua sahabatnya. "Yuk, Cindy, Putri, kita pergi dari sini, karena di sini ada pengganggunya."
"Yuk, kita cabut aja deh, Key!" sahut Cindy, bersemangat.
"Gimana kalau kita main ke mal atau ke bar sepupu aku, Kak Geri?" usul Putri.
"Kayaknya main ke bar bagus juga deh, Cindy, Putri. Soalnya aku sudah lama enggak ketemu sama Kak Geri," kata Keyla, menyetujui ide itu.
Membolos dan Berakhir di Bar
Ketiga gadis itu segera menuju parkiran. Tanpa ragu, mereka memutuskan untuk membolos sekolah.
"Key, kamu yang nyetir atau aku?" tanya Cindy sambil menunjuk kunci mobil Keyla.
"Kamu saja deh yang bawanya, Cindy," jawab Keyla, sudah siap duduk di kursi penumpang belakang bersama Putri.
Cindy dengan cekatan mengambil alih kemudi. Mereka pun melaju membelah kota A. Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah bar terkenal di Kota A. Bar itu adalah milik Geri, sepupu Putri, yang juga merupakan sahabat dari Mek Lois Davinci.
Mereka bertiga sama sekali tidak tahu, bahwa di dalam bar yang sama, Mek Lois sedang berada di sana. Ia tengah berbincang-bincang santai dengan Geri dan Arsen, asisten pribadi Mek Lois yang juga sahabatnya sejak kecil. Dunia Keyla yang semakin bersinggungan dengan Mek Lois Davinci kini akan membawa mereka ke dalam lingkaran yang lebih dekat, dan tak terduga
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!