...😀 Terima kasih karena telah menemukan cerita ini....
...Aku harap kalian betah di sini, dan membaca cerita ini sampai akhir....
...Happy reading 💕...
...\=\=\=🎀🎀\=\=🎀🎀\=\=\=...
2018.
Lagi, dan seperti biasanya.
'Mantan napi' yang melabeli dirinya seakan tak pernah hilang meskipun ia sudah bersikap layaknya manusia.
Dua tahun sudah ia menghirup udara bebas dan di dua tahun ini pula ia begitu kesulitan mencari pekerjaan. Sebenarnya ia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, karena selama berada di balik sel, ia dibekali dengan kemampuan membuat kue dan keterampilan lainnya―yang kata mereka itu bisa digunakan untuk bertahan hidup di luar sana. Namun, katanya tidak semudah kenyataan.
Hampir semua jenis pekerjaan kelas bawah sudah dicoba. Dari mencuci piring di warung makan, menjaga warung sembako, kuli panggul di pelabuhan, jasa antar-jemput barang, hingga antar-jemput anak sekolah. Namun, sekali lagi pada kenyataannya, saat mereka tahu ia seorang mantan napi, maka di saat itu juga pekerjaannya berakhir.
Singgih duduk di bangku pinggiran jalan sambil makan gorengan. Entah berapa banyak tempe mendoan yang sudah dijejalkan hingga mulutnya kini mengilap berminyak. Matanya hilir-mudik mengawasi―mungkin terlihat seperti sedang menghitungi―jumlah kendaraan yang berlaluan di hadapannya. Dirinya seakan kehilangan arah.
"Kalau aku tetap di sini," Singgih mengambil sisa mendoan terakhir dalam plastik, "aku nggak akan dapat kerjaan." Ia kembali menjejali mulutnya dengan mendoan. "Aku harus keluar dari sini!" ujarnya bertekad.
Singgih beranjak dari duduk dengan meninggalkan bungkusan plastik bekas gorengan. Baru beberapa langkah ia memutar langkahnya kembali untuk memungut sampah yang ditinggalkannya tadi, lalu melemparkannya ke tong sampah.
Laki-laki itu sungguh tak punya tujuan. Namun, langkahnya selalu membawanya ke rumah kosong―tak berpenghuni selama tujuh tahun itu. Rumah itu terlihat seperti rumah yang muncul dalam program uji nyali di teve.
"Harusnya aku mendengarkanmu," lenguh Singgih kecewa pada dirinya sendiri. "Maaf, Noe..."
Entah berapa banyak kalimat maaf terucapkan, tetapi tak pernah kunjung dapat balasan.
Singgih menatap pintu rumah itu seraya berharap―meski kecil―pada sosok yang dinantinya muncul dari balik pintu dan tersenyum padanya.
"Sudah jam berapa, nih?" omel Singgih sambil mengetuk-etukkan jari telunjuk di jam tangannya.
"Buruan!"
"Iya. Iya." Noela mengikat rambut. Sejurus kemudian ia sudah berlari meninggalkan Singgih.
"Woi, Noe tunggu!" Singgih mengejar di belakang.
"Buruan! Hampir telat nih! Pokoknya kalau sampai aku dihukum Pak Gi―" bibir Noela merekah, "―gara-gara kamu."
Singgih berhasil mengejar Noela dan sudah mendahului beberapa langkah di depan gadis itu. Tertawa kemenangan di tengah keringat yang mulai membasahi seragam putih abu-abu.
Secuil kenangan yang selalu membayang dalam ingatannya. Yang terus berharap kenangan itu akan menjelma hadir dalam kehidupannya lagi. Ia merindukan Noela... sahabat kecilnya.
"Masih belum ada kabar?" tegur seorang bapak yang berhasil menarik lamunan Singgih dari masa lalu.
Singgih memutar tubuh ke belakang. Tersenyum pada bapak tua―tetangga depan rumah Noela. Sebenarnya ia tak mengenal bapak itu, hanya saja bapak itu selalu mengajaknya bicara tiap kali bertemu dengannya.
"Nggak sekalian ikut acara nyari orang hilang yang di teve-teve itu?" Emil menghampiri Singgih. "Siapa tahu kru-krunya bisa bantu nyariin."
Singgih tersenyum pendek. Ide bagus―bagi orang lain, tetapi tidak untuknya. Ikut acara realitas seperti itu sama saja dengan mengumumkan ke seluruh penjuru Nusantara bahwa ia seorang mantan napi.
"Sudah makan?" Emil mendengar bunyi kentungan, yang beberapa saat kemudian muncul gerobak bakso. "Bang," panggilnya pada abang penjual bakso. "Dua," mintanya.
Emil mengambil duduk di buk bersemen depan pagar rumahnya. Singgih pun menjejeri duduk di sebelah Emil.
"Pacarmu masih belum ada kabar?" tunjuk Emil ke rumah Noela. Diam-diam menaruh rasa ingin tahu.
"Bukan pacar. Hanya teman." Singgih menunduk kecil, menatapi sepasang sepatu kets putihnya yang kusam.
"Teman kok nyarinya sampai segitunya." Emil tak percaya. "Kamu ada salah sama dia. Nyesel, terus mau minta maaf. Tapi orangnya sudah pindah."
"Seperti itulah... kira-kira."
Emil mengangguk paham. "Kerja di mana kamu?"
"Pengangguran."
Si abang bakso mengulurkan dua mangkuk bakso. Emil dan Singgih mengambil masing-masing mangkuk di tangan.
"Sebelumnya kerja di mana?" rasa penasaran Emil sepertinya belum tuntas.
"Antar-jemput anak sekolah."
"Terus kenapa berhenti?"
"Dipecat."
"Dipecat?" beo Emil dengan mulut penuh kunyahan bakso. "Udah nyari kerja di mana lagi?"
"Nyari pun percuma." Terselip lenguh kecewa Singgih yang tak kentara. "Palingan dipecat lagi."
Emil melirik ke Singgih yang tengah menggigit pangsit goreng. "Aku ada toko kain. Kalau kamu mau, kamu bisa kerja di tempatku," tawarnya.
Ujung bibir Singgih mengembang senyum tipis. "Makasih, Pak," tolaknya langsung. "Kalau Pak Emil tahu kenyataannya, aku juga pasti akan dipecat."
"Hmm~mm." Emil menggumam yang hanya bisa dimengerti olehnya sendiri. "Kalau kinerjamu bagus mana mungkin aku memecatmu. Melihatmu dua tahun menunggu di depan rumah―" dagunya menunjuk ke rumah depannya, "aku bisa tahu kalau kamu orang yang pantang menyerah."
Haru mulai menyelimuti perasaan Singgih ketika ada seseorang yang melihatnya bukan karena ia yang―yaa, kalian tahu sendiri―bagaimana kehidupannya selama dua tahun ini. Singgih senang karena ia diperlakukan sama.
Namun, orang yang memperlakukannya sama ini adalah orang yang belum mengetahui siapa ia. Kalaupun tahu masa lalunya, pastilah, bapak ini pun akan memperlakukannya sama seperti yang lainnya.
"Dia harapanku... yang membuatku bertahan hidup hingga sekarang."
"Aku rasa dia bukan sekadar teman."
Singgih hanya mengulas senyum.
"Hm, pacarmu, kan?" tebak Emil dengan simpulan senyum jail.
"Dia orang pertama yang ingin kutemui saat aku bebas."
"Bebas dari mana?"
"Penjara."
Kunyahan pangsit dalam mulut Emil terhenti. Begitu pula dengan abang bakso yang langsung menoleh cepat ke arah Singgih.
"Penjara?" Emil memastikan tak yakin.
"Dua tahun lalu aku baru dibebaskan."
"Kasus apa? Penipuan?"
"Pembunuhan," aku Singgih. Tanpa berupaya menutupi keadaannya.
Pangsit yang belum terkunyah halus langsung ditelan mentah oleh Emil. Begitu pula dengan wajah abang bakso yang memias dan sudah berdiri di balik gerobak.
Singgih menoleh ke Emil di sebelahnya. Seketika ia melihat wajah bapak paruh baya itu menganga syok. "Makasih tawaran kerjanya, Pak."
Ia beranjak, meletakkan mangkuk di meja gerobak, lalu mengulurkan uang untuk membayar dua mangkuk.
"Berapa, Bang?"
"...pas i-ini." Cepat-cepat si abang menyahut. Ia mengambil uang yang terulur.
Singgih hanya menatap si abang bakso, tapi orang yang ditatapnya bergeming takut. Oh, ia sudah lebih dari biasa menghadapi situasi seperti ini. Seakan ia monster yang keberadaannya harus dienyahkan.
"Pak Emil―" suara panggilan Singgih tertahan saat melihat bapak yang tadinya mau traktir makan malah terdiam memaku.
Singgih melangkah pergi dengan kepala tertunduk. Setiap yang berpapasan dengannya, ia selalu merasa orang-orang sedang menghakiminya. Mengatainya bahwa ia adalah manusia paling buruk yang ada di muka bumi.
*
Ada lowongan!
Langkah Singgih setengah berlari menghampiri kertas pengumuman yang tertempel pada dinding kaca sebuah kedai kopi. Bibir mengembangnya langsung melengkung turun saat membaca batas usia maksimal yang tak lagi bersahabat dengannya.
Dengan gontai, Singgih menyusuri pelataran ruko-ruko di pinggir jalan. Berharap ada lowongan jatuh tepat dalam genggaman tangannya.
Bunyi klakson―dari mobil berhenti di pinggir jalan, sontak mengagetkan Singgih.
Seorang laki-laki yang lebih muda dari Singgih―menjulurkan kepala dari jendela mobil sembari memamerkan senyum.
“Singgiiih!” seru Reas.
“Cepat naik!” perintah seorang pria berwajah sangar dari balik kemudi setir. “Kita ada angkut barang ke Mijen.”
“Aku sudah dipecat...”
“Siapa yang pecat?” hardik Fadil.
“Jam tangannya hilang gara-gara aku.”
“Jam tangannya sudah ketemu,” sahut Reas.
“Lagian kamu kerjanya sama aku,” tandas Fadil. “Yang berhak mecat kamu itu aku. Bukannya Si Nyinyir.”
“Si Nyinyir tetap saja bininya Bang Fadil.” Reas mengingatkan.
Fadil mendengkus, lalu memanggil Singgih. “Buruan naik!”
Lengkungan bibir Singgih kembali mengembang. Pekerjaannya kembali dalam genggaman tangan. Sedetik kemudian ia sudah melompat naik ke bak mobil di belakang.
Mobil melaju entah membawanya ke mana.
Dari kesemua pekerjaan yang pernah dijalaninya selama dua tahun ini, ia paling suka bekerja dengan Bang Fadil. Menurutnya, hanya pria itulah yang paling mengerti tentang keadaannya. Ia merasa diterima; dibutuhkan dan dihargai layaknya manusia.
Singgih melompat turun setibanya mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah cukup mewah bercat merah bata. Singgih dan Reas mengikuti Fadil memasuki rumah, yang sepertinya Fadil sudah mengenal baik dengan si pemilik rumah.
Mulailah mereka mengangkuti barang, semisal: koper berukuran besar, dua lemari plastik berukuran sedang, meja belajar, dan terakhir nakas kecil. Singgih dan Reas mengikat barang-barang itu dengan tali.
Tampak seorang laki-laki terus mengamati Singgih melalui balik gorden kamar. Karena dirundung penasaran, laki-laki itu mengeluari rumah serta-merta menghampiri Singgih.
“Singgih―kan?” tanya laki-laki itu memastikan di antara ragu.
Singgih berhenti sejenak, lalu kembali mengikat. Reas masih menarik tali, tapi matanya melirik bergantian ke Singgih dan laki-laki itu.
“Kamu, Singgih―SMA Pelita Abadi, kan?”
Gerakan tangan Singgih kembali terhenti, sejenak, lalu kembali mengencangkan tali.
“Kapan... keluar dari penjara?”
“Belum lama.”
Reas yang berada di sana memaksa telinganya untuk ikut mendengar apa yang mereka bicarakan.
“Rolan pasti senang banget ngelihatmu udah bebas.”
Genggaman tali di tangan Singgih mengerat. Nama yang sama sekali tak ingin diingat, tapi hari ini temannya ini―bahkan ia tak tahu siapa namanya―memaksa ingatannya untuk kembali mengingat nama itu.
“Sekarang dia sukses banget.”
Singgih menegakkan posis menatap temannya ini. “Sukses?” tanyanya tak mengerti.
“Kamu belum pernah ketemu Rolan?”
Untuk apa Singgih bertemu dengan orang itu―jika hidup mengenaskannya sekarang karena ulah orang itu.
“Tadi malam Rolan baru aja muncul di teve. Sebagai pengusaha muda yang sukses.”
“Dia mewarisi bisnis ayahnya?”
Temannya ini tertawa geli. “Rolan punya perusahaan sendiri. Namanya, Landsoft. Tahu nggak?” ejeknya kemudian.
Singgih mengabaikan. “Noe?” ia bertanya yang lain.
“Noela?” temannya ini bertanya sekadar memastikan.
Singgih mengangguk.
“Nggak pernah ketemu lagi setelah lulus. Waktu reunian aja dia nggak datang.”
“Ajeng?”
Wajah temannya ini berubah panik. “Ke―kenapa nanyain Ajeng?”
“Pernah ketemu Ajeng?” mata tajam Singgih tanpa sengaja membuat takut temannya ini.
“Ng―nggak pernah. Kabarnya... Ajeng pindah ke Jerman.”
Kepalan tangan Singgih mengerat di tali.
*
Barang-barang sudah tiba di tempat tujuan, Mijen―sebuah kecamatan di kota Semarang.
Pemilik rumah menyuguhkan es sirup yang sangat pas untuk melepas dahaga―walau udara di daerah sini sejuk, tapi karena mereka mengangkuti barang-barang―yang membuat mereka berkeringat.
Reas menjejeri duduk di sebelah Singgih. Segelas es sirup langsung tandas dan di tangannya sudah gelas kedua.
“Kenapa kamu mau temanan sama aku?”
“Pertanyaan macam apa itu?” ringis Reas. “Kita ini orang-orang yang terbuang. Kalau bukan Bang Fadil yang memungut kita, mungkin saat ini kita udah jadi gelandangan di jalan. Masa laluku memang sampah, tapi sekarang aku nggak mau jadi sampah masyarakat. Kalau bisa kuperbaiki masa laluku, sudah kuperbaiki dari dulu.”
Singgih sangat paham dengan ucapan Reas. “Menurutmu... keadilan itu ada?”
“Saat ini penjara udah penuh dengan penjahat. Artinya keadilan memang ada.”
“Kalau keadilan memang ada,” Singgih menjeda kecewa, “harusnya aku mendapatkan keadilan. Bukannya berakhir mengenaskan seperti ini.”
“Terus maumu apa?”
“Seperti yang kamu bilang. Kalau bisa memperbaiki masa lalu, maka akan kuperbaiki. Aku juga berhak hidup tenang dan mendapatkan pekerjaan. Bukan terpuruk seperti ini. Dihina. Diejek. Direndahkan. Aku juga manusia. Ada saat di mana aku juga merasakan sakit... saat mendengar mereka mencemooh statusku. Siapa yang mau hidup seperti ini? Siapa yang mau memilih jalan seperti ini? Aku rasa nggak ada yang mau.”
“Inilah nasib kita.”
“Nasib kita bisa berubah.”
“Aku juga mau mengubah nasibku.” Tanpa sadar Reas meninggikan suaranya. “Menurutmu aku nggak ada usaha untuk maju?”
Dada Reas mulai menyesak.
“Aku juga nggak mau nyuri... Tapi keadaan yang mendesakku. Uangku nggak cukup buat biaya pengobatan ibu. Dan, aku terpaksa mengambil sedikit duit di kasir.” Reas membuka kenangan buruknya. “Duit segitu nggak ada artinya buat bosku yang pelit itu. Tahu apa yang dibilang si bos botak gendut pelit itu?” Impitan sesak di dadanya berubah penuh amarah. “Dia bilang orang miskin nggak boleh sakit. Nyusahin. Kutempeleng sekalian wajahnya. Dan, aku mendapatkan dua tuntutan sekaligus. Pencurian dan pemukulan.”
Singgih terdiam. Yang dilakukan oleh Reas memang beralasan, meskipun itu salah. Tetapi tetap hukumlah yang berbicara.
*
Berbekal tekad bulat dan banyak pertimbangan diri, saat ini Singgih berdiri di depan sebuah kelab malam. Dengan uang pinjaman dari Bang Fadil; tiket kereta kelas ekonomi pun berhasil dibeli; dan sisa uang tabungan yang akan dipergunakannya untuk hidup sementara di Jakarta.
Dari hasil informasi yang didapatnya dari grup alumni sekolah; serta dari para pegawai di Landsoft; bahkan ia mengikuti Rolan selama tujuh hari ini untuk mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan oleh temannya itu.
Dan, kegiatan ke kelab malam inilah yang paling sering disambangi Rolan selepas kantor.
Musik berdentam-dentam keras. Memekakkan telinga. Untuk bicara saja harus mengencangkan suara. Sudah seperti orang berantem saja. Pulang dari sana suara langsung parau, mungkin itu yang akan terjadi pada Singgih.
Pandangnya menyapu bersih lantai satu. Tak ada bayangan yang dicarinya. Singgih naik ke lantai atas.
Perempuan-perempuan berbusana minim―baju-baju yang kekurangan bahan―yang memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh mereka tampak menggodai Singgih yang melintas di hadapan mereka. Salah seorang dari mereka dengan nekat menghampiri Singgih dengan bahasa tubuh sensual. Mengajaknya berkencan, bahkan menjurus ke bahasa intim.
Singgih menepis tangan perempuan itu yang hendak membelai cambang tipis di wajahnya. Tatapnya berubah seperti laser yang langsung membuat perempuan itu bergidik takut serta-merta menjauh sembari menyeret lengan teman-temannya.
Singgih mendesis tak percaya saat melihat Rolan tengah berciuman mesra dengan seorang perempuan di dekat toilet. Tubuh Rolan bahkan sudah mengimpit tubuh perempuan itu hingga perempuan itu tak bisa mundur lagi karena terhalang dinding.
"Rolan Hanggono."
"Hmm?" Rolan hanya menjawab dalam gumaman. Bibirnya memperdalam ciumannya pada perempuan itu.
"Rolan Hanggono!"
Ciuman Rolan terhenti, ia menarik mundur tubuhnya, dan memutar kepala ke belakang dengan kesal. Matanya membeliak mendapati seseorang dari masa lalunya muncul.
"Si―Singgih?"
"Lama nggak ketemu." Singgih jalan menghampiri Rolan.
Kaki Rolan memaku di tempat.
"Gimana kabarmu?" Singgih berhenti di depan Rolan. Keduanya berada dalam satu garis lurus yang sama.
Air liur Rolan terteguk kaku.
Singgih melirik sekilas ke arah perempuan tadi yang diciumi mesra oleh Rolan. Perempuan itu tersenyum genit padanya. "Pacarmu?" tanyanya pada Rolan.
"Bukan." Rolan menyahut ringkas.
"Apa?" perempuan itu mengentak tak percaya. "Jadi yang kita lakukan selama ini nggak ada artinya apa-apa buat kamu?"
"Dari awal kita udah sepakat, kan?"
Perempuan itu menyugar rambut dengan tangan. "Brengs*k!" umpatnya sembari menonjok perut Rolan, lalu melenggang pergi dengan kesal.
Rolan memegangi perutnya, meringis menahan sakit. Kemudian ia berdiri tegap mengisyaratkan bahwa tonjokan tadi tak berarti apa-apa. Hanya seperti pukulan anak kecil yang tak bertenaga.
"Kabarku baik." Rolan menjawab pertanyaan Singgih yang sempat tertunda tadi. "Ooh... sudah lama ya, nggak ketemu. Ayo, kita cari tempat ngobrol."
Langkah kaki Rolan terdengar kaku bak robot.
*
Singgih menuju bangku barunya di kelas 2.1. Sedetik pantatnya hendak mendarat di bangku, seorang gadis berambut panjang menegurnya.
"Itu bangkuku."
"Oh, sori."
Singgih beranjak, sementara matanya melirik sekilas ke meja yang tadi ditempatinya. Tak ada tas yang ditaruh di sana dan itu artinya bangku itu tak ada yang menempati.
Aah, tapi ia malas berdebat dengan perempuan hanya karena masalah bangku. Singgih lantas pindah bangku di belakang gadis itu.
"Singgih!" seru Rolan dari ambang pintu, setengah berlari menghampiri meja Singgih. "Tukeran kelas, yuk?"
"Kenapa?"
"Aku dan Noe sekelas," lenguh Rolan.
"Bagus dong."
"Malapetaka." Rolan menggeleng frustrasi. "Setahun ke depanku bakal sial kalau dia terpilih jadi ketua kelas." Singgih mengukir senyum. "Sialmu akan bertambah," ujarnya yang sengaja menggantung kalimatnya.
"Hm?"
"Dengar-dengar Noe dicalonkan jadi ketua OSIS."
"A...syu," umpat Rolan lirih, yang kemungkinan hanya bisa didengar olehnya sendiri. Kemudian ia mengulas senyum culas. "Aku akan sering main ke sini."
Singgih mengerut tak paham.
Kepala Rolan mengedik kecil ke arah gadis yang duduk di bangku depan Singgih.
Singgih kembali menepiskan kenangannya, mengamati orang yang duduk di depannya.
Pertemuannya dengan Rolan memaksa ingatannya mengenang kembali betapa akrabnya mereka dulu. Sekarang jangankan akrab, yang ada hanyalah canggung yang membalut pertemuan mereka. Seakan tak lagi bersisa masa keakraban dulu.
"Kapan kamu keluar?"
Lagi, Singgih harus mendengar tanya serupa tiap kali ia bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya. Namun, tanya kali ini pun tak ia jawab.
"Aku ke rumahmu, tapi kamu sekeluarga udah pindah ke Amrik."
'Aah... iya..."
"Selamat, ya. Sekarang kamu jadi pengusaha muda sukses."
"Makasih." Rolan tersenyum kaku.
"Kelihatannya hidupmu enak."
"Biasa aja." Rolan merendahkan hatinya. "Kamu?" baliknya bertanya hanya sekadar basa-basi.
"Hidupku luar biasa." Senyum lembut Singgih terlihat ingin menerkam seseorang. "Berkat seseorang." Dan, orang yang ingin diterkamnya sekarang barang pasti adalah Rolan Hanggono.
Rolan meraih cangkir, menenggak setengah cangkir cappucino. Penyejuk udara yang berembus dalam ruangan mendadak panas.
"Sepuluh tahun aku dipenjara, aku selalu menunggu kunjunganmu. Tapi kamu nggak pernah datang. Hanya Noe yang mengunjungiku. Hanya dia."
"Ooh... sebenarnya aku ingin mengunjungimu. Tapi aku sibuk..."
"Sibuk belajar teknologi di Singapura dan membangun bisnis?" Senyuman lembut Singgih berganti dengan senyum pahit. "Ada yang bilang, ayo kita sukses bareng-bareng." Singgih mencebik getir. "Bohong aja semua itu. Nggak ada yang namanya sukses bareng."
Rolan meraih cangkir dan menenggak tandas sisa cappucino. Tak ada gempa dalam ruangan, tapi getaran gusar telah merambati sekujur tubuh Rolan.
"Aku ingin nama baikku kembali." Singgih langsung ke inti kenapa ia menemui Rolan.
"Nama baikmu―?"
"Ya, nama baikku. Kamu tahu betul gimana kejadiannya. Kamu bilang aku sahabat terbaikmu, tapi kamu memutar-balikkan keadaan."
"Singgih, kamu ngelantur lagi." Rolan berusaha menutupi gagap suaranya. "Sore itu aku ada di rumah."
Tangan Singgih mengepal. Jika membunuh dibenarkan, mungkin ia sudah membunuh Rolan saat ini juga. Namun, ia tak mau mengotori tangannya.
"Terus saja menyangkal. Dan kupastikan kamu akan membayar semua perbuatanmu. Karena aku yakin keadilan nggak akan menutup sebelah mata."
Singgih beranjak. Langkahnya tertahan seketika Rolan menyebutkan nama Noela.
"Sudah dengar tentang Noe?"
"Di mana dia sekarang?"
"Kecelakaan. Tujuh tahun lalu. Dan, meninggal."
Pijakan kaki Singgih melemah. Sahabat yang selalu dinanti kunjungannya selama lima tahun terakhir, sahabat yang dicarinya dalam dua tahun ini, sahabat satu-satunya yang paling memedulikannya, dan kini sahabatnya itu telah tiada. Noe yang membuatnya bertahan hidup dan mampukah ia bertahan hidup setelah Noe tiada?
Singgih meninggalkan kedai kopi dengan langkah gontai. Berjalan tanpa tujuan. Karena tujuan yang ingin ia tuju tak lagi berada di tempatnya. Setelah menahan getir sesak di dada, akhirnya Singgih menumpahkan air mata.
Tak ada lagi yang bisa diharapkannya. Dalam sesaat dunianya hancur lebur.
Kakinya sudah berdiri di tepi trotoar. Mobil dari arah kanan melaju kencang. Sebelah kakinya melangkah turun dari trotoar. Matanya memicing silau karena sorot lampu mobil yang menerpanya. Bunyi klakson menyadarkannya, dan refleks menarik kakinya naik ke trotoar.
Singgih mendengus kecewa pada dirinya sendiri.
"Aku ngapain, toh?" tangannya mengusap kepalanya gusar. "Bukan ini akhirnya. Noe... maaf." Tangisnya sesak.
Khilaf sesaat sempat menyerang Singgih. Tak seharusnya ia menyerah terhadap hidupnya.
Kepergiannya ke Jakarta nyatanya tak membuahkan hasil. Dan, ia malah mendengar berita duka tentang Noela yang membuatnya syok berat.
Ia tak boleh menyerah sekarang. Masih ada satu saksi yang tersisa, yaitu: Ajeng. Namun, bukan perkara mudah menemukan Ajeng. Setidaknya ia harus mengumpulkan banyak uang untuk pergi ke Jerman mencari Ajeng.
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!