NovelToon NovelToon

Revano

1

°Happy Reading°

•••

"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"

Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.

Orang yang ada di ruangan menahan nafas. Suara menggelegar sang kepala keluarga memenuhi ruangan yang biasanya sehangat susu coklat yang diminum saat hawa dingin. Eh?

"Jangan buat Papa bertindak lebih jauh, Revano!" Lelaki bertubuh tegap dan bermata elang itu mengepalkan tangannya. Urat-urat di lehernya terlihat, menjelaskan bahwa ia tengah emosi sekarang.

Langkah pemuda itu masih tenang, seolah suara dari Papanya itu sering ia dengar dan tidak terpengaruh oleh apa pun.

"Pengawal! Tutup pintu utama dan gerbang utama! Jangan biarkan Tuan Muda melangkahkan kaki dari mansion ini!"

Dengan cepat pengawal yang bertugas melaksanakan perintah Tuannya, berlari. Dengan sedikit terbirit-birit beberapa pengawal berlari agar lebih dulu sampai di pintu utama dan bisa menutupnya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

"Revano!" Tama --Papa dari Revano-- berteriak sambil berlari mendekati putranya yang dengan buas menghabisi pengawal mereka.

"Jangan menghalangi jalanku!" teriak Revano sambil terus memukuli pengawalnya.

"Reno! Bantu Papa memisahkan Abang kamu!" Wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Revano mendorong pundak putra keduanya --kembaran Revano-- untuk membantu Tama menjauhkan Revano dari pengawal yang nyawanya hampir di ujung tanduk.

Tanpa membuang waktu Reno langsung berlari dan ikut membantu Papanya menjauhkan Abangnya dari pengawal mereka agar tidak ada yang kehilangan nyawa.

Bugh!

Satu bogeman mentah mendarat di rahang Revano. Sang empu terpelanting dengan sudut bibir yang mengeluarkan cairan merah.

'Shit,' Revano mengumpat dalam hati sambil menatap sinis Papanya.

Tama mendekati Revano dan mencengkeram kuat kerah kemeja yang dikenakan Revano. "Jangan pernah bertindak keluar kendali, Revano! Papa bisa bertindak lebih dari itu!"

Dengan kasar Tama menggeret Revano. Reno mendekat dan berniat membantu Papanya membopong sang Abang. Suara Tama membuat langkahnya urung, "Masuk ke kamar kamu, Reno! Abang kamu biar Papa yang urus!"

Nathalie --Mama Revano-- menganggukkan kepalanya pada Reno. Dengan langkah gontai Reno menuju lift yang menghubungkan langsung menuju kamar pribadinya.

Nathalie mengikuti langkah suaminya dan anaknya, Revano. Memasuki lift yang kemudian ditemani kesunyian, kemudian sampai di lantai empat mansion megah itu.

Brak!

Tama mendorong kasar pintu kamar Revano, dan menghempaskan tubuh Revano di lantai. "Jangan coba kabur atau akan ada hal lebih dari ini yang tidak akan kamu inginkan!"

Setelah mengatakan itu Tama melangkah keluar kamar Revano. Meninggalkan sang istri dengan anak sulungnya.

Nathalie mendekati Revano yang hendak berdiri dari duduknya di lantai. Membantu anaknya itu duduk di pinggir ranjang. Kemudian mengambilkan kotak p3k yang ada di kamar itu.

"Mama tahu Papa salah. Mama tahu Papa tidak berhak mengatur hidup kamu. Asal kamu tahu, Sayang. Bisnis itu sudah Papa kamu bangun dari nol, dan sudah cita-citanya dari dulu ingin mewariskannya untuk anak sulungnya, kamu."

Revano tidak merespon apa-apa. Bahkan luka di wajahnya yang tengah dipoles obat merah oleh Nathalie sebenarnya perih, namun tidak ia tunjukkan wajah sakit itu di depan Mamanya.

"Anak Papa bukan hanya aku. Ada Reno, Rifki, dan Reyna juga yang bisa mengembangkan bisnis Papa. Aku nggak mau masuk dunia hitam. Aku nggak mau jadi mafia," jawab Revano mengutarakan unek-uneknya.

Nathalie menghela nafas pelan. Mengusap bahu anak sulungnya kemudian berpindah ke rambut cepak putranya itu. "Maafkan Mama karena tidak bisa mengabulkan keinginan kamu. Mama akan coba bicarakan ini pada Papa. Jangan berfikir untuk kabur, Sayang."

Revano tidak menjawab. Dia memilih untuk berjalan menuju kamar mandi, mengabaikan tatapan sendu dari Mamanya.

Nathalie memutuskan pergi dari kamar putra sulungnya itu. Sedangkan Revano di kamar mandi tengah bergelut dengan fikirannya. Papanya egois. Papanya kejam. Papanya jahat. Papanya, Papanya, dan Papanya.

Revano mengambil sesuatu dari balik saku celananya. Kunci. Senyum miring ia tunjukkan pada kunci itu. Dia berhasil mengambil kunci itu dari pengawalnya. Mungkin tidak akan ada yang menyadari, termasuk Papanya.

Revano keluar kamar mandi dengan baju yang sudah berganti. Pakaian santai yang dia kenakan ini akan menjadi barang satu-satunya yang ia bawa untuk pergi dari rumah megah ini.

Langkah Revano melambat saat mendapati seseorang tengah duduk di ranjang king size nya. Dengan langkah yang kembali normal Revano mendekati Reno.

"Kenapa ke sini?" tanya Revano dengan nada datar.

Reno tersenyum melihat Abangnya. "Aku hanya ingin memastikan Abang baik-baik saja. Untunglah pukulan Papa tadi tidak membuat rahangmu patah," ucap Reno sambil menelisik luka di wajah Revano.

"Jangan berlebihan. Keluar dari kamarku," titah Revano dengan nada dingin.

"Aku harap kau bisa berfikir dewasa, Bang." Tanpa mengindahkan ucapan Revano dan wajah memerah Revano, Reno kembali berucap, "Aku akan membantumu agar Papa bisa menggantikanmu denganku mengurus bisnis itu."

"Bagus kalau kau sadar. Papa memang lebih sayang denganmu. Jadi, cepatlah bicara. Dan sekarang, keluar dari kamarku," dengan suara masih dingin Revano menjawab.

Reno berdiri dari duduknya. "Aku tahu Papa cukup tidak adil denganmu. Tapi percayalah, aku bukan anak kesayangan Papa satu-satunya. Aku harap kau tidak akan kabur malam ini."

Setelah menepuk pelan pundak Revano, Reno segera melangkahkan kakinya keluar kamar kembarannya itu. Revano menggeram kesal di sudut ranjang.

Dengan langkah pasti, Revano menuju balkon kamarnya. Apakah dia akan loncat dari sana? Jawabannya entah. Bisa iya, bisa juga tidak. Fikiran Revano buntu.

Menyusun rencana di atas balkon. Itulah yang Revano lakukan. Setengah jam berlalu, ide itu mulai berdatangan. Dia tidak akan kesulitan keluar dari sana. Percayalah.

Dengan langkah cepat, Revano keluar dari kamarnya dan segera menuju lift untuk sampai di lantai dua. Ia akan menemui adik bungsunya, Reyna.

Tok! Tok! Tok!

Ceklek!

Gadis cantik duabelas tahun dengan balutan piayama hitam dan masker hitam di wajahnya menyambut kedatangan Revano. Pintu kamarnya segera ia buka lebar, membiarkan Abangnya masuk.

"Pasti Abang mau sesuatu. Cepat bilang," ucap Reyna sambil duduk di depan cermin riasnya.

"Temenin Abang keluar," jawab Revano dengan singkat.

"Ke mana? Memangnya Papa bolehin keluar? Bukannya Abang abis bikin ulah?" tanya Reyna masih sibuk dengan masker wajahnya di depan cermin.

"Kabur."

"What!" Pandangan Reyna langsung tajam ke arah Abangnya. "Ngaco! Abang abis ditonjok sama Papa juga, nggak kapok?"

"Kamu mau Abang ditonjok terus sama Papa?" tanya Revano masih dengan nada dinginnya.

"Papa nggak akan nonjok Abang kalau Abang nggak bikin ulah. Lagian susahnya apaan, sih? Abang 'kan pinter, jalanin bisnis Papa nggak susah dong?" tanya Reyna sambil berjalan ke kamar mandi.

Lima menit kemudian Reyna keluar dengan handuk kecil di lehernya. "Ayok pergi! Kalau dipikir-pikir, Abang kasihan juga. Papah egois, sih. Jadi, aku dipihak Abang, deh."

Revano mengacak rambut adiknya gemas. Dia tahu sifat adiknya ini yang paling nggak tegaan. Makanya dengan perjuangan yang tidak seberapa itu, ia berhasil meluluhkan adiknya.

Mereka berdua berjalan menuju lantai bawah. Dengan mengendap-endap tentunya. Reyna yang berada di depan, memberikan arahan pada Revano. Sedangkan Revano berjalan dengan santainya dengan wajah dinginnya.

"Rey." Langkah Reyna berhenti. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Abangnya tengah berhenti di depan pintu kamar kedua orangtuanya.

"Kelamaan, Bang. Ayo pergi." Reyna memberikan isyarat tangan.

Revano masih menetap. Dia mendekatkan telinganya di daun pintu. Dia mendengar suara orangtuanya tadi, makanya berhenti.

Reyna ikut mendekat ke arah Revano. Ikut menguping yang dibicarakan orangtuanya di dalam.

"Cukup, Pah! Sudah cukup Papa memaksa Revano untuk menjalankan bisnis haram itu! Jangan kita buat dia menderita lebih dalam dengan perjodohan Papa ini!"

Suara Nathalie terdengar menantang, juga bergetar. Revano tidak salah mendengar. Ia memang mendengar kata perjodohan tadi, makanya berhenti. Ternyata benar dia akan dijodohkan.

"Tidak ada yang boleh membantah!"

Setelahnya hanya isak Nathalie yang terdengar.

Reyna menatap Abangnya dengan tatapan sendu. Tanpa aba-aba, Revano segera menggandeng tangan Reyna dan membawanya pergi dari depan pintu itu.

"Anda tidak boleh keluar, Tuan Muda."

•••

Bersambung

2

°Happy Reading°

•••

Reyna tergagap saat mendengar suara salah seorang bodyguardnya. Dengan sangat perlahan, gadis duabelas tahun itu menoleh ke belakang. Revano tidak menampilkan reaksi apa pun, juga tidak menoleh ke belakang.

"Ka-kami, anu ..." Reyna menggaruk kepalanya bingung.

"Jika ingin keluar, biar saya yang antarkan, Nona Muda. Tuan Muda tidak diperbolehkan keluar oleh Tuan Besar," ucap bodyguard itu.

"A-aku ..."

"Siapa kau berani memerintahku?" Suara dingin Revano terdengar.

"Tuan Besar--"

"Aku meminta Reyna menemaniku ke Apartemen. Aku melarang tegas, tidak boleh ada yang ikut atau masuk ke wilayah apartemenku! Kau faham?!"

"Tuan Besar melarang Anda keluar, Tuan Muda," ucap Bodyguard itu tidak kalah tegas.

"Aku ingin menginap di apartemen Abang. Abang butuh privasi, kau faham?" tanya Reyna dengan nada lembut dan jangan lupakan purple eyes-nya.

Saat bodyguard itu ingin membuka mulut, Reyna kembali bersuara, "Kau jangan cemas. Abang hanya butuh teman curhat. Lagian Papa sudah mengizinkannya. Jadi, buka gerbangnya sekarang."

Dengan sedikit ragu, bodyguard itu menuruti keinginan Nonanya. Saat tangannya merogoh saku bajunya, mukanya berubah pucat. Kenapa? Karena kuncinya hilang.

"Kenapa?" tanya Reyna mengetahui perubahan wajah bodyguardnya itu.

"Mmm ... k-kuncinya ... hilang," suara bodyguard itu mengecil kala mengatakan kata hilang.

"Apa!" Wajah Reyna berubah pucat. Sedangkan Revano terlihat menatap datar bodyguardnya itu.

"Cari!" ucap Revano dengan nada tegas, namun datar.

"B-baik, Tuan Muda." Dengan wajah yang masih pucat, bodyguard itu melangkah pergi meninggalkan Revano dan Reyna.

"Bang, gimana? Pengawal bodoh itu sudah menghilangkan kuncinya," ucap Reyna sambil memegang tangan Revano kemudian mendongak.

Revano jalan menuju pintu utama dengan santai. Merogoh puluhan kunci yang dijadikan satu dalam saku celananya. Reyna yang melihat itu menyilakan matanya.

"Bang--"

"Ayo!" Revano berjalan lebih dulu tanpa menghiraukan kebingungan adiknya.

Saat Revano membuka gerbang utama, Reyna juga masih dilanda bingung. Namun ia memilih diam.

Jika menanyakan penjaganya ke mana, jawabannya pergi. Pergi ke mana? Biasanya pengawal di sana akan begadang dengan ditemani segelas kopi dengan beberapa cemilan gorengan. Dan sekarang bodyguard-bodyguard itu tengah mencari yang mereka butuhkan.

Cctv? Itu urusan Reyna nanti. Yang jelas, Reyna harus bisa membawa Revano keluar saat itu juga.

Saat ini Revano dan Reyna berhasil keluar dari mansion megah milik keluarga Pratama itu. Dengan langkah kaki yang cepat mereka menyusuri malam yang terlihat remang.

Revano berhenti tepat di ujung jalan raya. Reyna ikut berhenti dan memilih bungkam untuk tidak bertanya masalah kunci itu.

"Terimakasih sudah membantu Abang. Kamu memang adik abang yang terbaik," ucap Revano sambil memeluk adiknya erat.

"Setelah ini Abang mau ke mana?"

"Pergi jauh. Abang akan kembali setelah bisa membuktikan pada Papa kalau Abang sanggup mendirikan perusahaan besar di sini. Yang jelas, hasil jerih payah Abang sendiri dan halal." Revano melepaskan pelukannya.

"Kamu berani pulang sendiri?" tanya Revano kemudian.

"Abang meragukanku?" tanya Reyna dengan nada pura-pura kesal.

"Abang tahu kamu gadis hebat." Revano mengelus pucuk kepala Reyna. "Carilah alasan terbaik untuk ini. Abang mohon, jangan ada yang tahu selain kamu. Jangan beritahu Bang Reno dan Bang Rifki."

Reyna mengangguk, mengiyakan ucapan Revano.

"Abang harus pergi sekarang. Jaga diri kamu. Abang akan sesekali menghubungi kamu, tapi dengan nomor baru," ucap Revano sambil menatap jalanan yang cukup ramai.

"Abang bakal ingat nomorku?" tanya Reyna dengan tatapan polos.

"Kamu meragukan ingatan Abang?" canda Revano sambil menoel hidung mancung Reyna.

Reyna tertawa pelan. "Abang harus pergi sekarang, 'kan? Kalau gitu aku akan pulang. Aku punya kejutan hebat untuk orang di rumah. Aku tidak sabar memberitahu Abang untuk kejutan ini," ucap Reyna dengan girang.

"Abang akan segera menghubungi kamu. Segeralah pulang. Mata-mata Papa ada di mana-mana. Kita harus hati-hati," ucap Revano sambil memakai kupluk hoodienya.

"Abang hati-hati. Aku sayang Abang." Reyna berjinjit di depan Revano. Revano yang mengerti adiknya akan menciumnya itu segera mensejajarkan tubuhnya dengan Reyna.

Wajar saja. Tubuh Reyna sejengkal di bawah dada Revano. Itu membuatnya sangat, sangat kesulitan.

"Abang, hati-hati!" teriak Reyna sambil berlari menuju ke mansionnya.

Revano memasukkan tangannya di dalam saku hoodie. Berjalan perlahan menyusuri malam. Dia berhenti di pinggir jalan dan menatap jalanan yang super super padat. Padahal jam sudah menunjukkan hampir tengah malam.

Kakinya perlahan melangkah ingin menyeberangi jalan itu. Tidak lupa menoleh ke kiri dan kanan. Namun, baru beberapa langkah kakinya menginjak aspal jalan besar, lampu mobil menyoroti dirinya dengan kecepatan yang sangat kencang.

Alhasil ... Bruk!

Kecelakaan itu terjadi. Mobil menabrak pohon besar di pinggir jalan. Revano dalam keadaan selamat. Kok bisa? Iya, karena mobil itu membanting stirnya menghindari Revano dan memilih menabrakkan mobilnya di pohon besar pinggir jalan. Asap mengepul dari kap mobil.

Revano memilih acuh. Ia kembali melangkahkan kakinya menjauhi kerumunan di sekitar mobil yang bertambah banyak.

"Woi! Itu dia penyebabnya! Mbak ini tertabrak karena menghindar dari Mas nya itu, tuh!" teriak salah satu orang yang melihat mobil yang menabrakkan dirinya ke pohon tadi.

"Woi, Mas! Tanggung jawab! Jangan kabur kau, Mas!"

Teriakan-teriakan yang jelas ditujukan untuk Revano itu membuat langkah sang empu berhenti. Dia menghela nafas kesal. Bukan dia penyebabnya. Tapi pengendara itu sendiri yang main kebut-kebutan di tengah jalan raya.

Revano sempat berfikir. Jika dia tidak salah dengar, salah seorang warga tadi meneriaki kata 'Mbak'? Jadi korban itu perempuan?

Revano mendekati mobil itu.

"Tanggung jawab, Mas. Mbaknya pingsan ini. Bawa rumah sakit sana!"

Ucapan-ucapan yang memojokkan Revano terus terdengar. Revano memilih acuh. Dia membuka pintu di samping kemudi. Dan benar. Korbannya perempuan. Tanpa berfikir panjang, Revano langsung mengangkat tubuh perempuan itu.

Namun, gerakannya terhenti oleh sesuatu. Boneka? Ya. Di dalam mobil itu dipenuhi boneka panda besar dan satu koper yang memiliki warna mencolok dari warna bonekanya. Sempat terbesit dalam benak Revano. Perempuan ini kabur? Atau tengah dalam perjalanan kemping? Bawa boneka?

Pertanyaan itu sementara waktu Revano simpan dalam benak. Cepat-cepat ia membawa tubuh ramping itu keluar dari dalam mobil.

"Bawa pakek taxi ini, Mas!" Seseorang berteriak pada Revano sambil menunjuk taxi yang diberhentikannya.

Revano membawa perempuan itu ke sana dan meletakkannya di dalam jok belakang, kemudian menutup pintunya.

"Saya sudah tanggung jawab, jadi biarkan saya pergi," ucap Revano dengan nada datar.

"Heh, Mas! Seenak hidup kau bilang selesai tanggung jawab! Bawa Mbaknya ke rumah sakit, baru tanggung jawabmu selesai!" teriak orang di sana.

Dengan malas Revano kembali masuk ke dalam taxi itu. Memangku kepala perempuan yang menjadi korbannya. Korbannya? Bukannya korban sebenarnya adalah dia? Perempuan itu tersangka, bukan?

"Mau jalan ke mana, Tuan?"

Pertanyaan supir taxi membuat fokus Revano teralihkan. "Jalan dulu, Pak."

Sementara mobil terus berjalan, Revano mencoba mencari informasi dari perempuan di pengakuannya ini. Tas selempangan yang masih melekat di leher perempuan itu menjadi tujuan Revano.

Bukannya tidak sopan, tapi dia terdesak. Dengan cepat Revano membuka tas serampangan itu dan mencari alamat perempuan itu. Kartu nama. Itulah yang Revano dapat.

Trisya Arsyila Anatasya. Ada alamat juga di dalam kartu nama itu.

"Bawa ke alamat ini, Pak." Revano menyodorkan kartu nama itu kepada Pak supir. Kemudian menyandarkan kepalanya di sandaran kursi penumpang.

Bagaimana dia nanti? Kabur ke mana dia sekarang? Apakah adiknya berhasil mengelabuhi orang rumah? Pertanyaan itu berebut masuk dalam fikiran Revano.

Tapi tunggu!

Alamat perempuan di pangkuannya ini sangat jauh dari tempat tinggalnya ini. Sekarang ia ada di Jakarta Pusat, sedangkan perempuan ini Surabaya. Perjalanannya jelas sangat jauh, apalagi digunakan dengan mobil. Sendirian!

"Perempuan ini benar kabur," gumam Revano.

•••

Bersambung

3

•••

"Tuan, sudah sampai."

Revano membuka matanya kala panggilan supir taxi membangunkannya. Dipandang sekeliling tempat ia berada saat ini. Komplek perumahan.

Suasana masih gelap. Saat Revano bertanya pukul berapa sekarang, supir taxi menjawab hampir masuk waktu subuh. Revano mengangguk sekilas, kemudian mengambil kartu debit dari saku hoodienya.

"Bayar cash saja, Tuan," ucap supir taxi menolak kartu debit pemberian Revano.

Revano berfikir sebentar. Kemudian merogoh saku celananya. Ada lipatan kertas. Revano langsung melihatnya.

'Lima puluh?' batinnya tidak percaya.

"Katakan nomor rekeningmu, nanti kutranfer," ucap Revano memasukkan uang itu ke dalam sakunya kembali.

Setelah memberikan kertas berisi nomor rekeningnya, supir taxi itu membantu Revano menurunkan perempuan yang Revano yakini bernama Trisya Arsyila Anatasya.

Revano berdiri dengan tangan menggendong tubuh Trisya. Tubuh yang terkesan mungil itu tidak menyusahkannya untuk menggendong. Di pandanginya taxi yang baru melintas di hadapannya setelah mengklaksonnya itu.

Sekarang, bangunan megah di hadapannya kini menjadi objeknya. Rumah bernuansa cream itu menjadi objeknya. Pagar hitam yang mengelilingi rumah megah itu.

Kaki Revano perlahan melangkah mendekati pagar yang memiliki tinggi sama dengannya itu. Memencet bel dengan sedikit kepayahan karena menggendong Trisya.

Pagar terbuka, dan memperlihatkan wanita paruh baya yang Revano yakini merupakan asisten rumah tangga di sana.

"Mau cari siapa, Tuan ... astaga! Non Risya!" ART tadi berteriak dengan tangan membekap mulutnya.

Revano mengernyit. 'Risya? Siapa dia? Bukannya gadis ini bernama Trisya?'

"Tuan! Non Risya kembali! Non Risya pingsan!" ART itu berteriak histeris sambil maju mundur antara memanggil majikannya atau membantu pemuda di depannya ini menggendong Nonanya.

Beberapa orang terlihat keluar dengan tergopoh-gopoh. Orang yang terlihat seperti Tuan rumah di sana terlihat segera mendekati Revano.

"Risya? Kenapa Risya bisa bersamamu? Siapa kamu?" Terlihat kebingungan dan kelegaan dari raut wajah pria paruh baya itu.

"Pah, bawa Risya masuk! Bi, panggilan dokter keluarga! Cepat! Cepat! Kasihan Risya, Ya Allah, anak Mama!" Perempuan paruh baya terlihat histeris saat mendapati tubuh Risya dalam gendongan Papanya.

***

"Anak itu benar-benar! Sudah diberi pengertian dengan baik, malah kabur!" gerutu Tuan Putra yang baru saja memperkenalkan diri sebagai Papanya Risya atau Trisya itu.

"Jadi, kamu tidak apa-apa mengantar anak saya sampai sini? Bagaimana dengan keluarga kamu yang tidak mengetahui keberadaan kamu saat ini?" tanya Putra sambil menatap Revano di hadapannya.

"Saya memang berencana menjauhi kota itu," jawab Revano singkat, masih dengan nada datar.

Putra manggut-manggut. "Punya saudara di sini?"

Revano menggeleng singkat. "Saya akan segera pergi. Permisi."

Revano berdiri dari duduknya dan akan berjalan keluar.

"Tunggu!"

Revano berhenti, tapi tidak membalikkan badannya. Itulah kebiasaan dia. Siapa yang butuh, dialah yang akan mendekat.

"Apakah kamu mau menjadi bodyguard pribadi Risya? Saya akan menggaji kamu mahal, jika bisa mengubah sikapnya yang liar itu."

Tawaran. Itulah yang ada dalam benak Revano. Dia masih bergeming. Dalam diamnya, sebenarnya ia tengah berfikir, menimang-nimang tawaran itu.

"Kamu akan tinggal di sini. Bukan. Maksudnya, akan tinggal di belakang rumah, tempat semua pembantu di rumah ini tinggal," ucap Putra sambil berjalan mendekati Revano.

"Anda menganggap saya pembantu?" tanya Revano dengan nada datar.

Percayalah. Ia merasa direndahkan dengan jabatan itu. Dia ini lulusan universitas terbaik di Amerika. Apakah pendidikan itu akan berakhir sebagai pembantu? Hey! Dia adalah Revano Adi Pratama. Anak dari mafia yang cukup besar di dunia. Jadi pembantu?

"Saya hanya ingin membantu kamu. Anggap saja sebagai permintaan terimakasih karena sudah menemukan dan membawa anak saya kemari. Bukannya kamu ingin menjauhi kota itu? Kamu bisa tinggal di sini, dan pekerja dengan saya." Putra menghela nafas pelan.

"Memangnya ada yang salah dengan jabatan itu? Bodyguard. Saya akan menggaji kamu lebih besar dari pekerja saya yang lain. Hanya satu syaratnya, kamu harus bisa mengubah Risya," ucap Putra dengan tatapan penuh harap.

Revano masih bergeming. Berdiam diri dengan banyak memikirkan kemungkinan di benaknya.

'Hanya mengubah, apa susahnya?' batinnya bertanya.

"Pekerjaan saya sangat banyak. Saya tidak memiliki waktu untuk menjaga dan memantau anak saya dua puluh empat jam." Suara Putra kembali terdengar.

"Saya tidak akan tinggal di sini. Pukul sembilan nanti saya akan kembali dan memenuhi permintaan anda. Saya akan mencari tempat tinggal di luar." Setelah mengucapkan itu Revano melangkahkan kakinya meninggalkan Putra.

•••

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!