"Mbak Mia dan Mas Jaka, ikuti aba-aba saya Ya!!! Begitu hitungan ke tiga, lempar ke belakang kalian. Ayo para jomblo ngumpul ..." Teriak pembawa acara. "Satu ... Dua ... Tigaaa ... Lempar ayo ..." Serunya.
Jaka dan Mia berdiri di depan kursi pelaminan. Keduanya membelakangi para tamu, lalu mereka kompak melempar buket itu sekuat tenaga, dan berbalik setelahnya. Keduanya tak menyangka buket bunga itu jatuh ke tangan orang, yang sedari tadi ditunggu-tunggu oleh Mia. Lelaki berkemeja biru muda yang baru saja datang berhasil menangkapnya.
"Tangkep Mas! buruan ..." Seru Anggara yang datang mengenakan baju batik berlengan panjang, berdiri di belakang lelaki itu.
Ari menangkap sesuatu yang datang ke arahnya, meski sebenarnya dia tak mengerti apa maksudnya. Namun begitu benda itu mendarat di tangannya, barulah Ari menyadari. Jika itu adalah buket bunga pengantin. Lelaki yang merupakan ASN di salah satu kementerian, hanya mengangkat bahunya dan memberikan buket bunga itu pada salah satu perempuan yang posisinya terdekat dengan-nya. "Nih buat kamu, kamu temennya Mia, kan?" Lalu tanpa menunggu jawaban dari perempuan yang mengenakan dress batik selutut. Ari melangkah menuju pelaminan, sambil tersenyum lebar.
Sementara yang diberi bunga, hanya bisa terpaku. Ini pertama kalinya selama dua puluh empat tahun hidupnya, dia diberi bunga.
Mendadak dia merasakan debaran tak biasa. Jantungnya berdetak lebih cepat, lalu perutnya terasa ada yang menggelitik. Apa ini? Apa kesehatannya bermasalah?
Tapi pemeriksaan Minggu lalu di klinik pabrik, semuanya normal. Apa mungkin dokter salah melakukan pemeriksaan padanya?
Sebuah rangkulan dari rekan kerjanya, membuyarkan lamunannya. Dia menoleh dan tersenyum, "Ono opo ta, Mbak?" Tanyanya.
"Semoga cepat nyusul Mbak Mia, ya San! mahal itu San, bawa pulang ke Surabaya aja." Ujar Anna, rekan sesama staf keuangan yang usianya berbeda dua tahun lebih tua darinya.
"Durung kepikiran Mbojo aku, mbak! Lewih bahagia sendiri." Keduanya kembali ke tempat duduk yang telah disediakan untuk para tamu.
Sandi dan para staf kantor pabrik, jauh-jauh datang dari Surabaya untuk menghadiri resepsi pernikahan salah satu staf mutasi dari kantor pusat dengan sekertaris CEO.
Dia dan para rekannya bahkan dibelikan tiket kereta eksekutif beserta hotel tempat mereka beristirahat tadi pagi.
Jaka si sekertaris CEO itu, memenuhi janjinya untuk mengundang rekan-rekan Mia selama bekerja menjadi staf keuangan pabrik.
Sebagian dari mereka mengaku baru kali pertama mengunjungi ibu kota negara. Tentu saja semuanya senang, kondangan sekaligus jalan-jalan gratis.
"Abis ini Nyusul, ya San!" seru manajer keuangan yang duduk satu meja dengannya.
"Belum ada calonnya, Pak!" Sandi tersenyum kecut.
"Emang maunya yang kayak apa, San? Masih bujang atau udah duda?" Tanya Anna.
"Ndak tau aku, mbak! Yang penting bisa nyambung." Jawab Sandi.
"Mas-mas tadi yang kasih bunga ke kamu aja, San! Gwanteng Loh!" sela Dina sekertaris dari Tris. "Itu siapanya Mia, ya? Kayaknya akrab banget."
Mata mereka kompak tertuju pada interaksi antara sang mempelai perempuan dan lelaki yang menangkap buket bunga tadi.
"Itu teman dekatnya Mbak Mia, Bu! Beberapa kali jemput Mbak Mia di pabrik dan di mess. Kan waktu jalan-jalan ke Bromo, Mbak Mia sama mas ini."
Yang ada di meja menoleh menatap ke arah Sandi. "Maksudnya?" Tanya Anna hampir berbarengan dengan Dina.
"Ya mereka teman dekat." Jawab Sandi dengan cengiran khasnya.
Sebagai rekan satu mes dan satu divisi, terkadang dia dan Mia membicarakan hal-hal pribadi. Walau tak terlalu mendalam, layaknya teman curhat atau sahabat dekat.
"Oh ... Teman dekat." Penghuni meja itu, kompak menyahut.
"Tapi coba lihat deh, mukanya Pak Jaka. Kenapa suram gitu, ya? Kayak nggak suka sama temennya Mbak Mia." Seru Anna.
"Itu namanya cemburu, Ann!" sahut sang menejer. "Laki-laki itu nggak suka kalau ada laki-laki lain mendekati pasangannya." Jelasnya.
"Emang gitu, Pak?" Tanya Anna tak yakin. "Tapi saya juga punya teman cowok, suami saya tidak keberatan."
"Mungkin tergantung orangnya kali, Pak!" sela Dina. "Tapi kalau Pak Jaka, kayaknya beneran nggak suka tuh." Perempuan bersanggul sederhana itu, menunjuk dengan dagunya. "Wajahnya Pak Jaka, udah kayak mau makan orang."
Mereka kembali menoleh ke arah memperbaiki laki-laki. Wajah yang memang terkenal dingin dan nyaris tanpa senyuman itu, terpampang jelas. Padahal di hari bahagianya, seharusnya Wajah pengantin berseri-seri.
"Ihhh ... Seremmmm." Yeni dan Anna kompak menyahut.
"Bisa-bisanya Mbak Mia nikah sama Pak Jaka yang terkenal nggak pernah senyum." Tutur Anna tak habis pikir. "Aku pikir cuma gosip doang!"
Sandi tak menanggapi, matanya sekarang ini tertuju pada lelaki berkemeja biru yang sedang berbincang akrab dengan ibu dan adik-adik Mia.
Kembali dia merasakan sesuatu yang menggelitik pada perutnya, begitu melihat senyum dengan lesung pipi di pipi kiri. Lalu beberapa detik kemudian tatapannya tak sengaja bertemu dengan lelaki bernama Ari. Ketika lelaki itu menoleh. Tanpa sadar, Sandi menarik bibirnya. Dia tersenyum.
Seorang gadis baru saja turun dari kereta dengan membawa koper besar dan ransel di punggungnya.
Dia bergabung dengan para penumpang kereta yang hendak menaiki tangga, menuju pintu keluar stasiun.
"Kenapa aku malah turun di sini? Harusnya kan di stasiun Pasar Senen aja. Duh ... Lali aku!" Monolognya.
Dia Sandi, gadis asal Malang yang meminta dipindahkan ke kantor pusat untuk menggantikan mantan rekan kerjanya.
Alasan tentang kepindahannya ke ibu kota, selain gaji dan bonus lebih tinggi. Sandi ingin mencoba merasakan tinggal di ibu kota, yang katanya lebih kejam dari ibu tiri. Juga satu alasan yang membuatnya menjauh dari kota kelahirannya.
Waktu baru menunjukkan pukul lima pagi, Sandi memutuskan untuk memesan taksi online menuju gedung kantornya.
Semoga saja dirinya tidak kesasar atau bertemu dengan orang jahat. Ini kali kedua dirinya menjejakkan kaki di ibu kota.
Sandi sempat kesulitan menemui taksi online yang dia pesan. Begitu bertemu driver, sang driver mengatakan Sandi salah menentukan titik penjemputan. "Namanya juga baru."
Lalu lintas terlihat lengang, tidak seperti yang dia lihat di televisi. Mungkin karena hari masih pagi dan belum banyak aktivitas warga ibu kota.
Sandi datang cukup mepet, belum ada persiapan sama sekali. Dia baru diberitahu soal kepindahannya, Jumat siang.
Seharusnya Sandi pindah seminggu lagi, tapi karena staf yang akan dia gantikan mendadak mengalami pecah ketuban di kantor. Akhirnya mau tidak mau Sandi harus berangkat secepatnya untuk menggantikan pekerjaan.
Hanya butuh waktu tak sampai tiga puluh menit, taksi yang Sandi tumpangi tiba di gedung kantor. Dia menatap kagum gedung tinggi itu begitu turun dari taksi.
Ketika Sandi menghadiri pernikahan mantan rekan kerjanya di sini beberapa tahun lalu. Dia dan rekan-rekannya yang lain, hanya lewat saja tanpa mampir.
Sandi biasa bekerja menjadi staf keuangan pabrik, dengan kata lain tempat kerjanya hanya dua lantai saja. Sisanya tentu tempat produksi.
Dia menyapa pihak keamanan, dan memperkenalkan diri sebagai staf pindahan dari pabrik yang ada di Surabaya.
Pihak sekuriti sempat meragukannya, tapi kemudian Sandi menunjukkan surat perintah kepindahannya yang ditanda-tangani oleh pimpinan pabrik berikut cap-nya.
Sandi juga melakukan panggilan video pada manager keuangan perusahaan, untuk meyakinkan jika dirinya benar-benar staf keuangan yang baru.
Karena masih bingung harus apa, Sandi memilih menunggu di lobi kantor. Sambil menunggu salah satu seniornya datang.
"San ... Sandi ..."
Suara lembut seseorang membangunkan tidurnya. Sandi mengucek matanya, dan meregangkan tubuhnya. "Mbak Indah ..." Seorang perempuan berpakaian formal duduk di sebelahnya.
"Hai ..." Indah melambaikan tangannya. "Sorry ganggu tidur kamu, pasti kecapean ya? Tapi ini udah jam tujuh, naik ke atas yuk!" Ajaknya.
"Ah ... Iya mbak!"
Indah bangkit berdiri, "belum sarapan ya?"
"Belum mbak!" Sandi menggendong ranselnya dan mengikuti langkah perempuan itu.
Dia mendengar penjelasan mengenai seluk beluk ruangan di gedung selama keduanya berada di elevator. Termasuk aturan yang berlaku.
"Harusnya ini tugas Pak Ringgo atau Bu Yuli, tapi karena beliau sedang berada di luar kota. Jadi saya yang ambil alih soal penjelasan ini." Ujar Indah.
Mereka keluar dari elevator, Indah menunjukan letak pantry yang bersebelahan dengan toilet di sebelah kanan dan lorong sebelah kiri berisi ruang arsip.
Ada dua divisi yang ada di lantai ini, yaitu divisi pemasaran dan keuangan.
"Kalau kamu mau mandi, silahkan. Mumpung masih sepi," Indah menunjukkan letak tempat duduknya. "Oh ya, entar mungkin ketemu sama office girl namanya Mak Jum. Kamu bisa minta tolong kalau mau beli makan di luar. Tapi kalau misal kamu mau makan di kantin, kamu bisa turun ke bawah. Nanti saya minta ke bagian HR buat bikinin kartunya." Terangnya.
"Mandi dulu aja, mbak! Malu, takut bau." Sandi tertawa canggung.
"Ya udah sana."
Begitu sampai ruangan, Sandi membuka kopernya guna mengambil baju formal yang hendak dia kenakan.
"Saya lupa satu aturan yang harus kamu patuhi, jangan pake rok. Misal mau pakai, harus yang panjang sampai mata kaki dan nggak boleh ketat." Indah mengingatkan peraturan yang berlaku.
Sandi mengembalikan lagi, rok selutut yang tadi dipegangnya. Dia lupa Mia pernah mengatakan soal aturan berbeda yang berlaku di kantor pusat.
Sebelum beranjak, Sandi memberikan bungkusan untuk Indah. "Karena mendadak, aku belum sempat belanja banyak oleh-oleh. Maaf ya mbak!" dia merasa segan. Apalagi dia sempat mendengar dari mantan staf yang pernah dimutasi, jika Indah dikenal judes.
Indah tersenyum, "wah ... Terima kasih ya ..."
"Sama-sama, mbak! Aku mandi dulu ya!"
"Hmmm ..." Indah sedang membuka bungkusan yang diberikan padanya.
Sandi mempercepat mandinya, dia tak mau dicap lambat di hari pertamanya bekerja. Hari ini dia mengenakan kemeja polos berwarna biru muda dan celana formal hitam. Sandi hanya memakai pelembab wajah dan bibir. Tak lupa menyemprotkan parfum beraroma lembut. Dan terakhir melengkapi dengan flatshoes berwarna hitam.
Sandi menghela napas, dia berharap hari pertama dan seterusnya. Berjalan dengan baik dan tak ada kendala berarti. Sandi memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri. "Aku pasti bisa." Dia menepuk dadanya pelan.
Baru saja keluar dari toilet, dia berpapasan dengan staf berseragam biru tua. Sandi tersenyum.
"Mbak Sandi, ya?"
"Iya ..." Sandi melihat ke arah name tag yang menggantung di depan dada lawan bicara. Mungkin ini yang tadi dimaksud seniornya sebagai office girl bernama 'Mak Jum'.
"Saya biasa dipanggil Mak Jum, kalau butuh bantuan apapun, Mbak Sandi bisa hubungi saya. Nomornya di dekat pesawat telepon di meja Mbak Sandi." Perempuan bertubuh sedikit gempal itu menerangkan.
"Baik, Mak! Terima kasih." Sandi menundukkan kepalanya. Dia kembali ke ruang tempatnya bekerja, hanya ada Indah di sana. Wajar saja, katanya jam kerja dimulai pukul sembilan.
"Kamu kerjanya nanti aja, sekarang sarapan dulu yuk!" Indah bangkit dari duduknya. "Saya antar ke kantin."
Sandi menurut, dia mengikuti perempuan yang mengaku sudah memiliki dua anak perempuan dan laki-laki.
"Karena dadakan, apa kamu sudah punya tempat tinggal?" Tanya Indah ketika mereka sedang menunggu di depan elevator.
Sandi menggeleng, "belum mbak!"
"Di sini nggak ada mes kayak di Surabaya. Kamu harus cari kosan di dekat sini, biar nggak perlu ongkos. Tapi ya gitu, lumayan harga sewa bulanan nya."
"Mbak Indah ada rekomendasi, nggak?" Tanya Sandi ragu.
Indah menggeleng, "rumah saya agak jauh dari sini. Coba kamu tanya Mak Jum." Dia menunjuk ke arah office girl yang sedang mengepel lorong tepat di depan ruangan divisi pemasaran. "Mak Jum ..."
Yang dipanggil, langsung menghampiri. "Iya Mbak Indah, ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya.
"Di dekat rumah Mak Jum, ada kosan kosong nggak?" Tanya Indah
"Emang buat siapa, mbak?" Mak Jum bertanya balik.
"Ini Sandi belum dapat tempat tinggal, kalau bisa sore ini udah dapat."
"Oh, saya coba telepon orang rumah dulu. Hari Minggu kemarin pas saya ke pasar, saya lihat ada kosan kosong nggak jauh dari rumah."
"Nanti kalau ada, kabari ya Mak!"
"Baik Mbak!"
Dalam hati Sandi berdoa, agar dia bisa langsung mendapatkan tempat tinggal. Semua serba mendadak, jadi dia sama sekali tak ada persiapan yang matang. Termasuk soal tempat tinggal.
Mata Sandi melebar, begitu mendengar harga satu kamar kos yang sore itu dia datangi bersama Mak Jum.
"Segitu udah murah banget loh, Mbak! Apalagi udah full furnished. Mbak tinggal bawa diri dan koper aja. Tapi belum termasuk token listrik, ya Mbak!" ujar Mak Jum.
"Bangunan ini juga baru tahun lalu, jadi masih bagus dan bersih." Tambah Bang Ucup, penjaga kos. "Andai ini kosan boleh campur, mungkin penghuni sebelumnya bakal tetap tinggal di sini setelah menikah." Sambungnya.
"Sebentar, Bang! Saya balas pesan dulu." Sandi berdalih, agar bisa menjauh dari office girl kantor barunya dan penjaga kos. Dia hendak mengecek saldo rekening yang tersisa di M-banking pada gawai-nya.
Pindah secara mendadak dan belum menerima gaji bulanan dari pabrik, karena memang baru Jumat depan. Gaji bulanannya turun. Saldonya hanya tersisa satu juta lebih sedikit.
Lalu tangannya tanpa sengaja memegang kalung emas yang melingkar pada lehernya. Tapi masalahnya, sore begini di mana toko emas yang masih buka?
Sandi buta arah. Baru tadi pagi, dia menjejakkan kaki di Jakarta. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Langit sudah semakin gelap, dan terdengar suara gemuruh di atas sana. Pertanda akan segera turun hujan.
Tiba-tiba terlintas di kepalanya, nama rekan kerjanya beberapa tahun lalu. Orang sama yang dia gantikan di kantor pusat. Siapa lagi kalau bukan Mia Andani, tapi masalahnya. Mia baru saja melahirkan Jumat lalu. Masa dia harus merepotkan mantan rekan kerjanya itu. Tapi tidak ada pilihan baginya, tak mungkin juga Sandi meminta bantuan keluarganya di Malang. Dia sendiri sengaja mengajukan diri menggantikan Mia, demi menghindari mereka. Bahkan keberangkatannya saja, keluarganya tidak mengetahui.
"Mbak ..."
Sandi menoleh, mendapati Bang Ucup memanggilnya. "Sebentar, bang!" tanpa pikir panjang, dia menghubungi Mia. Masa bodoh andai dirinya dicap tak tau malu. Yang penting malam ini, Sandi tak tidur di jalanan.
Basa-basi ala kadarnya, Sandi sampaikan. Hingga dirinya menyampaikan maksud dan tujuannya, menghubungi istri dari sekertaris CEO perusahaan.
"Oke, kamu kirim aja nomor rekeningnya. Sekarang aku transfer, ya!!!"
Sandi menembuskan napas lega, saking leganya. Tanpa diminta, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Mbak Mia. Aku janji, Jumat malam aku balikin."
"Santai aja lagi! Kayak sama siapa, pokoknya kalau butuh bantuan. Jangan sungkan!"
"Sekali lagi terima kasih, Mbak!" sambil menempelkan ponsel pada telinganya, dia berkali-kali menunduk. Seolah orang yang bersangkutan berada di depannya.
Satu Menit berlalu, rekeningnya bertambah sesuai dengan nominal harga sewa kosan yang dia datangi.
Setelahnya, Sandi berbalik dan menghampiri dua orang yang tengah berbincang-bincang. "Bang, uang sewanya harus saya transfer kemana?" Tanyanya.
Bang Ucup menyebutkan beberapa digit rekening, yang khusus untuk pembayaran biaya sewa kosan.
"Kamarnya ada di lantai tiga, Mbak! Mari saya antar."
Sandi memang belum melihat terlebih dahulu kamar kos, yang nantinya akan dia tinggali kedepannya. Sandi percaya saja dengan perkataan Mak Jum.
Bang Ucup membuka pagar dan meminta Sandi serta Mak Jum untuk mengikutinya. Sembari menjelaskan peraturan apa saja, yang harus ditaati para penghuni Kos. Juga fasilitas bersama yang boleh digunakan para penghuni.
Tidak diperbolehkan membawa laki-laki ke dalam kamar. Tamu hanya boleh duduk-duduk di ruangan yang sudah disediakan di lantai satu. Lalu tidak boleh membuat gaduh dan mengganggu penghuni lain. Sementara fasilitas bersama, diantaranya dapur bersama yang ada di tiap lantai. Juga tempat mencuci pakaian berada di lantai tiga beserta tempat menjemur pakaian.
Selain Kamar, di lantai tiga. Terdapat beberapa pintu kamar kos dan juga dapur bersama.
Tiba di kamar kos. Sandi jadi paham, mengapa bisa harga sewanya semahal itu.
Karena sudah ada ranjang beserta kasurnya, meja belajar, lemari pakaian ukuran sedang dan kamar mandi dengan shower air hangat juga kloset duduk. Jangan lupakan pendingin ruangan dan free jaringan internet.
Bang Ucup undur diri terlebih dahulu, lelaki paruh baya itu hendak menerima telepon. Meninggalkan Mak Jum dan dirinya.
"Semoga Mbak Sandi betah di sini."
Sandi hanya menanggapi dengan ringisan. Dia ingat biaya sewanya sepertiga gajinya sebagai staf keuangan di pabrik. Tapi tak ada pilihan lain, ini lebih baik. Dari pada malam ini di tidur di pinggir jalan. Sandi tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
"Kalau Mbak Sandi tidak keberatan, untuk sementara ini. Mbak bisa ikut saya berangkat kerja, tapi ya gitu. Saya berangkat dari rumah jam tujuh kurang. Atau kalau mau naik ojol juga bisa, paling biayanya tidak sampai lima belas ribu. Kalau lagi promo bisa sepuluh sampai dua belas ribu aja." Terang perempuan bertubuh gempal yang tengah duduk di kursi.
Astaga, ini yang belum dia pikirkan. Ongkos menuju dan pulang kantor. Saat masih di pabrik, Sandi bisa berjalan kaki menuju mes atau naik motornya sendiri. Tapi masalahnya, motornya saja ada di rumah orang tuanya dan tak mungkin dia mengambilnya.
Kenapa dirinya tak memikirkan hal seperti ini, ketika mengajukan diri untuk pindah?
"Oh ya, mbak! Saya pulang dulu, udah magrib." Mak Jum bangkit dari kursi. "Kalau butuh bantuan, Mbak Sandi bisa hubungi saya. Gang rumah saya sekitar lima puluh meter dari sini."
Sandi merogoh tas ranselnya, guna mengambil dompet. Setidaknya dia ingin mengganti uang bensin, tapi ketika Sandi menyodorkan uang berwarna hijau dan cokelat. Mak Jum menolaknya secara halus.
Sepeninggal Office girl itu, Sandi berbaring di kasur yang belum dibalut sprei. Kata Bang Ucup akan diantarkan nanti, berikut bantal dan guling baru.
Dia menatap pendingin ruangan berwarna putih, yang letaknya menempel di dinding atas ranjang. "Ada uang, ada kualitas. Waktu di mes, kipas angin aja aku beli sendiri." Monolognya. "Semoga aja aku nggak masuk angin."
Sedang bermonolog, pintu kamar diketuk. Terdengar suara salam. Itu pasti Bang Ucup. Sandi bangkit dan melangkah ke arah pintu.
Lelaki yang sudah memakai baju Koko dan sarung serta kopiah itu, memberikan bantal dan guling serta sprei baru untuknya. Sandi mengucapkan terima kasih dan bertanya tentang rekomendasi kuliner makan malam di sekitar kos.
"Kalau mau mi rebus atau goreng, di depan kos ada jual. Tapi kalau mau makan di warung nasi, di seberang jalan juga enak."
"Terima kasih, Bang!" katanya sambil menutup pintu begitu penjaga kos meminta izin undur diri.
Mungkin nanti setelah dirinya menata baju-bajunya di lemari, dan mandi. Dia baru keluar untuk mencari makan malam.
***
Selesai Mandi, Sandi beranjak keluar dari Kamar. Tepat saat membuka pintu, dia berpapasan dengan penghuni kamar sebelah.
Sebagai orang Jawa yang menjunjung tinggi kesopanan dan keramahan, Sandi menyapa dan tersenyum. Namun setelahnya, dia justru tersenyum kecut karena tetangga kamarnya mengabaikannya. Sandi hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Apa yang pernah dia baca di sebuah artikel, mengatakan bahwa sebagian penduduk ibu kota hidup masing-masing dan tidak terlalu berbaur dengan orang sekitar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!