Gibran berhenti memetik senar gitar saat kemunculan salah satu temannya yang paling kalem memasuki kelas.
"Sendirian aja Adara mana?" tanya Gibran.
"Lagi makan di kantin," jawab Sangga.
"Bareng?"
"Alleta."
"Kita balik ke situ, yuk, kebetulan gue belum makan, laper," ajak Gibran.
Sangga duduk di kursi kosong samping Gibran lalu menggelengkan kepala. "Malas."
"Biasanya suka senang kalau tahu lokasi Adara berada, kalian berdua lagi berantem?" tembak Gibran.
"Kita enggak pacaran, Gib. Dan, lagi, gue sama Adara baik-baik aja," ralat Sangga.
"Jangan ngelak Lo, seluruh murid asrama nusa bangsa tahu kedekatan diantara kalian berdua!" sahut Kevin dari ambang pintu.
Gibran meletakkan gitar hitam berukuran sedang di atas meja, beralih menatap cowok di seberangnya.
"Vin, udah sarapan?" tanya Gibran.
"Udah lah!" ketus Kevin.
"Kirain belum, boro mau diajak ke kantin," ucap Gibran.
"Makan mulu yang Lo ingat, emang dasar perut goni!" cibir Kevin.
"Orang laper malah diejek, cakep! Kayak Lo jagoan aja kalau laper nahan lapar," timpal Gibran.
"Emang gue kuat, nih, perut gue bulat terisi, beda dengan perut kempes Lo!" ujar Kevin menepuk-nepuk perut kenyangnya.
Gibran tersenyum sebal menghadapi kelakuan sombong ketua kelas.
"Warga Asrama cuma tahu gue dan Adara dekat, namun bukan berarti gue dan dia ada hubungan spesial," sanggahan Sangga tertuju pada perkataan Kevin sesaat tadi.
Kevin mendekat, menepis pengakuan cowok menyandang peringkat satu di kelasnya. "Terus gelang couple hitam berliontin sepotong hati di pergelangan tangan Lo sama di pergelangan tangan Adara, apa? Cuma buat memanasi cewek di luar kelas biar Lo enggak di kejar mereka? Kalau benar tebakan gue ini, parah... selama enam bulan ini, Lo mainin perasaan Adara."
Sangga bangkit berdiri, menyentuh gelang di pergelangan kirinya.
"Lo penasaran dengan ini?" tanya Sangga memamerkan gelang.
Kevin menggeram tertahan karena kini diejek balik.
"Cari tahu sendiri."
Selesai mengatakan itu, Sangga berlalu meninggalkan ruangan.
*
Di kantin, Adara menyantap bakso ditemani Alleta.
"Beruntung banget hidup Lo bisa buka pintu hatinya Sangga," puji Alleta.
"Usaha gue dapatin Sangga enggak segampang Lo pikirin," gumam Adara.
"Betul, secara Sangga banyak pengagumnya."
"Lo mengagumi Sangga?" lontar Adara.
"Gue pengecualian."
Adara mengangguk-angguk, mempercayai Alleta seratus persen.
"Bay the way bagi caranya dapatin cowok ganteng mirip Sangga. Gue pengen punya penyemangat hidup soalnya," galau Alleta.
"Emangnya anggota keluarga Lo kurang support?" Disela mengunyah, Adara menatap lawan bicara.
"Support. Tapi tetap aja gue butuh cowok buat dijadiin rumah kedua."
"Ouh."
"Terkadang gue suka mikir, gimana perasaan Sangga selama menjalin hubungan cinta bareng cewek cantik model kayak Lo, jengkel enggak?" celetuk Alleta.
Adara kembali menatap Alleta. "Enggak tau. Orang gue enggak pernah nanya perasaan Sangga. Hatinya dia tersembunyi di balik rongga paru-paru, sulit dijangkau apalagi buat diajak ngobrol."
"Betul, intinya gue salut lihat Lo dicintai baik oleh dia. Sangga sabar banget jalani ujian seekstrem ini," komentar Alleta.
"Lo bicara sesuatu? Barusan gue enggak dengar, bisa ulang ngomong apa?"
"Kata Alleta, ijin sebentar ke belakang, dia dapat panggilan alam."
Sahutan tenang dari seseorang menyita perhatian dua siswi tersebut, Alleta dan Adara bersamaan mendapati Sangga mematung di dekat meja lain.
"Sejak kapan magang di situ?" sapa Alleta.
"Belum lama," jawab Sangga.
Adara tersenyum, mengangkat mangkuk berisi bakso dan mendekat. "Makanan aku belum habis," adunya.
"Abisin, bell kelas masih lama bunyinya," ucap Sangga.
"Temenin," manja Adara mengaitkan tangan ke lengan remaja tinggi di depannya.
"It's okay."
Sangga menggiring gadis berambut cokelat panjang bergelombang menuju meja, kembali menduduki kursi.
Alleta membuang muka merasakan tatapan Sangga tertuju padanya, tidak biasa.
"Lo kenapa?" tanya Sangga.
"Jangan lihat gue setajam silet," sindir Alleta.
Sangga menyeringai tipis, memindai terang-terangan ekspresi wajah Alleta semula tidak bersahabat kini berubah merah merona.
*
Mobil silver memasuki halaman asrama nusa bangsa. Gadis lengkap memakai seragam lamanya perlahan turun bersama seorang pria.
"Kita ke ruang kepsek, nyerahin berkas-berkas pindahan kamu," kata pria jangkung.
"Iya, Pa."
Sepanjang perjalanan mencari ruang kepala sekolah, anak dan Papa itu sekejap jadi pusat atensi murid-murid di sekeliling.
"Natasha, bertemanlah dengan siapapun asal tidak melupakan aturan keluarga kita. Jangan dekati pergaulan bebas agar kamu tidak terjebak masalah orang lain," nasehat Papa.
Gadis berjalan tegak dengan penuh percaya diri membalas lembut. "Aku mengerti."
"Calon gebetan gue!"
"Enak aja calon istri, gue, itu!"
"Elah, sok-sokan berebut, gue pawang sejatinya!"
Sahutan menggoda beberapa anak cowok dari tempatnya nongkrong membuat Natasha menolehkan wajah, serentak para cowok memalingkan muka, pura-pura tidak melihat.
"Hentikan menoleh ke sana kemari Natasha," tegur Pak Aksan.
Sebagai pendatang baru di asrama, Natasha menebak dalam diam bahwa murid di sini jelas menerima kehadirannya cukup baik.
"Aku enggak akan menyesal melanjutkan sekolah di sini," yakin Natasha.
*
Alarm sekolah berbunyi nyaring menginterupsi seluruh murid segera memasuki kelas masing-masing.
"Perut gue udah kenyang, gue enggak perlu was-was lagi nunggu jam istirahat," lega Alleta.
"Enak banget bakso uratnya nanti istirahat kita nyobain menu baru," celetuk Adara menunjukkan kesukaannya menikmati makanan berlemak.
"Kamu sama Alleta duluan masuk, Kevin ngecat aku minta pergi ke perpustakaan ambil buku paket geografi," kata Sangga.
"Ketua macam apa sukanya nyuruh-nyuruh, Lo enggak ada niatan marahin Kevin? Dia seenaknya asal nyuruh," omel Alleta menyahuti ucapan Sangga.
"Gue enggak keberatan," balas Sangga.
Alleta mencebik kesal, Sangga terlalu baik sehingga oke-oke saja ketika dimanfaatkan.
"Kalau bawa bukunya banyak chat aku aja biar di kelas, aku suruh Gibran bantuin kamu," pesan Adara sambil membelai pipi Sangga.
"Enggak perlu," larang Sangga menurunkan tangan Adara. "Aku pamit." Imbuhnya.
Kepergian Sangga diperhatikan Alleta dan Adara. Tak lama kemudian, kantin kosong pengunjung, barulah dua gadis itu memutuskan pergi menuju kelas.
Usai mendaftar, Natasha mencium punggung tangan Pak Aksan.
"Makasih udah urus keperluan sekolahku, Pa," ucap Natasha.
"Kamu adalah putri Papa sudah kewajiban orang tua memenuhi kebutuhan anaknya, Natasha, ingat pesan penting Papa tadi jauhi pergaulan bebas."
Natasha mengangguk.
Pak Aksan melangkah jauh hingga hilang di telan belokan.
"Mari Natasha ikut saya ke kelas," ajak Bu Liza yang menjadi wali kelas Xl.
Natasha mengikuti jejak wanita di depannya, membawa kakinya berpindah tempat menginjak teras gedung bertingkat lima.
"Sekolah kami memakai system beda gedung beda fungsi. Tidak, memang sudah menjadi rahasia umum bagi setiap sekolah. Seperti halnya asrama lain, bangunan ini tempat khusus belajar seluruh murid, lantai satu ditempati kelas sepuluh, lantai dua-kelas sebelas, lantai tiga untuk kakak kelas dua belas, sementara perpustakaan, lab kimia, lab komputer dan gedung lainnya terpisah," terang Bu Liza.
"Saya lihat gedung ini memiliki lima lantai. Ibu enggak bilang lantai empat dan terakhir digunakan buat apa?" koreksi Natasha.
"Lantai empat kantin, lantai paling atas rooftop."
"Apakah ada larangan jangan bawa makanan ke rooftop?" lanjut Natasha.
"Ada, sejak dulu tidak diperbolehkan bagi warga sekolah menikmati makanan di atas sana. Rooftop cukup dijadikan tempat melepas penat saja, itu sudah cukup," jelas Bu Liza.
"Dimengerti Bu," ucap Natasha.
Di undakan tangga menuju lantai dua, Bu Liza menjeda langkah membuat Natasha yang mengekor di belakangnya ikut berhenti.
"Sangga mau ke mana? Bell kelas sudah bunyi beberapa menit, sekarang jam pertama pelajaran ibu. Putar arah, masuk ruangan!" tegur Bu Liza.
"Mau ke perpustakaan, Bu. Buku paketnya belum tersedia," jawab Sangga.
"Saya sudah perintah Kevin sekitar beberapa menit lalu sebelum bell bunyi buat ambil buku, kenapa jadi kamu yang repot," heran Bu Liza.
"Kevin share pesan ibu ke room chat saya," lapor Sangga merogoh ponsel dari kantung celana abunya dan menekan ikon hijau di handphone, menunjukkan bukti perkataannya barusan.
Bu Liza merebut benda canggih peserta didiknya—hendak memarahi Kevin, sebelum kekesalannya tersalurkan, tak lupa menengok dahulu ke arah siswi di belakangnya.
"Natasha, ikuti saya masuk," kata Bu Liza.
"Iya, Bu."
Wanita bersetelan dinas pendidikan melangkah tergesa-gesa. Natasha tidak memperdulikan siswa di hadapannya yang cukup menghalangi jalannya, tak suka membuang-buang waktu, Natasha mengangkat kaki siap pergi, namun Sangga berhasil menahannya.
"Lo pindahan?" basa-basi Sangga melirik atribut logo sekolah terpasang di bahu kanan Natasha.
"Iya."
Sangga mengikis jarak membuat pijakan Natasha mundur dan nyaris terpeleset ke belakang, untungnya Sangga cekatan meraih pinggang ramping anak baru di depannya dan mencengkeram pembatas tangga.
Natasha bernafas tak karuan, kian tak menyadari sedang memeluk erat cowok asing penyebabnya hampir jatuh.
"G-gue selamat," cicit Natasha.
Sangga menarik mundur perlahan, membawa Natasha ke dekapan.
"Sorry. Gue iseng," bisik Sangga.
Natasha mencubit keras perut Sangga membuat korban cubitan meringis kesakitan.
"Enggak waras! Gue bisa masuk rumah sakit gara-gara ulah kejahilan Lo! Siap Lo biayain pengobatan gue seandainya beneran terjun bebas!" marah Natasha.
"Ya enggak," santai Sangga.
"Makanya jaga sikap!" galak Natasha menginjak punggung kaki Sangga, tambahkan mendorong dada di depannya agar menjauh.
Punggung Sangga menghantam keras tembok di belakangnya, matanya refleks terpejam menikmati rasa ngilu pada sendi-sendi tulang.
*
Kevin menunduk gusar di depan wali kelas, manggut-manggut mengiyakan kemarahan Bu Liza.
"Capek ngomong sama kamu, bandel. Sekarang ambil buku paketnya," titah Bu Liza.
"Siap, Bu."
Gibran cekikikan geli menyaksikan Kevin pergi memasang wajah kecut.
"Rasain," lirih Gibran.
Pintu di belakang punggungnya ditarik tutup, Kevin menghembus kasar membendung puncak kekesalan tidak terlampiaskan.
"Apa Bu Liza enggak salah nilai, anak segagah gue dikira nakal. Kalau perilaku gue terus-menerus dicap jelek mana bisa gue geser level Sangga ke nol besar. Selama ini, gue jatuh bangun demi dapatin gelar ketua kelas karena apa? Karena gue mau jadi juara kelas. Sangga, Sangga, dan Sangga! Semua mulut doyan banget sebut namanya," gerutu Kevin.
Remaja memakai almamater abu, menjambak rambut frustasi, kepala dan hatinya panas memikirkan keunggulan Sangga.
Kevin mengeraskan rahang, menurunkan kedua tangan ke sisi badan tatkala Sangga kembali dengan tangan kosong.
"Lo punya dendam kesumat apa sama gue hingga segini tega laporan ke Bu Liza," desis Kevin.
"Perasaan Lo aja ngerasa gue benci sama Lo," jawab Sangga.
Natasha mematung di tengah-tengah dua cowok sedang berselisih, memutar kepala bergantian menatap siswa yang berdiri di depan dan di belakangnya.
"Feeling gue banyak benarnya jawaban Lo pasti gitu-gitu aja, basi. Kenapa enggak terus-terang ungkap unek-unek di hati Lo kalau Lo iri ke gue?" tuduh Kevin.
Sangga menyembunyikan belah tangan ke saku celana, tersenyum malas meladeni pemimpin kelas.
Seolah membenarkan, Sangga membalas, "Gue bayar SPP bukan mentah-mentah mau jadi tangan kaki Lo, bersaing secara sehat enggak mengurangi kadar kecerdasan, Lo, kan?"
Mata Kevin memancarkan api kemarahan, argumen Sangga sempurna menghentikan perdebatan. Gagal menjatuhkan lawannya, Kevin melengos pergi.
"Ganteng-ganteng debat," gumam Natasha.
"Tipikal cowok idaman Lo minus tempramen?" tembak Sangga.
"Apa? Lo mau daftar jadi kandidat calon suami gue?" sahut Natasha.
"Enggak."
"Mana kelas gue?" tanya Natasha.
"Depan Lo." Sangga menggerakkan dagu.
Natasha hendak menggapai gagang pintu tetapi pergelangan tangannya dicekal Sangga.
Natasha menepis jemari Sangga, menatap kurang suka. "Lo cowok pertama nyebelin di kamus gue," ungkapnya sinis.
"Ngambek gara-gara gue nolak jadi calon suami, Lo? Baper," ledek Sangga.
"Lo ngatain gue baper? Enggak berkelas banget, lepas!" Natasha menghempas tangan, memutar handle pintu, melesak masuk ke ruangan.
Pasang mata penghuni kelas Xl A, terpaku memandang paras cantik teman baru mereka.
"Perkenalkan dirimu, Nak," kata Bu Liza.
"Hai, semuanya! Aku pindahan sekolah asal SMA Trimaran, Jakarta Selatan. Kalian bisa panggil aku, Natasha. Aku harap kita menjalin pertemanan dengan baik, cukup sekian dapat aku sampaikan, terimakasih atas waktu dan perhatiannya," tutur Natasha diakhiri sebaris senyum.
"Salam kenal Natasha!" sahut kesembilan murid campuran cowok-cewek.
Gibran mengambil gitar di sandaran tembok, mulai memetik senar.
...Pertemuanku denganmu jatuh cinta pandangan pertama ......
...Betapa senangnya hatiku melihatmu tersenyum selalu ... ...
...Ijinkan aku mengenalmu sedalam samudera......
Nyanyi Gibran dari hati paling terdalam matanya menatap kagum sosok indah di depan kelas.
"Cieee, gombalan maut ala penyanyi dadakan, mesranya menyentil hati!"
"Ceritanya Lo nembak, Gib? Mantap liriknya sesuai situasi!"
"Gimana tuh, hari pertama Natasha pindah sekolah ditembak Gibran, terima enggak?"
"Terima! Terima! Terima!"
Seruan heboh satu kelas memohon Natasha menerima Gibran.
Sangga diam-diam menguping di balik dinding luar, kepalanya menoleh ke kejauhan lorong, Kevin telah kembali.
"Ngapain Lo di luar, kena hukum Bu Liza?" terka Kevin begitu sejajar dengan teman belajar.
"Nunggu Lo," bohong Sangga lalu membawa alih setengah buku paket.
"Cih, sok nungguin gue. Nih, sekalian bawa semua!" titah Kevin.
"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue? Bawa aja sendiri," tolak Sangga lantas mendorong pintu menggunakan kaki.
"Asem!" maki Kevin.
Natasha membuka mulut ingin memberi jawaban pada teman-temannya tetapi urung ketika Sangga nyelonong masuk disusul Kevin.
"Maaf Bu terlambat, Kevin nya ngaret di perpustakaan," ucap Sangga seraya membagikan buku kepada teman-teman.
"Bohong Bu, orang saya ambilnya sendiri! Dia enak-enakan nunggu di-"
"Depan perpustakaan," sela Sangga memotong cepat.
Dengusan Kevin keras mengudara membuat teman-temannya saling pandang, tidak mengerti penyebab mereka berdua susah akur.
Sangga mencuri pandang ke belakang, di mana Natasha cemberut.
"Natasha?" panggil Bu Liza.
Natasha menoleh. "Ada apa, Bu?"
"Cari tempat duduk. Kita mulai materi pembelajaran," kata Bu Liza.
Natasha menyapu seisi ruangan, menemukan kursi kosong paling sudut.
Tiap Natasha mematri langkah, Sangga mengawasi di mana berakhirnya henti.
"Hei, jodoh ketua! Itu bangku gue!" seru Kevin.
Memutar tubuh, Natasha menunjuk ransel tergeletak di atas meja. "Lo pemilik kursi kosong sebelah tas ini?"
"Yup."
Kevin menabrak bahu Sangga, melempar senyuman tipis memamerkan keakrabannya dengan Natasha.
"Dia jodoh gue," bisik Kevin, kemudian mendekati gadis di seberangnya.
Membuang muka mengetahui Natasha duduk di samping Kevin. Sangga beranjak ke bangku, memasang ekspresi datar.
"Selain peristiwa tidak terduga dan tidak diinginkan yang mengakibatkan kerugian bagi manusia, kerusakan terhadap lingkungan. Coba kalian berikan pemahaman menurut masing-masing tentang arti bencana!" lantang Bu Liza.
Natasha mengangkat tangan. "Bencana adalah sesuatu sebab disengaja atau tidak akibat adanya perbuatan campur tangan manusia."
Kevin menoleh kagum kepada perempuan cantik di dekatnya yang memberikan tanggapan secepat kilat. Tidak mau dianggap lemot segera Kevin ikut mengacungkan jari. "Bencana adalah sesuatu hanya Tuhan yang tahu!"
"Bencana adalah hal yang masih bisa dipastikan kapan akan terjadinya, setelah manusia melakukan observasi terlebih dahulu menggunakan alat pendeteksi khusus, juga sesuatu sulit dihindari kejadiannya karena bencana merupakan teman setia alam yang mustahil bisa kita cegah terjadinya kalau alam sudah berkehendak," timpal Sangga.
"Bencana adalah menakutkan!" sambung Adara.
Murid lainnya mengangguk-angguk memilah salah satu pengertian mendekati paling tepat dari jawaban keempat orang tersebut.
"Kevin, jelaskan pendapatmu, kenapa bencana hanya Tuhan yang tahu?" tanya Bu Liza.
"Karena Tuhan pencipta alam semesta enggak ada yang mustahil di dunia ini kalau Tuhan sudah berkata Kun, maka Jadilah. Misalnya di suatu daerah bencana sudah ditetapkan terjadi gempa, guncangan pun akan terjadi," jawab Kevin.
"Seratus point' untuk Kevin," ucap Bu Liza.
"Ketua gitu lho!" sombong Kevin menepuk dada.
"Selanjutnya Natasha, berikan contoh bencana alam yang ada campur tangannya manusia," pinta Bu Liza.
"Membuang sampah sembarangan ke selokan mengakibatkan tersumbatnya pipa sehingga air meluap ke daratan," jawab Natasha.
"Seratus untuk kamu," bangga Bu Liza.
"Makasih, Bu."
"Berikutnya Adara. Di mana letak mengerikannya ketika terjadi bencana?" lanjut Bu Liza.
"Dampak dari bencananya itu sendiri, Bu," singkat Adara.
"Seratus." Bu Liza menambahkan nilai plus di agendanya.
"Supaya kalian memahami materi semester dua kali ini, sekarang dipandu oleh Sangga, kalian turun keluar untuk belajar detail tentang peristiwa bencana," tutur Bu Liza menutup buku geografi.
"Bawa catatan, Bu?" tanya Sangga sudah siap menggantikan peran gurunya.
"Seperti biasa bukunya tetap dibawa, tiba di lokasi, kamu kasih lihat prakteknya ke teman-teman, jelaskan, selesai itu kumpulkan ke saya," jelas Bu Liza.
Bingung mencerna situasi mendadak jungkir balik, Natasha bengong di tempat menatap Sangga yang mendapat tugas spesial kegiatan ngajar-mengajar menggantikan Bu Liza.
*
Adara menyalip beberapa orang di depannya semata untuk memeluk mesra lengan kiri pemandu perjalanan.
"Abis praktek aku minjam buku kamu, tanganku lagi mager nulis," kata Adara.
"Lihat catatan orang lain, rencananya aku mau menyalin dari buku Natasha," balas Sangga.
"Cewek baru itu? Kenapa enggak minjam milik Gibran?" tanya Adara.
"Lagi pengen minjam catatan punya anak baru."
Adara menengok ke belakang melihat siswi baru yang sedang bercengkrama asyik dengan Gibran, Kevin, serta Alleta.
"Kamu enggak naruh perasaan suka terhadap Natasha?" cemas Adara.
Sangga mengedikkan bahu. "Semoga enggak."
Sedangkan di posisi belakang, obrolan keempat murid merambat ke topik perang tebak-tebakan.
"Tumbuhan apa yang mirip payung?" cetus Alleta.
"Gayung!" tebak Kevin.
"Itu nama benda dodol, bukan tumbuhan!" ralat Gibran.
"Jawaban Lo rubah huruf depan doang, salah!" ujar Alleta.
"Jamur?" tebak Natasha.
"Benar!" seru Alleta memeluk gembira pada teman pintarnya.
"Emang jamur tumbuhan? Perasaan sayuran, deh!" sanggah Kevin.
"Sayuran perasaan Lo, perasaan gue jamur bahan tambahan seblak, Lo pernah nyobain seblak campur jamur onoki?" Gibran merangkul bahu Kevin.
"Jamur Enoki, Gib!" koreksi Alleta.
"He'em jamur itu maksud gue."
"Belum nyobain," geleng Kevin.
"Lezat tau rekomen buat Lo harus nyicip soalnya enaknya bikin nagih!" saran Natasha.
Nada antusias Natasha kedengaran sampai barisan depan membuat Sangga mengukir senyum mencari makna kata diakhir kalimat. 'Nagih'. Apanya yang bikin nagih?
Perjalanan rombongan kelas Xl A, memasuki setengah perut hutan Chaise. Natasha mengernyit dahi mengamati keadaan di sekeliling.
"Guys, dengerin gue! Harap simpan alat tulis kalian menjadi satu tumpukan, abis itu ikutin gue ke sini," perintah Sangga seraya membebaskan lengan dari kalengan Adara dan menyambung langkah mendekati genangan air di bawah akar pohon besar yang jaraknya tidak jauh dari tempat teman-temannya berada.
Natasha menaruh asal pena dan bukunya, berlari kecil menghampiri Sangga.
"Kenapa kami di bawa ke hutan? Lo menyalahi aturan apa kata bu guru," protes Natasha.
"Siapa yang menyalahi aturan? Gue menuruti instruksi bu Liza," balas Sangga seadanya.
"Jelas-jelas Lo menyalahi aturan, harusnya lapangan prakteknya bukan di sini," bantah Natasha berusaha meluruskan kekeliruan.
Sangga menoleh ke arah teman-temannya yang tengah kompak menertawai entah ada hal lucu apa di situ. Sebenarnya Sangga tidak perduli pada mereka, dan segera memojokkan Natasha ke batang pohon besar di dekatnya.
Perlakuan Sangga di luar prediksi sungguh mengagetkan, Natasha menahan nafas saat first kiss nya dicuri tanpa aba-aba.
"Ini baru dinamakan menyalahi aturan," bisik Sangga lepas mencumbu.
Setelah bibirnya dicium sembarangan, Natasha mengangkat tangan hendak menampar pipi tirus pelaku pelecehan, namun Sangga lebih dulu menangkap pergelangannya dengan cepat.
"Berani nampar, hati Lo jadi tawanan gue," peringat Sangga.
"Gue enggak takut!" desis Natasha.
"Lo nantang? It's okay." Sangga menunjukkan senyum miring.
Sesudahnya Sangga menarik Natasha menjauhi pohon dan mengusap lembut pergelangan tangan gadis yang sekarang berdiri menghadapnya.
"Mau gue elus lebih lama?" tawar Sangga dengan seutas senyum.
Natasha menatap tajam, menarik tangan enggan disentuh tetapi pergelangannya justru dicengkeram erat oleh Sangga.
"Lepasin detik ini juga," desis Natasha.
Bukannya tersentuh rasa kasihan Sangga malah mengedikkan bahunya acuh.
"Lo berdua lagi ngapain!" ganggu Cakra.
Sangga dan Natasha kontan menoleh ketika teman lainnya berlarian menghampiri.
"Jodoh orang jangan diembat!" sindir Kevin tidak terima siswi baru itu didekati oleh cowok yang sudah dianggapnya saingan berat.
Sangga mengabaikan kecemburuan terus-terang diperlihatkan Kevin. Lagi pula, jodoh itu rahasia di tangan Tuhan tidak ada yang tahu pasti jodoh sesungguhnya Natasha kelak adalah siapa.
"Jangan sentuh jodoh gue," lanjut Kevin memasang ekspresi serius, tanpa segan menyingkirkan pegangan Sangga dipergelangan tangan Natasha hingga lepas.
Natasha kembali menahan nafas sesaat Kevin melakukan pembelaan.
"Sadar diri bro, Lo udah punya Adara enggak usah banyak tingkah dekati jodoh gue," nada bicara Kevin meninggi satu oktaf.
Adara meraih lengan Sangga dan beradu tatap dengan Kevin. "Daripada nuduh pacar gue yang aneh-aneh, tanya sama jodoh Lo, kenapa dia dekati Sangga," sergahnya.
"Gue lihat pergelangan tangan Natasha digigit semut," ucap Sangga, tentu berbohong.
Mata Natasha membulat sempurna, rasanya ingin sekali mencakar wajah Sangga sampai tidak berbentuk karena semudah itu mengumbar kebohongan.
"Coba gue lihat," penasaran Alleta.
Seketika Natasha dikerubungi teman kelasnya.
"Kulit Lo merah."
"Bekas gigitan semut nya mana? Enggak keliatan."
"Ini yang warna merah."
"Lah, bekas nya seluas ini, semut macam apaan!"
"Tadi kan Sangga sempat pegang tangan Natasha mungkin bekas semutnya hilang."
"Maksud Lo pegangan Sangga ajaib bisa menghilangkan bekas gigitan hewan berukuran mikro gitu?"
"Bisa jadi."
Ocehan konyol orang-orang disekitar tak dihiraukan, Natasha menyentuh bibir mengikuti kode diperlihatkan Sangga untuk mengusap bibir.
Alleta yang melihat sikap Natasha lantas melayangkan pertanyaan. "Lo haus?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!