Kalian pernah tidak, sih, suka dengan sahabat kalian? Yah, kali ini aku sadar kalau aku suka, bahkan cinta, dengan sahabatku sejak kecil. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku berumur 23 tahun, baru sadar kalau aku suka bahkan cinta pada dia. Namun, bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami adalah sahabat. Bagaimana aku menaruh hati kepadanya, padahal dia juga sudah punya pacar? Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai, namaku Dion! Umurku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku sangat suka kedisiplinan, namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Let's go...
Masa SMA
“Voni! Kamu sadar tidak, sih, kalau kamu itu menghabiskan waktu kita lima belas menit? Kamu itu seharusnya membaca materi yang besok akan dibahas, bukan malah membaca novel tidak jelas!” ujarku tegas kepada Voni. Anak ini memang sangat keras kepala. Ingin sekali aku mengusir gadis pemalas di depanku ini, namun aku selalu enggan melakukannya. Mungkin itu karena aku sayang padanya, karena dia SAHABATku.
“EHHH KAMU ITU, YA! KENAPA SIH BERISIK BANGET?” jawab Voni jauh lebih ketus. Kali ini dia bukan hanya tidur di sofaku, melainkan dia membuka kulkasku untuk mencari camilan. Dia membawa makanan itu lalu memakannya dan mulai menutup novelnya.
“Mana sih yang mau dikerjakan? Kisi-kisinya mana?” ujar Voni dengan nada malas. Kalian tahu tidak, mimik wajah yang malas belajar tapi terpaksa harus belajar? Nah, seperti itulah mimik wajah Voni. Oke, hal ini adalah hal yang sudah sangat sering kuhadapi.
Akhirnya aku mulai mengajari gadis pemalas ini. Dia benar-benar bebal dan pemalas! Baru 15 menit kami belajar, dia sudah tertidur. Dengan malas aku terpaksa mengangkatnya ke sofa dan merebahkannya agar posisi tidurnya lebih nyaman. Aku pun mulai menyelimutinya. Kalau bukan karena sahabat sejak kecil, sudah kujambak cewek menyebalkan seperti Voni. Akhirnya aku mulai belajar sendiri.
Setelah aku paham dengan pelajaran yang besok akan diujikan, aku pun membereskan buku-bukuku dan buku Voni. Melihat jam sudah pukul tujuh malam, akhirnya aku memilih untuk memasak makan malam. Aku memilih memasak kwetiau goreng, karena ini makanan kesukaan manusia pemalas yang satu itu. Aku masak sesuai seleranya, yaitu dengan cabai cukup satu biji, dan telur harus dua butir. Akhirnya aku mulai menyiapkan makanannya. Setelah itu, aku mulai membangunkan gadis pemalas itu.
“Voni! Bangun, makan, yuk, Von….” ujarku lembut dan menggoyangkan tangannya. Akhirnya dia pun terbangun dan menatap ke arahku.
“Eh, sudah jam berapa sih?” ujarnya dengan suara serak khas baru bangun.
“Sudah jam 6:50,” ujarku lembut. Voni melihat jam tangannya untuk memastikan kembali. Wajahnya panik seketika, dan menatapku kesal.
“Kok kamu tidak bangunkan aku dari tadi, sih? Kan aku ada janji sama Varo,” ujarnya kesal menyalahkanku. Dia pun bergegas pergi secepat mungkin. Makanannya dia tinggalkan, dan bukan hanya itu, tetapi tasnya juga. Yah, dan akhirnya aku yang memakan kwetiaunya sendiri, padahal aku tidak suka makanan ini. Mungkin kalian penasaran siapa itu Varo. Varo itu pacar Voni. Mereka baru jadian 10 hari lalu. Jujur, aku tidak suka dengan Varo, karena menurutku dia laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Namun, Voni selalu meyakinkanku bahwa Varo itu baik. Entahlah, mungkin aku yang terlalu berpikir negatif. Akhirnya aku memilih untuk membahas materi yang aku pelajari sebelumnya. Oh iya, dalam belajar aku selalu menggunakan konsep Active Recall (Mengulang Aktif/Panggil Kembali Aktif). Konsep ini, alih-alih hanya membaca ulang materi, aku secara aktif mencoba mengingat informasi dari memori ingatanku tanpa melihat catatan. Ini bisa berupa membuat flashcard, menjawab pertanyaan latihan, menjelaskan materi kepada diri sendiri atau orang lain, atau menuliskan apa yang aku ingat dari ingatan. Menurutku, ini sangatlah efektif, karena proses menarik informasi dari memori ingatanku memperkuat jejak memori tersebut dan membuatnya lebih mudah diakses di kemudian hari. Ini jauh lebih efektif daripada hanya membaca pasif.
Yah, seperti biasanya juga, setelah aku belajar, aku akan merilekskan otakku dengan cara memainkan gitar. Semenjak adikku sekolah asrama, aku selalu memainkan gitar bersama Voni. Namun, semenjak dia pacaran, aku merasa sendirian. Mama juga menemuiku sejam sebelum aku tidur, pastinya. Rasa kesepian ini sangat tidak menyenangkan. Namun, di balik ketidaksukaanku sendiri, aku juga anak yang apatis terhadap lingkungan. Aku hanya peduli kepada Mama, Adik, Bibi, dan Voni. Selebihnya terserah mereka mau bagaimana. Aku juga di sekolah anak yang paling pintar, itu sebabnya aku layak sombong kepada orang-orang, karena aku tahu aku pintar, aku kaya, jadi aku tidak perlu mereka di hidupku. Kalau ditanya pacar, tentunya aku tidak punya pacar sama sekali. Kalau ditanya sahabat, yah, aku punya, yaitu Voni. Oh iya, mungkin aku juga peduli dengan keluarga Voni. Itu saja.
Walaupun aku sombong, tetapi banyak sekali yang tetap suka melihatku. Hal itu terjadi karena aku orang yang berprestasi dan tampan. Tidak sekali dua kali aku dapat cokelat dan bunga di mejaku. Bahkan bukan cuma satu atau dua biji cokelat dan bunga di atas mejaku, melainkan banyak sekali. Hanya saja, aku tidak berniat sedikit pun untuk tertarik akan hal itu. Cukup wanita di hidupku Mama, Adikku, dan Voni, tidak lebih. Aku dan Voni juga bisa dekat karena dia sudah mengenalku dari umur 3 tahun, jadi wajar aku menerima Voni. Namun, aku juga bingung, kenapa saat dengan Voni aku merasa bodoh. Bodoh yang kumaksud bukan tentang pelajaran, melainkan tentang ego. Apa pun yang Voni lakukan, aku tidak pernah marah. Apa pun yang gadis itu inginkan, aku selalu menuruti. Bahkan hal bodoh sekalipun itu. Eh, tidak, deh, aku pernah membentak gadis itu sekali, dan aku menyesalinya. Aku membentaknya saat aku berumur empat belas tahun, yah, kelas dua SMP. Dia memaksaku untuk menerima Olivia. Olivia adalah sahabat dekat Voni dulunya. Olivia selalu menanyakan tentangku kepada Voni, dan Olivia juga memaksa Voni untuk menjodohkan kami. Hingga Voni membuat ide dengan cara mengajakku mengikutinya, dan ternyata aku dikurung di kamar Olivia. Olivia yang memang sudah gila berusaha melucuti pakaianku. Gila, bukan? Wanita murahan seperti Olivia sangat menjijikkanku, dan karena itulah aku memilih untuk memberi batas kepada semua wanita. Jika biasanya wanita yang mendapatkan pelecehan, namun kini aku mengatakan bahwa wanita juga bisa melakukan pelecehan seksual, bahkan itu masih SMP, ingat SMP. Gila sih menurutku. Gimana pendapat kalian?
Seperti yang kukatakan kemarin, hari ini ada ujian. Menurutku, materi ini sangat mudah, karena ini masih mata pelajaran Bahasa Indonesia. Teori yang dipelajari hanya teks anekdot dan juga debat. Bagiku, hal ini sangatlah sederhana, namun aku harus mendapatkan nilai sempurna, alias 100. Maka, akan kupastikan aku tidak akan ada celah kesalahan. Namun, jalannya tak semudah itu, anak ini lagi, anak ini lagi yang selalu mengusik kehidupanku.
“Dion, beri aku contekan sedikit saja,” ujar Voni memelas dengan nada yang sangat pelan, namun aku masih mendengarnya. Dengan malas, aku sengaja melebarkan kertas ulanganku agar gadis pemalas ini dapat melihat jawabanku. Terlihat jelas senyuman gadis pemalas itu di wajahnya yang mungil. Setelah kami selesai berdua mengerjakannya, akhirnya kami menyusun strategi agar tidak mengumpulkan kertas ujian bersamaan.
“Dion, kamu saja duluan yang mengumpulkan, sepuluh menit kemudian baru aku yang mengumpulkan,” ujar Voni berbisik. Akhirnya aku mengumpulkan tugasku lalu kembali duduk di samping Voni (Aku dan Voni satu bangku).
Namun, setelah sepuluh menit kemudian, Voni belum juga bergerak untuk mengumpulkan kertas ulangannya. Dengan rasa penasaran, aku bertanya kepada Voni, “Mengapa kamu belum mengumpulkan, Von?” ujarku dengan berbisik. Lalu Voni tersenyum dan berbisik, “Nanti saja kalau semuanya mengumpulkan, baru deh aku mengumpulkan.” Tanpa rasa curiga, aku mengangguk pelan seakan-akan aku percaya.
Akhirnya semuanya mengumpulkan kertas ujian. Semuanya pun diperbolehkan istirahat, karena bel istirahat juga sudah berbunyi. Seperti biasanya, pada jam istirahat, aku dan Voni akan pergi ke perpustakaan, namun dengan tujuan yang berbeda. Aku akan mengambil beberapa buku yang ingin aku pelajari seperti pelajaran Ekonomi Sumber Daya Alam. Berbeda dengan gadis pemalas ini, dia pasti akan mengambil buku komik atau novel bergenre percintaan. Dasar gadis pemalas!
“Von, ayo ke perpustakaan,” ajakku pada Voni seperti biasanya. Voni menatapku dan memancarkan senyuman anehnya.
“Kamu tidak lihat orang di belakangmu, Dion?” ujar Voni. Aku bingung apa maksudnya, dan baru tersadar, ya, Varo. Varo juga teman satu kelas kami dan bahkan duduk tepat di belakangku. Hmm, padahal mereka sudah hampir dua minggu pacaran, tetapi rasanya belum terbiasa bagiku yang biasanya selalu bersama Voni. Kadang aku berpikir, apakah aku hanya merasa kehilangan sahabat atau bahkan lebih dari itu. Baiklah, akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
“Baiklah, have fun,” ujarku dengan nada malas. Aku berjalan menuju perpustakaan. Akhirnya aku mengambil buku Ekonomi Sumber Daya Alam. Sejak dulu aku sangat ingin kuliah di Universitas Padjadjaran, jurusan Agribisnis, karena aku ingin meneruskan usaha orang tuaku. Hubungannya dengan buku ini, ini adalah salah satu pelajaran yang akan dibahas di kuliah nanti. Aku tahu karena aku sering bertanya kepada saudara yang masih kuliah di sana.
Entah sudah berapa halaman aku membaca buku ini, sampai pada akhirnya pandanganku beralih ke arah lain, ke arah suara wanita yang mungkin sedang mengajakku berbicara.
“Kamu mengajakku mengobrol?” tanyaku dengan suara pelan namun terlihat jutek. Terlihat jelas gadis aneh ini sedang gugup, “Hee-hee, i-i-y-a…” ujarnya dengan suara gugup dan nada yang sangat hati-hati.
“Kamu boleh mengajakku mengobrol kalau aku sudah di luar perpustakaan,” ujarku lagi pelan dengan nada jutek dan tatapan elangku. Entahlah mengapa orang-orang mengatakan aku ini manusia yang sangat jutek, dan aku juga bingung mengapa aku malas meladeni perempuan kecuali Voni, si wanita pemalas itu.
Gadis aneh itu pun meminta maaf dan pergi dengan wajah lesu. Kasihan, sih, tetapi hanya saja aku malas melayaninya, takut mereka terbawa perasaan, kan wanita cenderungnya begitu. Bukan aku merasa sok tampan, ya, namun mejaku selalu terisi cokelat dan surat cinta tidak jelas. Jadi, untuk menghindari perempuan merasa aku mencintai mereka balik, yaitu harus jutek kepada mereka.
Melihat waktu yang sebentar lagi masuk pelajaran Matematika, akhirnya aku memilih untuk meminjam buku Ekonomi Sumber Daya Alam ini untuk dibawa ke rumah. Bel masuk pun berbunyi, dan akhirnya aku menuju kelas. Namun, di tengah perjalanan Bu Rosana sebagai guru Bahasa Indonesia menitipkan kertas ulangan yang sudah dikoreksinya. Dengan cepat aku mengambilnya, dan tanpa lupa aku mengambil kertasku dan tentunya nilaiku 100. Ini nilai yang selalu aku koleksi, jadi ini hal biasa. Sekali lagi aku katakan, aku bukan sombong.
Aku juga mencari nilai Voni. Dia sangat sering mencontek kepadaku, tetapi nilainya tidak pernah sempurna, padahal tinggal menyalin. Memang benar-benar anak pemalas. Namun, aku penasaran nilainya hari ini. Dan akhirnya nilai Voni kutemukan. APA? 50? Apa ini? Kutelusuri tulisan di kertas itu, dan itu bukan tulisan gadis pemalas itu. Aku mencari kertas Varo. Varo bisa dapat nilai 100? Dan, ya, ini tulisan Voni. Bahkan dia untuk dirinya tidak pernah dapat nilai 100, lalu mengapa untuk pria sialan itu dia gunakan semangat yang luar biasa bahkan mengalahkan kemalasannya yang biasanya tingkat 98% itu? Dengan kesal, aku masuk ke kelas dan membagikan kertas kepada siswa dan siswi yang ada di kelas itu. Emosiku memuncak.
“Von, untuk ujian besok aku akan pindah tempat duduk. Kamu cari saja siswa atau siswi yang pintar untuk memberimu contekan demi nilai pacarmu itu, dan kamu jangan datang ke rumahku untuk belajar bersama. PERCUMA BELAJAR DENGAN ORANG MALAS DAN HANYA TAHUNYA PACARAN SAJA!” ujarku kesal tanpa memandang wajah gadis pemalas ini. Aku tahu ucapanku akan menyakiti hatinya, namun kali ini mengapa hatiku sangat memanas melihat dia lebih mengutamakan laki-laki lain dibanding aku? Dan dibanding dirinya sendiri? Yah, mungkin kedua kalinya aku memarahinya. Ingat, pertama aku memarahinya karena dia menjodohkanku dengan sahabat gilanya, dan sekarang aku marah karena pacar gilanya. Sepertinya dia hanya punya aku yang menjadi orang waras di hidupnya. Namun, tenang saja, aku sebagai orang waras akan menjaganya dari orang-orang gila yang dia temui. Kurang perhatian apa coba aku sebagai sahabatmu, Von? Dasar wanita keras kepala.
Namun, sebesar apa pun aku marah, sepertinya gadis pemalas ini tidak memikirkan hal itu. Bagaimana mungkin dia memikirkannya? Dia kan pemalas akut. Bahkan dia dimaki orang lain saja dia tidak akan sakit hati, alasannya, “Sangat menguras energi.” Pemalas yang sangat luar biasa itu, ya, Voni. Kutatap mata laki-laki yang berstatus pacar Voni dengan tajam. Mengapa aku melihat wajahnya seakan-akan pria yang bernama Varo itu sedang mengejekku? Ah, rasanya ingin sekali aku menampar pria licik itu. Namun, aku mengurungkan niatku. Kulanjutkan aktivitasku. Buat apa membuang-buang waktu untuk manusia seperti itu? Kecuali dia menyakiti Voni di depanku, maka akan kuhabisi laki-laki sialan ini.
Sesampainya di rumah, akhirnya aku mengganti baju. Selain hobi belajar, aku juga hobi memainkan gitar, seperti yang sudah aku bilang di awal. Aku selalu menyisihkan waktu untuk bernyanyi dan bermain gitar minimal selama tiga puluh menit. Bernyanyi dan memainkan gitar adalah bentuk healing bagiku. Apalagi jika adikku sedang berada di rumah. Rasanya aku tidak ingin berhenti bermain gitar karena suara adikku yang sangat lembut.
Setelah kurang lebih tiga puluh menit, aku menyimpan kembali gitarku dan mulai membuka buku pelajaran fisika. Menurutku, fisika adalah pelajaran tersulit kedua setelah kimia. Namun, walaupun sesulit itu, aku akan memastikan bisa mendapatkan nilai 100 lagi.
Setelah satu jam empat puluh lima menit belajar, aku memilih untuk minum jus beri. Ini adalah salah satu hal wajib yang diterapkan oleh Mama. Jus beri merupakan salah satu jenis minuman yang dapat menyegarkan otak karena mengandung antioksidan yang baik untuk fungsi otak. Selain itu, ada juga jus buah alpukat yang kaya akan lemak sehat dan vitamin E, yang bermanfaat untuk kesehatan otak. Karena aku suka rasanya, aku pun selalu mengonsumsinya.
Oh iya, mungkin kalian bertanya ke mana kedua orang tuaku. Yah, Papa pergi saat aku berumur sembilan tahun. Sejak saat itu, mau tidak mau, Mama harus bekerja keras untuk menghidupi aku. Mama bekerja di lahan sawit setiap hari. Ia selalu memperhatikan lahannya, yang kira-kira luasnya sekitar lima puluh hektare. Mama memang memiliki mandor untuk mengurus lahan tersebut, namun ia juga kerap ikut turun langsung, bergantian mengelilingi seluruh lahannya.
Meski begitu, Mama tidak pernah lupa memasak dan menyiapkan jus untukku sebelum berangkat. Sementara untuk urusan rumah tangga seperti menyapu, mengepel, dan mencuci, Mama mempercayakannya kepada Mpok Rita. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adikku bernama Viona, yang kini memilih bersekolah di SMA Taruna karena ia bercita-cita masuk sekolah kedinasan.
Nah, kembali ke topik...
Setelah meminum jus beri, aku mulai merasa lebih segar, tetapi juga ada rasa sepi. Mungkin karena ketidakhadiran Voni? Astaga, anak itu memang sangat merepotkan. Kenapa sih dia tidak bisa menghargai sahabatnya sendiri? Kenapa dia malah lebih bersungguh-sungguh kepada orang lain dibanding dirinya?
“Dasar anak pemalas. Tapi kenapa aku harus selalu peduli dan memikirkannya?” gumamku tanpa sadar.
Kalian pernah tidak sih seperti ini? Saat adikku pergi, Voni yang biasanya menghiburku agar aku tidak merasa kesepian. Sekarang, Voni malah sibuk pacaran sama cowok yang karakternya saja aku tidak tahu. Entahlah, aku memang jarang memperhatikan orang di sekitarku. Kalau di SMA, aku hanya memperhatikan Voni dan pelajaranku. Tidak lebih.
“Hkhmm... maaf kalau aku selalu mengganggu pikiranmu,” ujar seseorang dari belakang. Itu adalah suara yang sangat aku kenal, suara wanita yang selalu merepotkanku—dan malasnya bukan main. Aku pun membalikkan badan dan menatapnya dengan side eye, namun dalam hati ada rasa lega. Lega karena ternyata perkataanku di kelas tidak dimasukkan ke hati olehnya. Mana mungkin bisa masuk ke hati, orang berpikir saja dia malas. Wanita ini memang definisi wanita malas.
“Ngapain ke sini?” tanyaku dengan kesal.
“Yah, aku sadar aku salah. Tadi Varo juga merasa bersalah, jadi besok aku tidak akan mengulanginya,” ujarnya dengan nada lembut, menunduk, tampak menyesal. Baru kali ini dia merasa bersalah. Tapi apakah itu karena dirinya sendiri atau karena Varo? Dan laki-laki yang aku lihat tadi—apakah dia benar merasa bersalah atau hanya mengejekku? Entahlah. Aku bingung.
“Jadi kamu merasa bersalah karena Varo merasa bersalah, atau gimana?” tanyaku menyelidik.
“Enggak kok, aku juga merasa bersalah. Nih, aku bawain cokelat buat kamu. Kan kamu suka cokelat,” ucapnya sambil menyodorkan cokelat kesukaanku.
Senyumku perlahan-lahan mulai terpancar. Aku menerima cokelat itu dengan senang hati.
“Nanti kalau Mama tahu aku makan cokelat, aku salahin kamu ya,” ujarku sambil memakan cokelat pemberiannya. Yah, Mama memang sangat melarangku makan cokelat. Katanya, laki-laki juga harus menjaga bentuk tubuh, bukan hanya perempuan.
Lagi pula, setiap aku makan cokelat, aku pasti kebablasan. Tapi kalau tidak makan, ya bisa lupa begitu saja. Menurut Mama, cokelat itu mengandung logam berat. Dalam beberapa kasus, cokelat—terutama cokelat hitam—dapat mengandung kadar kadmium dan timbal yang tinggi. Ini adalah logam berat yang, jika terakumulasi dalam tubuh, bisa berbahaya bagi kesehatan.
“Ih, kok aku sih? Itu titipan Varo sebagai ucapan maaf. Aku tuh udah bilang nggak usah, karena Tante pasti marah. Tapi dia tetap mau beli karena dia merasa bersalah. Jadi kalau Tante marah, marahin saja Varo,” ucapnya santai, tanpa rasa bersalah.
Bayangkan saja: cokelat itu dari cowok yang aku benci! Seketika aku memuntahkan cokelat dari mulutku dan membuang semuanya ke tempat sampah. Anak ini memang menyebalkan.
Dia memandangku dengan tatapan bingung, lalu bergegas melihat cokelat yang aku buang.
“Kok kamu buang sih? Padahal kami udah berusaha, lho. Lagian Tante juga lagi nggak di rumah, jadi nggak akan tahu, kan?” ucapnya kecewa.
“Kamu mau belajar nggak?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jawab dulu pertanyaanku,” sahutnya. Aku enggan menjawab. Takut terlihat cemburu kalau aku bilang aku tidak suka melihat Varo.
“Besok aku nggak mau ngasih contekan, lho. Dan besok pelajaran fisika. Jadi, kamu mau belajar nggak?” tanyaku lagi, tetap menghindari pertanyaannya.
“Nyebelin kamu! Ayo belajar!” ucapnya ketus, tapi tetap menurut. Kami pun belajar.
Lima belas menit berlalu, dan ya, benar, dia masih belajar. Gila, apa dia benar-benar seserius ini pacaran sama Varokah? Apa yang sebenarnya dipikirkan wanita pemalas ini? Kenapa tiba-tiba niat banget belajarnya?
Sejak dia pacaran dengan Varo, aku merasa akan sering kesal pada wanita pemalas ini. Aku menatapnya, dan dia menyadarinya.
“Kamu kenapa natap aku kayak gitu?” tanyanya heran.
“Aku cuma heran aja. Kamu sudah lima belas menit belajar bareng aku, tapi nggak ngeluh atau tidur. Kayak bukan kamu biasanya,” ujarku jujur.
Dia tersenyum mendengarnya.
“Betul? Berarti aku sudah sedikit berubah. Kata Varo, aku harus mulai mengubah kebiasaan burukku dan seharusnya bisa sepintar kamu,” jawabnya.
Rasanya aku ingin marah lagi mendengar nama Varo dari bibir kecilnya itu. Kenapa harus Varo? Kenapa Varo yang mengubahnya? Kenapa bukan aku? Kenapa cowok itu menyuruh dia jadi seperti aku? Kenapa bukan dia saja yang berubah dulu? Sialan. Rasanya aku tidak setuju kalau dia berubah hanya karena Varo. Padahal aku yang selalu menasehati dia tapi dia gak pernah mau dengarin. Sedangkan Varo, Varo baru kenal sama dia, begitu juga dia baru kenal Varo, tapi kenapa dia langsung nurut?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!