NovelToon NovelToon

KEJEBAK CINTA

Pandangan Pertama

Tatkala melihat satu temannya yang paling kalem memasuki kelas, jemari Gibran refleks berhenti memetik senar gitar. "Sendirian aja, Adara mana?"

"Lagi makan di kantin," jawab Rahsya.

"Bareng?"

"Kinan."

"Gue belum makan. Balik ke situ, yuk," ajak Gibran.

Rahsya mengedikan bahu, menarik kursi kosong di samping Gibran dan duduk.

"Biasanya Lo paling senang kalau tahu lokasi Adara berada. Kalian berdua lagi berantem?" tembak Gibran.

"Kita enggak pacaran, Gib. Dan lagi, hubungan gue sama Adara baik-baik aja," balas Rahsya.

"Cih! Enggak pacaran katanya, padahal seluruh murid asrama nusa bangsa juga tahu seperti apa kedekatan yang terjalin diantara kalian berdua!" seloroh Kevin dari ambang pintu.

Gibran meletakkan gitar hitam berukuran sedang di atas meja, sekarang pandangannya tertuju pada cowok di seberangnya. "Lo udah makan?"

"Udah!"

"Kirain belum. Boro mau diajak ke kantin," cengir Gibran.

"Makan mulu yang Lo ingat, dasar perut goni!" ejek Kevin.

"Orang laper malah diejek, cakep! Kayak Lo jagoan aja kalau laper nahan lapar," balas Gibran.

Kevin menepuk bangga perut bulat berisinya, kenyang makan. "Emang gue kuat. Nih, perut gue bulat, enggak kayak perut Lo, kempes."

Cengir Gibran melebar. Bukan gembira menyambut kehadiran cowok itu, melainkan sebal menghadapi kelakuan sombong ketua kelas.

"Penghuni asrama cuma tahu gue dan Adara dekat. Sekadar dekat. Enggak lebih. Itu berarti bukan gue dan dia ada hubungan spesial," tutur Rahsya meralat tuduhan dikatakan Kevin sesaat.

Cih.

Kevin mendekat, tidak percaya dengar pengakuan cowok menyandang peringkat satu di kelasnya. "Katanya enggak lebih? Terus gelang couple hitam berliontin sepotong hati di pergelangan tangan Lo sama di pergelangan tangan Adara, apa?"

Rahsya berdiri, menyentuh gelang di pergelangan kirinya. Gelang hitam berliontin sepotong hati.

"Lo penasaran ada sesuatu apa dibalik benda ini? Cari tahu sendiri." 

*

Di kantin, Adara sedang menyantap bakso ditemani Kinan.

"Beruntung banget hidup Lo buka pintu hatinya Rahsya," puji Kinan.

"Usaha gue dapatin dia enggak segampang yang Lo pikir," kata Adara.

Kinan mengangguk setuju, jangankan membuka gembok hatinya Rahsya secara asal, untuk berteman di sosial media dengan dia pun sulit. Seolah cowok pentolan Asrama Nusa Bangsa itu tak butuh bersosialisasi lewat dunia maya. Kehidupan sehari-hari di Asrama sepertinya sudah cukup memuaskan bagi Sangga Rahsya.

"Dia banyak pengagumnya," celetuk Kinan.

"Lo mengagumi dia?" lontar Adara.

"Gue pengecualian."

Adara mengukir senyuman, mempercayai Kinan seratus persen.

"Omong-omong bagi caranya dong, dapatin cowok ganteng mirip Rahsya. Gue pengen punya penyemangat hidup juga soalnya," lanjut Kinan.

"Emangnya anggota keluarga Lo kenapa? Kurang support?"

"Support. Tapi tetap aja gue butuh cowok buat dijadiin rumah kedua."

"Owh."

"Kadang gue suka mikir, gimana perasaan Rahsya selama menjalin hubungan cinta dengan cewek cantik model kayak Lo. Jengkel enggak?" sambung Kinan.

"Mana gue tahu. Orang gue enggak pernah nanya perasaan Rahsya kayak gimana. Hati dia tersembunyi di balik rongga paru-paru, sulit dijangkau apalagi buat diajak ngobrol," sahut Adara.

"Meski begitu, gue salut lihat Lo dicintai baik oleh dia. Rahsya sabar banget jalani ujian seekstrim ini," komentar Kinan.

Adara yang sibuk menikmati kuah bakso lantas mendongak. "Barusan ngomong apa?"

Belum sempat Kinan menjawab, seseorang lebih dulu menyahut tenang.  "Sebentar lagi bell kelas bunyi."

Kinan dan Adara menoleh, mendapati Rahsya kembali hadir di sekitarnya.

"Sejak kapan magang di situ?" todong Kinan.

"Belum lama," jawab Rahsya.

Adara mengangkat mangkuk, menghampiri Rahsya, memperlihatkan sisa bakso.

"Makanan aku belum habis," ucap Adara.

"Ya udah habisin," titah Rahsya.

"Temenin," pinta Adara.

Rahsya menggiring langkah gadis berambut cokelat panjang menuju kembali ke meja.

"Kinan, ada yang girang dengar nama Lo disebut. Tahu enggak siapa orangnya?" to the point' Rahsya.

Kinan memasang wajah tak bersahabat, tentu tahu siapa orang misterius dimaksud pacarnya Adara.

"Ada yang suka sama Kinan? Siapa?" kepo Adara disela mengunyah.

Rahsya menahan jawaban di ujung lidah, memilih tersenyum tipis menikmati ekspresi sinis gadis cantik yang duduk berseberangan dengan Adara.

"Enggak dikasih tahu sama aku, kayaknya dia udah tahu siapa orangnya," ucap Rahsya.

Kinan mendelik tak suka. Dalam hati menggerutu, kenapa bukan Rahsya saja yang memiliki rasa padanya.

*

Mobil silver memasuki halaman Asrama Nusa Bangsa. Gadis lengkap memakai seragam lamanya itu perlahan turun bersama seorang Pria.

"Kita ke ruang kepsek. Serahin berkas-berkas pindahan kamu," kata Pria jangkung.

"Iya, Pa."

Sepanjang mencari ruang kepala sekolah, anak dan Papa itu dalam sekejap jadi pusat perhatian murid-murid di sekeliling.

"Naura, bertemanlah dengan siapapun selama tidak melanggar aturan. Jangan dekati pergaulan bebas agar kamu tidak terjebak pada masalah orang lain," nasehat Papa.

Gadis berjalan tegak - penuh percaya diri, membalas rendah. "Iya, Papa."

"Calon gebetan gue!"

"Enak aja calon istri, gue, itu!"

"Elah, sok-sokan berebut, gue pawang sejatinya!"

Teriak menggoda berasal dari sejumlah cowok persis di tempatnya nongkrong membuat Naura menengok, serentak para cowok memalingkan muka, pura-pura tidak melihat.

"Hentikan menoleh ke sana kemari Naura," tegur Papa Aksan.

Sebagai pendatang baru di Asrama, Naura merasa bahwa murid di sini jelas menerima kehadirannya cukup baik.

*

Alarm sekolah berbunyi nyaring menginterupsi seluruh murid segera memasuki kelas masing-masing.

"Perut gue udah kenyang, gue enggak perlu was-was lagi nunggu jam istirahat," lega Kinan.

"Enak banget bakso uratnya nanti istirahat kita nyobain menu baru," celetuk Adara menunjukkan kesukaannya menikmati makanan berlemak.

"Boleh banget," angguk Kinan.

"Kamu sama Kinan duluan masuk. Tadi Kevin chat aku minta pergi ke perpustakaan buat ambil buku paket geografi," kata Rahsya.

"Ketua macam apa sukanya nyuruh-nyuruh, Lo enggak ada niatan marahin Kevin? Dia seenaknya udah nyuruh," omel Kinan menyahuti ucapan Rahsya.

"Gue enggak keberatan," balas Rahsya.

Kinan mencebik kesal, Rahsya terlalu baik sehingga oke-oke saja ketika dimanfaatkan.

"Kalau bawa bukunya banyak chat aku aja, nanti di kelas, aku suruh Gibran bantuin kamu," pesan Adara sambil membelai pipi Rahsya.

"Enggak perlu," larang Rahsya menurunkan tangan Adara. "Aku pamit." Imbuhnya.

Kepergian Rahsya diperhatikan Kinan dan Adara. Tak lama kemudian, kantin kosong pengunjung, barulah dua gadis itu memutuskan pergi menuju kelas.

Usai mendaftar, Naura mencium punggung tangan Papa Aksan.

"Makasih udah urus keperluan sekolahku, Pa," ucap Naura.

"Kamu adalah putri Papa, sudah kewajiban orang tua memenuhi kebutuhan anaknya. Naura ingat pesan penting Papa tadi jauhi pergaulan bebas."

Naura mengangguk.

Papa Aksan melangkah jauh hingga hilang di telan belokan.

"Mari Naura ikut saya ke kelas," ajak Bu Salma selaku wali kelas sebelas.

Naura mengikuti jejak wanita di depannya, membawa kakinya berpindah tempat menginjak teras gedung bertingkat lima.

"Sekolah kami memakai system beda gedung beda fungsi. Tidak, memang sudah menjadi rahasia umum bagi setiap sekolah. Seperti halnya asrama lain, bangunan ini tempat belajar seluruh murid. Lantai satu ditempati kelas sepuluh. Lantai dua di tempati kelas sebelas. Lantai tiga untuk kakak kelas dua belas, sementara perpustakaan, lab kimia, lab komputer dan gedung lainnya terpisah," terang Bu Salma.

"Saya lihat gedung ini memiliki lima lantai. Ibu enggak bilang lantai empat dan terakhir digunakan buat apa?" koreksi Naura.

"Lantai empat kantin dan lantai paling atas adalah rooftop."

"Apakah ada larangan jangan bawa makanan ke rooftop?" lanjut Naura.

"Ada. Sejak dulu tidak diperbolehkan bagi warga asrama menikmati makanan di atas sana. Rooftop cukup dijadikan tempat melepas penat saja, itu sudah cukup," jelas Bu Salma.

"Dimengerti Bu," ucap Naura.

Di undakan tangga menuju lantai dua, Bu Salma menjeda langkah membuat Naura yang mengekor di belakangnya ikut berhenti.

"Rahsya mau ke mana? Bell kelas sudah bunyi beberapa menit, sekarang jam pertama pelajaran ibu. Putar arah, masuk ruangan!" tegur Bu Salma.

"Mau ke perpustakaan, Bu. Buku paketnya belum tersedia," jawab Rahsya.

"Saya sudah perintah Kevin sekitar beberapa menit lalu sebelum bell bunyi buat ambil buku, kenapa jadi kamu yang repot," heran Bu Salma.

"Kevin share pesan ibu ke room chat saya," lapor Rahsya merogoh ponsel dari kantung celana abunya dan menekan ikon hijau di handphone, menunjukkan bukti perkataannya barusan.

Bu Salma merebut benda canggih peserta didiknya—hendak memarahi Kevin, sebelum kekesalannya tersalurkan, tak lupa menengok dahulu ke arah siswi di belakangnya.

"Naura, ikuti saya masuk," pungkas Bu Salma.

"Iya, Bu."

Wanita bersetelan dinas pendidikan melangkah tergesa-gesa. Naura tidak memperdulikan siswa di hadapannya yang cukup menghalangi jalannya, berhubung tak suka membuang-buang waktu, Naura mengangkat kaki siap pergi, namun Rahsya berhasil menahannya.

"Lo pindahan?" basa-basi Rahsya melirik atribut logo sekolah terpasang di bahu kanan Naura.

"Iya."

Rahsya mengikis jarak. Pijakan Naura tergerak mundur, nyaris terpeleset ke belakang, untungnya Rahsya cekat meraih pinggang ramping anak baru di depannya dan tangan lainnya gesit mencengkeram pembatas tangga untuk mencegah insiden jatuh berdua.

Lirik Rasa

Naura bernafas tak karuan, kian tak menyadari sedang memeluk erat cowok asing penyebabnya hampir jatuh.

"G-gue selamat," cicit Naura.

Rahsya menarik mundur perlahan, membawa Naura ke dekapan.

"Sorry. Gue iseng," bisik Rahsya.

Naura mencubit keras perut Rahsya membuat korban cubitannya meringis kesakitan.

"Enggak waras! Gue bisa masuk rumah sakit gara-gara ulah kejahilan Lo! Siap Lo biayain pengobatan gue seandainya beneran terjun bebas!" marah Naura.

"Ya enggak."

"Makanya jaga sikap!" Naura menginjak punggung kaki Rahsya, tambahkan mendorong juga dada di depannya agar menjauh.

*

Kevin menunduk gusar di depan wali kelas, manggut-manggut mengiyakan kemarahan Bu Salma.

"Capek ngomong sama kamu, bandel. Sekarang ambil buku paketnya," titah Bu Salma.

"Siap, Bu."

Gibran cekikikan geli menyaksikan Kevin pergi memasang wajah kecut.

"Rasain," lirih Gibran.

Pintu di belakang punggungnya ditarik tutup. Kevin menghembus kasar membendung puncak kekesalan tidak terlampiaskan.

"Apa Bu Salma enggak salah nilai, anak segagah gue dikira nakal. Kalau perilaku gue terus-menerus dicap jelek mana bisa gue geser level Rahsya ke nol besar. Selama ini, gue jatuh bangun demi dapatin gelar ketua kelas karena apa? Karena gue mau jadi juara kelas. Rahsya, Rahsya, dan Rahsya! Semua mulut doyan banget sebut namanya," gerutu Kevin.

Remaja memakai almamater abu, menjambak rambut frustasi, kepala dan hatinya panas memikirkan keunggulan Rahsya.

Kevin mengeraskan rahang, menurunkan kedua tangan ke sisi badan tatkala Rahsya kembali dengan tangan kosong.

"Lo punya dendam kesumat apa sama gue hingga segini tega laporan ke Bu Salma," desis Kevin.

"Perasaan Lo aja ngerasa gue benci sama Lo," jawab Rahsya.

Naura mematung di tengah-tengah dua cowok sedang berselisih, celingak-celinguk bergantian menatap dua siswa yang berdiri di depan dan di belakangnya.

"Feeling gue banyak benarnya jawaban Lo pasti gitu-gitu aja, basi. Kenapa enggak terus-terang ungkap unek-unek di hati Lo kalau Lo iri ke gue?" tuduh Kevin.

Rahsya menyembunyikan belah tangan ke saku celana, tersenyum malas meladeni pemimpin kelas.

Seolah membenarkan, Rahsya membalas, "Gue bayar SPP bukan mentah-mentah mau jadi tangan kaki Lo, bersaing secara sehat enggak mengurangi kadar kecerdasan, Lo, kan?"

Mata Kevin memancarkan api kemarahan, argumen Rahsya sempurna menghentikan perdebatan. Gagal menjatuhkan lawannya, Kevin melengos pergi.

"Ganteng-ganteng debat," gumam Naura.

"Tipikal cowok idaman Lo minus tempramen?" tembak Rahsya.

"Apa? Lo mau daftar jadi kandidat calon suami gue?" sahut Naura.

"Enggak."

"Mana kelas gue?" tanya Naura.

"Depan Lo." Rahsya menggerakkan dagu.

Naura hendak menggapai gagang pintu tetapi urung saat pergelangan tangannya dicekal Rahsya.

Naura menepis jemari itu. "Lo cowok pertama nyebelin di kamus gue," ungkapnya sinis.

"Ngambek gara-gara gue nolak jadi calon suami, Lo? Baper," ledek Rahsya.

"Lo ngatain gue baper? Enggak berkelas banget, lepas!" Naura menghempas tangan, memutar handle pintu, melesak masuk ke dalam kelas.

Pasang mata penghuni kelas sebelas - A, terpaku, memandang paras cantik teman baru mereka.

"Perkenalkan dirimu, Naura." kata Bu Salma.

Naura mengangguk dengan senyum. "Kenalkan, namaku Naura Natasha. Biasa dipanggil Naura. Aku pindahan sekolah asal SMA Trimaran, Jakarta Selatan. Aku harap kita berteman dengan baik, mungkin hanya itu yang dapat aku sampaikan, cukup sekian dan terimakasih atas waktu serta perhatian teman-teman sekalian."

"Salam kenal Naura!" Sembilan murid campuran cowok-cewek menyahut kompak.

Ini momen langkah terjadi dalam seumur hidup. Gibran mengambil gitar di sandaran tembok, mulai memetik senar.

...Pertemuanku denganmu jatuh cinta pandangan pertama ......

...Betapa senangnya hatiku melihatmu tersenyum selalu ......

...Ijinkan aku mengenalmu sedalam samudera......

Nyanyi Gibran dari hati paling terdalam, matanya menatap kagum sosok indah di depan kelas.

"Cieee, gombalan maut ala penyanyi dadakan, mesranya menyentil hati!"

"Ceritanya Lo nembak, Gib? Mantap liriknya, sesuai situasi!"

"Gimana tuh, hari pertama Naura pindah sekolah ditembak Gibran, terima enggak?"

"Terima! Terima! Terima!"

Seruan heboh satu kelas memohon Naura menerima Gibran.

Di luar sini, Rahsya diam-diam menguping kehebohan di dalam kelas. Kini kepalanya menoleh ke kejauhan lorong, di mana Kevin telah kembali.

"Ngapain Lo di luar, kena hukum Bu Salma?" todong Kevin begitu sejajar dengan teman belajar.

"Nunggu Lo," asal Rahsya seraya mengambil alih setengah buku paket.

"Cih, sok nungguin gue. Nih, sekalian bawa semua!" titah Kevin.

"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue? Bawa aja sendiri," tolak Rahsya lantas mendorong pintu menggunakan kaki.

"Asem!" maki Kevin.

Naura membuka mulut, hendak memberi jawaban pasti pada teman-temannya yang menunggu putusan apakah Gibran diterima atau tidak. Tetapi niatnya itu tidak jadi diumumkan saat Rahsya main nyelonong lewat disusul Kevin.

"Maaf Bu terlambat, Kevin nya ngaret di perpustakaan," ucap Rahsya sambil membagikan buku kepada teman-teman.

"Bohong Bu, orang saya ambilnya sendiri! Dia enak-enakan nunggu di-"

"Depan perpustakaan," sela Rahsya memotong cepat.

Dengusan Kevin keras mengudara membuat teman-temannya saling pandang, tidak mengerti penyebab mereka berdua susah akur.

Rahsya mencuri pandang ke belakang, di mana Naura tampak lucu meski tengah cemberut.

"Naura?" panggil Bu Salma.

Naura menoleh.

"Cari tempat duduk. Kita mulai pembelajaran," kata Bu Salma.

Naura menyapu seisi ruangan lalu mata hitam terangnya menemukan kursi kosong paling sudut.

Tiap Natasha mematri langkah, Rahsya mematung, ekor matanya mengawasi di mana berakhirnya gadis itu berhenti.

"Hei, jodoh ketua! Itu bangku gue!" seru Kevin.

Memutar tubuh, Naura menunjuk ransel tergeletak di atas meja. "Lo pemilik kursi kosong sebelah tas ini?"

"Yup."

Bangga. Kevin melangkah, menabrak bahu Rahsya, memamerkan keakrabannya dengan Naura. "Dia jodoh gue," bisiknya.

Mengetahui Naura duduk di samping Kevin, tanpa alasan jelas Rahsya memasang raut wajah dingin.

First Kiss

"Selain peristiwa tidak terduga dan tidak diinginkan yang mengakibatkan kerugian bagi manusia, kerusakan terhadap lingkungan. Coba kalian berikan pemahaman menurut masing-masing tentang arti bencana!" lantang Bu Salma.

Naura mengangkat tangan. "Bencana adalah sesuatu sebab disengaja atau tidak akibat adanya perbuatan campur tangan manusia."

Kevin menoleh kagum kepada perempuan cantik di dekatnya yang memberikan tanggapan secepat kilat. Tidak mau dianggap lemot segera Kevin mengacungkan jari. "Bencana adalah sesuatu hanya Tuhan yang tahu!"

"Bencana adalah hal yang masih bisa dipastikan kapan akan terjadinya, setelah manusia melakukan observasi terlebih dahulu menggunakan alat pendeteksi khusus, juga sesuatu sulit dihindari kejadiannya karena bencana merupakan teman setia alam yang mustahil bisa kita cegah terjadinya kalau alam sudah berkehendak," timpal Rahsya.

"Bencana adalah menakutkan!" sambung Adara.

Murid lainnya mengangguk-angguk memilah salah satu pengertian mendekati paling tepat dari jawaban keempat orang tersebut.

"Kevin, jelaskan pendapatmu, kenapa bencana hanya Tuhan yang tahu?" tanya Bu Salma.

"Karena Tuhan pencipta alam semesta enggak ada yang mustahil di dunia ini kalau Tuhan sudah berkata Kun, maka Jadilah. Misalnya di suatu daerah bencana sudah ditetapkan akan terjadi gempa, guncangan akan terjadi," jawab Kevin.

"Seratus point' untuk Kevin," ucap Bu Salma.

"Ketua gitu lho!" bangga Kevin menepuk dada.

"Selanjutnya Naura. Berikan contoh bencana alam yang ada campur tangannya manusia," pinta Bu Salma.

"Membuang sampah sembarangan ke selokan mengakibatkan tersumbatnya pipa sehingga air meluap ke daratan," jawab Naura.

"Seratus untuk kamu," senyum Bu Salma.

"Makasih, Bu."

"Berikutnya Adara. Di mana letak mengerikannya ketika terjadi bencana?" lanjut Bu Salma.

"Dampak dari bencananya itu sendiri, Bu," singkat Adara.

"Seratus." Bu Salma menambahkan nilai plus di agendanya.

"Supaya kalian memahami materi semester dua tahun ini, sekarang dipandu oleh Rahsya, kalian keluar, belajar detail tentang peristiwa bencana," tutur Bu Salma sambil menutup buku geografi.

"Bawa catatan, Bu?" tanya Rahsya sudah siap menggantikan peran gurunya.

"Seperti biasa bukunya tetap dibawa, tiba di lokasi, kamu kasih lihat prakteknya ke teman-teman, jelaskan, selesai itu kumpulkan ke saya," jelas Bu Salma.

Bingung mencerna situasi mendadak jungkir balik, Naura bengong di tempat menatap punggung Rahsya.

*

Adara menyalip beberapa orang di depannya semata untuk memeluk mesra lengan kiri pemandu perjalanan.

"Abis praktek aku minjam buku kamu, tanganku lagi mager nulis," kata Adara.

"Lihat catatan orang lain, rencananya aku mau menyalin dari buku Naura," balas Rahsya.

"Cewek baru itu? Kenapa enggak minjam milik Gibran?" tanya Adara.

"Lagi pengen minjam catatan punya anak baru."

Adara menoleh ke belakang, melihat siswi baru yang sedang bercengkrama asyik dengan Gibran, Kevin, serta Kinan.

"Kamu enggak naruh perasaan suka terhadap Naura?" cemas Adara.

Rahsya mengedikkan bahu. "Semoga enggak."

Sedangkan di posisi belakang, obrolan empat murid merambat ke topik perang tebak-tebakan.

"Tumbuhan apa yang mirip payung?" cetus Kinan.

"Gayung!" tebak Kevin.

"Itu nama benda dodol, bukan tumbuhan!" ralat Gibran.

"Jawaban Lo rubah huruf depan doang, salah!" koreksi Kinan.

"Jamur?" tebak Naura.

"Benar!" Kinan berseru, memeluk senang lengan teman pintarnya.

"Emang jamur tumbuhan? Perasaan sayuran, deh!" sanggah Kevin.

"Sayuran perasaan Lo. Perasaan gue jamur itu bahan tambahan seblak. Lo pernah nyobain seblak campur jamur onoki?" Gibran merangkul bahu Kevin, disaat-saat tertentu seperti ini mendadak rasa sebal terhadap ketua kelas sombongnya hilang.

"Jamur Enoki, Gib!" koreksi Kinan.

"He'em jamur itu maksud gue."

Kevin menggeleng. "Belum nyobain."

"Lezat tau! Rekomen buat Lo harus nyoba, soalnya enaknya bikin nagih!" saran Naura.

Nada antusias Naura kedengaran sampai barisan depan membuat Rahsya mengukir senyuman tipis, mencari makna kata diakhir kalimat. Nagih. Apanya yang bikin nagih?

Perjalanan rombongan kelas sebelas - A, sekarang memasuki setengah perut hutan Chaise. Naura mengernyit dahi mengamati keadaan di sekeliling.

"Guys, dengerin gue! Simpan alat tulis kalian menjadi satu tumpukan, abis itu ikutin gue ke sini," perintah Rahsya seraya membebaskan lengan dari kalengan Adara dan menyambung langkah mendekati genangan air di bawah akar pohon besar yang jaraknya tidak jauh dari tempat teman-temannya berada.

Naura menaruh asal pena dan bukunya, berlari kecil menghampiri Rahsya.

"Kenapa kami di bawa ke hutan? Lo menyalahi aturan apa kata bu guru," protes Naura.

"Siapa yang menyalahi aturan? Gue menuruti instruksi bu Salma," balas Rahsya seadanya.

"Jelas-jelas Lo menyalahi aturan, harusnya lapangan prakteknya bukan di sini," debat Naura.

Rahsya menoleh ke arah teman-temannya yang tengah kompak menertawai entah ada hal lucu apa di situ. Sebenarnya Rahsya tidak perduli pada mereka, dan segera memojokkan Naura ke batang pohon besar di dekatnya.

Perlakuan Rahsya di luar prediksi sungguh mengagetkan, Naura menahan nafas saat first kiss nya dicuri tanpa aba-aba.

"Ini baru dinamakan menyalahi aturan," bisik Rahsya lepas mencumbu.

Setelah bibirnya dicium sembarangan, Naura mengangkat tangan hendak menampar pipi tirus pelaku pelecehan, namun Rahsya lebih dulu menangkap pergelangannya dengan cepat.

"Berani nampar, hati Lo jadi tawanan gue," peringat Rahsya.

"Gue enggak takut!" desis Naura.

"Lo nantang? It's okay." Rahsya menunjukkan senyum miring.

Sesudahnya Rahsya menarik Naura menjauhi pohon dan mengusap lembut pergelangan tangan gadis yang sekarang berdiri menghadapnya.

"Mau gue elus lebih lama?" tawar Rahsya dengan seutas senyum.

Naura menatap tajam, menarik tangan enggan disentuh tetapi pergelangannya justru dicengkeram erat oleh Rahsya.

"Lepas detik ini juga," desis Naura.

Bukannya kasihan, Rahsya justru mengedikan bahunya acuh.

"Lo berdua lagi ngapain!" ganggu Cakra.

Rahsya dan Naura kontan menoleh ketika teman lainnya berlarian menghampiri.

"Jodoh orang jangan diembat!" seru Kevin tidak terima siswi baru itu didekati oleh cowok yang sudah dianggapnya saingan berat.

Rahsya mengabaikan kecemburuan terus-terang diperlihatkan Kevin. Lagi pula, jodoh itu rahasia di tangan Tuhan tidak ada yang tahu pasti jodoh sesungguhnya Naura kelak adalah siapa.

"Jangan sentuh jodoh gue," lanjut Kevin memasang ekspresi serius, tanpa segan menyingkirkan pegangan Rahsya dipergelangan tangan Naura, hingga lepas.

Naura kembali menahan nafas sesaat Kevin melakukan pembelaan untuknya.

"Sadar diri bro, Lo udah punya Adara. Enggak usah banyak tingkah, apalagi dekati jodoh gue," tegas Kevin.

Adara meraih lengan Rahsya dan beradu tatap dengan Kevin. "Daripada nuduh pacar gue yang aneh-aneh, tanya sama jodoh Lo, kenapa dia dekati Rahsya," sergahnya.

"Gue lihat pergelangan tangan Naura digigit semut," ucap Rahsya, tentu berbohong.

Mata Naura membulat sempurna, rasanya ingin sekali mencakar wajah Rahsya sampai tidak berbentuk karena semudah itu mengumbar kebohongan.

"Coba gue lihat," kata Kinan.

Naura langsung dikerubungi teman kelasnya.

"Kulit Lo merah," kata Dysa.

"Bekas gigitan semut nya mana? Enggak keliatan," ujar Cakra.

"Ini yang warna merah," tunjuk Farsyad.

"Masa bekas nya seluas ini, semut macam apaan!" aneh Naomi.

"Tadi Rahsya sempat pegang tangan Naura, mungkin bekas semutnya hilang," opini Vivi.

"Maksud Lo pegangan Rahsya ajaib? Bisa menghilangkan bekas gigitan hewan berukuran mikro?" tanya Dimas.

"Bisa jadi kan?" beo Vivi.

Ocehan konyol orang-orang disekitar tak dihiraukan, Naura menyentuh bibir mengikuti kode diperlihatkan Rahsya untuk mengusap bibir.

Ada sesuatu melekat pada bibir kah? Batin Naura.

Kinan yang merekam gerak jemari mencurigakan Naura, hanya diam mengamati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!