Xander Rey Lergan menatap pada cermin, menatap dirinya dengan tatapan dingin. Pria dengan tinggi 180 cm, dengan otot-otot yang terbentuk dengan baik berkat rutinitas olahraga yang baik. Rambut kecoklatan gelapnya tertata dengan rapih, menambah kesan tampan pada wajahnya yang tegas. Matanya yang hitam tajam, menambah aura kepercayaan dirinya yang kuat.
Dirinya memakai kaos putih yang di padukan dengan kemeja hitam, memberikan kesan elegan dan stylish sekaligus kasual. Setelah memastikan penampilannya sempurna, Xander meraih ponselnya yang ada di atas ranjang dan gegas keluar dari kamarnya.
Para pelayan yang berpapasan dengannya menunduk hormat, Xander hanya membalas dengan anggukan. Dia terus melangkah dengan tubuh yang tegap, lalu menuruni tangga langkah pasti. Memasuki ruang makan, mata tajamnya menatap pada anggota keluarganya yang sejak tadi menunggu kedatangannya.
"Selamat pagi sayang, duduklah dan kita sarapan bersama." Titah Diah pada putranya yang baru datang.
Xander hanya mengangguk singkat sebelum mengambil tempat duduknya. Suasana pagi yang begitu ceria, semua anggota keluarganya tampak terlihat senang. Namun, Xander membayangkan hari yang akan dia lalui dan keputusan besar yang harus dia buat sebagai pewaris keluarga Lergan. Hari ini, akan membawa perubahan besar dalam kehidupannya.
"Abang Centel itu kayak Tuan putli, banyak kaliiii belgaya depan celmin. Nda akan belubah juga mukanya jadi telol acin." Ucap seorang bocah laki-laki berusia empat tahun yang duduk berhadapan dengan Xander.
"Kayden!" Tegur Diah, dia tidak mau mood putranya memburuk hari ini.
Xander hanya diam, dia sudah biasa mendengar sindiran dari bocah luar biasa itu. Kayden Julian Pradipta, anak dari sepupunya. Mereka sedang berkunjung di kediaman Lergan dan menginap sejak semalam. Tapi, pagi ini mereka berencana akan pulang.
"Xander, Oma minta kamu untuk libur hari ini bukan? Kenapa, pakaianmu ....,"
"Aku ada urusan ke rumah sakit Oma." Ucap Xander sambil melahap sarapannya tanpa menatap wanita tua yang sedang mengajaknya berbicara.
Erina menghela nafas pelan, dia menatap suaminya yang terlihat pura-pura tidak tahu. Padahal, kemarin dia sudah mengatakan untuk memberikanya cucunya libur sehari. Di karenakan ada hal penting yang akan terjadi hari ini. Tapi lihat, Xander masih saja tetap akan ke kantor.
"Kamu tidak memberinya libur, Austin?" Tuduh Erina.
"Aku? Aku sudah memberikan cuti padanya, tapi cucumu sendiri itu tidak mau." Jawab Tuan Austin.
Erina menghela nafas pelan, dia kembali menatap Xander. Kali ini, tatapannya terlihat tajam dan tegas. "Xander, Oma minta kamu libur sehari untuk hari ini. Oma enggak mau kamu terlambat untuk acara nanti malam. Jangan lupa, malam ini adalah malam kamu bertunangan."
Xander menghentikan kegiatannya, pria itu diam mematung dan pandangannya terlihat kosong. Diah dan Reza yang melihat putra mereka seperti itu sedikit khawatir. Pasalnya, Xander pernah mengalami gagal menikah dua tahun lalu. Hal itu, membuat trauma sendiri untuknya. Tapi sebagai pewaris tunggal, menikah adalah sebuah tuntutan untuk memberikan seorang penerus.
Xander tiba-tiba membersihkan bibirnya dan beranjak berdiri. Semua orang menatapnya, menunggu pria itu berbicara dengan perasaan cemas.
"Aku enggak akan lupa, Oma." Ucap Xander dan beranjak pergi begitu.
"Xander ...." Diah akan menyusul putranya, tapi suaminya Reza Lergan menghentikannya.
Suasana yang tadinya ceria berubah hening dan terasa mencekam. Bahkan, Kayden yang akan berbicara langsung di tutup mulutnya oleh sang mama. Tak ingin ada keributan tambahan, apalagi dengan ocehan bocah menggemaskan itu.
"Diah."
"Ya Ma." Sahut Diah setelah ibu mertuanya memanggilnya. Namun, saat melihat tatapan mertuanya itu padanya membuatnya merasa sedikit takut.
"Didik putramu dengan baik! Jika kamu tidak bisa mendidiknya, biar Mama saja. Kamu tahu? Xander adalah satu-satunya penerus keluarga yang dapat kamu berikan untuk keluarga ini. Sehingga, mau tidak mau, suka tidak suka, dia harus menikah dengan pilihan Mama dan memberikan penerus untuk keluarga ini."
Erina menatap dengan mata tajam, pentingnya menekankan keputusan yang harus di ambil demi masa depan keluarga. Diah tahu, mertuanya hanya memiliki dua orang anak. Reza Lergan, dan Keyra Amora Lergan. Hanya keturunan dari suaminya lah yang dapat melanjutkan marga keluarga ini, tak lain adalah Xander.
"Ma, Pa, aku dan Mas Fariz berangkat dulu. Kami takut ketinggalan pesawat nantinya " Pamit Keyra yang merasa situasi sudah tak terasa tenang lagi. Dia menggandeng tangan putranya pergi menyusul suaminya yang sudah pergi lebih dulu.
Reza yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara, "Ma, istriku sudah mendidik putra kami dengan sangat baik. Xander sudah dewasa, dia tahu mana yang terbaik untuk dirinya."
"Terbaik katamu?!" Suara Erina meninggi, dia begitu emosi mendengar perkataan putranya yang dengan entengnya mengatakan hal seperti itu.
"Dua tahun lalu, putramu akan menikah dengan janda! Dengan segala bujuk rayunya, akhirnya kami menerima keputusannya. Kamu enggak akan lupa bukan? Bagaimana putramu mempermalukan keluarga kita? Keputusannya yang katamu dewasa itu sudah membuat keluarga ini malu!"
Reza dan Diah diam tak berkutik, keduanya teringat kembali dengan kejadian yang tak terlupakan. Putra mereka jatuh jati dengan seorang janda anak satu. Begitu mencintai wanita itu, tapi di hari pernikahan wanita tersebut membatalkannya. Karena suami yang di kira meninggal, justru kembali di hari itu. Apa yang terjadi saat itu, membuat Xander dan keluarganya merasa di permalukan.
Melihat Reza dan Diah yang hanya diam, Erina mendengus di buatnya. "Alasan Cinta, justru mempermalukan dirinya sendiri. Sekarang apa? Xander masih dengan keterpurukannya sementara wanita itu? Pasti sudah bahagia. Putramu saja yang b0doh, sama seperti ayahnya dulu!"
Erina beranjak berdiri dengan kasar hingga menimbulkan gesekan kursi yang cukup nyaring. Setelahnya, dia melenggang pergi begitu saja. Ketiga orang yang masih bearda di meja makan, hanya saling tatap sambil menghela nafas pelan.
"Diah," Austin memanggil menantu perempuannya yang menunduk sedih.
"Jangan di pikirkan perkataan mertuamu, dia hanya sedang marah. Kamu tahu bagaimana sifatnya bukan?" Ucap Austin menenangkan sang menantu.
"Iya Pa, aku paham."
.
.
.
Di tempat lain, terlihat wanita cantik tengah memakai antingnya di depan cermin. Dirinya menatap pantulan wajahnya, memastikan polesan make upnya terlihat natural. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman kala melihat tampilannya yang sudah sempurna.
"Kak Raisa,"
Raisa menoleh, menatap Naya—adik iparnya yang datang menghampirinya dengan bocah laki-laki di gendongannya. Dia lekas mengambil tas dan juga ponselnya, dia mengajak wanita itu keluar kamar. Hari ini dia berencana pergi untuk sebuah tugas sebagai seorang dokter.
"Titip Zira yah selama beberapa hari kedepan. Kalau dia susah di atur, tak apa kamu tegur saja dia." Ucap Raisa sambil menggandeng tangan adik iparnya itu.
"Tenanglah Kak, Zira adalah anak yang penurut." Balas Naya dan keduanya saling melempar senyum. Hubungan antara ipar itu sangat baik, keduanya juga tinggal bersama dan tak ada masalah perdebatan.
Raisa membuka pintu kamar putrinya, tapi di lihat gadis kecil itu masih tertidur pulas. Jadilah, dirinya mengurungkan niatnya dan tak mau mengganggu waktu liburnya. Naya gegas mengantar nya kedepan, di temani dengan putranya yang selalu menemplok dengannya.
"Ayo Kak, aku antar." Langkah Raisa terhenti saat melihat pria berkaca mata hitam yang sudah menunggunya di dekat pintu mobil.
"Enggak usah, aku akan naik taksi." Tolak Raisa.
"Sudah tidak apa-apa Kak, lagian Mas Zion juga sekalian ingin beli susu anak-anak." Terang Naya.
Zionathan Axelo, adik sekaligus kembaran Raisa itu membukakan pintu mobil untuknya. Terpaksa, Raisa menurut. Dia sebenarnya tak enak dengan adik iparnya, tetapi keduanya pun memiliki pengertian yang luar biasa sebagai ipar.
Sepanjang jalan Zion terlihat fokus menyetir, sesekali dia melirik spion mobilnya. Sampai, dirinya membuka suara karena merasa suasana mobilnya terasa begitu hening dan sepi.
"Kak, sudah dua tahun. Apa kakak tidak berniat menikah?" Tanya Zion yang mana membuat kegiatan Raisa pada ponselnya terhenti.
Raisa menikah dengan seorang abdi negara di usianya yang masih muda. Tapi saat dirinya hamil, suaminya di kabarkan gugur dalam bertugas. Dirinya masih merasa denial dengan kem4tian suaminya yang sangat cepat. Hingga akhirnya, di umur putrinya yang ke 8 tahun Raisa memutuskan untuk kembali menikah dengan pria yang tak lain adalah Xander Rey Lergan.
Sayangnya, di hari pernikahan—suaminya yang di kira sudah meninggal justru kembali. Menampakkan diri di tengah acara dengan keadaan yang belum lama terbangun dari komanya. Pernikahannya yang akan di laksanakan batal, Raisa memilih kembali dengan suaminya. Namun, di saat kebahagiaan baru saja kembali, suaminya justru meninggal di 6 bulan kemudian akibat serangan jantung yang mendadak.
"Tidak, aku tidak akan menikah lagi." Lirih Raisa dengan sorot kata penuh kepedihan.
Zion mengangguk, ia tak banyak lagi bicara dan membuka luka yang sedang berusaha Raisa sembuhkan. Sampai tiba mereka di lampu merah, Zion pun menghentikan mobilnya. Dia menunggu lampu kembali hijau setelah beberapa detik.
"Sudah hijau " Ucap Raisa.
Zion kembali melanjukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun, tiba-tiba dari arah kanan muncul sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Tabrakan tak terelakkan, keduanya pun saling menabrak dengan kencang dan menimbulkan kecelakaan pada kendaraan lain.
Raisa terbatuk, matanya menatap Zion yang sedang memeluknya. Pria itu sempat membuka sabuk pengaman untuk memeluknya agar terlindung dari benturan. Sayangnya, hal itu membuat Zion mengalami luka yang parah.
"Kak ...,"
"Zi—Zion, Zion!"
.
.
.
Xander memasuki sebuah rumah sakit milik keluarganya. Dia merasa ada yang perlu di bahas dengan direktur rumah sakit. Kedatangannya, di sambut baik oleh seorang pria paruh baya dengan jas putihnya. Xander gegas duduk di sofa yang ada di ruangan khusus setelah di persilahkan untuk duduk.
"Tuan Xander, saya sungguh merasa senang melihat langsung penerus Lergan." Ucap direktur rumah sakit tersebut.
Xander menegakkan tubuhnya, memandang datar pada pria di hadapannya. "Saya dengar, ada permintaan biaya tambahan untuk pembangunan rumah sakit. Bukankah bulan lalu sudah Papa saya berikan sisanya? Itu nominal yang sangat besar, untuk apa uang tambahan itu?"
Direktur tampak gugup, dia mencoba menjelaskan tapi dengan cara bicara yang berantakan. Xander merasa semakin curiga, raut wajahnya berubah penuh selidik.
"Ja-jadi begini, rumah sakit ...,"
BRAK!
Mereka di kejutkan dengan pintu yang terbuka secara kuat oleh seorang dokter. Dia datang dengan raut wajah yang panik, di jas dokternya juga terdapat bercak darah. Xander merasa, ada sesuatu yang gawat akan di sampaikan olehnya.
"Rumah sakit kedatangan korban kecelakanan beruntun, kami kekurangan tenaga medis!"
"Apa?" Direktur kaget, dia beralih menatap Xander. "Tuan Xander, maaf saya tinggal sebentar!"
Xander akan berbicara, tetapi ponselnya berdering. jadilah, dia memutuskan untuk mengangkatnya lebih dulu setelah tahu jika yang menghubunginya adalah sang mama. Dia tak pernah menolak panggilan dari wanita yang telah melahirkannya itu.
"Ya Ma? Aku sedang di rumah sakit, ada apa?" Tanya Xander.
"Kamu ada di rumah sakit? Xander, cek keadaan tantemu dan keluarganya. Mobilnya terlibat tabrakan beruntun!" Mata Xander membulat sempurna, dia ingat dengan jelas apa yang dokter tadi katakan. Segera, Xander berlari keluar dari ruangan itu. Ponsel masih tertempel di telinganya, kakinya tetap berlari di antara keramaian tenaga medis yang panik.
Banyak sekali korban yang berusaha di selamatkan, dan berbagai macam luka yang di dapat. Di antara keramaian, Xander mencari keberadaan keluarganya yang terlibat kecelakaan itu. Namun, tatapannya justru jatuh pada seorang wanita dengan pelipis terluka tengah menangis sambil mendorong sebuah brankar.
Ponsel yang Xander pegang jatuh begitu saja, jantungnya terasa berhenti berdetak. Suara bising tadi tiba-tiba senyap, waktu seolah berhenti berputar. Dirinya kembali bertemu dengan cinta pertama, mantan calon istrinya—Raisa.
"TOLONG SELAMATKAN ADIKKU! TOLONG SELAMATKAN DIA! AKU DOKTER RAISA DARI RUMAH SAKIT HARAPAN, SELAMATKAN ADIKKU! KU MOHON!"
Kepala Xander bergerak, mengikuti kemana wanita itu pergi mendorong brankar bersama dua orang tenaga medis. Hatinya membawanya bergerak mengikuti wanita itu, tapi tiba-tiba lengannya di raih oleh seseorang. Saat menoleh, ternyata Diah lah yang menariknya.
"Ma ....,"
"Tante dan sepupumu sudah di temukan, ayo!" Diah menarik Xander, tapi rasa penasaran Xander tetap pada Raisa yang menghilang di sebuah lorong. Kericuhan yang terjadi, membuatnya kehilangan jejak wanita itu.
"Ma sebentar! Ponselku tertinggal!"
_______
Hai Hai Haiiii
Pada nunggu cerita Xander yah😆 Rilis nih, siapin banyak tisu dan keadaan hati. Sudah sampai disini, harap baca sampai tamat yah kawan🫶 Semisal kalian kecewa kenapa kok Xander balik sama Raisa. Di cerita ini jawabannya😍
Xander menatap nanar pada kedua brankar yang di tutupi oleh kain putih. Tangisan histeris Erina mengisi suasana riangan yang senyap dan penuh duka. Di sisi brankar, Reza dan Austin diam dengan air mata yang mengalir. Tubuh keduanya bergetar, menahan sesak yang menghimpit d4da setelah tahu Keyra serta suaminya tidak dapat di selamatkan. Keduanya meninggal, sebelum mendapat pertolongan.
"KEYRAAAAA! KEYRAAAA! JANGAN TINGGALKAN MAMA HIKS ... BANGUUN, KEEEY!" Erina menangis histeris dan mengguncang tubuh putrinya yang terbujur kaku. Diah memeluk mertuanya itu, memberi dukungan dan ketenangan.
"Bangunkan adikmu, bangunkan! Kenapa kalian diam saja?! Bangunkan dia! Bangunkan!" Pekik Erina histeris. Putrinya semalam menginap di rumahnya, tapi siang ini putrinya meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Xander memundurkan langkahnya, dia mengusap air matanya yang sempat kuruh. Dirinya mencari keberadaan sepupunya yang belum sempat dia pastikan keadaannya. Seorang dokter menghampirinya, dan membawanya pada Kayden yang telah di temukan.
Kayden masih dalam keadaan sadar, tapi anak itu menangis histeris dengan kondisi pelipis yang berdarah dan juga dagu yang tergores. Xander langsung bergerak mendekatinya, dia menenangkan sepupunya yang terus menangis mencari keberadaan orang tuanya.
"Mommy hiks ... Kay mau cama mommy, daddy hiks ... daddy hiks ... kepala Kay cakit daddy hiks ...." Bagaimana Xander tidak menangis? sepupunya masih terlalu kecil untuk menerima keadaan saat ini. Orang tuanya telah meninggal, membuat anak malang tak lagi memiliki orang tua.
"Tuan, bisa anda tenangkan dia sebentar? Saya akan memasangkannya infus, tapi anak ini terus bergerak." Ucap salah seorang suster pada Xander.
"Kay, tenang sebentar yah. Tenang yah, nanti Abang bawakan kamu ke mommy oke? Tenanglah." Pinta Xander. Sayangnya, Kayden terus menangis histeris dan enggan di kegang olehnya. Xander bingung harus apa, dia pun menitipkan Kayden sebentar karena dirinya akan memanggil papa nya.
Tangisan kencang Kayden mengundang seorang wanita datang mendekat. Dia juga terluka dan belum di obati, kakinya sedikit pincang saat berjalan akibat kecelakaan tadi. Wanita itu menatap pada Kayden yang berontak saat kedua suster akan pasangkan jarum infus di tangannya.
"Jangan memaksanya seperti itu." Tegurnya yang tak lain dan tak bukan adalah Raisa. Dia meminta kedua suster itu menyingkir, sementara dirinya mencoba mendekati Kayden.
"Jangan berteriak, nanti semakin sakit. Tenang oke? Atur nafas, tarik nafas pelan-pelan ...." Raisa mengelus d4da anak itu dengan lembut. Seolah tersihirkan dengan tatapan wanita di hadapannya, Kayden pun mengikuti intruksinya. Dia mencoba menarik nafas dan membuangnya pelan. Walau masih sesenggukan, setidaknya Kayden tak lagi menangis.
"Mommy hiks ... Kayden mau cama mommy hiks ...." Isaknya.
Raisa tahu siapa namanya, dia lebih mudah untuk memanggilnya. Dengan lembut, tangannya meraih tangan Kayden dan mengelusnya. "Kay bisa ketemu mommy tapi setelah tangannya di pasang selang yah."
Kayden mengangguk, tapi saat kedua suster itu memegang tangannya dia langsung menariknya dan memeluk tangannya itu. Tatapan matanya kembali menatap pada Raisa dan gegas menyodorkan tangannya. "Cama Onty tantik aja nda bica? Nanti mommy Kay malah kalau cama olang cembalangan."
Raisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, dia pun menatap kedua suster yang tengah kebingungan. Pasalnya, Kayden harus di tangani segera. Tapi, jika anak itu terus berontak akan menghabiskan waktu mereka.
"Saya seorang dokter dari rumah sakit Harapan. Biar prosesnya cepat, biar saya saja yang pasangkan. Jika ada apa-apa, saya yang akan tanggung jawab " Ucap Raisa.
Kedua suster itu saling pandang, tapi akhirnya mereka setuju. Saat ini dalam keadaan darurat, mereka pasrah memberikan Raisa tanggung jawab ini. Saat proses pemasangan, kedua suster itu masih memantaunya. Mereka melihat dengan jelas bagaimana keterampilan Raisa dalam pemasangan infus yang begitu cepat.
"Sudah, lihat? Nanti setelah ini minta kedua kakak suster buat antar ke mommy yah."
Kayden menatap tangannya yang sudah di infus, dia pun kembali mendongak menatap Raisa. "Nda cama Onty aja? Nanti mommy Kay malah kalau cama olang cembalangan."
Raisa akan menjawab, tapi tiba-tiba dokter datang menghampirinya dan mengatakan soal kondisi kembarannya. Panik, Raisa pergi tanpa berpamitan pada Kayden. Membuat anak itu terus memanggilnya dan menangis kembali.
"Ada apa ini?" Xander kembali dengan Reza, dia melihat sepupunya menangis sambil mengulurkan tangannya. Reza yang datang bersamanya gegas menggendong Kayden dan meminta suster untuk mengobati luka di pelipis dan dagu anak itu.
Sementara suster yang lain, menjelaskan pada Xander. "Tadi ada seorang wanita mengaku sebagai dokter di rumah sakit Harapan. Dia yang memasangkan infus untuk anak ini. Tadi siapa yah namanya ... aduh maaf Tuan, saya lupa. Tapi, dia pintar memasangnya. Saya yakin dia benar-benar seorang dokter." Terangnya.
Xander terdiam setelah mendengar nama rumah sakit yang suster itu katakan. Dia tak mungkin lupa, nama rumah sakit tempat dimana wanita yang pernah di cintainya bekerja. Perasaan Xander campur aduk, dia menatap pada pintu keluar. Tanpa banyak kata, dia gegas pergi menyusul wanita yang di maksud oleh sang suster guna memastikan.
Setelah beberapa saat mencari, Xander melihat Raisa tengah berbincang dengan seorang dokter. Dia menghentikan langkahnya, menyembunyikan tubuhnya di balik tembok. Dirinya mendengar percakapan antara dokter dengan wanita itu.
"Ambil darah saya saja Dok,"
"Nona, anda tidak dapat mendonorkan darah dengan kondisi anda yang seperti ini. Kami tidak mungkin mengambil resiko. Untuk itu, Nona bisa menunggunya lebih dulu. Kami akan menghubungi pihak bank darah apakah stok darah A masih tersisa." Terang dokter itu sebelum berlalu pergi.
Raisa hampir terhuyung, Xander reflek melangkah ingin menolongnya. Namun, dirinya ingat apa yang wanita itu lakukan padanya dua tahun lalu. Rasa iba berubah menjadi benci. Kedua tangannya terkepal kuat, dirinya pun melangkah pergi dari sana. Tapi saat melewati resepsionis, dirinya kembali menghentikan langkahnya setelah mendengar obrolan dia orang perawat.
"Dokter Raisa yang dokter kandungan itu bukan si?"
"Iya, janda dua kali itu. Kasihan yah, suami yang di kira meninggal ternyata masih hidup. Tapi cuman bertahan enam bulan, meninggal karena serangan jantung."
"Hust! Jangan bilang begitu, nanti dia dengar bagaimana?"
Xander terdiam, dia menoleh menatap Raisa yang terduduk sambil menutup wajahnya. "Jadi ... suaminya sudah meninggal?"
.
.
.
Seorang dokter baru saja mendapatkan kabar jika masih tersisa dua syok darah golongan A. Gegas, dirinya mengabarkan hal ini pada Raisa. Namun, dirinya justru di cegat oleh Xander. Cucu dari pemilik rumah sakit dimana dirinya bekerja.
"Tuan Xander ...,"
"Siapa saja yang membutuhkan darah golongan A?" Tanya Xander dengan raut wajah serius.
"Ada dua pasien,"
"Darah yng kamu dapatkan, untuk pasien atas nama siapa?" Tanya Xander kembali memastikan sesuatu.
Dokter itu terlihat bingung, tetapi dirinya tak mungkin tetap diam di saat cucu pemilik rumah sakit ini bertanya. "Untuk pasien atas nama Zion, sesuai urutan ...,"
"Berikan untuk pasien lain."
"Apa? Tuan, tapi secara urutan pasien atas nama Zion ...." Dokter itu menghentikan ucapannya kala Xander melangkah mendekat di sertai dengan tatapan tajam dan menusuk.
"Kamu membantahku?"
Dokter itu menggeleng, "Tuan, kondisi pasien atas nama Zion lebih kritis. Kami membutuhkan lima kantong darah, sementara rumah sakit hanya tersedia tiga kantong saja. Bagaimana jika pasien meninggal?"
Xander menyipitkan di sertai dengan helaan nafas pelan, "Aku akan mendonorkan darahku untuk pasien atas nama Zion. Tapi, katakan pada wali pasien jika stok darah habis dan antarkan dia padaku." Titahnya.
Xander memiliki rencana sendiri untuk Raisa. Hatinya tak bisa berbohong, masih ada nama wanita itu yang tersemat dalam hatinya. Dari kejadian dua tahun lalu, rasa kecewanya tak kunjung mengikis rasa cintanya. Kini, Xander semakin menggila.
"Ba-baik Tuan." Dokter itu pun pergi, meninggalkan Xander yang tersenyum menyeringai.
"Raisa, saat aku menjadi Xander biasa ... kamu tak bisa ku gapai. Kali ini, aku akan menjeratmu dengan kekuasaanku sebagai penerus Lergan."
.
.
.
Raisa duduk termenung, dia menatap ponselnya. Banyak sekali telepon masuk dari adik iparnya. Pasti, istri dari adik serta kembarannya itu telah melihat berita dan panik. Hanya saja, Raisa belum berani memberi kabar dalam keadaan Zion yang kritis.
"Nona Raisa!"
Raisa beranjak berdiri, dia menatap dokter yang menangani kondisi adiknya. Dengan itu, Raisa bertanya pasal stok kantong darah yang di butuhkan. Sebab, hal itu yang nantinya akan membantu proses operasi.
"Bagaimana Dokter? Sudah dapat kantong darah untuk adik saya?" Tanya Raisa.
Dokter itu memasang raut wajah penuh sesal, "Maaf Nona Raisa, stok kantong darah telah habis. Disini kami hanya menyediakan tiga kantong,"
Air mata Raisa luruh, tubuhnya mendadak lemas setelah mendengar kabar itu. "Terus bagaimana? Ambil darah saya saja Dok tolong! Ambil darah saya! Adik saya memiliki istri dan tiga anak, bagaimana jika dia tidak selamat hah?! Anak-anaknya masih membutuhkan dia! Dok tolong, ambil saja darah saya!"
Raisa histeris, dia memegang lengan Dokter tersebut dan mengguncangnya kencang. Menanyakan solusi dari masalah yang ada, sementara adiknya butuh tindakan secepatnya.
"Nona Raisa, tenanglah!"
"Bagaimana saya bisa tenang? Bagaimana?! Pihak rumah sakit tak bisa mencarikan darah untuk adik saya! Tapi saat saya mengajukan diri kalian justru menolaknya! Katakan, bagaimana saya bisa tenang!" Teriak Raisa yang tak bisa mengontrol emosinya.
Dokter mencoba menenangkan Raisa yang menangis histeris sambil sesekali mengusap wajahnya. Penampilan wanita itu sudah di katakan tidak baik rambutnya berantakan dan terdapat noda darah. Juga, luka di tangan dan pelipisnya menunjukkan betapa menyedihkannya dirinya saat ini.
"Tolong dok, keponakan saya masih sangat kecil untuk kehilangan ayah mereka." Lirih Raisa sambil mengatupkan tangannya.
"Nona, ada seseorang yang memiliki darah yang sama dengan adik anda. Apa anda mau bertemu dengannya?" Perkataan dokter membuat Raisa merasa ada secercah harapan. Dirinya mengusap kasar air matanya dan mengusap tangannya ke bajunya
"Dimana orangnya? Saya ingin bertemu." Pinta Raisa.
"Baik, ikuti saya." Dokter itu membawa Raisa ke sebuah ruangan. Dia membuka pintu dan mempersilahkan Raisa untuk masuk. Dengan perasaan gugup, Raisa mencengkram sisi dressnya dan melangkah mendekati seorang pria yang duduk di sofa yang membelakanginya.
"Maaf, apakah anda yang di katakan Dokter tadi? Bisa anda memberikan darah anda untuk adik saya? Saya akan memberikan anda bayaran berapapun yang anda minta." Ucap Raisa dengan penuh keberanian.
"Termasuk ... menikah denganku?"
Raisa terkejut, tapi dia lebih terkejut lagi saat orang tersebut berdiri dan membalikkan badan menghadapnya. Mata Raisa membulat sempurna, jantungnya seolah berhenti berdetak. Bibirnya bergetar, menyebut satu nama yang sudah lama tak pernah dirinya sebut kembali.
"Xander." Lirih Raisa.
"Kita bertemu lagi, Nona Raisa."
Raisa dan Xander saling berhadapan, keduanya kembali bertemu setelah sekian lama. Menurutnya, tak banyak perubahan dari Raisa. Namun Raisa melihat Xander yang terlihat berbeda. Biasanya, pria itu akan menunjukkan raut wajah cerianya. Tapi saat ini beda, Raisa seolah melihat Xander lain. Raut wajah dingin dan tegas itu, membuat Raisa merasa tersudutkan.
"Omong kosong apa ini Xander?" Lirih Raisa dengan suara gemetar.
"Menyelamatkan kembaranmu itu omong kosong yah?" Xander melangkah mendekat, tapi Raisa terus saja mundur ketakutan. Sampai, punggungnya menabrak tembok dan tak bisa lagi menghindar. Xander tersenyum menyeringai, menatap wajah cantik wanita yang sedang ketakutan saat ini.
"Bagaimana penawaranku tadi? Aku akan memberikan darahku untuk kembaranmu, tapi dengan syarat yang ku minta tadi. Katanya, kamu akan memberikan apapun." Ucap Xander dengan penuh rasa percaya diri.
Raisa mengepalkan kedua tangannya, menatap tajam pada pria yang dulu hampir menjadi suaminya. "Xander, sudah aku katakan. Kamu tidak bisa memaksa hati sesorang!"
Raisa gegas berjalan menuju pintu, tangannya sudah menggapai handle pintu tersebut. Namun, kata-kata Xander membuat dirinya urung melakukan niatnya.
"Pergilah, dan saksikan penyesalanmu nanti."
Raisa terdiam, tangannya mencengkram kuat handle pintu yang sedang dirinya pegang. Tatapan matanya menajam, air matanya luruh membasahi pipinya. Egonya tengah berperang, dia tidak tahu harus memutuskan apa. Sementara, Zion harus segera mendapatkan tindakan. Jika pria itu tak selamat, bagaimana dengan adik ipar dan keponakannya?
Raisa memejamkan matanya sejenak sambil menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan lembut. Lalu, dia kembali membuka matanya dan berbalik dengan kemantapan hatinya. Matanya kembali memandang pada Xander yang kini duduk di sofa sambil bersedekap d4da menunggu jawabannya.
Dengan kedua tangan terkepal kuat di sisi tubuhnya, Raisa menjawab "Baik, aku ... setuju menikah denganmu."
Xander merekam pernyataan Raisa dalam ponselnya, dia menghentikan rekaman itu sebelum akhirnya beranjak berdiri dan memasukan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Perlahan, Xander beranjak berdiri dan melangkah menghampiri Raisa yang masih diam menunduk.
"Jika kamu melanggar, aku akan berbuat sesuatu pada perusahaan kembaranmu. Tidak peduli, apapun konsekuensinya." Bisik Xander dan melangkah menuju pintu lalu membukanya. Melihat Raisa yang hanya diam, dia pun menghentikan langkahnya.
"Ayo, waktunya tidak banyak." Ucap Xander dan melanjutkan langkahnya.
Raisa mengusap air matanya, dia merasa kehidupannya selalu berat. Kini, dirinya harus terjerat janji dengan Xander. Pria yang mungkin menikahinya untuk menuntaskan dendam. Raisa pasrah, untuk sekarang dia hanya ingin Zion kembali pulih.
Xander mendonorkan darahnya, dan setelahnya Raisa tak melihat pria itu lagi. Dia juga tak mencarinya dan hanya fokus pada perkembangan Zion. Di saat menunggu, tiba-tiba adik iparnya datang dan langsung memeluknya. Padahal, dirinya sama sekali belum memberi kabar.
"Kaka enggak papa? Aku lihat mobil kalian hancur hiks ... kenapa tidak mengabariku hiks ... aku pikir Kakak ...."
Isak tangis Raisa yang sejak tadi terpendam pecah, dia lalu berlutut di hadapan adik iparnya itu. Merasa bersalah dan menganggap kecelakaan ini di akibatkan olehnya. Andaikan, pagi itu Zion tak mengantarnya ke bandara. Pasti, tidak akan terjadi apapun pada pria itu.
"Kak, apa yang kamu lakukan? Bangunlah, jangan seperti ini. Mana Mas Zion?"
"Nay, Zion kritis hiks ... dia yang paling parah karena melindungiku hiks ... aku minta maaf hiks ..."
Tubuh Naya luruh, dirinya terduduk dengan tatapan kosong. Air matanya mengalir tanpa sedikit pun isak tangis dari mulutnya. Raisa langsung memeluknya dan mengucapkan kata maaf berulang. Pelukannya terbalas, adik iparnya itu balik memeluknya. Keduanya jadi menangis bersama, menangisi kondisi pria yang selalu menjadi pelindung mereka.
"Zion sudah dapat donor darah, operasinya sedang di lakukan. Aku minta kamu tenang, Nay." Ucap Raisa sambil menggenggam erat yangan adik iparnya.
Naha diam, dia mengamati tangan Raisa yang luka dan juga pelipis wanita itu yang sama sekali belum terobati. Naya mengeluarkan sebuah tisu dan mencoba menghapus darah yang sudah kering itu. Ia jadi kembali menangis melihat luka tersebut.
"Tidak perlu, ini hanya tergores saja." Tolak Raisa.
"Tapi ...."
Pintu ruang operasi terbuka, seorang dokter keluar sambil melepas maskernya. Melihat itu, Raisa dan juga Naya gegas menghampirinya untuk menuntut penjelasannya. Namun, melihat raut wajah lemas dokter itu membuat perasaan keduanya was-was.
"Dokter, bagaimana keadaan suami saya? Operasinya berjalan lancar bukan?" Tanya Naya dengan penuh rasa khawatir.
"Maaf, dengan penuh sesal ... Pasien atas nama Zion mengalami koma."
Tubuh Naya hampir saja limblung jika dokter tak menahannya. Sementara Raisa mematung lemas, dia segera duduk karena merasa kakinya tak lagi mampu menahan tubuhnya. Telinganya berdenging, kepalanya berdenyut sakit.
"Maaf sekali lagi, benturan di kepalanya cukup kuat. Terjadi pendarahan di otaknya, tapi kami sudah menghentikan pendarahan itu."
"Sampai kalan adik saya koma dok?" Tanya Raisa, matanya sudah tak dapat melihat dengan jelas karena air matanya yang menumpuk.
"Sampai waktu yang tidak bisa kami tentukan. Tenaga medis akan berusaha semaksimal mungkin untuk menaganinya. Untuk lebih jelasnya, bisa ke ruangan saya. Nanti, selebihnya akan saya jelaskan lebih detail." Setekah menjelaskan, dokter itu pun pergi.
Setelah Zion di pindahkan ke ruang ICU, Raisa dan Naya hanya dapat melihatnya dari kaca. Keduanya belum di izinkan masuk, hanya dapat melihat Zion dari luar saja. Naya menyentuh kaca yang menjadi pemisah antara dirinya dengan sang suami. Melihat banyaknya alat di tubuh pria itu, membuat Naya kembali menangis.
"Anak-anak sama siapa Nay?" Tanya Raisa teringat dengan keponakannya.
Naya menghapus air matanya, "Sama Bibi. Pantas saja dari pagi mereka menangis mencari Mas Zion. Mungkin mereka merasa ada hal buruk yang akan terjadi."
"Nah, aku minta maaf. Aku ...." Naya menggenggam tangan Raisa, meminta wanita itu untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri.
"Kak, yang ingin mengantar kakak adalah Mas Zion. Ini adalah musibah, kakak juga tak menghendaki hal ini terjadi. Kita tunggu Mas Zion sadar, aku yakin dia kuat." Tatapannya kembali menatap suaminya.
"Dia pernah berjanji, tak akan meninggalkanku seperti ayahnya yang pergi meninggalkannya." Lanjutnya dengan suara lirih.
Raisa selalu merasa, semua yang terjadi di sekitarnya adalah kesalahannya. Dia merasa, apa yang terjadi pada Zion karena dirinya. Andaikan, pagi itu dia tak menerima tawaran Zion untuk mengantarnya ke bandara, tidak akan terjadi hal seperti ini.
"Zion, apa gak cukup kedua orang tua kita dan Mas Abra yang meninggalkanku?" Batin Raisa. Dia merasa, semesta selalu mengambil orang tersayangnya. Kedua orang tuanya, janinnya, dan mendiang suaminya. Raisa merasa dunia tidak adik untuknya. Kini, dia malah terjerat perjanjian dengan pewaris Lergan.
.
.
.
Keluarga Lergan masih berkabung dengan meninggalkan Keyra dan suaminya. Keluarga Pradipta juga turut merasa kehilangan putra sekaligus menantu mereka. Apalagi, ibu Fariz merasa sangat kehilangan putranya setelah belum lama ini dirinya kehilangan sang suami.
Di antara mereka yang merasa kehilangan, ada seorang bocah yang belum mengerti apa arti kehilangan. Dia hanya melihat, semua orang menangisi jasad tak bernyawa kedua orang tuanya. Menatapnya dari jauh, sambil memeluk mainannya dan berharap kedua orang tuanya segera bangun dan mengajaknya bermain.
Dua minggu berlalu, tapi suasana duka masih menyelimuti keluarga Lergan. Xander pun mencoba untuk menghibur sepupunya yang telah di tinggal untuk selama-lamanya oleh kedua otang tua anak itu. Dia selalu mengalihkannya dengan mainan dan hal lain yang dapat mengalihkan perhatiannya.
"Abang, mommy mana ci? Kok nda pulang?" Tanya Kayden sambil memegang gelas susunya.
"Mommy dan Daddy kan lagi kerja, seperti biasa. Kayden tinggal disini dulu, terus mommy sama daddy jemput deh." Ucap Xander sambil mengelus lembut kepala anak itu.
Yah, memang sebelumnya Kayden sering di tinggal di kediaman Lergan saat kedua orang tuanya perjalanan bisnis. Paling lama, sebulan. Jadi, Kayden masih merasa biasa mendengar alasan itu. Xander dan keluarganya tak bisa mengatakan yang sebenarnya.
"Cudah, Kay mau tidul. Cana Bang Centel, bawa ke dapul. Kay magel kelualin cuala panggil bibi." Kayden memberikan gelas yang sudah kosong pada Xander. Setelahnya, dia merebahkan tubuhnya di ranjang dan mulai memejamkan matanya. Tubuhnya juga masih tahap pemulihan pasca kecelakaan itu.
Xander menatap jam tangannya, dia ada urusan di luar. Jadilah, dirinya bersiap dengan pakaian terbaiknya dan gegas keluar kamarnya. Tak sengaja, dirinya berpapasan dengan Diah yang akan membawakan sarapan untuk mertuanya.
"Mau kemana?" Tanya Diah melihat putranya yang sudah rapih.
"Ada urusan sebentar." Xander menjawab sambil menuruni tanggal, meninggalkan Diah dalam kebingungan.
Xander mengendarai mobilnya ke sebuah tempat, kaca mata hitam selalu menjadi teman perjalanannya. Sampai. tiba di tempat tujuan. Ia memarkirkan mobilnya dan segera turun dari sana. Matanya menangkap sosok wanita yang sejak tadi sudah menunggunya sambil duduk di kursi taman.
"Ku kira, kamu lupa janjimu." Ucap Xander yang mengejutkan Raisa.
Xander melepas kaca matanya, dia menatap penampilan Raisa hari ini yang mengenakan dress putih di sertai dengan rambutnya yang di kuncir satu. Penampilan yang sederhana tapi selalu membuat Xander terpikat.
"Aku tidak akan melupakan janjiku." Gumam Raisa yang mampu di dengar oleh Xander. Pria itu tertawa meledek mendengarnya.
"Sepertinya kamu mengalami amnesia. Lupa apa yang kamu janjikan dulu?" Raisa langsung menatapnya dengan tatapan berbeda. Xander pun mengalihkan pandangannya dan berdehem pelan.
"Ayo, aku tidak punya banyak waktu." Keduanya pun masuk ke dalam gedung pencatatan pernikahan.
.
.
.
Xander dan Raisa mengambil surat yang menjelaskan status keduanya saat ini. Mereka, telah resmi di nyatakan sebagai suami istri. Tanpa adanya pesta, hanya pernikahan kilat saja yang sudah Xander susun. Pria itu mengambil surat nikah mereka dan beranjak berdiri.
"Ayo, kamu mau menikah dengan siapa lagi disini?" Tanya Xander penuh sindiran.
Raisa menghela nafas pelan, rasanya hatinya sangat berat dengan pernikahan paksa ini. Dia pun berjalan mengikuti Xander sampai ke parkiran. Mulutnya masih diam, otaknya memikirkan nasib dia kedepannya.
Xander menghentikan langkahnya, dia berniat akan berbicara dengan Raisa. Tapi sebelum itu, ponselnya berdering. Gegas, dia mengambil ponselnya di saku jas nya dan melihat siapa yang menghubunginya Setelah melihat kontak sang mama di layar ponselnya, Xander melangkah menjauh.
"Ya, aku akan segera ke sana." Putus Xander dan kembali mendekati Raisa setelah teleponnya terputus.
"Pulanglah, aku akan menjemputmu dan Zira beberapa hari lagi." Titah Xander sebelum masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan Raisa begitu saja di tengah cuaca panas matahari yang sangat terik.
Xander tiba di sebuah Resto yang sang mama perintahkan untuknya datang. Saat masuk ke dalam, Xander terlihat bingung melihat Resto yang biasanya ramai terlihat sepi. Kakinya tetap melangkah sambil matanya memantau sekitar. Sampai, dirinya menghentikan langkahnya saat melihat dekoran yang ada di tengah Resto. Di sana juga terukir inisial namanya dengan nama seseorang.
"Apa ini Ma?" Xander menatap keluarganya yang hadir di sana. Juga, seorang wanita bersama kedua orang tuanya.
Erina tersenyum, dia melangkah mendekati Xander dan menggandeng tangannya. Membawanya mendekat pada wanita memakai gaun biru yang sedang tersenyum malu saat ini. Hadirnya keluarganya, serta keluarga wanita itu membuat perasaan Xander tak enak.
"Oma merasa tidak enak denganmu setelah acara duka kemarin. Maafkan kami yang sampai melupakan acara pertunanganmu dan Monica. Untuk itu, kami tak ingin lagi menundanya. Hari ini, kamu dan Monica akan bertunangan."
Tidak ada persiapan apapun, tiba-tiba Erina memintanya bertunangan dengan wanita yang ada di sebelahnya. Jujur saja Xander sangat amat terkejut sampai tak bisa berkata-kata. Dia mendadak diam tanpa bicara, otaknya seolah berhenti bekerja. Sampai, kesadarannya kembali pulih saat Diah memberikannya kotak cincin.
"Ayo Xander. Kami merasa bersalah dengan Monica, karena harus menunda waktu ini." Ucap Diah sambil mengelus lembut punggung wanita yang akan menjadi calon memantunya.
Monica tersenyum malu, "Enggak apa Tante, aku tahu kalian sedang berduka. Malah, aku yang merasa tidak enak."
"Jangan begitu. Ayo Xander, pasangkan Monica cincinnya. Setelah ini, kita persiapkan pernikahan kalian." Titah Diah pada putranya dengan nada datar tanpa emosi.
Xander membuka kotak cincin itu, dia melihat sebuah cincin berlian yang keluarganya siapkan untuk Monica. Pikiran Xander berkecamuk, dia mengingat tentang dirinya dan Raisa uang sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Xander mengambil cincin itu dari kotaknya, Monica pun menyodorkan tangannya.
Semua keluarga tersenyum senang saat detik-detik cincin itu akan melingkar di jari manis Monica. Namun, belum sempat cincin itu menyentuh jarinya, Xander tiba-tiba menjauhkan cincin tersebut dan menggenggamnya.
"Loh Xander apa yang—"
"Aku sudah menikah Ma."
______
2 lagi menyusul🫶 enggak sampe malam kok cuman koreksi aja belum selesai😭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!