NovelToon NovelToon

Istrimu Aku, Bukan Adik Iparmu

Awal Kehancuran (Yujin)

POV : Song Yujin

Langit cerah menggantung di atas halaman rumah ibu mertua Chungyeon. Pepohonan mulai meranggas, menandakan awal musim gugur yang cantik dan damai. Udara dingin menyusup melalui celah-celah jendela, tapi di dalam rumah, kehangatan tersebar dari wangi sup daging, kue songpyeon, dan suara tawa yang mengalun dari ruang tamu.

Hari ini Chuseok dan seperti tahun-tahun sebelumnya, seluruh keluarga besar Kim berkumpul di rumah tua peninggalan ayah mertua Kim. Setelah meninggalnya ayah dua tahun lalu, rumah itu menjadi lambang kenangan dan ikatan. Tempat di mana kami masih bisa merasa seperti keluarga yang utuh.

Aku menata tumpukan buah pir dan apel di atas nampan kayu, lalu menyusunnya rapi di meja altar kecil dekat foto almarhum ayah mertua. Aku merapikan rambut yang sedikit acak, lalu menyeka peluh di pelipis dengan punggung tangan. Perutku yang membuncit membuat pergerakanku sedikit lamban, namun aku bersikeras tetap aktif membantu ibu Chungyeon menyiapkan makan siang besar.

“Sudah cukup, Yujin. Duduk saja. Nanti kamu bisa pusing kalau terlalu lama berdiri,” suara ibu mertua terdengar lembut namun tegas. Ibu mendekat, lalu menepuk bahuku dan tersenyum, “kamu sudah bekerja keras. Setiap Chuseok, kamu selalu memasak untuk keluarga besar. Sekarang juga masih kamu lakukan, padahal kamu sedang hamil.”

Aku pun tersenyum kecil, “aku suka melakukan ini, Ibu.”

“Kamu juga harus istirahat, sayang,” sahut ibu sambil menatapku penuh kasih.

Dari sudut ruangan, terdengar langkah kaki kecil berlari. Sunghan, putra keduaku, muncul sambil membawa boneka serigala kesayangannya.

“Mama! Paman Jisung sudah datang! Yewon juga ikut!” serunya.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki dewasa menyusul. Jisung, adik suamiku, masuk sambil membawa kotak makanan, diikuti oleh istrinya, Hana, yang mengenakan hanbok merah muda pucat. Yewon memegang tangan Jisung dengan erat, lalu melambai pada Sunghan.

“Hyung, sudah lama tidak bertemu,” kata Jisung pada Jihoon, suamiku, yang baru turun dari tangga.

Jihoon menepuk pundaknya, “kamu telat seperti biasa.”

“Kamu juga tetap seperti biasa, suka mengomentariku lebih dulu daripada menyapa.”

Kakak beradik itu pun tertawa pelan dan berpelukan sebentar. Aku pun segera menyambut Hana dengan pelukan hangat.

Setelah semua makanan tertata, kami duduk bersama di meja makan panjang. Kami mendengarkan cerita masa kecil suamiku dan adik ipar yang diulang-ulang oleh ibu. Sunghan dan Yewon duduk berdampingan, mereka saling menyuapi tteok satu sama lain seperti pasangan kecil. Mereka tampak sangat menggemaskan.

Aku sesekali mengusap perut ketika merasakan tendangan kecil dari dalam. Bayi ketigaku dan Jihoon sehat, dokter bilang kehamilanku akan baik-baik saja.

Sumin, putri sulungku, datang terakhir. Ia baru selesai latihan basket di sekolah. Gadis remajaku itu memang agak tomboy. Dengan rambut masih basah karena keringat dan tas disampirkan di bahu, ia masuk dengan langkah cepat dan langsung menghampiriku.

“Sayang, kamu sudah pulang?” seru Jihoon saat melihat putri kami mendekat.

Sumin hanya berdeham tanpa membalas, lalu menuju ke arahku.

“Ma, aku bawa kue coklat yang mama suka dari toko di samping sekolahku,” katanya sambil menyodorkan sepotong kue yang dibungkus cantik.

“Terima kasih, sayang,” ucapku sambil mencium pipinya.

 Putri remajaku sudah lebih tinggi dariku. Di balik wajah seriusnya, aku tahu hati Sumin paling lembut. Ia selalu peka terhadap emosiku, lebih dari suamiku sendiri. Maka dari itu, ketika kemarin aku bilang kalau aku ngidam kue coklat, ia langsung membelikanku hari ini.

Kami pun lanjut makan bersama. Suasana hangat ini tidak bisa menutupi gejolak aneh yang membuatku tidak nyaman. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Hana menyentuh lengan Jihoon saat mengambil sendok. Sentuhan itu terlalu lama dan seperti disengaja. Senyum Hana juga terlalu manis. Jihoon tidak menghindar, tapi ia malah tersenyum balik.

Aku menggigit bibir bawah saat merasakan cemburu mulai menjalar, lalu menatap kembali ke piringku dan menyuapkan potongan bulgogi ke mulut. Mungkin aku hanya lelah. Atau mungkin hormon kehamilan membuatku lebih sensitif.

...----------------...

Hari sudah mulai sore, semua orang mulai berbincang di ruang tamu dan anak-anak bermain petak umpet di halaman, aku pun memutuskan untuk kembali ke dapur untuk memakan kue coklat yang tadi dibeli Sumin. Aku berdiri perlahan sambil memegangi perut. Saat berjalan melewati lorong menuju dapur, aku mendengar suara bisik-bisik.

"—aku bilang jangan terlalu sering menatapku di depan mereka."

"Itu hanya tatapan biasa, Hana. Tidak akan ada yang sadar."

Hening.

“Kamu yakin?” suara Hana terdengar gemetar, setengah khawatir, setengah menantang.

“Tenang saja. Kita sudah sejauh ini. Kita bisa bersembunyi seperti sebelumnya.”

Langkahku terhenti dengan sekujur tubuh membeku. Tanganku bergetar memegang dinding.

“Tidak mungkin.”

Aku masih berusaha mencari penjelasan logis atas situasi ini. Tapi apa yang logis ketika suamimu dan istri adik iparmu berbisik-bisik dengan cara yang intim?

Dengan langkah terhuyung, aku segera kembali ke ruang tamu dengan senyum yang dipaksakan. Aku tidak bisa membuat suasana kumpul keluarga ini menjadi suram. Ya, aku bisa membohongi keluargaku dengan pura-pura terlihat baik-baik saja di depan mereka. Hampir semuanya.

“Ma?” panggil Sumin yang berhasil melihat ekspresi tegangku, “ada apa?”

“Tidak apa-apa, sayang,” balasku cepat, “mama … mama hanya mual sedikit.”

Sumin masih menatapku dengan pandangan penuh selidik, tapi tidak bertanya lebih lanjut.

Hari itu berlalu dengan banyak tawa dan foto keluarga yang diambil di rumah mertuaku. Tapi jauh di lubuk hatiku, sesuatu mulai terkikis. Retakan kecil telah terbentuk. Dan tanpa aku sadari, seiring waktu, retakan itu bisa jadi jurang besar.

Yang terlihat sempurna hari ini … mungkin hanya ilusi.

...----------------...

Latar novel ini di Korea Selatan ya, jadi tokohnya pakai nama Korea

Awal Kehancuran (Yewon)

POV: Kim Yewon

Di usiaku yang ke-5 ini, aku senang bisa berkumpul dengan keluarga besar di rumah nenek Chungyeon. Waktu Chuseok selalu jadi waktu yang paling aku tunggu-tunggu. Aku suka semuanya, mulai dari wangi tteok panggang, Hangatnya pelukan nenek Chungyeon, hingga suara gemerincing hanbok saat orang-orang berjalan di rumah besar peninggalan kakek. Rumah itu luas dengan lantai kayu khas rumah tradisional Korea. Semuanya tampak sempurna. Tapi kenapa Chuseok tahun ini ... terasa berbeda?

Bukan dari makanannya. Songpyeon buatan tante Yujin masih enak seperti biasanya. Bukan juga dari orang-orangnya, semuanya hadir lengkap, kecuali kakek yang hampir tidak aku ingat wajahnya. Tapi suasananya aneh. Aku tidak nyaman.

Aku sedang duduk di pangkuan mama saat keluarga besar menonton video lama yang diputar di ruang tengah. Aku menyandarkan pipi ke bahu nyaman mama sambil menikmati suara tawa orang-orang dewasa dan jerit kegirangan anak-anak dalam video. Itu video ulang tahun Kak Sumin waktu dia umur sembilan tahun. Tubuhnya masih kecil dan gemuk dengan topi kerucut miring di kepalanya.

“Lucu sekali dia waktu kecil,” kata Paman Jihoon sambil tertawa, “dia menangis cuma karena balon meletus.”

“Tapi sekarang Sumin sudah tumbuh tinggi,” timpal Papa Jisung sambil terkekeh pelan.

Semua orang tertawa membuatku ikut tersenyum kecil. Tapi saat aku mengangkat kepala dan menoleh ke arah Paman Jihoon, mataku menangkap sesuatu.

Paman sedang menatapku. Eh, bukan. Ia menatap mama yang sedang memangkuku.

Dan mama menatap balik.

Pandangan itu bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Tidak ada senyum yang terpaksa. Tidak ada kesadaran bahwa orang lain sedang memperhatikan. Seperti hanya mereka berdua di dunia ini.

Aku menelan ludah dengan perasaan tidak nyaman.

“Wonnie mau minum” cicitku.

“Wonnie mau minum? Bisa ambil sendiri, kan? Seperti yang mama ajarkan,” ucap mama yang aku balas dengan anggukan, “hati-hati ya, Sayang.”

Aku pun mengangguk kecil, lalu melompat turun dari pangkuan mama. Aku berjalan ke dapur dan menuang air sendiri. Mama selalu mengajarkan supaya aku menjadi anak yang mandiri, meski usiaku masih terlalu dini. Tanganku gemetar sedikit saat menuang air ke gelas. Aku diam sejenak di sana, lalu mengintip ke ruang tengah lagi. Mama dan Paman Jihoon sekarang duduk berseberangan, tapi ... mereka masih curi-curi pandang.

‘kenapa mereka bersikap aneh?’ batinku bingung.

...----------------...

Saat sore tiba, aku dan Sunghan bermain di halaman belakang. Tante Yujin sedang beristirahat di kamar bersama nenek dan Kak Sumin, sementara para lelaki dewasa sibuk ngobrol di ruang tamu. Aku dan Sunghan bermain lempar bola sambil berlarian mengelilingi taman kecil yang ditanami pohon jeruk.

“Kita pura-pura jadi pemain sepak bola!” kata Sunghan.

“Kamu pasti jadi penjaga gawang yang selalu jatuh,” ejekku pada sepupuku.

Sunghan cemberut, tapi kemudian kami tertawa. Kami bermain cukup lama sampai napas kami terengah dan pipi merah karena udara dingin. Saat Sunghan bilang ingin ke toilet, aku pun memutuskan menendang bola sendirian ke dinding batu. Huft, aku menendang terlalu jauh. Dan aku harus mengambil bola itu.

Saat itulah, aku melihatnya.

Dari tempatku berdiri saat ini, aku bisa melihat balkon di lantai dua. Balkon kecil itu berada di kamar tamu. Aku melihat mama berdiri di sana. Awalnya, aku pikir mama sedang menelepon seseorang, tapi lalu Paman Jihoon muncul dari balik pintu. Ia bergabung berdiri di sebelah Mama. Mereka berbicara pelan, dan tentu saja aku tidak bisa dengar kata-katanya, tapi gerakan tubuh mereka terlalu dekat.

Mama menunduk dan tertawa kecil. Paman Jihoon menyentuh punggung tangannya. Hanya sebentar. Tapi cukup lama bagiku untuk melihat bahwa itu bukan sentuhan biasa. Hingga paman membawa telapak tangan mama untuk dicium.

Aku mematung.

Perutku terasa mual tiba-tiba. Aku tidak tahu mengapa, tapi dadaku terasa sesak, seperti saat aku ketahuan memecahkan vas bunga milik mama tapi tak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Campuran rasa bersalah dan bingung itu kembali menghantam sekarang, padahal aku tidak melakukan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang anak berusia 5 tahun sepertiku lakukan jika berada di posisi ini. Apakah harus berteriak atau memanggil papa? Tapi mulutku seperti terkunci, jadi aku memilih mundur, melangkah perlahan ke dalam rumah lewat pintu belakang.

...----------------...

Aku berjalan mengendap masuk ke dalam rumah. Di dapur, aku melihat tante Yujin sedang berdiri sendiri di lorong sambil memegang gelas teh yang belum sempat diminum. Matanya kosong. Wajahnya pucat. Saat ia tidak sengaja melihatku, ia tersentak sedikit, tapi buru-buru memasang senyum.

“Tante Yujin?” panggilku pelan.

Tante Yujin berusaha tersenyum lagi, “Wonnie … sudah selesai mainnya?”

“Iya,” jawabku ragu-ragu.

Tante Yujin sudah seperti mama kedua untukku. Dia sangat baik. Aku merasa nyaman di dekat tante. Jadi, aku pikir, mungkin tidak akan menjadi masalah kalau aku bertanya padanya.

“Tante Yujin, boleh tanya sesuatu?” cicitku.

“Tentu saja, sayang,” ucap tante Yujin sambil mengusap kepalaku dengan lembut.

“Kalau … dua orang saling pandang terus sambil tersenyum … itu artinya mereka suka satu sama lain, ya?”

Aku bisa melihat tante Yujin terdiam sesaat. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah.

“Kadang, iya,” jawabnya pelan, “tapi kadang juga cuma bentuk ramah tamah. Memangnya kenapa, sayang?”

Aku menggeleng cepat, “oh, tidak, Tante. Cuma tanya aja…”

Tante Yujin menunduk, lalu mengusap kepalaku dengan sorot mata prihatin, “kalau Wonnie lihat sesuatu yang bikin Wonnie tidak nyaman, Wonnie boleh cerita sama tante. Wonnie tidak perlu takut.”

Aku menggigit bibir menahan tangis. Aku ingin bercerita. Aku tidak kuat menahan sesak ini sendirian. Tapi kalau benar … kalau memang mama menyukai Paman Jihoon … kalau itu membuat papa sedih … aku tidak mau keluarga kami rusak. Jadi yang bisa aku lakukan hanya memeluk perut besar Tante Yujin.

“Wonnie sayang sama tante Yujin.”

Tante Yujin tertawa pelan dengan mata berkaca, “tante juga sayang sama Wonnie.”

...----------------...

Setelah menginap semalam, kami pun pulang. Papa menyetir mobil sambil bersiul pelan. Mama duduk di sebelahnya dengan diam. Sedangkan aku duduk di kursi belakang sambil berpikir. Entah apa yang aku pikirkan. Aku tidak tahu. Kepalaku penuh.

“Mama,” panggilku dengan suara pelan, “mama sayang Wonnie?”

Mama menoleh cepat, lalu tersenyum, “tentu saja, sayang. Wonnie putri kesayangan mama.”

“Mama juga sayang papa?” tanyaku lagi.

Mama terkekeh pelan, “tentu saja. Kenapa Wonnie tanya begitu?”

Aku menunduk sambil meremat baju, “kalau mama sayang papa … kenapa mama lebih sering senyum ke Paman Jihoon kemarin daripada ke papa?”

Siulan papa berhenti.

Mobil tiba-tiba terasa sunyi.

Mama tertawa pelan, suara tawanya terdengar canggung, “paman Jihoon banyak cerita lucu, jadi mama sering tersenyum.”

“Oh…” jawabku tidak bersemangat.

Aku memilih untuk menatap ke luar jendela. Apa mama pikir aku mudah dibohongi karena masih kecil? Mama pikir aku tidak tahu kalau itu bukan cuma lelucon?

Aku akan mengingat semuanya.

Karena kadang, anak kecil melihat lebih banyak dari yang disangka orang dewasa.

...🥀🥀🥀🥀🥀...

Awal Kehancuran (Sumin)

POV: Kim Sumin

Sudah lewat tengah malam. Di luar, angin bertiup pelan menggoyangkan tirai jendela kamar tamu. Rumah nenek begitu tenang, seakan semuanya telah kembali pada sisa-sisa kenyamanan setelah hari yang panjang. Tapi bagiku, malam ini jauh dari tenang.

Aku duduk di tepi tempat tidur dengan kedua siku bertumpu di lutut. Ponselku tergeletak di kasur, layarnya menyala dengan notifikasi grup basket sekolah, tapi aku tidak peduli. Pikiranku masih penuh dengan apa yang aku lihat dan aku rasakan sepanjang hari.

Ada yang tidak beres. Aku bukan anak kecil lagi. Aku mungkin masih remaja, tapi aku tahu betul bagaimana orang-orang yang saling menyimpan rahasia bersikap. Dan hari ini … papa dan Tante Hana terlalu sering bertatapan. Terlalu banyak senyum yang tidak biasa. Terlalu sering melempar isyarat rahasia.

Bukan hanya itu.

Mama terlihat lelah. Wajahnya mungkin tetap lembut seperti biasa, tapi sorot matanya seperti kosong. Ia tak banyak bicara sejak makan malam. Bahkan saat Sunghan merajuk minta digendong, mama hanya mengusap kepalanya tanpa banyak ekspresi.

Aku tahu, mama sedang menahan sesuatu.

Dan aku juga tahu, sumbernya mungkin berkaitan dengan papa.

Aku pun bangkit dan berjalan pelan ke jendela. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat lampu-lampu taman yang redup di halaman belakang. Lampu gantung berayun pelan ditiup angin, menimbulkan suara berdenting kecil yang biasanya menenangkan. Tapi malam ini, denting itu terasa seperti suara waktu yang berdetak seperti menunggu kebenaran terungkap.

Tiba-tiba, suara langkah pelan terdengar dari arah tangga.

Aku pun segera mematikan lampu kamar, lalu membuka sedikit pintu dan mengintip keluar. Aku bisa melihat papa berjalan perlahan di lorong, ia mengenakan jaket tipis dan kamus gelap. Jam di dinding menunjukkan pukul 00.37.

Papa keluar diam-diam? Mau kemana?

Aku pun menutup pintu pelan dan menarik hoodie, mengenakan kamus kaki, lalu keluar mengikuti jejak papa. Langkahku pelan seperti pencuri, walau berada di rumah nenek sendiri. Jantungku berdetak kencang.

Aku menyelinap lewat pintu samping dan mengikuti dari kejauhan. Papa berjalan menyusuri sisi rumah, ke arah pohon kamelia tua yang tumbuh dekat pagar belakang. Tempat yang gelap dan terlindung dari jangkauan cahaya utama.

Aku menahan napas saat suara lain menyambut di tengah malam.

Suara perempuan.

“Kenapa kamu suruh aku keluar juga?” lirih dan terburu-buru. Suara itu milik tante Hana.

“Karena aku tidak tahan, Hana,” balas Jihoon dengan suara rendah dan gemetar, “aku tidak tahan melihatmu duduk di samping Jisung seharian. Kamu tahu kan kalau aku mudah cemburu.”

Aku berdiri kaku di balik pohon. Malam terasa dingin, tapi tubuhnya semakin terasa panas.

Tante Hana menghela napas, “kamu pikir aku tahan? Setiap kali aku tatap wajahnya, aku merasa bersalah. Tapi waktu kamu lihat aku … segalanya jadi kabur lagi. Aku selalu terbayang wajahmu, Hoonie.”

Hoonie.

Panggilan sayang yang mama pakai untuk memanggil papa. Sekarang dipakai perempuan lain.

Aku merasa dunia berguncang. Aku ingin tidak percaya, tapi suaranya jelas. Semua ini nyata.

“Aku benci ini,” kata papa, “tapi aku lebih benci kalau harus kehilangan kamu. Aku tahu ini salah, tapi … kita saling mencintai.”

Hana diam sesaat, lalu berkata pelan, “kalau Yujin tahu, dia akan hancur.”

“Dia tidak akan tahu, dia tidak boleh tahu,” bisik Jihoon, “kita harus hati-hati.”

Lalu hening.

Aku tidak bisa melihat jelas, tapi aku tahu apa yang terjadi. Aku bisa mendengar napas mereka yang terdengar cepat dan gugup. Aku bisa membayangkan tatapan mereka yang begitu dekat. Mungkin mereka sedang berpelukan. Mungkin … lebih dari itu.

Aku ingin muntah.

Kakiku mundur perlahan sambil hidungku menahan napas. Sepasang sepatu Converse yang aku pakai menyentuh kerikil kecil, mengeluarkan bunyi krek. Aku langsung menahan langkah. Tidak ada yang bereaksi. Mungkin mereka terlalu sibuk bercumbu hingga tidak menghiraukan sekitar.

Aku pun berbalik dan kembali ke rumah, lalu menyelinap masuk kamar dengan hati bergemuruh. Kakiku rasanya seperti beku. Tapi di dadaku, amarah sudah membara. Bukan sekadar kecewa. Ini pengkhianatan.

...----------------...

Aku masuk ke kamar dan menutup pintu. Lalu tubuhku jatuh duduk di lantai dengan punggung menyandar ke dinding. Mataku rasanya seperti terbakar, tapi aku tidak menangis. Marah. Aku sangat marah.

Papa. Papaku yang selalu bicara soal keluarga. Papa yang selalu berkata, “jaga mama dengan baik, kamu anak sulung kebanggaan papa.” Papa yang pergi bekerja katanya demi masa depan mereka. Sekarang malah menghancurkan segalanya demi ego dan nafsu.

Dan Tante Hana?

Istri Paman Jisung. Mamanya Yewon. Bagaimana dia bisa begitu tega pada keluarganya sendiri? Pada keluargaku?

Aku memukul dinding dengan kepalan tangan. Suara duk membuat kepalaku sedikit lega.

Lalu, perlahan, aku bangkit dan menatap diriku di cermin dekat lemari. Mataku merah. Rahangku tegang.

Aku pun membuka ponsel ingin merekam sesuatu. Tapi jari-jariku gemetar. Akhirnya, aku Hanya menulis di notes.

Papa selingkuh dengan Tante Hana.

Aku dengar sendiri.

Aku lihat sendiri.

Aku akan jaga Mama.

Aku akan jaga Sunghan.

Aku tidak akan memaafkan mereka.

Aku menutup ponsel dan akhirnya menangis dalam diam. Tidak ada yang tahu malam itu bahwa aku sudah kehilangan sesuatu yang tak tergantikan, yaitu kepercayaan pada papa.

Dan aku tahu, setelah malam ini, aku tak akan pernah memandang papa dengan sama lagi.

...🥀🥀🥀🥀🥀...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!