Suatu pagi di hari minggu, alarm berbunyi setiap pagi membangunkan Raisa yang masih tertidur pulas, seakan lantunan pengantar tidur.
" Kring...Kring"
Kebisingan itu membuat ayahnya kesal dan mengetuk pintu berkali-kali. Keringat mengalir di pipinya, celemek nya berwarna pink masih menggantung di tubuhnya, tangannya menggenggam alat penggorengan hingga minyak menetes di lantai.
" Raisa..a..a,"
Ketukan semakin keras hingga Raisa terpaksa menyaut dengan rambut berantakan, matanya masih terpejam, menunduk terdiam menahan kantuk.
" Iya"
" Cepat bangun, nanti terlambat. Ayah udah nyiapin sarapan nih."
Ayahnya kembali ke dapur, tergesa-gesa mengingat sesuatu. Mematikan kompor dan asap mengepul di udara, telur ceplok yang ia masak berubah menjadi hitam. Hanya tersisa nasi goreng yang kering kerontang karena terlalu lama dimasaknya, wajahnya menoleh sepiring nasi. Wajahnya tersenyum mengusap keringat di dahinya.
" Astaga, baju..."
Kepanikan mulai terjadi sementara Raisa tetap belum terbangun dari tidurnya. Ayahnya berlari menuju kamar belakang dan mendapati seragam sekolah yang sedang ia setrika, mengangkat terburu-buru dan seragam itu sudah tak terselamatkan. Entah berapa baju yang berlubang akibat ulah ayahnya. Helaan napas terasa berat, wajahnya pasrah menunduk tak berdaya. Ayahnya bekerja keras melakukan semuanya, tapi Raisa tidak pernah protes, bahkan membalasnya dengan senyuman seperti sudah terbiasa.
Teriakan tiba-tiba terdengar diantara keheningan di balik kamar Raisa, wajahnya terkejut terperanjat seakan ada sesuatu bahaya yang terjadi pada ayahnya. Raisa bergegas terbangun menyingkirkan selimutnya, walau matanya setengah terbuka dan rambutnya masih mengembang. Ia membuka pintu terburu-buru menghiraukan bercak minyak di lantai dan gubrak. Suara tubuh terjatuh bersaut dengan teriakan.
" aaa...pinggangku,"
Raisa mengusap pinggangnya dan mencium aroma minyak goreng yang menempel di tangannya. Mendengar hal itu, Ayahnya bergegas menemui sumber suara. Terkejutlah ia melihat putrinya terduduk merintih kesakitan.
" Kamu kenapa sayang?"
Ayahnya menjulurkan tangan sambil memegang seragam yang berlubang.
" Kenapa banyak minyak di lantai ayah? Kenapa ayah berteriak?" cecarnya pelan.
" Ayah tidak papa? Aku sangat terkejut yah, sampai terjatuh seperti ini," ujarnya khawatir.
" Aduh pinggangku sakit banget yah,"
Raisa menghentakkan kakinya dengan manja, seperti terbiasa dengan suasana ini. Menoleh ke seragam sekolah yang dipegang ayahnya. Raisa tidak terkejut melihatnya, hanya menghela napas panjang berusaha melepaskan kekesalannya. Memandang sang ayah dengan penuh kasih sayang, menarik seragamnya dan membuang ke keranjang yang berisi tumpukan baju berlubang lainnya.
" Ayah, hari ini adalah hari minggu. Kenapa ayah menyuruhku bangun pagi dan menyiapkan seragam ku?" Raisa memandang dengan raut wajah sedih.
" Ayah lupa hari lagi?"
" Istirahatlah! Aku akan membereskan semuanya,"
Raisa mengambil pel membersihkan bercak minyak yang berceceran, wajahnya mengartikan bahwa kejadian ini seperti Dejavu. Rambutnya masih berantakan. Ayahnya terdiam menatap sedih penuh kegagalan, semangatnya luruh begitu saja, menunduk lesu dan bernapas panjang. Melepas celemek nya dan menaruhnya di meja dapur.
" Maafkan ayah Raisa, ayah nggak bermaksud untuk..."
Kalimatnya terhenti seakan menahan tangis yang tak terbendung, matanya berair, tenggorokannya terasa sakit, memalingkan wajah terduduk di sofa. Memainkan kuku tangan dan menggigitnya.
Sosok ayah yang dulunya kuat, bahkan seratus orang pun bisa ia tumbangkan dengan hanya satu pukulan. Sorot matanya tajam seperti ancaman yang membuat orang lain tidak berani bertatap mata dengannya. Karena suatu kejadian, mengharuskannya pensiun dari dunia taekwondo, meninggalkan impian yang ia banggakan. Memilih mengurus rumah tangga sendiri, menurunkan harga dirinya hanya karena penyesalan yang takut terulang kembali.
Luka yang ia rasakan bertahun-tahun, berusaha ia sembuhkan sendiri. Namun tetap saja ada bekas yang masih menempel di ingatan masa lalu yang penuh kepedihan, menyayat hatinya hingga melupakan hal-hal yang kecil sekalipun.
Sejak hilangnya adikku 10 tahun yang lalu, masih berbekas dihatinya. Kenangan indah saat bersama, penyesalan yang tak berujung membawa trauma yang mendalam. Bukan bagi ayahnya saja tapi Raisa pun merasakan hal itu, namun ia harus berusaha tegar menutupi lukanya demi menyembuhkan luka sang ayah. Ditambah lagi, sang ibu yang jarang sekali pulang karena pekerjaannya. Semua menanggung luka sendiri, berusaha tegar walau terasa berat.
" Ayah jangan bicara seperti itu, tidak papa yah,"
" Ayah udah baikan?" Raisa mengusap pundak ayahnya mencoba menenangkan, memandangnya penuh kehangatan, bersandar di bahunya seraya berkata bahwa ini baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Ayahnya mencium kepala Raisa, namun bukannya haru tapi ledekan sang ayah yang mencium bau rambut Raisa, menandakan dia sudah lebih baik.
" Mandi sana! Rambutmu bau gosong tuh,"
Ayahnya mengacak-acak rambut Raisa, senyuman terpancar di wajahnya nanum tipis. Raisa merengek dengan manja beranjak pergi untuk mandi.
Di kamar, Raisa menutup pintu dengan pelan bersandar di balik pintu menyeka air mata yang mengalir di pipinya, menghela napas menenangkan hati yang mulai goyah.
" Syukurlah,"
Beberapa jam kemudian
Raisa sudah siap dengan jaket kulitnya, menenteng sepasang sepatu hitam berjalan keluar kamar. Ayahnya terduduk menunggunya di meja sarapan dengan raut muka yang penuh pertanyaan sambil melihat Raisa dari ujung kaki sampai ujung rambut.
" Ayah udah siapin sarapan yang spesial,"
" Ini dia...nasi goreng ala chef Juna,"
Menunjuk bangga ke sebuah piring putih yang penuh dengan nasi berwarna coklat kehitaman. Raisa terharu, menarik kursi dan segera mencicipi masakan ayahnya. Walau dia tahu bahwa dari penampilan nya saja kurang meyakinkan, tapi tak ingin membuat ayahnya kecewa.
" Baunya sepertinya enak,"
Wajah Raisa berubah saat mencium bau masakan sang ayah, tangannya ragu untuk menarik sendok, Raisa menahan ludahnya, matanya terpejam saat sesendok nasi bersarang di mulutnya. Duarr rasa asin menempel di lidah, batinnya ingin menjerit, mulutnya ingin meledak karena asin. Tapi melihat ayah yang menatap dengan penuh harap, membuat Raisa untuk bertahan. Ia mencari air minum yang belum tersedia sambil menunjukkan jempol ke ayahnya, menandakan masakannya terasa enak. Ia meminum air dari tekonya karena tak kuat menahan rasa yang semakin masuk ke tenggorokan. Membuatnya merasa lebih baik.
Raisa harus berbohong karena tak ingin menyakiti perasaan ayahnya. Setiap hari dia dihidangkan dengan makanan yang berbagai rasa dan aneh. Dari terlalu asin, manis, pedas, atau pun pahit pernah ia rasakan.
Raisa berbicara pelan mendorong makanannya menjauh dari hadapannya, memandang dengan rasa takut.
" Ayah yang baik hati dan tidak sombong, bolehkah aku pergi keluar?"
" Kemana? Sama siapa? Ini kan hari minggu."
Raisa menggaruk kepalanya " Aku hanya pergi ke rumah Bobby, naik angkot yah. Aman."
" Bener?" Tatapan tajam mengarah ke Raisa hingga ia menelan ludahnya.
" Iya, boleh kan yah, please ,"
Tangannya memohon, senyumnya lebar dan kedipan mata manja menjadi peluru keberhasilannya.
" Baiklah,"
" Tapi jangan pulang lebih dari jam 7 malam, dan..."
" Siap komandan," celanya.
" Jangan keluyuran kemana-mana! Dan..."
" Siap komandan," Raisa mengangkat tangannya seraya memberikan hormat.
" Dan habisin nasi gorengnya! Katanya enak?"
Raisa menoleh ke piring, dan segera berlari menuju pintu keluar sambil melambaikan tangan mengucap perpisahan. Ayahnya berdiri dan memanggilnya namun, tak di gubris. Ayahnya heran mengapa nasi goreng buatannya tidak dihabiskan. Ia menarik sepiring nasi dan mencoba untuk menyicipi makanannya. Semburan nasi dimana-mana, lidahnya menjulur keasinan, mencari segelas air yang habis diminum Raisa seteko. Ayah raisa berlari ke dapur.
Di ujung gang, dua orang sedang menunggu.
" Mana helm nya?"
" Ini bos,"
Bersambung...
Cerita ini dibuat sendiri oleh saya, minta suport dan kritik sarannya ya agar saya bisa terus belajar dan berkembang. Terimakasih. Kawal terus kelanjutannya ya...
"Bos ini helm nya,"
pria itu sebaya dengannya, pakaiannya serba hitam berjaket kulit sama halnya dengan yang ia kenakan. Pria itu menunduk tidak berani menatap matanya sambil memberikan helm hitam dengan kedua tangannya. Wajahnya berubah dingin, sorot matanya tajam, berbanding terbalik sikapnya jika bersama ayahnya. Suara gas motor yang membuat telinga bergetar ketakutan, hanya lambaian tangan yang menandakan kita harus segera pergi mengikutinya.
MARKAS RAHASIA
Semua anggota geng sibuk dengan urusannya masing-masing, di sebuah meja bundar terlihat sekelompok pria meminum segelas kopi hitam sambil tertawa memainkan setumpuk kartu yang ia lemparkan. Di sisi kiri terlihat dua orang bermain game di sebuah laptop bergambar tengkorak dengan asap tebal mengepul di wajahnya. Dan disebelah kanan sekelompok pria berbaju kusut dan lusuh menonton sebuah film di handphone pink hello Kitty sambil menggigit bibirnya dan tertawa bersama, di luar seseorang sedang mengotak Ngatik sepeda motor tua yang usang dengan wajah dan baju yang berlumuran oli. Di pojok terlihat seorang pria yang fokus dengan laptopnya, alisnya ketarik ke atas, dahinya berkerut memikirkan sesuatu, tangannya tak berhenti menekan tombol.
Namun rutinitas itu terhenti seketika, saat sebuah motor mulai muncul di permukaan, diiringi bunyi klakson menandakan ada seseorang yang akan datang. Semua pria yang berkumpul disana berlari tergesa-gesa menuju gerbang, berbaris merapikan pakaian mereka yang berantakan. Mereka serentak menunduk dan memberikan hormat, tak ada yang berani menatapnya. Suara motor berhenti di hadapannya, diikuti salah satu pria yang bertugas mengambil helm dan memarkirkan motor. Suara hentakan kaki melangkah masuk ke markas, membuat bulu kuduk berdiri hanya dengan mendengarnya.
Ketua geng berkulit putih bersih dengan sorot mata tajam, rambut terurai panjang bergelombang, badannya tegap dan langkahnya pasti. Semua tunduk padanya, ia adalah Raisa sang ratu jalanan. Ia dijuluki dengan nama Blade, hanya dengan tatapan tajam musuh pun tak bisa berkutik.
Ia duduk di sebuah kursi kayu berukiran naga di kedua sisinya dan terlihat stiker bergambar seekor burung elang yang sedang memangsa seekor ular. Semua berkumpul menghadap Raisa yang sejak tadi memainkan jari tangannya. Seseorang berbicara dengan nada gugup, matanya tidak berani menatapnya sambil menggenggam kedua tangan.
" Bagaimana? Klien kita udah bayar?" Sorot matanya tajam.
" Aman bos," jawabnya gugup.
" Bagikan ke anak-anak!"
" siap bos," ujarnya sambil menahan raut wajah yang mulai merekah karena senang.
" Apa ada klien lagi?"
" Belum bos, kita free hari ini. Memangnya kenapa bos?"
" Nggak, ada urusan aja,"
Raisa beranjak dari kursi berniat pergi ke suatu tempat. Semua yang berkumpul membukakan jalan untuknya dan memberikan hormat.
" Jika ada klien, cepat hubungi gue. Gue harus lebih selektif lagi. Gue harus fokus belajar untuk ujian minggu ini,"
" Baik bos,"
Seorang pria bergegas pergi mengambil motor yang terparkir, segera memberikan helm ke Raisa. Walaupun ia seorang ketua geng, dia tetap harus belajar dan bersekolah karena tidak ingin mengecewakan ayahnya. Dua motor mengawalnya dari belakang. Satu menit setelah Raisa menancap gas.
Suara teriakan terdengar dimana-mana setelah kepergiannya, semua anak buahnya bersorak melihat setumpuk uang yang tersimpan rapi didalam kertas coklat yang akan dibagikan.
Disebuah gang dekat rumahnya, Raisa turun dari motor bergegas pulang ke rumah, Dua orang pria yang sejak tadi mengawalnya bertugas membawa motor Raisa, bergegas pergi dari hadapannya. Namun dari kejauhan, terlihat sebuah motor vespa berwarna biru langit dipenuhi dengan stiker gambar oppa oppa korea, terparkir di depan rumahnya. Wajahnya terkejut seakan mengenali motor itu, terdiam sebentar sambil menggigit kuku jari tangannya, memandang pintu yang masih tertutup rapat dan sepasang sepatu pink berjejer rapi di teras rumah.
" Astaga, aku lupa menghubunginya. gimana ini?" ujarnya dalam hati, menepuk jidatnya.
" perang dunia nih,"
Raisa menghela napas panjang bersiap dengan omelan sang ayah dan mengerutkan dahi seraya berpikir alasan yang memungkinkan. Namun, saat ia mengetuk pintu dan membuka pintu dengan pelan, ia terkejut mematung badannya goyah seakan ingin terjatuh, terlihat senyuman rasa bersalah terpampang di wajahnya. Ayahnya sudah bersiap dengan tatapan tajam, memegang sekantong kripik kentang yang diapit ketiaknya.
" Aku pulang,"
" Eh, ayah pasti sedang nonton kan? Episode berapa yah? Gimana kabar Cha Eun-Woo?"
Raisa mengalihkan pembicaraan, mengembalikan suasana yang mulai chaos. Namun tiba-tiba terdengar samar dari kejauhan, seseorang memanggil ayahnya. Dia sedang duduk santai menggenggam sebungkus kripik pedas menghadap layar.
" Ayah, Cha Eun-Woo keren banget yah, sini buruan!"
" oke, bentar Bob,"
" Ayah ingin bicara sama kamu Sa, masuk!"
Ayahnya menarik lengan Raisa dengan wajah yang mulai memerah karena menahan amarah, menyuruhnya duduk di samping Bobby yang sedang fokus nonton drakor tanpa menghiraukan Raisa. Wajahnya kesal tertunduk ketakutan dan bersiap dengan beribu-ribu ocehan ayahnya.
" Awas kau ya, Bob," benaknya dalam hati sambil mengepalkan tangannya.
Suara ayahnya menggema di setiap dinding rumah, pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan sambil menunjuk Raisa, ayahnya mengomeli Raisa hampir dua jam lamanya. Telinganya mulai berdengung, ia masih terdiam membisu mendengar perkataan ayahnya, merasakan lelah yang luar biasa, helaan napas panjang mulai terdengar seakan memohon untuk segera berhenti.
Teriakan memecah pembicaraan. Bobby berteriak menatap layar TV. Bobby yang sejak tadi asyik menonton sambil memakan kripik pedasnya, selintas ide muncul di kepalanya. Mengambil segenggam kripik Bobby dan memasukan ke mulutnya dengan paksa dan alhasil Bobby pun terbatuk dan mencari segelas air jeruk yang tiba-tiba habis diminum Raisa diam-diam.
" Aaaa..."
" Air...dimana air?"
Raisa hanya cekikikan melihat tingkah Bobby, seperti membalas semua yang ia alami. Ayahnya terkejut kasihan dan menghentikan pembicaraan, bergegas ke dapur membuka kulkas dan menuangkan segelas air minum.
" Gimana? Enak? Rasain!!"
Raisa mendorong Bobby hingga tersungkur, kripik berserakan dimana-mana, Bobby hanya pasrah dan memegang tenggorokannya yang terasa sakit, menepuk-nepuk dadanya karena terus terbatuk. Raisa tak berhenti tertawa, memukul bantal di sebelahnya dan melempar mengarah ke wajah Bobby.
" Ayah cepatlah, kasihan si Bobby. Dia udah nggak berdaya yah,"
" Iya sebentar, aduh kasihan sekali anak itu,"
Bergegas memberikan segelas air minum berwarna kuning, wajahnya cemas dan seakan melupakan apa yang terjadi. Namun, Ayahnya masih penasaran dan melontarkan satu hal agar membuatnya percaya. Disamping Bobby yang menatap Raisa, seakan mengetahui apa yang harus dia lakukan untuk menolong sahabatnya agar terhindar dari masalah. Keduanya saling pandang dan mengangguk bersama.
" Raisa, dari tadi kamu kemana? Katanya ke rumah Bobby? Kamu bohong sama ayah?"
Raut wajahnya mulai sedih, matanya berair tak percaya putrinya sendiri berani membohonginya.
" ah, aku lupa kemarin malam Raisa menelpon ku untuk belajar bersama yah. Tapi, aku lupa. Maaf yah, bukan salah Raisa, kumohon,"
Bobby menjelaskan dengan nada meyakinkan, memandang dengan senyuman sambil menggaruk kepalanya dan membujuknya untuk menonton drama bersama yang terpotong karena suatu insiden. Ayahnya mengangguk, terduduk di sofa melanjutkan tontonannya. Namun, masih terlihat jelas di wajahnya, bahwa ia belum mempercayainya.
" Ini semua gara-gara kamu Sa, ayah jadi kelewat liat Lee suho, padahal disini dia mau nembak Lim Ju-Kyung lho,"
" Iya nih, jadi keduluan sama Han Seo-jun yah," cela Bobby.
" Masa sih, ah ayah kelewat banyak nih episode nya,"
Mereka menghiraukan apa yang terjadi, duduk bersama sambil berbincang membicarakan hal yang tak dimengerti oleh Raisa. Raisa hanya menggelengkan kepalanya dan pergi ke kamar dengan wajah lesu, lehernya terasa kaku karena sejak tadi menunduk mendengar omelan ayahnya.
" Aku ke kamar dulu ya, cape,"
Mereka terlalu asyik menonton dan tidak menjawabnya.
Bersambung...
Minta suport dan vote karya ini ya supaya aku semangat nulis kelanjutan ceritanya. Kritik dan saran yang membangun agar aku bisa terus belajar dan berkembang. Terimakasih. Kawal terus ceritanya ya...
Setelah kegaduhan yang terjadi, Raisa membuka pintu kamarnya dengan wajah letih, matanya sayu, menutup pintu sambil mengambil napas panjang. Melihat ke arah tempat tidur, meloncat hingga tengkurap tanpa melepas sepatunya. Raisa menutup telinganya dengan bantal karena kebisingan terdengar menggema di sudut ruang tamu.
" Bob, Han Seo-jun udah baikan belum sama suho?"
" Udah kayaknya, mereka udah tinggal bareng tuh,"
" Tapi kalo soal Lim Ju- kyung, bakal ada perang dunia lagi deh yah,"
" Kasian mereka,"
"Aaa...," teriak Bobby sambil mengusap air mata yang berlinang di pipinya.
" Kasian rahasia ju- kyung jadi kebongkar,"
Raisa tidak bisa menahan kebisingan itu, mengambil handphone di saku jaketnya, mencari earphone di laci meja belajar, dan mendengarkan lagu dengan volume 70 %, memejamkan mata dan mulai tertidur.
Di tengah malam tepat jam 12 dia terbangun, telinganya terasa panas karena lupa mematikan ponselnya dan melihat daya ponsel yang telah mencapai 1%. Dengan mata yang masih semi terpejam, tangannya meraba dinding diatas meja mengambil pengisi daya yang menggantung di sebuah paku. Tiba-tiba badannya merinding, bulu kuduk berdiri terdengar samar isak tangis di ruang tamu. Dalam pikirannya, antara hantu atau ayahnya yang sedang menangis di tengah malam.
" Siapa itu?" teriaknya.
" Apa ayah lupa minum obat lagi," jawabnya sambil menahan kantuk.
Raisa berjalan keluar kamar, langkahnya perlahan dan sempoyongan menuju sumber suara, pandangannya gelap karena semua lampu sudah tidak menyala, namun terlihat sebuah cahaya di sudut ruang tamu dengan seseorang yang sedang berbaring di sofa sambil menangis.
" Ayah, kenapa belum tidur ini udah malem!"
Raisa mengelus kepala dengan lembut, matanya masih terpejam. Tangan Raisa digenggam olehnya, menempelnya di pipi, terdengar isak tangis yang mulai ia sadari suara itu bukan ayahnya. Raisa membuka matanya dan mendorongnya hingga terjatuh ke lantai.
" Bobby..."
" Kenapa loe disini? Loe nggak pulang? Ayah mana?"
" Ayah udah tidur dari tadi, aku takut pulang sendiri jadi aku nginep disini,"
Bobby terbangun merintih kesakitan, mengambil keripik yang berjatuhan di lantai dan melanjutkan tontonannya. Namun karena besok harus sekolah, Raisa mengambil laptopnya dengan paksa. Berlari dan mengunci pintu kamarnya. Bobby tidak bisa melawan, wajahnya kesal dan mulai berbaring di sofa menyingkirkan tumpukan bungkus keripik yang berserakan.
" Tidur sana! besok sekolah,"
" Iyaaa..." jawabnya kesal.
Hari mulai menampakan cahayanya, kegaduhan mulai terdengar, suara ayam berkokok seperti tidak ada harga dirinya. Raisa belum terbangun, sementara kebisingan terdengar di ruang dapur. Ayahnya telah menyiapkan dua porsi sarapan andalannya, nasi goreng dan telor ceplok. Namun penampakannya sangat berbeda dari abang-abang penjual di gang sebelah. Warnanya hitam kering kerontang, Bobby menelan ludahnya menatap sepiring nasi.
" Bob, ayo makan! Nanti keburu dingin, nggak enak,"
" Nanti aja yah, nunggu Raisa," ujarnya.
" Oh iya, Raisa belum bangun, kamu duluan aja jangan sungkan ya,"
Ayah Raisa pergi menuju kamar dengan tergesa-gesa sambil menepuk pundak Bobby. Bobby penasaran dengan rasanya, walaupun dia tahu itu tidak enak tapi hanya untuk menghargai kerja keras ayah Raisa. Sesuap nasi bersarang di mulutnya, satu detik kemudian semburan butir nasi berserakan di mana-mana. Wajahnya berkerut keasinan, lidahnya menjulur keluar, mengambil segelas air dan hampir setengah teko ia habiskan.
Hanya ada dua pilihan, memakan nasi goreng yang penuh tantangan atau masak mie instan. Jelas ia memilih pilihan yang kedua, membuka laci dapur dengan dipenuhi tumpukan bungkus mie yang berjejer rapi.
Ayah Raisa kembali dengan wajah letih mengeluh dengan tingkah putri semata wayangnya, menengok ke arah panci yang mengepul di penuhi mie yang mendidih.
" Kamu masak apa Bob? Kenapa nggak makan sarapannya? Ayah kan udah cape-cape masak buat kamu,"
" Aku makan kok sesuap, lumayan."
" Ini untuk cemilan yah, kan nggak pake nasi,"
" Terserah kamu ajalah,"
" Raisaaa..."
" Cepet mandinya nanti kesiangan..."
Sautan terdengar dari kejauhan. Raisa terburu-buru keluar dengan pakaian yang masih berantakan dan sisir menggantung di rambutnya yang masih basah. Duduk di kursi meja makan berbentuk bundar memandang sahabatnya yang sedang sibuk menyajikan makanan.
" Wah, ini dia masakan ala chef Bobby. Mie soto dengan telor ceplok setengah matang, ditaburi kriuk kriuk dan irisan cabe merah di atasnya,"
" Sa, mau nyoba?"
" Tapi, nggak usah deh. Aku cuma buat satu porsi, kan ada nasi goreng," ledeknya.
" Ayo Sa, sarapan dulu. Kamu kan ada ujian hari ini,"
" Aku puasa aja yah, nanti buka di sekolah. Biar nilainya bagus,"
Mendengar alasan Raisa yg tidak masuk akal, membuat Bobby tersedak karena tak mampu menahan tawa. Melihat itu, Raisa segera menarik lengan sahabatnya yang masih terbatuk-batuk segera berangkat ke sekolah. Seporsi mie instan yg baru di makan sesuap, harus ia tinggalkan demi menyelamatkan sahabatnya dari sepiring nasi goreng.
SEKOLAH
Sebuah vespa biru berhenti di parkiran di bawah pohon besar. Mereka berlari sebelum bel mulai berbunyi. Suara bising gesekan pintu gerbang yang di dorong seorang berseragam satpam semenit setelah mereka masuk.
Bel berbunyi dan kelas pun dimulai. Semua murid terduduk rapi memandang selembar kertas ujian. Namun baru beberapa menit berlangsung, posisi mereka mulai berubah, kegelisahan terpampang di wajahnya, bisikan terdengar di setiap sudut kursi. Berbeda dengan Bobby yang mengerjakan setiap soal dengan tenang, wajar dia murid yang berprestasi di sekolah. Raisa fokus mengerjakan setengah soal, namun suara keroncongan mengganggu konsentrasi, ia menundukkan kepalanya di atas meja dan mengangkat satu tangannya. Semua mata tertuju padanya, mereka berpikir ia sudah selesai.
" Bu, saya sudah selesai,"
" Tapi, kamu baru mengerjakan setengahnya Raisa! Kamu mau kemana?"
Raisa beranjak dari kursi dan berlari keluar menuju kantin. Tanpa menjawab pertanyaan gurunya. Bobby hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya, seolah itu hal yang lumrah terjadi.
Di tengah perjalanan menuju kantin, terlihat 3 siswi yang terduduk mengangkat secarik kertas bertulisan ' Saya minta maaf, saya tidak akan mengulanginya lagi'
Raisa hanya menoleh sambil tertawa cekikikan. Namun wajah 3 siswi berubah memerah melihatnya, seperti menyimpan sebuah dendam padanya.
KANTIN SEKOLAH
Raisa segera memesan makanan kesukaannya untuk mengobati rasa lapar yang mulai menggerogoti perutnya. Semangkok soto dan segelas es teh manis, raib seketika. Bel pun berbunyi tanda untuk istirahat. Segerombolan murid mulai berdatangan memenuhi kantin, yang semula sepi dan tenang berubah jadi lautan manusia berseragam putih abu dengan kebisingan menggema di segala sudut. Bobby datang terlambat menemui Raisa, entah apa yang sedang terjadi padanya.
Di koridor sekolah yang ramai saat jam istirahat, terlihat Bobby sedang membawa setumpuk buku dan lembar ujian, pergi menuju ruang guru. Namun 3 siswi menghadangnya sebelum sampai di ruang guru. Wajah Bobby tertunduk cemas dan gelisah ketakutan.
" eh ada si culun, mau kemana?"
" Sini dulu dong, kita ada urusan nih,"
" T..tapi..."
" Udah ayo, dasar lelet,"
" Sa..kamu dimana sih, cepet tolong aku," benaknya dalam hati.
Bobby tidak bisa melawan mereka, para siswi itu menarik kerah bajunya menuju sebuah ruangan yang kosong karena saat itu masih jam istirahat, tidak ada yang bisa menolongnya kecuali sahabatnya Raisa.
Semua murid yang melihat tidak bisa berbuat apa-apa karena takut jadi sasaran berikutnya, mereka hanya mengintip dibalik kaca jendela kelas sambil berbisik pelan.
" Loe bakal kena akibatnya karena berani bantah gue,"
" M..maaf semalam aku ketiduran, j..jadi lupa..,"
BERSAMBUNG....
Akankah Raisa datang tepat waktu menolong sahabatnya?
Apa yang akan terjadi pada Bobby?
Kawal terus kelanjutan ceritanya ya
Bantu like dan komen ceritanya agar saya bisa terus belajar dan berkembang.
Terimakasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!