Malam hari, hujan deras mulai turun membasahi jalanan yang sepi dan gelap.
Lampu depan sebuah mobil menerangi jalan sepi, dan menyoroti tubuh seorang wanita yang terbaring diam dalam genangan air.
Napasnya tersengal-sengal dan tidak beraturan. Tubuhnya dipenuhi luka dan darah mengalir keluar dari tubuhnya.
Ia lemah dan tidak berdaya, jemarinya hanya bisa mencengkram erat-erat jalan.
Dan darah mulai merembes keluar dari kukunya serta rambutnya yang berantakan menutupi wajahnya.
"Dia sudah mati?" tanya seorang wanita dari dalam mobil, dia bersandar manja di dada pria yang memeluknya.
Pria itu menatap ke depan dan melihat banyak darah yang bersimbah di tubuh wanita tersebut.
Meski pria dan wanita di dalam mobil itu telah lama ingin membunuhnya, ini merupakan kali pertama nya melakukan sesuatu yang besar dan senekat ini.
Mereka masih merasa khawatir dan takut.
Namun, pria itu menyela. "Kita harus segera pergi!"
Wanita tersebut kemudian berkata, "Dia sahabatku, tetapi kita malah menghancurkan hidupnya. Apa kita tidak terlalu kejam padanya?"
Pria itu mencium kening wanita tersebut dan kemudian memutar kunci mobil. "Jika dia ingin menyalahkan seseorang, dia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri karena menjadi orang yang bodoh."
Pria tersebut kemudian menginjak pedal gas. Wanita malang itu hanya dijadikan pion untuk balas dendamnya.
Setelah dia memanfaatkannya, dia tidak akan membutuhkannya lagi.
Tiba-tiba, ban mobil yang berputar tanpa ampun berguling di atas lengan kanan wanita tersebut. Terdengar sedikit suara benturan dan wanita tersebut menjerit kesakitan.
Suara petir bergema dan rasa sakit yang di alaminya membuatnya tidak ingin mati begitu saja. Dia selalu merasa menjadi pengecut seumur hidupnya, bagaimana mungkin dia harus mati dengan cara yang menyedihkan seperti ini?
Namun saat ia ingin berteriak meminta bantuan, ia hanya bisa memuntahkan darah.
Saat itu, ada mobil yang berhenti di depannya. Seorang pengawal memegang payung dan membungkuk di samping wanita tersebut untuk memeriksa keadaannya, lalu kembali berlari ke mobil dan berkata, "Tuan, ini nona Vilya. Lukanya sangat serius dan saya khawatir dia tidak akan selamat."
"Vilya?" Pria di dalam mobil tersebut sedikit mengernyitkan keningnya. "Bawa dia ke rumah sakit!"
Pengawal itu sedikit bingung. Nona Vilya telah mengkhianati tuannya dan jatuh cinta dengan pria lain.
Wanita itu telah membuat tuannya kehilangan harga dirinya, namun tuannya justru ingin menyelamatkannya sekarang.
Apa yang sedang terjadi?
......................
Setelah setengah tahun kemudian.
Di sebuah gedung megah di pusat kota, upacara pernikahan sedang diadakan.
Di sana karpet merah membentang dan bunga-bunga mahal menghiasi setiap sudut ruangan, bahkan tamu penting semua hadir di acara tersebut.
Pendeta tersenyum bahagia dan mengumumkan, "Sekarang, silahkan mencium mempelai—"
Ucapan pendeta tersebut terpotong saat suara tawa wanita terdengar.
Acara tersebut seketika hening sesaat dan semua orang menoleh dan merasa terkejut. "Bukankah itu nona Vilya?" Ujar para tamu yang berada di sana.
Karina, sang pengantin tersentak "Bagaimana bisa, bukan kah kita udah—"
"Kalian pikir aku udah mati ya?"
Sebelumnya, untuk menghindari kecurigaan, mereka berangkat ke Amerika. Bahkan mobil yang menyebabkan kecelakaan itu pun hancur. Mereka tidak menyangka ia ternyata tidak mati.
"Ansel, bukankah kamu mengatakan bahwa kamu hanya akan mencintaiku seumur hidupmu?" ucap wanita tersebut yang tak lain adalah Vilya Ariestha Elora.
Hari ini adalah awal musim dingin.
Tapi suasana di ruangan itu terasa mencekam sejak kemunculannya.
Ia mengenakan mantel bulu seputih salju dan gaun merah serta riasannya terlihat sangat indah. Dia menggunakan tangan kirinya untuk menutupi bibir merahnya dengan halus dan tersenyum manis.
Ansel juga terkejut. Dia menatapnya sesaat dan menyadari bahwa wanita tersebut begitu cantik, namun karakternya sangat membosankan baginya. Namun, kali ini ia tampak berbeda.
Seorang wanita tak lain, Karina, menahan amarah di dalam hatinya dan memasang penampilan polos dan lemah. Lalu berkata, "Kami saling mencintai."
Ia perlahan mulai berjalan dan mendorong pendeta itu agar menjauh. Lalu, dia melepaskan ikatan mantel bulunya. "Karena kamu sangat mencintainya, maka kita bertiga harus mati bersama!"
Diri nya telah memberi kesabaran dan sepuluh tahun cinta tulus pada Ansel, namun apa yang dia terima hanyalah rasa sakit karena sebuah pengkhianatan.
Dia telah menunggu momen seperti ini terlalu lama. Seberapa bagusnya jika segalanya bisa dimulai kembali? Jika bisa, dia bersumpah bahwa ia akan membuat gerombolan sampah ini mati dengan mengerikan.
Ia menjatuhkan mantelnya dan mulai mendekat ke arah mereka. Lalu, ia dengan cepat menyalakan bahan peledak mini yang di ikatkan di tubuhnya.
Di tengah keterkejutan semua orang, para tamu yang hadir segera berlari untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, ia hanya menatap Ansel dan Karina.
“Jika hidupku bisa di ulang kembali, aku tidak ingin menjadi sosok gadis yang baik untuk kalian injak-injak.”
Ia tersenyum lembut untuk terakhir kalinya, tapi perasaan nya hancur. “Sampai mati pun, aku akan ingat semuanya.”
Dan saat itu juga mereka bertiga hancur bersamaan dengan ledakan itu. Adegan pernikahan yang awalnya indah langsung dipenuhi darah.
Rasa lelah itu berat, seperti tubuhnya tenggelam dalam kabut tebal. Tapi di tengah itu, ada sepasang tangan hangat yang terus membelai pipinya dengan lembut, seolah tak rela melepaskan.
Seorang wanita cantik, tapi raut wajahnya nampak lelah dan menarik napas dalam. Tangannya merendam handuk ke dalam baskom air dingin, memerasnya perlahan, lalu meletakkannya di dahi gadis yang terbaring di depannya.
“Nyonya, tolong pikirkan lagi baik-baik,” ucap seorang pria dari sudut ruangan.
"Aku bisa menjaganya dengan baik." Wanita cantik itu berkata dengan suara serak.
Pria itu jelas tidak percaya padanya. "Jika nyonya bisa merawatnya, bagaimana nona Vilya bisa sakit begini?"
"Aku..." Wanita cantik itu mengigit bibir bawahnya, dia tidak mampu berbicara.
Tiba-tiba, suara lirih memecah keheningan.
“Ma…”
Rosalina tersentak. Air mata langsung mengalir di pipinya saat tangan putrinya menggenggam balik jemarinya. Vilya, putrinya yang selama ini begitu kuat, akhirnya memanggilnya dengan suara yang penuh luka.
Di kehidupan sebelumnya, orang tuanya bercerai sebelum ia lahir dan ibunya yang sedang hamil diusir. Kemudian, di bawah perlindungan kakeknya, dia kemudian bisa kembali memasuki keluarga Elora.
"Mama?" Mendengar suara putrinya Rosalina menghela nafas lega dan tangannya menggenggam erat jemari putrinya.
Dengan susah payah, ia membuka matanya. Pandangannya masih kabur, tapi sosok yang duduk di sisi ranjang itu tak berubah. Senyumnya lelah, tapi matanya penuh cinta.
Ia terdiam. Lalu tiba-tiba, dia bangkit dan memeluk ibunya erat-erat.
“Sayang… apa kamu merasa sakit, di bagian mana? Mau Mama bawa ke rumah sakit sekarang?” tanya Rosalina panik.
Vilya diam-diam menggelengkan kepalanya dan memeluknya dengan erat. Kemudian ia melihat dirinya di cermin yang tidak jauh darinya dan wajah kecilnya yang cantik dan lembut sama sekali tidaklah berubah.
Ia kemudian melihat sekelilingnya. Ini adalah rumah yang ia tinggali selama 17 tahun. Ia kemudian menatap pria yang berada di samping tempat tidurnya lagi.
Ia sekarang mengerti, dirinya telah terlahir kembali saat ini, saat dia berusia 17 tahun.
"Jangan membuat Mama cemas!" Rosalina melihat penampilan putrinya dan juga ada rasa khawatir. Dia segera bangkit, "Vilya, jangan khawatir. Mama akan membawamu ke rumah sakit sekarang juga!"
"Ma, aku baik-baik saja." Ujarnya lalu berkata, "Jangan pergi."
"Baiklah." Rosalina duduk di sisi tempat tidur dan memeluk putrinya. Perasaannya di penuhi rasa sedih. "Bagaimana keadaan mu sekarang?"
"Aku merasa baik-baik saja" Ia menyandarkan kepalanya ke pelukan sang ibu dan telinganya bisa mendengar suara detak jantung ibunya yang stabil.
Saat ia kembali memejamkan matanya, bayangan ibunya bunuh diri dan sekarat terlintas di pikirannya. Ia semakin menguatkan pelukannya. "Ma, jangan pergi ya."
"Mama tidak akan pergi." Rosalina melirik pria di sampingnya dan bertanya padanya,
"Meskipun ini tampak mendadak, apakah kamu ingin pergi ke tempat ayahmu berada?"
Ia melirik pria di sampingnya. Ia menyadari bahwa dia adalah seorang kepala pelayan di kediaman Elora. "Aku punya ayah? Apakah dia masih ada? Kenapa aku belum pernah mendengar Mama menyebutnya sebelumnya?"
Rosalina mendengarkan pertanyaan putrinya dan ragu sejenak sebelum menjawab, “Mama belum sempat cerita... Itu semua terlalu rumit waktu itu.”
Pria itu akhirnya melangkah lebih dekat, lalu sedikit membungkuk sopan.
“Nona, izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Erland, kepala pelayan di Mansion Elora. Saya datang ke sini untuk menjemput Nona dan mengantar pulang ke rumah... ke tempat ayah Anda.”
Ia menatapnya dalam-dalam.
Kepala pelayan yang sama...
Di kehidupan sebelumnya, pria inilah yang pernah mengancamnya saat ia mencoba membuka identitas aslinya.
Erland berdiri di ambang pintu, mencoba meyakinkan.
“Benar, Nona. Mari ikut saya pulang ke Mansion,” ujarnya dengan senyum ramah.
“Saya dengar dari Nyonya, Nona gagal dalam ujian dan tidak diterima sekolah. Kalau Nona bersedia ikut ke Mansion, tuan akan mengurus hal-hal mengenai pendidikan nona agar bisa bersekolah kembali."
Kondisi kehidupan di Mansion juga baik." Ia melihat sekelilingnya dengan jijik. "Jauh lebih baik dari pada disini."
“Aku nggak mau ke sana,” ucap Vilya datar, tanpa ragu sedikit pun.
“Kamu hanya seorang kepala pelayan, tapi sikapmu udah begini. Jika aku kembali bersamamu, apakah mereka akan memperlakukanku dengan baik!"
Ekspresi wajahnya berubah sesaat. "Kamu terlalu banyak berpikir Nona."
“Kamu bisa pergi,” ucap Vilya, masih dingin.
“Aku nyaman di rumah ini. Tempat ini jauh lebih hangat dari pada bangunan megah yang isinya cuma kepalsuan.”
Erland tak menyangka ditolak mentah-mentah. Ia menoleh ke Rosalina, berharap wanita itu akan membujuk putrinya.
Perasaan Rosalina saat ini sedang berantakan. Dia benar-benar tidak rela berpisah dengan putrinya, tetapi seperti yang dikatakan Erland, putrinya akan memiliki kehidupan yang lebih baik kedepannya.
Namun sebelum ia sempat bicara, Vilya menyela. “Ma, kamu nggak perlu bujuk aku.”
Lalu tatapannya beralih tajam ke Erland. “Kamu bisa pergi. Aku mau istirahat.”
Tapi saat hendak menutup pintu, ia mendengar sesuatu—bukan dari mulut Erland, melainkan... dari pikirannya.
"Gadis ini menyebalkan. Disuruh pindah ke tempat layak malah mau tetap tinggal di lingkungan kotor kayak gini. Dia pikir dia siapa, hah?"
Vilya menatapnya. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya dingin dan tajam, seperti pisau.
Apa barusan... isi hatinya?
Apa aku bisa mendengar... pikiran orang?
Ia mencoba memancing lagi. “Mungkin... aku akan mempertimbangkan nya,” katanya pelan.
Pelayan Erland sangat senang dalam hatinya berkata, "Akan lebih baik jika kamu berpikir seperti itu! Aku tahu bahwa gadis ini tak mungkin bisa menahan diri. Trik murahan itu dipakai juga.”
Ia mendengarkan isi batin pelayan tersebut tanpa melewatkan satu kata pun. Ia sangat kesal. Kemudian berkata, “Aku bukannya nggak mau,” ucapnya, tajam.
“Tapi setidaknya... keluarga itu tahu caranya menghargai. Kalau mereka sungguh peduli, kenapa yang dikirim hanya seorang pelayan? Bahkan tanpa satu pun kata permintaan maaf atau undangan yang pantas. Aku bukan barang yang bisa diseret begitu saja.”
Erland terdiam. Wajahnya memerah karena malu dan marah.
Akhirnya Erland mulai membanting pintu dan pergi.
"Vilya." Rosalina menatap putrinya yang temperamennya telah berubah drastis dan sedikit heran. Apakah ia masih anak perempuannya yang penurut dan tertutup?
"Ma." Melihat ekspresi, ia tahu bahwa saat ini ibu nya sedang bingung dengan sikapnya.
"Aku merasa tidak nyaman. Seorang ayah tiba-tiba pergi dan seseorang ingin memisahkan kita. Aku merasa sangat tidak nyaman."
"Mama mengerti." Rosalina juga merasakan apa yang dia rasakan dengan putrinya jadi dia mengulurkan tangan dan memeluknya. "Jika kamu tidak ingin kita berpisah, maka kita tidak akan berpisah."
Ia menutup mata, membiarkan air mata yang tertahan akhirnya jatuh juga. Dunia yang dulu ia kenal sudah tak ada.
Tapi di sini, bersama ibunya, ia ingin memulai segalanya dari awal—dengan cara yang lebih baik, demi dirinya sendiri. Dengan hati yang tenang, langkah yang baru, dan keyakinan yang tak lagi rapuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!