Langit pagi itu begitu cerah, seolah ikut berbahagia dengan datangnya utusan dari istana. Tapi sayangnya, tidak ada satu pun makhluk di kediaman keluarga Zhao yang benar-benar bahagia... kecuali para pelayan yang sumringah karena akhirnya bisa melihat calon suami nona mereka—seorang pangeran!
Zhao, satu-satunya putri dari Bangsawan Zhao, tengah menatap surat undangan dari istana dengan ekspresi seperti baru saja menelan obat pahit.
"Ayah sudah gila..." gumamnya pelan sambil membanting surat itu ke meja rias. "Kenapa harus dia? Dari semua laki-laki di dunia ini... kenapa harus Pangeran Wang?!"
"Apa Tuan Putri bilang sesuatu?" tanya Meilan, dayang pribadinya, dengan senyum manis dan polos yang sangat tidak mengerti suasana hati majikannya.
"Aku bilang ayahku tega!" seru Zhao. "Mau-mau-nya menjodohkan aku dengan pria itu! Yang katanya... suka menendang pelayan cuma gara-gara tehnya dingin?!"
"Eh... mungkin teh-nya benar-benar dingin, Nona..."
"Meilan!" Zhao mendelik. "Kau mau aku dijodohkan dengan lelaki psikopat yang menganggap teh lebih penting dari nyawa manusia?!"
Meilan menunduk cepat. "Tidak, tidak, tentu tidak! Tapi... katanya dia sangat... sangat... tampan?"
"Tampan? Hah! Aku lebih butuh pria berhati hangat daripada patung berjalan!"
Zhao bangkit, menyambar jubahnya, dan berlari keluar kamar seperti angin.
"AKU KABUR!"
"Tunggu! Jangan kabur lagi, Nona Zhao! Ini yang keempat kalinya dalam dua bulan!"
"Aku lebih baik menikah dengan kucing istana daripada dengan manusia es itu!"
Meilan mengejarnya dengan langkah tergesa, napas tersengal. "Tapi kucing istana tidak bisa bicara, Nona!"
"Itu lebih baik! Setidaknya dia tidak bisa mencaciku dengan kalimat sedingin salju musim dingin!"
Rok panjang Zhao tersangkut semak-semak, tapi ia terus berusaha melarikan diri. Sayangnya, Meilan jauh lebih cepat kali ini. Dengan taktik guling cepat—Meilan menjatuhkan diri dan memeluk kaki Zhao.
"Nona... demi reputasi keluarga Zhao, berhentilah kabur setiap kali dijodohkan!"
"Aku tidak mau menikah dengan pangeran itu!" rengek Zhao seperti anak kecil. "Aku sudah punya orang yang kusukai..."
Meilan terdiam seketika. “Orang itu... lagi-lagi dia?”
Zhao mengangguk pelan, matanya berbinar seolah sedang mengingat musim semi yang lembut. “Pangeran yang kutemui waktu itu... yang menolongku di pasar. Wajahnya... senyumnya... ah~ seperti kelopak bunga sakura yang jatuh perlahan.”
---
Beberapa bulan lalu...
Zhao tengah menyamar sebagai rakyat biasa dan pergi ke pasar dekat istana. Saat ia sedang tergesa-gesa membeli jepit rambut, seseorang menabraknya dari samping. Tubuhnya hampir terjatuh jika tangan hangat tidak sigap menangkapnya.
“Berhati-hatilah, Nona. Jalanan pasar tidak cocok untuk berlari seperti di taman,” ucap suara tenang.
Zhao mendongak.
Seorang pria muda berpakaian sederhana berdiri di hadapannya, dengan senyum kecil yang membuat jantung Zhao berdentum tak karuan.
"Terima kasih... Tuan..."
Pria itu hanya mengangguk, menatap sebentar... lalu berbalik pergi, meninggalkan Zhao masih memegang jepit rambut yang belum dibayar.
“Siapa dia…” bisiknya saat itu. “Aku ingin dia jadi suamiku…”
---
Namun semua itu lenyap malam itu, saat Ayahnya masuk ke kamar dengan wajah keras.
“Kau akan pergi ke istana dan bertemu Pangeran Wang. Titik.”
Zhao menggelosor di lantai seperti boneka kain. “Tolong... siapa pun asal bukan dia...”
---
Hari keberangkatan pun tiba.
Zhao duduk di dalam kereta kuda menuju istana, wajah cemberut seperti kucing basah. Meilan duduk di sampingnya sambil menyuapkan kudapan.
"Kalau kau terus cemberut begini, kerutanmu akan datang lebih cepat dari pernikahanmu, Nona."
"Aku akan mengirim kerutanku untuk menikahi Pangeran Wang. Aku sendiri tidak ikut," gumam Zhao sinis.
Begitu tiba di istana, Zhao dipandu ke taman belakang. Para pangeran sudah berkumpul menyambut para tamu.
Zhao melirik kanan kiri... hatinya berdebar. Dan—
"Ah!" gumamnya pelan. “Itu dia…”
Sosok dari pasar berdiri di dekat pohon plum, tersenyum pada seekor kucing putih. Tapi sebelum Zhao sempat menghampiri, seseorang menabraknya dari belakang.
“Maaf, Nona, awas—”
BRAK!
Zhao kehilangan keseimbangan dan—
BLUKK!
Jatuh tepat ke dalam pelukan seorang pria berpakaian hitam kebesaran kerajaan.
Tatapan mereka bertemu.
Wajah itu dingin. Alis tajam. Mata seperti elang menilai buruannya. Dan bibir... tidak tersenyum sama sekali.
Zhao terdiam. Pria itu juga terdiam.
Lalu Zhao mengedip pelan.
“Aku tahu aku cantik... tapi kau tidak perlu menangkapku dengan begitu dramatis,” ucap Zhao sok anggun, berusaha menyelamatkan martabatnya.
Pria itu langsung melepaskannya tanpa ampun. Zhao hampir jatuh ke tanah lagi.
“Kau bodoh atau memang buta arah?” gumamnya dingin. “Tidak lihat taman ini bukan tempat pingsan?”
Zhao bangkit, menyapu debu dari roknya.
"Kalau taman ini bukan tempat pingsan, lalu kenapa kau berdiri di sini seperti patung batu menunggu nasib?"
Pria itu memicingkan mata. “Apa katamu?”
Meilan datang sambil ngos-ngosan. “Itu… itu Pangeran Wang! Nona! Itu Pangeran Wang!!”
Zhao mematung. "APA?!"
Pangeran Wang menyipitkan mata. “Jadi... kau adalah Zhao?”
Zhao tertawa canggung. “Eh... tergantung. Zhao yang mana, ya?”
“Zhao yang akan menjadi istriku.”
Zhao membeku. Ia menoleh ke Meilan dan berbisik dengan suara tercekik, “Cepat, bawa aku ke kucing istana. Aku lebih rela menikah dengannya...”
Pangeran Wang menghela napas panjang. “Aku tidak suka perempuan keras kepala. Apalagi yang suka jatuh sembarangan.”
Zhao mendengus. “Dan aku tidak suka laki-laki yang bicara seperti angin musim dingin. Tidak ada kehangatannya sama sekali.”
Keduanya saling menatap tajam.
Ketegangan di antara mereka seperti akan meledak... kalau saja angin tidak tiba-tiba bertiup membawa bunga plum yang jatuh ke bahu mereka.
Pangeran Wang melirik sekilas. “Taman ini memang tempat bencana…”
Zhao menyeringai. “Bencana? Atau... awal dari kisah cinta yang buruk?”
“Buruk?” Pangeran Wang mengangkat alis. “Sangat buruk.”
Tatapan mereka kembali bertaut.
Dan semua yang melihat mereka di taman itu tahu satu hal:
Mereka bukan bestie. Jauh dari itu.
Namun entah bagaimana... ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjodohan.
Awal dari bencana... atau keajaiban.
(Bersambung ke Bab 2...)
Pertemuan itu… tidak bisa dihindari.
Zhao menghela napas panjang setelah insiden "jatuh dan debat mulut" dengan Pangeran Wang. Dadanya masih berdegup kesal—dan sedikit geli, walau ia mati-matian menyangkalnya.
“Kenapa bukan Pangeran Yu saja yang menangkapku...” gumamnya, sambil memelototi bunga-bunga di taman seperti sedang cari kambing hitam.
Langkahnya cepat. Tatapannya tajam. Ia kembali menyisir taman—tempat pertama melihat sosok pujaan hatinya berdiri tadi.
Namun...
“Dia udah nggak di sini!” bisiknya kesal. “Ugh, si batu es itu benar-benar penyebab segalanya!”
---
Di taman utama istana, Kaisar dan Ayah Zhao sudah menunggu di bawah paviliun. Keduanya duduk santai menikmati teh, wajah tenang, gaya khas pria-pria tua yang merasa berhak menjodohkan siapa saja tanpa merasa bersalah.
Zhao muncul dengan langkah lemas. Ekspresinya seperti habis kehilangan sepatu kesayangan.
“Zhao!” tegur Ayahnya tajam. “Berhenti membuat wajah seperti habis digigit kuda! Kita sedang di depan Yang Mulia!”
Seketika, senyum manis terbit di wajah Zhao.
“Hamba memberi hormat, Yang Mulia,” ucapnya lembut, lalu menunduk sopan seperti gadis ideal yang baru turun dari surga.
Kaisar tertawa senang. “Putri Zhao sungguh cantik dan anggun. Aku harap kali ini tidak ada penolakan.”
Zhao tersenyum palsu. Dalam hatinya menjerit:
> Ha. Ha. Ha. Tolong, ada yang bisa teleportasikan aku ke bulan sekarang juga?
Kaisar mengangkat tangannya memberi aba-aba. “Panggil Pangeran Wang ke mari.”
---
Di sisi lain, Pangeran Wang duduk santai di balik jendela. Tatapannya kosong menatap taman.
“Gadis keras kepala itu masih mencoba menggagalkan semuanya…” gumamnya pelan.
Lalu ia berdiri, melirik pelayannya. “Bawakan jubahku. Mari kita lanjutkan permainannya.”
---
Langkah kaki mendekat. Zhao langsung menoleh… dan menghela napas sepanjang sungai Nil.
“Dan datanglah si pangeran beku…”
Pangeran Wang berjalan anggun, penuh aura dingin dan aura ‘aku-tak-perduli-padamu’. Tatapannya tajam, dan… senyumnya? Sinis. Seperti menertawakan nasib.
“Ah, akhirnya anak keras kepala ini mau datang,” sambut Kaisar, tertawa kecil.
Pangeran Wang membungkuk. “Hamba tidak ingin melawan titah, Ayahanda.”
Zhao hanya bisa duduk manis dengan ekspresi ‘aku-benci-hidupku’. Pandangannya tajam menatap cangkir teh.
> Kalau aku lempar cangkir ini ke kepalanya, hukumannya mati nggak ya...
Mereka duduk melingkar di bawah pohon. Kaisar tampak bersemangat, Ayah Zhao antusias, Wang diam menikmati tehnya, dan Zhao sibuk menahan emosi.
“Aku tidak tahu mana yang lebih dingin... tehnya atau orang yang minum teh itu,” bisiknya pelan.
Pangeran Wang melirik. Sudut bibirnya terangkat tipis.
“Tehnya,” katanya tenang. “Aku masih hangat… kalau dipeluk.”
Zhao memalingkan wajah. “Geli banget sumpah…”
---
Setelah pertemuan itu selesai, Zhao langsung kabur seperti kucing liar yang melihat ember air. Target selanjutnya: Pangeran Yu.
Ia menyusuri jalan samping taman, dan—akhirnya, menemukan sosok itu. Duduk di bawah pohon aprikot. Membaca kitab. Angin meniup lembut jubahnya. Cahaya matahari membentuk aura samar di sekeliling tubuhnya.
> Indah banget... seperti dalam mimpi.
“Pangeran Yu!” panggil Zhao, seperti anak kecil menemukan es krim rasa cinta pertama.
Pangeran Yu menoleh. “Ah… selamat siang. Nona…?”
Zhao tercengang. “Tidak ingat?! Aku gadis dari pasar! Yang hampir jatuh dan Anda tolong… lalu senyuman Anda bikin jantungku berhenti dua detik!”
Pangeran Yu tampak mengingat. “Pasar itu… oh, maaf, agak kabur. Itu sudah lama.”
“Aku pakai jepit bunga. Hampir nggak bayar barangku. Kau tolong aku.”
Akhirnya Pangeran Yu tersenyum. “Ah! Ya, ya… sekarang aku ingat. Maaf, saat itu ramai sekali.”
Zhao tersipu. “Tidak apa. Yang penting… sekarang aku akan pastikan kau tidak melupakanku lagi.”
Pangeran Yu tersenyum. Tapi tak seantusias yang Zhao harapkan.
> Tapi tidak apa... ini langkah pertama!
> Aku akan buat dia jatuh cinta padaku, membatalkan perjodohan, lalu menikahiku. Dan si Pangeran Batu Es? Silakan main salju sendirian.
---
Lamunan Zhao hancur… saat si pengganggu datang—lagi.
“ASTAGA. Kenapa setiap kali aku bahagia, dia muncul?!” desisnya.
Pangeran Yu berdiri, menyapa dengan sopan, “Kakak Wang.”
“Yu,” sahut Pangeran Wang datar.
Zhao melipat tangan. “Kau gangguan banget…”
Pangeran Wang melirik, lalu tersenyum miring. “Aku butuh bantuanmu, Yu. Ada dokumen pejabat lama yang perlu dikaji ulang.”
Pangeran Yu mengangguk. “Baik. Aku akan bantu.”
Zhao menahan napas. Kenapa sekarang? Kenapaaaa?!
Pangeran Wang menoleh ke arah Zhao dan berbisik, “Berani sekali seorang wanita yang dijodohkan, menggoda pangeran lain dengan tatapan seperti itu.”
Zhao mendelik. “Itu bagian dari rencana. Aku akan buat Pangeran Yu jatuh cinta, lalu membebaskan kita berdua dari pernikahan ini.”
“Kenapa kau pikir aku ingin dibebaskan?” tanya Wang dingin.
Zhao terpaku. “Lho… bukankah kau juga tidak mau menikahiku?”
“Aku tidak bilang begitu,” jawab Wang tenang. “Tapi aku juga tak perlu usaha keras. Karena kau sendiri yang menghancurkan perjodohan ini kelinci licik.”
Zhao menyipitkan mata. “Apa kau baru saja... memanggilku kelinci licik?”
“Lucu. Ceroboh. Tapi suka memberontak dan lari cepat.”
Zhao menyeringai. “Kalau begitu, semoga kau tersesat di hutan penuh wortel busuk.”
Pangeran Wang tertawa pelan, lalu pergi bersama Yu. Zhao hanya bisa mengacak rambut sendiri dengan frustrasi.
---
“Nona Zhao!” suara Meilan datang dari belakang. Nafasnya ngos-ngosan. “Akhirnya saya menemukan Anda!”
Zhao mendengus. “Kenapa kau selalu muncul setiap aku lagi dekat dengan pangeran pujaan hatiku?!”
Meilan menjawab lemas. “Karena setiap kali Nona bersama pangeran… hasilnya selalu buruk.”
“Bukan salahku! Itu semua gara-gara si... si es batu berjalan itu!”
Meilan mendekat, lalu menatap wajah majikannya yang merah padam.
“Kalau begitu... kenapa wajah Nona memerah sekarang?”
Zhao buru-buru menutup pipinya. “Aku... kepanasan! Salah matahari!”
Meilan tersenyum kecil. “Saya tak tahu apakah Pangeran Wang membuat Anda marah… atau malu.”
“MARAH!” bentak Zhao sambil menginjak rumput. “Aku benci dia! Titik!”
“Baik, saya percaya…” sahut Meilan polos. “Tapi… ekspresi Pangeran Wang tadi… seperti sedang melihat kucing liar.”
Zhao melotot. “KAU… menyamakanku dengan KUCING?!”
“Errrrrr… kucing liar yang menyebalkan, tapi lucu…”
Zhao mengubur wajahnya di tangan. “Hari ini… hari terburuk sepanjang sejarah hidupku.”
Meilan menepuk bahunya pelan. “Tapi… Pangeran Yu tadi terlihat senang melihat Nona, bukan?”
Zhao pelan-pelan tersenyum cerah. “Iya ya… dia akhirnya ingat aku! Ini langkah pertama menuju kemenangan!”
Meilan tersenyum. “Kalau begitu… langkah berikutnya apa?”
Zhao mengangkat satu jari, penuh semangat. “Mendekat. Mengikat. Menangkap. Menikah.”
“Semoga Kaisar tidak membaca pikiran Nona…”
Zhao menarik tangan Meilan. “Cepat, kita cari tahu soal Pangeran Yu! Apa makanan favoritnya? Tempat favoritnya? Dan… apakah dia suka perempuan keras kepala?!”
Meilan terkekeh. “Sebaiknya kita mulai dari dapur istana. Saya yakin Anda juga lapar.”
Zhao mengangguk. “Strategi cinta tak akan berhasil dengan perut kosong.”
Meilan mengangguk bijak. “Perut kenyang, hati tenang, cinta datang.”
---
Keduanya pun berjalan menuju dapur istana. Tapi di balik pohon, seseorang memantau dengan mata tajam...
Pangeran Wang.
Ia menarik napas dan tersenyum samar. “Kelinci licik yang cerewet… tapi entah kenapa… menarik juga untuk ditonton.”
(Bersambung ke Bab 3...)
Setelah puas menyantap berbagai hidangan manis dan gurih di dapur istana, Zhao berjalan sambil mengelus perutnya yang sedikit buncit.
“Meilan… kenapa semua makanan istana rasanya seperti surga?” gumamnya dengan wajah bahagia.
Meilan tertawa kecil. “Karena bukan Nona yang masak.”
Zhao mencibir lucu. “Dasar tidak tahu terima kasih. Aku ini calon anggota keluarga kerajaan, tahu?”
“Calon. Itu artinya masih bisa gagal, kan?” goda Meilan sambil berkedip jenaka.
“Kalau begitu, bantu aku menggagalkannya.”
---
Langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan. Lentera-lentera merah mulai menyala satu per satu, memancarkan cahaya hangat di lorong-lorong istana. Angin sore mengalir lembut, membawa aroma bunga kamboja dan teh.
Zhao menarik napas panjang. “Seandainya semua perjodohan bisa menguap seperti teh panas…”
Meilan tersenyum. “Kalau begitu, mungkin Nona perlu belajar jadi uap.”
---
Saat mereka tiba di dekat kolam istana yang jernih, Zhao duduk di pinggir batu, menikmati pemandangan bunga teratai dan bayangan bulan yang mulai muncul di permukaan air.
Hening.
Tenang.
Damai.
… sampai seseorang tiba-tiba berteriak.
“WOIIII! TOLONG SEMBUNYIKAN AKU!!”
Zhao langsung berdiri refleks. Seorang pemuda berlari ke arahnya, napas tersengal, rambut acak-acakan, dan wajah… terlalu tampan untuk disebut penjaga biasa.
“Aku mohon! Para penjaga sedang mengejarku!” bisiknya cepat.
Zhao berkedip. “Siapa—”
“Kalau mereka lihat aku, aku bisa dikurung tiga hari karena bolos pelajaran kerajaan!”
Zhao memelototi dia sejenak. Lalu menunjuk semak bunga di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, pemuda itu langsung loncat masuk ke semak seperti kelinci kabur dari kawanan anjing.
Tak lama, dua penjaga mendekat.
“Permisi, apakah kalian melihat seorang… pangeran muda lari ke sini?”
Meilan melipat tangan, tersenyum tenang. “Kami hanya lihat kelinci kecil lari ke arah belakang. Tapi kalau kelinci itu pangeran… ya itu urusan Tuhan.”
Penjaga saling pandang, menghela napas, lalu pergi.
---
Dari balik semak, terdengar suara tawa tertahan.
“Aku suka kalian! Luar biasa!”
Zhao menatap si pemuda dengan alis terangkat. “Baiklah, sekarang jelaskan. Kau siapa?”
Pemuda itu berdiri, membenahi rambutnya, lalu membungkuk dengan gaya dramatis. “Pangeran Jae Min. Anak bungsu Kaisar. Ahli melarikan diri dan pecinta camilan malam.”
Zhao dan Meilan saling pandang. Zhao akhirnya tertawa geli. “Pantas. Mukamu mirip mereka. Tapi… kabur dari pelajaran?”
“Pelajaran istana itu… membosankan. Semua tentang perang, politik, dan perjodohan. Aku lebih suka main dan… cari teman.”
Zhao duduk di batu dekatnya. “Kita punya kesamaan. Aku juga kabur dari pelajaran waktu kecil. Tapi aku tetap tumbuh jadi cantik dan pintar.”
Jae Min tertawa senang. “Wah, cocok nih! Aku sudah merasa, kita bakal jadi sahabat.”
Zhao mengangguk. “Asal jangan menjodohkanku juga.”
“Tenang. Aku lebih suka teman daripada istri. Eh, ngomong-ngomong, kau dijodohkan dengan Kakak Wang, ya?”
Zhao langsung menepuk jidat. “Tolong… jangan sebut namanya. Aku ke sini bukan untuk dia. Aku ke sini karena… Pangeran Yu.”
“Eh?” Jae Min memiringkan kepala. “Kakak Yu? Wah, ini rumit.”
Zhao mengangguk semangat. “Aku jatuh cinta padanya di pasar! Tapi justru dijodohkan dengan si batu es itu!”
Jae Min tertawa. “Kak Wang memang dingin… tapi tidak separah yang kau pikir.”
Zhao melipat tangan. “Salah. Lebih parah.”
---
Obrolan mereka penuh tawa, sampai langkah kaki mendekat dari aula.
Zhao langsung membeku.
“Tolong jangan bilang itu—”
“Zhao.”
Suara dingin menyusup ke udara seperti angin musim dingin.
Pangeran Wang.
Pangeran Jae Min melambai. “Kakak!”
Pangeran Wang menatapnya. “Kau bolos lagi?”
“Belajar itu membosankan, Kak~”
Tatapan Wang lalu beralih ke Zhao. “Dan kau… membantu dia kabur?”
Zhao menyilangkan tangan. “Aku hanya lewat. Tanganku gatal saja ingin menyembunyikan orang.”
Pangeran Wang menyeringai. “Dua kelinci licik. Sungguh kombinasi sempurna.”
Zhao mendelik. “Kelinci? Kalau aku kelinci, kau serigala! Dingin, menakutkan, dan suka menerkam tanpa alasan!”
Jae Min tertawa ngakak. “Hahaha! Serigala dingin! Cocok banget!”
Wang menatap adiknya. “Jaga sahabatmu. Dia bisa bikin istana terbakar dengan omongannya.”
Zhao mencibir. “Lebih baik aku membakar istana daripada tinggal serumah denganmu.”
---
Tiba-tiba beberapa petugas muncul dari kejauhan. Jae Min melompat kecil.
“Ups! Aku harus kabur dulu!” katanya riang, lalu lari lagi.
Zhao hendak ikut pergi… tapi kerah bajunya ditarik pelan.
“WOY! APA-APAAN?!”
“Aku yang antar kau pulang. Titah langsung sekalian aku ada tugas di luar istana.”
“TIDAAAK!!”
Pangeran wang menarik paksa zhao tapi tetap lembut
---
Di perjalanan pulang, suasana hening. Tapi tiba-tiba Pangeran Wang berhenti.
“Ada yang aneh,” gumamnya.
Zhao mendekat penasaran. “Apa?”
“Bukan urusanmu. Diam di sini.”
“Nggak! Aku ikut!”
“Kau menyusahkan.”
Zhao mendongak tajam. “Aku lebih berguna daripada kelihatannya, tahu?!”
Mereka menyelidiki bersama. Zhao sempat tersandung pot bunga dan hampir membuat seisi penjaga datang… tapi justru dari suara gaduh itulah, seorang mata-mata istana tertangkap.
Setelah selesai, Pangeran Wang menepuk kepala Zhao ringan. “Lumayan.”
“AUCH! Kau itu... kejam banget!”
---
Sesampainya di depan kediaman keluarga Zhao, Pangeran Wang hendak pamit, tapi lebih dulu berkata,
“Kenapa kau membenciku?”
Zhao mendengus. “Karena kau menyebalkan. Dan… karena aku tidak ke sini untukmu. Aku ingin memperjuangkan Pangeran Yu. Tentunya dengan bantuan pangeran Jae Min, aku akan—”
“Jae Min?” Wang menyela. “Dia bahkan tak tahu banyak tentang Yu.”
Zhao melotot. “Kenapa kau bicara seperti itu?!”
Wang bersandar di gerbang, tangan disilangkan. “Karena semua pangeran… sudah dijodohkan.”
Zhao membeku. “Apa?!”
Wang berjalan mendekat, lalu berbisik pelan di telinganya.
> “Kecuali satu—Pangeran Jae Min.”
Zhao berdiri kaku di tempat. Wang berbalik, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang.
Angin malam menyapu wajah Zhao. Roknya berkibar pelan. Ia menggenggam gaunnya erat-erat.
> “Apa maksudnya itu? Jangan-jangan… Pangeran Yu… juga…?!”
> “Kalau itu benar… maka hatiku mungkin akan patah, sebelum sempat kuperjuangkan.”
BERSAMBUNG KE BAB 4
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!