Pagi yang cerah
Suara burung berkicau membangunkan ku, burung itu hinggap di jendela, aku melihatnya langsung.
"Anna.... ! " teriak ku.
Anna datang dengan tergopoh, berdiri tepat di depan ku dengan rambut yang masih menempel rol rambut di poni nya.
"Iya Pak! " seru Anna.
Dia terengah, seolah sudah berlari jauh untuk mencapai kamar ku yang ada di samping kamarnya.
"Itu....! " seru ku seraya menunjuk ke arah burung yang masih diam bertengger, meski aku berteriak.
"Ahhh... burung! " Anna mendekati perlahan kemudian dengan mudah menangkapnya.
Aku terperanjat dari ranjang. Menjauhinya karena dia memegang burung itu di tangannya.
"Tidak... jangan dibawa kemari! " seru ku seraya menjauh dan hendak bersembunyi ke dalam kamar mandi.
"Hanya burung Pak! kenapa harus takut? " seru Anna di belakang ku, seolah sudah dekat dan hendak melempar burung itu ke tubuh ku.
Aku selalu takut dengan binatang, entah itu Anna bilang hanya seekor burung atau apapun. Aku juga tidak tahu kenapa. Apa ini efek dari aku yang dulunya terlalu dimanjakan ibu ku? atau karena trauma hari itu?
Aku masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu juga menguncinya.
"Buang dan tutup jendela nya" seru ku pada Anna.
Tapi dia tak menjawab. Aku penasaran dan membuka sedikit pintunya.
"Uwaa.....! "
Anna menyodorkan burung itu tepat di depan wajahku.
Sontak aku terkejut dan terpental ke belakang hingga sikut ku membentur wastafel.
"Aw...! " gumam ku.
Anna berlari membuang burungnya ke jendela dan menutupnya. Dia langsung berlari lagi ke arah ku, meraih tangan ku dan membantu ku untuk berdiri.
"Aduhh, maaf Pak Abel, saya ga tau kalau bapak setakut itu sama burung" ucap Anna membebel sembari membawa ku untuk duduk di ranjang.
"Aku kan sudah bilang untuk buang, kenapa kamu.... "
Aku tak bisa marah lagi, sikut ku sakit, dan ini sakit sekali. Aku juga mengendalikan nafas ku, karena kesal pada Anna.
Dengan melirik kesal ke arah wajahnya, Anna hanya fokus melihat sikut ku.
"Belum terlihat apa-apa? Apa benar-benar sakit? " tanya Anna dengan wajah polos tanpa make up, mata yang bulat dengan bulu mata yang lentik.
"Sakit" jawabku seraya memalingkan wajah darinya.
"Cckk... ckk.. besok pasti memar" ucap Anna.
Dia pergi keluar kamar meninggalkan ku. Aku hanya diam, karena tak fokus, sudah melihat wajahnya sedekat itu.
"Apa ini? Kenapa masih selalu terasa seperti ini setiap melihat wajahnya dari dekat! " gumamku.
Perlahan aku melepas piyama ku, dengan bertelanjang dada, aku berjalan pelan menuju kamar mandi. Belum sampai kamar mandi, aku sudah hendak melepas celana ku, tapi tiba-tiba pintu terbuka lagi dan aku terburu-buru memakai lagi celana, dan akhirnya terjatuh lagi.
"Awww....! " kali ini pinggang ku yang terbentur toilet.
Sakit sekali.
"Astaga! " Anna buru-buru meraih ku, dia memegangi lengan ku.
Aku terdiam, tangannya menyentuh tubuhku, langsung ke kulit ku. Jantung ku semakin berdebar, setelah tadi sempat normal saat dia pergi.
Kali ini dia memelukku, membantu ku berdiri dan memapah ku ke ranjang.
Dengan terengah dia membuatku nyaman dengan membetulkan bantal untuk menopang tubuhku. Astaga, dia terlalu dekat, pikir ku.
"Sudah... sudah cukup! " seru ku.
Anna mundur kemudian mengerutkan dahinya. Aku pikir dia akan mengatakan sesuatu tentang sikap ku yang seolah memintanya menjauh tapi...
"Anda mau punya adik lagi Pak! " ucapnya seraya bertepuk tangan sekali. Seolah itu adalah kesimpulan terbaik yang ada di otaknya.
Aku menelan saliva, dengan sedikit perasaan kesal mendengar ucapannya.
"Aku terburu-buru memakai celana karena kamu datang lagi tadi" ucapku dengan menangkup geraham ku.
"Apa? " Anna membulatkan lagi matanya.
"Kenapa kembali? " tanya ku.
"Saya ambilkan plester pereda nyeri" Anna menunjukkannya padaku.
Aku menghela, benar, itu yang ku butuhkan. Aku tidak berpikir bahwa dia hanya melakukan tugasnya sebagai asisten ku.
"Mau pakai sekarang atau anda mau mandi dulu? " tanya Anna.
"Pinggang ku terbentur toilet, mana bisa aku mandi sekarang? " seru ku, sembari kesal dan menahan sakit.
"Ohhh iya... mau dimandikan? " tanya Anna.
Jelas, pertanyaan bodoh.
Pertanyaan yang membuat siapapun akan berpikir bahwa dia akan membuatku telanjang dan memandikan ku dengan kedua tangannya.
Dan akhirnya, aku membayangkan semuanya.
"Saya panggilkan Andri? " Anna berjalan menuju pintu keluar.
Aku terbangun dari bayangan kotor ku. Bayangan Anna yang sedang memandikan ku berubah menjadi Andri, supir ku.
"Aisshhh, menjijikan! " gumamku.
Anna berbalik
"Tapi saya rasa dia sedang pergi sarapan, dia kirim pesan tadi" Anna menunjukkan ponselnya.
"Ya sudah, aku akan mandi sendiri" ucap ku seraya bangun perlahan.
Anna berlari mendekat untuk membantu ku bangun, aku menolaknya.
"Tidak perlu, pergilah! " ucapku.
Anna tertegun, cukup lama selama aku mencari. cara untuk bangun tanpa rasa sakit.
"Ku bilang pergi! " teriakku, cukup kesal dengan situasi mencari celah agar tak terasa sakit ini.
Anna pergi dan keluar dari kamar ku tanpa kata.
Aku berjuang sendiri untuk mandi. Hingga akhirnya aku bisa duduk, berendam di bathtub.
Kemudian pikiran ku tertuju pada Anna yang tadi pergi tanpa kata.
"Apa dia sedih karena aku bentak tadi? " tanya ku.
Aku ingat pertama kali dia datang ke kantor untuk melamar pekerjaan. Usianya baru 19 tahun waktu itu.
Seseorang membentaknya karena usianya terlalu muda dan sangat ngeyel untuk bisa diterima di sana.
Awalnya dia terlihat baik-baik saja. Tapi saat dia di tempat sepi, tangisnya menyeruak membuatnya terisak.
Aku berpikir, apa mungkin kali ini dia juga masih menangis seperti itu, di kamarnya?
Selalu, setelah aku berpikir, pikiran itu tetap ada dibenakku sampai akhirnya aku selesai bersiap.
Tok.. tok... tok..
Ketukan pintu Anna yang terdengar biasa saja. Aku menoleh ke arah pintu.
"Masuk! " seru ku seraya memakai jam tangan.
"Mau pakai plester sekarang Pak? " tanya Anna yang kali ini sudah rapi dan menunjukkan plester pereda nyeri di tangannya.
Aku menghela, lega dia tak merasa tersinggung dengan teriakan demi teriakan yang aku lontarkan sejak semalam.
Ahhh, ya. Semalam aku juga meneriaki nya. Wajahku menatap nya yang sedang serius menempelkan plester di sikut ku.
"Di bagian pinggang? " tanya Anna, siap dengan plester lainnya.
Aku masih menatap raut wajahnya sembari membuka kemeja ku.
"Di sini? " tanya Anna dengan meraba dan menekan sedikit.
"Aw... ! ya, yang itu sakit " jawab ku.
Lembut, dia selalu memperlakukan ku dengan lembut jika sakit.
"Sudah! " ucapnya seraya membantu merapikan kemeja ku.
Anna menatap ku yang masih menatap nya.
"Ahhh, hari ini terakhir Anda di Maldives, proyek tour bulan madu fantastic Anda sudah akan disetujui pihak hotel di sini" ucap nya.
"Kau tidak marah? " tanya ku tiba-tiba.
Lagi lagi matanya membulat.
Dan aku suka itu.
\=\=\=\=\=\=\=>>
Hai....
ini novel pertama ku
Terima kasih sudah mampir dan membaca
saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
sukai dan ikuti Shikacikiri ya, biar aku semangat menulisnya
😉😉😉
kalian semua hebat!
Anna berjalan menuju restoran tempat pertemuan terakhir mereka di hotel Moon, Maldives.
Abel, yang masih merasakan sakit di pinggangnya, berjalan perlahan menyusul di belakang bersama Andri, yang berjaga-jaga, takut dia terjatuh tiba-tiba.
"Maaf membuat anda menunggu lama" ucap Anna pada Felix Fellaini, pria tampan yang menjadi rekan kerja mereka di sana, pemilik hotel Moon.
"Tidak apa-apa selagi itu kau yang mengatakannya" jawab Felix yang berdiri menyambut Anna kemudian memeluknya, juga mencium pipinya.
Abel melihatnya dengan kesal.
"Apa ini? Kenapa dia seolah tertarik pada Anna? " gumam Abel.
"Memang pak Felix tertarik pada Anna Pak! " ucap Andri yang menyusul.
Abel menatap Andri.
"Semalam, sebelum Anna kembali ke kamar, Pak Felix meminta nomor nya, itu karena tertarik kan? " Andri menyimpulkan.
"Nomor telpon? " Abel terkejut.
Jelas, untuk apa meminta nomor telpon asisten kliennya. Bukankah yang dibutuhkan hanya kontak klien, dan dia sudah memiliki semuanya
Abel menatap Felix dan Anna yang asik bicara.
"Sepertinya, meeting kali ini bukan tentang proyek ku" ucap Abel menyindir.
Dia duduk setelah Anna berdiri dan membantunya duduk.
"Kau kenapa? Apa ranjang hotel ku tak nyaman hingga membuat mu seperti ini? " tanya Felix ikut berdiri.
"Tidak, ini semua karena burung bodoh itu" umpat Abel.
"Burung? " Felix menatap Anna.
"Hehe, aku membiarkan jendela terbuka tadi pagi. ternyata burung di sini suka masuk ke kamar dan pak Abel tak suka burung" jelas Anna.
Abel memperhatikan raut wajah Anna dan Felix yang saling menatap.
"Aku terjatuh karena Anna menjahili ku" ucap Abel.
Felix terpancing, tujuan Abel mengatakan itu untuk menunjukkan bahwa mereka sangat dekat. Dan Felix merubah raut wajahnya, namun seketika itu juga kembali tersenyum.
"Ya, pasti menyenangkan jika akrab dengan Anna" puji Felix.
Anna tersenyum canggung, merasa pembicaraan mulai tak nyaman.
"Ok, saya rasa kita harus mulai melihat berkas masing-masing dan memutuskan tentang kelanjutan proyek ini" ucap Anna membuka berkasnya.
Abel meraih berkas yang Anna tunjukkan. Felix pun membacanya.
"Aku sudah sangat puas dengan penjelasan Anna, sangat memuaskan, aku setuju dengan kerja sama ini" ucap Felix dengan senyum yang khas, manis.
Anna tersenyum, sejak awal selalu memuji ketampanan Felix. Abel menatap mereka lagi.
"Syukurlah, ayo kita selesaikan sekarang, pinggang ku sakit" keluh Abel.
"Baiklah, dimana aku harus tandatangan? " tanya Felix.
Anna menunjukkan tempatnya, dan kerja sama mereka pun terjadi.
"Jamuan ku siang ini adalah makanan paling populer di sini, selamat menikmati! " ucap Felix seraya mengedipkan satu matanya.
"Terimakasih, tapi aku mau kembali ke kamar ku saja, bantu aku!" ucap Abel yang kemudian berdiri dan meminta tangan Anna.
Anna ikut berdiri dan membantu nya berjalan, setelah tersenyum pada Felix sebagai tanda pamit.
Felix melihat mereka, merasa sentuhan demi sentuhan mereka terlihat seolah tak berjarak seperti seorang bos dengan asistennya.
"Apa sakit sekali Pak? " tanya Anna.
"Tentu saja! semua ini gara-gara kamu, lain kali jika aku suruh buang, cepat buang" keluh Abel.
Andri membungkuk ke arah Felix sebagai tanda pamit. Namun Felix menarik lengannya.
"Mereka tidak seperti bos dan asisten" bisik Felix.
"Tentu saja, terlihat akrab karena ini tahun ke sepuluh Anna bekerja dengan Pak Abel" jawab Andri.
"10 tahun? " Felix terkejut, juga berdecak kagum.
"Anda tertarik pada Anna? " tanya Andri.
"Ya, siapapun pasti tertarik pada gadis cantik sepertinya, rasanya tidak normal jika tidak tertarik" jawab Felix.
"Wah... Anna beruntung jika mendapat pria seperti Pak Felix, tapi Pak, dia itu janda anak dua, anak anaknya sudah berusia 11 tahun sekarang, di rawat oleh bibinya" jelas Andri.
Andri menutup mulutnya, merasa sudah mengatakan hal yang terlalu pribadi tentang Anna. Felix menatap ke arah Anna dan Abel yang sudah hendak berbelok ke arah kamar mereka.
"Tidak apa-apa, bagus kamu mengatakannya, tapi tidak masalah untukku" ucap Felix.
"Wahhh, Anna benar-benar beruntung, orang sekaya anda bisa menerima statusnya seperti itu" ucap Andri.
"Aku suka dia sejak pertama bertemu, kurasa, sekarang aku jatuh cinta padanya" ucap Felix, seraya tersenyum.
Sementara itu di kamar Abel.
"Mau saya bawa makan siangnya kesini Pak? " tanya Anna, setelah membantu Abel berbaring.
"Ya, kau juga makan di sini sekalian" jawab Abel.
Anna yang hendak meraih pintu, berbalik dan menatap Abel.
"Kenapa aku merasa anda terdengar posesif? " tanya Anna.
Abel melipat bibirnya, menatap dan melirik ke arah sembarang seolah ketahuan.
"Kita harus packing juga kan, aku tidak bisa packing sendiri, pinggang ku sakit" jawab Abel.
Anna mengerutkan dahinya, merasa jawabannya hanya menegaskan bahwa keadaannya sekarang adalah tanggung jawabnya.
Anna mendelik kemudian pergi keluar.
"Dasar bos freak! " gumam Anna.
Andri yang baru datang, langsung menyapanya.
"Gimana Pak Abel? " tanya Andri.
"Aku dan dia makan di dalam sekalian packing" jawab Anna ketus.
"Tapi Pak Felix menunggu mu di meja" tunjuk Andri ke arah restoran.
Anna tak menyangka dia akan menunggu. Dia kembali membuka pintu kamar Abel hendak minta izin makan bersama Felix saja dan akan membantunya packing setelah itu. Namun, alangkah terkejut dia melihat Abel berdiri tegak sempurna seraya menerima telpon, menghadap ke arah jendela, seolah tak merasakan sakit seperti tadi.
"Benar saja dia hanya berpura-pura" gumam Anna kemudian menutup pintu perlahan.
Anna melihat Andri sudah kembali ke kamarnya. Dia pun pergi ke restoran, memutuskan untuk makan bersama Felix saja.
Selesai makan dan berbincang cukup lama dengan Felix, Anna kembali ke kamar nya. Dia duduk di ranjang, tersenyum merasa senang sudah bicara dengan orang yang dia sukai.
"Dia tampan! " puji Anna pada Felix seraya menyentuh kedua pipinya.
Kemudian tatapannya beralih ke kopernya.
"Oh iya, aku kan mau bantu Pak Abel packing" ucapnya.
Dia kembali bangun dan pergi ke kamar Abel.
Tok... tok... tok...
Nada suara ketukan khas Anna untuk ciri khasnya.
Tak ada jawaban terdengar, tapi Anna mencoba masuk dan pintunya tak di kunci. Dia masuk dan melihat Abel melipat tangan di depan nampan makanan di depannya.
Wajahnya cemberut tak mau menatap Anna yang masuk.
"Astaga, anda belum makan? " tanya Anna seraya meraih koper Abel hendak membantunya berkemas.
"Tidak perlu membantu ku! " seru Abel.
Anna terdiam, kemudian menatap ke arahnya.
"Kenapa? " tanya Anna dengan mata membulat.
"Pergi pada Felix dan luangkan waktu bersamanya sebelum kau pulang, atau kamu mau tinggal lebih lama di hotel ini? Aku akan pulang sendiri, kau bisa tinggal lebih lama... "
Anna tersenyum mendengar ucapan Abel, dia merasa Abel pengertian dan memberikan kesempatan padanya untuk dekat dengan Felix
"... atau kau mau pindah ke sini, pindah kewarganegaraan sekalian? " ucap Abel yang nada bicaranya semakin tinggi.
Anna mengedipkan matanya berkali-kali, merasa tak paham dengan sikap bos nya itu.
\=\=\=\=\=\=\=>>
Anna melipat tangannya terus, selama duduk di pesawat menuju Jakarta. Abel pun tak mau kalah, ikut memasang wajah garangnya dan tak mau menatap Anna.
Andri yang duduk di sebelah Anna memperhatikan mereka bergantian.
"Ada apa ini? Terjadi perang dingin lagi kah? " bisik Andri.
"Diam kau! " jawab Anna ketus.
"Oh ya, Pak Felix terlihat kecewa karena kau tak menoleh tadi" bisik Andri lagi.
"Hmmm, pasti" ucap Anna merasa sedih karena terpaksa tak pamit pada Felix saat kembali ke bandara.
"Kau bisa terus berkomunikasi dengannya bukan? " bisik Andri, namun kali ini Abel mendengarnya.
"Aku kan sudah bilang, kau bisa pindah kewarganegaraan sekalian jika kau mau! " seru Abel masih kesal.
"Aku juga sudah jawab kalau itu tidak perlu, apa kita juga akan bertengkar di sini? " Anna bangun dari duduknya.
Mata Abel membulat, pramugari ikut berdiri, dua pilot yang mendengar suara mereka pun sedikit menoleh.
"KAU! " Abel berdiri dan menunjuk Anna.
'dia menunjuk wajah ku lagi? ' ucap hati Anna sedih.
Abel menatap tangannya sendiri, untuk kedua kalinya dia menunjuk Anna dan merasa sangat marah. Dia juga merasa Anna sedih karena sikapnya.
Anna duduk kemudian melipat tangan lagi, kali ini air matanya mengalir, tak bisa dibendung. Andri yang melihatnya langsung memberikan sapu tangannya untuk menghapus air matanya.
Anna mengambilnya tanpa menoleh dan tetap menatap jendela.
Abel menghela, sedikit menyesal karena sudah melakukan itu padanya.
**
"BISAKAH KAU DIAM! KAU MEMBUAT KU MUAK DENGAN SEMUA KESEMPURNAAN YANG KAU TUNTUT DARI KU! "
Anna berteriak sambil menutup mata dan kedua telinganya. Dia duduk jongkok di dekat meja di ruang rapat kantor.
Hari itu hari minggu, tak ada siapapun yang ada di sana kecuali mereka.
Anna pun berani berteriak karena memang sudah muak dan merasa tidak ada orang selain mereka disana.
Abel mendekati dengan perasaan kesal.
"Kau meneriaki ku? " tanya Abel.
Meski nadanya pelan, namun tekanan pada setiap katanya menyiratkan kekesalannya.
Anna tetap menutup telinga dan matanya.
"Berdiri dan buka mata mu, tatap mata ku dan katakan kau muak padaku!" Abel masih menahan amarahnya.
Dia berjalan mundur memberikan ruang pada Anna untuk bangkit dan menurut padanya. Tapi Anna malah menangis. Abel menatapnya, Anna membuatnya merasa bersalah.
Anna bangun dan langsung berlari keluar. Abel hanya menganga menatap kepergiannya. Sekali lagi menghela dan kemudian berjalan menyusulnya.
Dia mencarinya ke ruang kerjanya, tapi Anna tak ada.
"Ah, mungkin toilet" duga nya.
Dia pun pergi.
Namun....
Sebelum sampai ke toilet, dia melihat Anna sedang dipeluk Reza, aktor manajemen yang sedang naik daun.
Tangan Abel mengepal merasa kesal dengan tingkah Anna yang menurutnya terlalu murahan karena menerima pelukan pria mana pun.
"ANNA! " teriak Abel.
Reza melepaskan pelukannya dan Anna juga merapikan diri.
"KAU! " tangan Abel menunjuk wajah Anna sembari mendekat.
Anna mengerutkan dahinya, semakin kesal dengan tingkah bos nya itu.
"Pak tadi.... " Reza hendak menjelaskan sesuatu, namun Abel menarik tangan Anna dan membawanya ke ruangannya.
Reza tak menyusul, dia hanya menganga terdiam menatap cicak di genggaman tangannya.
"Tadi, Anna terkejut karena ada cicak di rambutnya" gumam Reza seraya menatap kepergian mereka berdua.
Abel melempar tangan Anna sesaat setelah masuk ruangan. Anna semakin tercengang dengan sikap Abel.
"Mudah sekali kamu menyandarkan tubuh di pelukan pria? Apa memang kamu tidak punya harga diri? Murahan? " ucap Abel dengan geraham menangkup.
Anna menganga tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia menurunkan tangan Abel yang masih menunjuk wajahnya.
"Cukup, sudah cukup. Anda sudah bertindak dan berpikir terlalu jauh. Saya mengundurkan diri" ucap Anna tenang, namun berderai air mata.
Tak menyangka bahwa bosnya akan mengatakan hal yang rendah tentang dirinya tanpa mengetahui apa yang terjadi.
Kali ini bukan tentang semua perintah yang menurutnya selalu egois dan menuntut kesempurnaan darinya lagi, tapi Anna sudah menyerah dengan semuanya. Semua yang ada pada diri Abel.
Anna meninggalkan Abel di tengah pertengkaran itu, dia kembali ke rumah dan menangis sejadi-jadinya.
Abel pulang, mendengar tangisan Anna. Ya, saat itu Anna masih tinggal dengan Abel karena permintaan Abel.
Setelah mandi dan siap untuk tidur, Abel mengendap-endap berdiri di pintu mendengar Anna menelpon Viona, temannya.
"Aku sudah tidak tahan, dia menyebutku murahan karena Reza mengambil cicak di rambut ku, dia benar-benar sudah kelewatan, aku tidak akan patuh lagi padanya, aku sudah katakan aku mengundurkan diri" dia terus bicara sambil menangis.
"Haah, iya. Tapi apa kau sudah yakin? Bukankah kau baru saja melunasi semua hutang keluarga mu, lalu bagaimana sekolah si kembar? " ucap Viona di ujung telpon.
"Huaaaa..... kenapa kau mengatakan itu..... aku jadi menyesal memintanya.... " Anna semakin histeris.
"Heii.... aku hanya mengingatkan, denger.... Pak Abel itu beda dengan yang lainnya, lihat saja, dia akan mengirim pesan dan mengatakan bahwa dia memaafkan semua ucapan mu dan meminta mu bekerja besok, tenang saja. Tahan lagi harga diri mu, tentang Reza, aku yang akan katakan padanya " ucap Viona.
Abel menunduk malu mendengar pembicaraan Anna. Dia merasa bersalah, jelas memang bersalah.
**
Sampai di apartemen.
Abel menatap lampu kamar yang dulu ditempati Anna, heran kenapa menyala.
"Siapa yang datang malam malam begini" gumam Abel.
Abel mengambil stik golfnya dan bersiap hendak memukul siapa saja yang keluar dari kamar itu.
Dan...
"Kau sudah datang? "
Zidan keluar dari kamar dengan setelan piyama keropi nya, sambil mengunyah dan membawa piring di tangannya.
"Aishhh.. sialan! " umpat Abel menaruh kembali stik golf nya.
"Wahhh, kau sangat waspada, wanita yang akan jadi istri mu nanti akan merasa terlindungi" ucap Zidan seraya memeragakan seorang wanita yang terkagum padanya.
"Kau selalu mengatakan istri istri... " ucap Abel seraya melempar dasinya ke sofa.
"Memang kau tidak akan menikah? Kau sudah berusia 36 tahun, seharusnya sudah menikah 2 kali" ucap Zidan duduk di dekatnya setelah mengambil lagi anggur.
Abel menatapnya kesal.
"Jangan menyarankan hubungan yang kau sendiri selalu bermasalah dengan itu" ucap Abel menunjuk wajah Zidan.
"Berhenti menunjuk wajah ku! " ucap Zidan sambil menangkis dengan kakinya.
Abel terdiam, teringat dengan kejadian di hotel dan pesawat dengan Anna. Dia menatap tangannya.
"Kenapa? Kau marah karena aku menangkis tangan mu dengan kaki? Ampuni aku presdir Alberto Sanjaya, jangan pecat aku" ucap Zidan menggosok kedua tangannya yang menyatu, namun sejenak kemudian seolah hal itu tak berarti lagi, dia kembali menyantap buah anggurnya.
"Dia tersinggung juga karena aku menunjuk nya lagi" ucap Abel kemudian menghela.
"Siapa?" tanya Zidan acuh.
Namun kemudian menganga hingga menjatuhkan anggur di mulutnya.
"Anna? " tebak Zidan.
Abel mengangguk lemah.
"Lagi? " Zidan menyakinkan diri.
"Hmm, lagi" jawab Abel kemudian menghela.
"Kau dalam bahaya kawan! " Zidan menggelengkan kepalanya.
Malam itu, Abel tak bisa tidur.
Dulu, saat itu terjadi, dia bisa mendengar tangisan Anna karena masih tinggal bersamanya, namun sekarang dia tak bisa mendengar tangisan Anna, dan terus memikirkan apa yang terjadi dengannya di rumah nya.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!