...•••Selamat Membaca•••...
Hulya Millicent, gadis berusia dua puluh tahun terbangun dalam keadaan polos tanpa busana di balik selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Dia kembali mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelum ini, tapi tidak berhasil mengingat apapun.
"Ini di mana? Apa yang terjadi padaku? Siapa yang membawaku ke sini?" gumamnya heran, Hulya melirik kasur dan tidak ada apa-apa, tubuhnya tidak merasakan hal aneh apapun.
Dia bangun dan mencari pakaiannya, tidak ada di dalam kamar besar itu. Hulya bahkan mencari ke walk in closet, pakaian apapun yang bisa dia pakai tapi semua itu pakaian pria.
"Bagaimana aku bisa pulang kalau begini ceritanya? Akh!" Hulya kembali ke atas kasur, memikirkan cara agar bisa menutupi tubuh polosnya yang kini hanya di tutupi dengan sehelai handuk putih.
Klek!
Marchel Grayson, pria tiga puluh tahun yang membawa Hulya ke mansion itu. Dia membawakan pakaian yang pas untuk Hulya serta makanan.
Hulya langsung berlari ke arah Marchel dan memeluk pria tegap dan tampan itu.
"Jendral, aku senang sekali, ternyata kau ada di sini," kata Hulya dalam pelukan Marchel. Pria itu memegang kedua bahu Hulya dan mengulurkan tubuh gadis itu ke depannya, menatap tajam Hulya yang membuat gadis itu bergidik ngeri.
"Kenapa memandangku begitu?" tanya Hulya mencoba untuk menyembunyikan rasa takutnya.
"Siapa yang mengajarkanmu pergi ke club malam hm?" tanya Marchel dingin, sorot matanya masih tajam, Hulya menelan ludah memikirkan jawaban yang tepat untuk Marchel.
"Aku yang ingin sendiri, hm ini rumah siapa jendral? Kok kamarnya besar sekali?" Hulya mengalihkan pembicaraan tapi sorot mata Marchel masih tajam tak terbantah.
"Ini mansionku dan jawab pertanyaanku Hulya."
"Aku sendiri yang ingin ke club, aku hanya ingin mencoba saja."
"Aku mengenalmu bukan setahun dua tahun, kau tidak pernah nyaman dengan suasana club, jujur padaku, siapa yang mengajarimu ke sana?"
"Iya iya, aku hanya ikut dengan temanku saja, dia yang ajak."
"Siapa nama temanmu?"
"Cindy."
"Kamu tahu apa yang terjadi padamu semalam?" Hulya menggeleng lemah, karena dia memang tidak mengingat apapun.
Flashback On
Marchel pergi ke club untuk melakukan transaksi senjata dengan seorang pemasok, dia menginginkan senjata yang bagus untuk menjalankan misinya beberapa minggu ke depan.
Selesai transaksi, dia akan pulang, namun tatapannya menangkap seseorang yang sangat dia kenali, ia melihat Hulya tengah dipapah oleh seorang pria menuju ke sebuah kamar yang memang disediakan di club itu.
"Hulya di New York?" Marchel mengikuti pria tersebut dan benar saja, gadis yang dipapah adalah Hulya.
Mereka memasuki sebuah kamar dan pria itu menidurkan Hulya di atas kasur. Marchel mendobrak pintu kamar tersebut dan melihat bagaimana Hulya dicumbu dan dilecehkan oleh si pria, dengan wajah bengis, Marchel menghajar pria yang berani menyentuh gadisnya hingga tak berdaya,
"Berani sekali kau menyentuh kekasihku hah?"
"Kekasihmu? Aku menyewanya dari seorang wanita dan aku sudah membayar." Marchel naik pitam dan melayangkan tinju kembali ke wajah pria itu.
"Siapa wanita itu?"
"Cindy, aku membayar gadis ini pada wanita bernama Cindy."
"Brengsek, sialan."
Wajah pria itu babak belur dibuat oleh Marchel, dia menggendong Hulya dan memasukkannya ke dalam mobil. Pakaian Hulya juga sangat sopan, tidak seperti wanita binal atau wanita yang biasa ke club untuk menjual diri mereka.
Hueekkk!!
Marchel mengalihkan pandangannya pada Hulya yang tidur di bangku tengah, gadis itu muntah berkali-kali hingga mobil Marchel menjadi kotor dan pakaian yang dikenakan oleh Hulya juga kotor.
Sesampainya di mansion, Marchel menggendong gadisnya dan meminta seorang pelayan wanita untuk membersihkan tubuh Hulya.
"Tidak ada pakaian yang cocok untuk dia tuan, saya belum mengenakan pakaian apapun padanya," lapor si pelayan pada Marchel setelah menjalankan tugasnya.
"Biarkan saja dia istirahat dulu, kamu boleh pergi."
Pelayan itu menunduk dan pergi, Marchel keluar membeli pakaian yang cocok untuk Hulya dan malam itu dia tidur di kamar lain, membiarkan Hulya istirahat dengan tenang di dalam kamarnya.
Kamar yang tidak pernah ditiduri oleh wanita mana pun dan Hulya adalah gadis pertama berada di atas ranjang Marchel.
Flashback Off
"Ooh jadi dia menjualku? Kurang ajar, aku akan kasih pelajaran sama dia, liat aja," geram Hulya dengan tangan mengepal.
"Aku sudah memberikan pelajaran padanya, lebih baik kamu mandi dan pakai ini." Hulya tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih jendral, jika kamu tidak datang, hm... pasti aku sudah tidak suci lagi." Hulya menyilangkan kedua tangannya di dada sambil mengangkat sedikit bahunya.
"Makanya, jangan coba-coba hal baru yang bisa merugikan kamu sendiri, sana mandi, jangan lupa itu sarapan dimakan."
"Oke."
Hulya berjalan ke kamar mandi, membiarkan air hangat menyentuh permukaan kulitnya, dia masih kesal dengan Cindy yang tega menjualnya di club.
"Awas kamu Cindy, aku akan bikin perhitungan sama kamu," geram Hulya dengan mengangkat sebelah alisnya.
Setelah mandi dan berpakaian, Hulya membawa sarapannya ke bawah dan duduk di meja makan. Melahap hingga habis semua sarapan itu dan meminum segelas susu cokelat hangat yang disiapkan untuknya.
Hulya menemui Marchel di halaman belakang, pria itu tengah berbincang dengan seorang pria yang mungkin saja itu temannya.
"Jendral." Marchel dan juga pria itu menoleh pada Hulya.
"Kemarilah!" titah Marchel tegas namun lembut. Hulya berjalan mendekati Marchel dan duduk di samping Marchel dengan senyuman yang terukir di wajah anggunnya.
"Aku mau pulang jendral, apa kamu bisa mengantarkan aku?" pinta Hulya dengan suara mendayu, selama ini dia memang begitu manja pada Marchel.
"Memangnya dalam rangka apa kamu ke New York? Apa papamu tahu kamu di sini?" Hulya mengangguk lalu menjawab. "Aku ke sini diutus untuk mewakili kampus mengikuti olimpiade, sebenarnya selesai sehari yang lalu dan akan pulang dua hari lagi, tapi aku tidak mau di sini, aku ingin pulang."
"Bagaimana hasil olimpiade-mu?"
"Aku juara jendral dan sudah memberikan kabar ini pada papa di Indonesia, dia sangat bahagia," jawab Hulya dengan semangat. Marchel ikut tersenyum, dia memang tahu kalau Hulya anak yang sangat cerdas.
"Aku bangga padamu, untuk dua hari ke depan lebih baik kamu di sini dulu, aku yang akan mengantarkan kamu ke Indonesia." Hulya tersenyum senang.
"Benarkah?"
"Iya, nanti kita bisa cari oleh-oleh untuk kamu bawa." Hulya memeluk erat Marchel.
"Makasih ya," ucap Hulya, Marchel mengusap kepala gadis itu dengan lembut.
Setelah Hulya pergi, Alexio Alessandro, sahabat Marchel terlihat bingung.
"Dia gadis yang sangat kau cintai itu bukan?" tanya Alexio.
"Iya, kenapa memangnya?"
"Kenapa dia memanggilmu jendral? Sejak kapan kau jadi jendral?"
"Dulu itu dia selalu memanggilku paman, aku tidak mau dan panggilan itu membuat aku merasa sangat tua. Karena dia sering melihat aku memerintah anggota dan banyak orang yang tunduk padaku, dia memiliki panggilan baru yaitu jendral. Aku sudah sering katakan padanya untuk memanggil nama saja, tapi dia tidak mau, ya daripada paman, lebih baik aku dipanggil jendral." Jawaban Marchel membuat Alexio terpingkal.
"Apa dia tahu kalau kau mencintainya?"
"Tidak, belum tepat juga jika aku mengutarakan sekarang, lebih baik menunggu dia lebih dewasa sedikit lagi."
"Jangan sampai kau tertikung oleh pria lain, aku lihat-lihat, dia sangat cantik dan menarik."
"Aku tahu bagaimana cara menjaganya dan tidak akan ada yang bisa menikungku." Marchel tersenyum dan Alexio mengerti dengan senyuman itu.
Marchel sudah lama kenal dengan Hulya, semenjak gadis itu kecil, karena dulunya, papa Hulya menjadi orang kepercayaan orang tua Marchel. Hulya juga sering dibawa oleh papanya ke mansion kedua orang tua Marchel, mereka cukup dekat hingga saat ini.
Hanya saja, Hulya menganggap Marchel sebagai paman dan Marchel tidak menginginkan hal itu. Setiap ada pria yang mencoba untuk mendekati Hulya, pasti dihabisi oleh Marchel, karena dia tidak ingin disaingi oleh siapapun untuk mendapatkan Hulya.
"Apa dia masih sering mencarikanmu jodoh?" tanya Alexio lagi.
"Yah, dia selalu merasa kasihan padaku karena tidak pernah melihat aku memiliki kekasih." Marchel dan Alexio saling tertawa.
...***...
"Tolong jangan biarkan Hulya kembali ke Indonesia Marchel, biarkan dia di sana dan jangan katakan padanya mengenai semua ini. Jika waktunya tepat, kau bisa menceritakan padanya semua yang terjadi." Suara Amar di seberang sana membuat Marchel khawatir, dia sudah mengutus beberapa anak buahnya membantu Amar, ayah Hulya.
"Anak buahku akan datang Paman, kau tetaplah mencari tempat yang aman."
"Aku tidak memiliki banyak waktu, berjanjilah padaku untuk selalu menjaga Hulya, sayangi dan jaga dia. Aku pamit."
"Paman—" sambungan telfon itu diputuskan secara sepihak oleh Amar. Marchel terus meminta pada orang kepercayaannya di Indonesia untuk melindungi Amar apapun yang terjadi.
Satu jam setelah itu, dia mendapatkan kabar kalau Amar meninggal karena dibunuh oleh beberapa musuhnya. Marchel diam terpaku, dia gagal.
"Apa yang akan aku katakan pada Hulya nanti? Dia pasti akan sangat sedih jika tahu papanya meninggal," lirih Marchel, dia membalikkan tubuhnya menghadap pintu, dan melihat Hulya sedang berdiri dengan air mata yang telah membanjiri kedua pipinya.
"Hulya," gumam Marchel.
"Papa? Aku mau pulang jendral, aku mau ketemu papa," tangis Hulya, ia langsung dirangkul oleh Marchel dalam pelukannya.
"Aku mengerti dengan perasaanmu, kita akan ke sana malam ini."
Marchel meminta Louis untuk mengurus keberangkatan dirinya dan Hulya malam ini ke Indonesia.
Setelah perjalanan panjang dilalui, Hulya tidak mendapati jenazah papanya lagi, karena telah dimakamkan oleh anak buah Marchel. Hulya hanya diam terpaku di depan makam sang ayah, tidak ada lagi keluarga yang dia miliki, karena selama ini dia hanya hidup berdua dengan Amar.
"Aku tidak punya siapa-siapa lagi, papa sudah pergi, aku sama siapa?" Marchel merangkul Hulya dengan lembut, membiarkannya menangis.
"Masih ada aku, jangan merasa sendiri." Hulya hanya bisa memeluk Marchel tanpa menjawab perkataan Marchel lagi.
...•••Bersambung•••...
...•••Selamat Membaca•••...
Tiga tahun kemudian...
Hulya disibukkan dengan pekerjaannya, dia membangun bisnis sendiri dengan membuka butik dan bisnisnya lumayan berkembang dengan baik.
Selama ini, Hulya berusaha untuk bangkit dalam keterpurukan karena kehilangan dua pria yang sangat berarti dalam hidupnya yaitu Amar dan Marchel.
Tiga tahun yang lalu, dia mendengar kabar kalau Marchel gagal dalam misi dan dinyatakan meninggal dunia. Hulya benar-benar kalut dengan kabar itu, hanya selang seminggu dari kepergian Amar, Marchel pun pergi juga.
Tak ingin berduka terlalu lama, sambil kuliah, dia memulai bisnisnya menggunakan uang yang ditinggalkan oleh Amar. Bisnis itu berkembang lumayan bagus hingga saat ini dan perlahan, kehidupan Hulya kembali seperti biasa.
“Sayang, sibuk ya,” sapa Aarav, pria yang sudah setahun ini menjalin hubungan dengan Hulya.
“Lumayan, cukup ramai pengunjung di butik tadi, kamu ada apa ke sini?”
“Aku pulang ngantor dan kangen kamu.” Hulya melirik jam tangannya dan sudah menunjukkan pukul 5 sore.
“Udah sore ternyata.”
“Iya, kamu lupa waktu, keluar yuk."
“Tapi kerjaan ku masih banyak Aarav.”
“Kan bisa di handle sama Sofia.” Hulya mengangguk dan meminta Sofia untuk melakukan semuanya.
Mereka keluar dari butik, lanjut ke cafe pilihan Aarav. Mereka memesan beberapa makanan dan minuman lalu berbincang ringan, saling membicarakan mengenai pekerjaan dan banyak hal.
“Kapan kamu siap untuk menikah sayang?” tanya Aarav sambil memegang tangan Hulya, raut wajah yang tadinya ceria menjadi murung.
“Hm aku belum kepikiran Aarav, soalnya menikah itu bukan hal yang kecil, aku butuh kesiapan baik dari segi fisik maupun hati.”
“Oke aku mengerti.” Aarav tersenyum karena jawaban yang sama dari Hulya terus dia dapatkan.
Mereka kembali bicara hal lain untuk menghangatkan suasana, karena obrolan tadi cukup membuat canggung.
Aarav mengantarkan Hulya pulang, dia tidak masuk karena saat ini masih memiliki urusan lain yang sangat penting. Hulya memasuki kamar dan kaget melihat Marchel duduk dengan santai di atas ranjang miliknya.
“Jendral?” Marchel mendekati Hulya dengan tatapan datar dan sinis.
“Gadis kecilku ternyata sudah dewasa sekarang, apa dia kekasihmu?” tanya Marchel dengan nada dingin.
“Ini beneran kamu? Bukannya tiga tahun lalu kamu—”
“Aku masih hidup Hulya dan selama setahun terakhir, aku selalu memantaumu, tidak ada yang luput dari pantauanku mengenai dirimu.”
”Lalu? Kenapa kau tidak menemui aku?”
“Aku hanya tidak ingin mengganggumu.”
“Haha alasan apa begitu? Selama ini aku sangat bersedih atas kepergian papa lalu dirimu, aku selalu menunggu kabar tentangmu dan kau tau betapa hancur aku saat mendengar kabar buruk dari anak buahmu?” Tatapan Marchel melunak, memang dia merahasiakan dirinya selama ini untuk bisa mengecoh musuh.
“Maafkan aku Hulya, aku tidak bermaksud membuatmu sedih, sekarang aku di sini dan aku baik-baik saja.”
“Aku merindukanmu jendral.” Hulya memeluk Marchel karena memang sangat merindukan pria itu, pria yang selalu menjaganya.
“Tolong jangan panggil aku jendral lagi Hulya.”
“Oke oke, Marchel.” Hulya tersenyum begitu pula dengan Marchel.
“Aku membawakan makanan untukmu.”
“Aku sudah makan dengan Aarav, untuk saat ini aku sangat kenyang.” Wajah Marchel yang tadinya melunak kembali tegang ketika Hulya menyebut Aarav.
“Tinggalkan dia Hulya, aku tidak suka kau menjalin hubungan dengan pria lain.” Hulya mengerutkan dahinya dan sedikit menjauh dari Marchel.
“Apa maksudmu? Dia itu kekasihku dan kami sudah menjalin hubungan setahun ini, kau tidak bisa mencampuri hidupku seperti ini,” tolak Hulya dengan tegas.
“Aku berhak atas dirimu, jika kau tidak meninggalkan dia, maka aku yang akan membuat dia meninggalkanmu,” ujar Marchel, dia melangkah maju dan mencengkram dagu Hulya lalu melanjutkan ucapannya, “Selamanya.”
“Apa maksudmu?” tanya Hulya dengan nada takut, dia sangat tahu siapa Marchel dan apa yang bisa pria itu lakukan.
“Sama seperti apa yang aku lakukan pada semua pria yang mencoba mendekatimu selama ini.” Hulya membulatkan matanya, memang selama ini semua pria yang berusaha mendekatinya, meregang nyawa dengan tragis.
“Jadi, kau yang membunuh mereka semua?” Marchel tertawa dan itu semakin membuat Hulya ketakutan.
“Iya, memang kau pikir siapa lagi?”
“Kau ini gila ya? Apa tujuanmu menghabisi mereka?” Air mata lolos begitu saja dari kelopak mata Hulya dan itu membuat Marchel tersenyum karena merasa gadis itu takut padanya.
“Aku mencintaimu dan selama ini aku selalu menginginkan kamu Hulya, aku sangat benci ketika ada pria yang berusaha mendekatimu.” Hulya tidak menyangka Marchel akan mengatakan hal itu padanya.
“Nggak mungkin, aku tidak mencintaimu Marchel, jangan bercanda begini.”
“Aku tidak pernah bercanda dengan apa yang aku katakan, jika kau ingin bukti, aku akan membunuh Aarav malam ini juga.” Hulya menggeleng, dia tidak ingin pria yang dia cintai meregang nyawa.
“Kamu lakukan hal itu, aku benar-benar akan membencimu.” Bukannya takut, Marchel malah tertawa terbahak.
“Aku tidak peduli Hulya, mau kau benci atau tidak padaku, kau itu tetap milikku dan semua yang menjadi sainganku untuk mendapatkanmu harus tersingkirkan selamanya.” Hulya menelan ludah pahit, dia tidak menyangka kalau Marchel akan segila ini padanya.
“Sekarang keluar dari rumahku, aku tidak mau mengenal pria pembunuh sepertimu.” Suara Hulya mulai berat, dia menahan tangis ketakutan.
“Aku memang akan keluar dari rumah ini, tidak sendiri, melainkan bersamamu.” Hulya tidak mau lagi berdebat dengan Marchel.
Dia dengan cepat membuka pintu kamar dan keluar dari sana, Hulya berlari menuju pintu keluar agar terbebas dari Marchel tapi malah dihalangi oleh Louis.
“Lepaskan aku,” berontak Hulya dalam genggaman Louis, tenaga pria itu cukup kuat saat mengunci pergerakannya.
“Aku tidak mau pergi Marchel, aku mau di sini, aku tidak mau ke mana-mana.”
“Aku tidak ingin mengambil resiko sayang, aku tidak bisa juga tinggal lama-lama di sini, pekerjaanku sangat banyak.”
“Bagaimana dengan pekerjaanku?”
“Pekerjaanmu bisa di handle oleh anak buahku, tanpa bekerja pun, aku masih mampu untuk menghidupimu.”
“Marchel, aku nggak mau ke mana-mana, aku mohon, aku mau tetap di sini, aku tidak ingin keluar negeri bersamamu, aku nyaman di sini, aku mohon Marchel.” Kali ini Hulya memohon dengan tangisnya, dia memang tidak ingin keluar negeri.
“Baiklah, aku akan membiarkanmu di sini tapi kau tinggal bersama denganku dan seminggu lagi kita menikah. Aku tidak menerima penolakan apapun darimu.” Suara Marchel tegas dan mendominasi.
“Tolong jangan begini, aku tidak mencintaimu, aku mencintai Aarav.” Marchel menarik kuat tangan Hulya hingga tangan itu terasa sakit. Hulya meringis, mungkin saat ini tangannya terkilir.
“Dengan perlahan, kau bisa mencintai aku, mengerti.” Hulya semakin meringis karena Marchel memelintir tangannya.
“Iya iya, tolong lepaskan aku.” Marchel melepaskan tangan itu, dia memberi isyarat pada Louis agar menjaga di luar.
Setelah perdebatan panjang, Hulya memasuki kamarnya untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Tangannya begitu sakit akibat kuatnya tarikan Marchel, dia tidak menyangka kalau Marchel akan sebengis itu, selama ini, yang dia tahu, Marchel pria yang sangat baik.
Tengah malam, Hulya terbangun karena merasakan sakit di pergelangan tangan serta bengkak yang terlihat jelas. Dia menangis sambil memijit tangan itu dengan minyak urut.
Karena tidak tahan dengan rasa sakitnya, Hulya keluar dari kamar, melihat Marchel tidur di atas sofa. Dia membangunkan Marchel sambil menahan tangis kesakitan, Marchel membuka matanya perlahan dan langsung duduk saat melihat Hulya menangis.
“Ada apa Hulya?” tanya Marchel.
“Tanganku sakit, tolong pijat ya, aku nggak tahan Marchel,” tangis Hulya.
Marchel melihat tangan gadisnya yang bengkak, dia yakin kalau ini karena tarikannya tadi.
“Maafkan aku, kita ke rumah sakit ya.”
“Nggak usah, pijit aja, biasanya kalau tangan aku begini, papa selalu pijit dan sembuh.” Marchel menuntun Hulya untuk duduk, dia mengambil minyak urut di dalam kamar Hulya dan membalurinya ke tangan gadis itu.
Dengan keahliannya, Marchel mengurut tangan Hulya dengan baik, sakit yang Hulya rasakan perlahan menghilang dan merasa lebih baik.
“Kamu laper nggak? Makanan tadi masih ada kan?” Marchel menatap Hulya, tangannya masih belum berhenti memijat tangan Hulya.
“Iya masih ada, aku taruh di dapur, kamu lapar?” tanyanya kembali.
“Iya, kan tadi energi aku terkuras karna kamu, gimana sih.” Hulya cemberut pada Marchel, membuat pria itu tersenyum gemas.
“Oke, aku akan panaskan makanan itu, kamu tunggu di sini, jangan kabur,” tekan Marchel, Hulya semakin cemberut, tanpa dia duga, gadis itu menggigit bahu Marchel dengan kuat.
“Sakitt Hulya,” ringis Marchel sambil mengusap bahunya.
“Emang kamu pikir aku mau kabur ke mana? Ini rumahku.”
“Kabur ke rumahnya si Aarav.”
“Aku masih tau aturan, nggak mungkin ke rumah pria malam-malam begini, emang kamu pikir aku ini wanita binal.” Marchel malah tertawa mendengar ocehan Hulya.
“Mau makan tidak?”
“Iya mau, kamu temani ya.”
“Oke ayo.” Hulya berdiri dibantu oleh Marchel, mereka ke dapur bersiap untuk makan.
Marchel memanaskan makanan yang dia beli untuk Hulya tadi lalu menatanya di atas meja. Marchel menyuapi Hulya karena tangan gadis itu masih sedikit sakit dan bengkak.
“Kamu tau nggak, tadi itu ya, aku nemu pelanggan yang nyebelin parah, dia milih beberapa baju dan nggak muat terus malah nyalahin bajunya.” Cerita Hulya panjang lebar pada Marchel mengenai apa yang dia alami tadi di butik.
Marchel tersenyum sambil terus menyuapinya.
“Lalu? Kamu jambak orang itu atau kamu pukul?”
“Enggak lah, dia pelanggan, nggak mungkin aku bakalan adu aksi sama dia.” Mereka berdua saling tertawa.
Suasana di antara mereka mulai membaik kembali, tidak canggung dan seakan masalah tadi tidak pernah terjadi.
“Tunggu dulu Marchel, mulut aku penuh,” protes Hulya saat Marchel menyodorkan makanan lagi padanya, padahal dalam mulutnya masih banyak dan belum tertelan.
“Haha maaf maaf.” Marchel mengusap lembut kepala Hulya penuh kasih sayang.
...•••BERSAMBUNG•••...
...•••Selamat Membaca•••...
Keesokan paginya, Hulya bersiap ke butik, tangannya juga sudah lumayan sembuh karena dipijat Marchel semalam, dia juga semangat karena hari ini bisa bertemu Aarav.
Hulya keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan wangi, sedangkan Marchel duduk di sofa dengan tatapan tajam padanya.
“Mau ke mana kamu?” tanya Marchel dingin.
“Ke butik, mau ke mana lagi coba.”
“Sekarang lebih baik kamu persiapkan saja surat-surat untuk pernikahan kita, aku tidak memiliki waktu lama di sini.” Hulya mencoba tenang dan duduk di hadapan Marchel.
“Marchel, aku ini sudah memiliki kekasih, aku mencintai dia dan dia juga mencintaiku, jadi aku mohon padamu, tolong jangan seperti ini, masih banyak wanita lain yang menginginkan kamu untuk menjadi suami mereka. Jika kita menikah dan aku tidak bisa mencintai kamu, itu akan menyakitkan Marchel, cobalah mengerti.” Hulya berusaha memberikan pengertian pada Marchel mengenai perasaannya, berharap Marchel menerima ucapannya. Marchel mencondongkan tubuhnya ke arah Hulya dengan tatapan yang masih tajam.
“Cepat persiapkan semua surat-surat untuk pernikahan kita atau aku akan membunuh kekasihmu itu.” Hulya terkejut dengan reaksi Marchel yang dingin dan menakutkan. Dengan kesal dan emosi, Hulya berdiri dari tempat duduknya.
“Aku nggak mau Marchel, ngerti nggak sih? Emang kamu pikir kamu itu siapa? Nggak segampang itu buat maksa orang nikah sama kamu, kalau memang kamu itu hebat dan pemberani, sana bunuh Aarav dan jangan pernah berharap kalau aku akan menikah dengan pembunuh sepertimu.” Marchel melipat tangannya ke dada dan terlihat santai menanggapi amarah Hulya sambil senderan ke sofa.
“Aku selalu mendapatkan apa yang aku mau Hulya, termasuk kamu.”
“Aku nggak segampang itu ditaklukkan olehmu, mengerti.”
“Oh ya?” Marchel berdiri di hadapan Hulya dengan tatapan tajam kembali.
“Ayo kita buktikan!”
Hulya pergi sambil menghentakkan kakinya, saat hendak keluar rumah, pintu rumah terkunci. Gadis itu hilang kesabaran menghadapi Marchel kali ini, baginya, Marchel sudah sangat keterlaluan.
“Dengar Marchel, aku ini bukan tahanan kamu, kau bagai seorang pengecut kalau seperti ini.” Marchel mendekati Hulya perlahan.
“Oh ya? Dengar istriku sayang, kamu milikku, Hulya.”
“Aku bukan istrimu.”
“Oke, sekarang coba lihat ini.” Marchel memberikan ponselnya pada Hulya, di sana dia melihat ayahnya melakukan ijab kabul dengan Marchel dan disaksikan oleh beberapa orang.
Hulya kaget bukan main, dia menatap Marchel tidak percaya, menganggap kalau video itu hanya editan.
“Aku tidak bisa dibohongi dengan video editan begitu.”
“Aku bukan orang yang suka mengedit apapun, ini real dan kau itu istriku, aku menikahimu ketika kau berusia delapan belas tahun, tepat saat kau baru saja lulus sekolah.”
“Tidak mungkin, papa tidak mengatakan apapun padaku."”
“Jelas, karena aku yang meminta dia untuk tidak mengatakan apapun padamu dulu sampai kau benar-benar siap dan lulus kuliah.”
“Bohong! Aku bukan istrimu.”
“Aku sudah menikahimu sah secara agama, aku memeluk kepercayaanmu dan pernikahan kita sah. Sekarang, aku ingin pernikahan kita di sahkan secara negara dan hukum.” Hulya terdiam, tubuhnya merosot ke lantai, dia tidak bisa mempercayai hal ini.
“Tidak mungkin, ini tidak mungkin,” gumam Hulya pelan, dia tidak hanya terkejut tetapi juga tertekan dengan semua ini.
Bagaimana mungkin dia akan hidup dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai? Ini mustahil.
“Berarti usia pernikahan kita sudah 5 tahun?” Marchel berjongkok di depan istrinya itu, tatapannya tidak setajam tadi lagi.
“Iya Hulya, itulah kenapa, aku sangat menjaga dirimu dan aku menyingkirkan semua pria yang berusaha untuk mendekatimu karena kau itu istriku.”
Selama ini, Amar selalu mengatakan pada Hulya kalau Marchel adalah pria yang tepat untuk anaknya, tapi semua itu dianggap angin lalu oleh Hulya, mengingat perbedaan usia mereka yang terpaut jauh, yaitu sepuluh tahun. Hulya awalnya menganggap kalau Marchel adalah seorang paman, dia tidak pernah membayangkan kalau Marchel ternyata suaminya.
“Aku tidak mencintaimu Marchel, aku mencintai Aarav dan ini tidak mungkin terjadi, aku tidak mencintaimu.”
Tangis Hulya pecah, walau Marchel merasa sakit mendengar ungkapan Hulya tapi dia tidak terlalu menanggapi.
“Kamu hanya butuh waktu Hulya, cinta itu bisa hadir karena terbiasa, aku tidak akan menyentuhmu sampai kau benar-benar siap. Sekarang aku ingin meresmikan dan mendaftarkan pernikahan kita.” Hulya menggeleng, dia tidak ingin menikah dengan Marchel.
“Aku mohon Marchel, tolong ceraikan saja aku, aku sangat mencintai Aarav, aku tidak ingin meninggalkan dia.” Marchel kembali menatap Hulya dengan sinis.
“Aku tidak akan pernah menceraikanmu, kau itu milikku Hulya, kau istriku dan sampai kapan pun, kau akan tetap menjadi istriku. Bila perlu, aku akan melenyapkan Aarav agar pria itu tidak merusak pikiran dan hatimu lagi.” Marchel berdiri, tekadnya bulat untuk membunuh Aarav.
“Jangan, jangan Marchel, tolong jangan sakiti Aarav. Aku mohon.”
“Kalau begitu ayo urus segala keperluan kita, aku ingin semua selesai dalam minggu ini, mengerti.” Hulya mengangguk, tidak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan Marchel.
...***...
Hulya dan Marchel mengadakan pesta besar di New York, dia tidak mengadakan di Indonesia karena Hulya tidak ingin, dia takut jika Aarav tersakiti.
Hulya menatap pantulan dirinya di cermin besar dalam kamar pengantin, dirinya sangat cantik bak seorang ratu. Selama pernikahan dan resepsi berlangsung tadi, Hulya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi keterpaksaan. Dia menghargai Marchel karena tamu yang hadir merupakan orang penting dan Marchel juga bukan orang sembarangan, dia memiliki kuasa serta power yang kuat di negara itu.
Marchel memasuki kamar mereka, dia sangat bahagia, akhirnya lima tahun penantian, dia bisa memiliki Hulya seutuhnya.
“Biar aku bantu.” Marchel membantu Hulya membuka gaun pengantin itu.
“Aku mau mandi dulu.” Hulya mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Wajah Hulya sangat berbeda ketika acara tadi, sekarang dia lebih banyak murung.
“Maafkan aku Hulya, aku tidak bisa melihatmu dimiliki oleh pria lain, itulah kenapa aku terus mendesak Amar untuk menikahkan aku denganmu, tapi aku berjanji, aku akan memberikan kehidupan yang layak untukmu,” kata Marchel lalu melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya.
Dia juga mengambil handuk dan mandi di kamar mandi lain, agar nanti ketika tidur, tubuhnya terasa lebih segar.
Hulya berdiri di balkon kamar, tatapannya kosong dan hampa, dia tidak bisa menolak takdir saat ini. Dia teringat dengan perkataan Marchel sebelum mereka menikah secara resmi.
“Bahkan jika takdir tidak bisa mempersatukan kita, aku akan membuat takdirku sendiri agar bisa memilikimu, apapun itu akan aku jalani sesuai dengan keinginanku.”
Sekarang Hulya hanya akan menjalani semuanya sesuai dengan kehendak Marchel, hidupnya sudah di bawah kendali sang suami tanpa bisa dia kelola sendiri.
Marchel sudah berdiri di samping Hulya, menatap wajah sendu istrinya yang saat ini belum menyadari keberadaannya. Marchel mencium pipi Hulya dengan lembut, gadis itu langsung menoleh sebentar pada Marchel dan kembali menatap lurus ke depan.
“Istirahatlah, jangan terlalu lama di balkon, tidak baik untuk kesehatanmu, angin malam bisa membuatmu sakit nanti.” Hulya menatap Marchel sendu, dia bingung dengan situasi saat ini, siapa yang bisa dia salahkan?
“Aku belum ingin tidur.”
“Kalau begitu, aku pergi dulu, jangan begadang, tidak baik.” Marchel mencium kening Hulya lalu pergi dari kamar itu, dia memilih untuk tidur di kamar lain agar Hulya merasa nyaman.
“Papa ini kenapa sih? Ngomongin Marchel mulu, emangnya papa segitu ngebet ya jadiin dia menantu?” protes Hulya pada Amar, papanya terkekeh.
“Jika anak papa ada dua dan juga perempuan, papa pasti akan menjadikan dia menantu. Dia anak yang baik, tanggung jawab dan juga mapan. Papa mengenalnya semenjak dia kecil, dia memang keras tetapi hatinya begitu baik nak, apa kau tidak menyadari, kalau dia jatuh hati padamu.”
“Papa ini jangan banyak bicara lagi, dia itu jauh lebih tua dariku Pa, lebih cocok menjadi pamanku.” Amar kembali tertawa.
“Yang lebih tua itu yang bisa mengerti dan mengimbangi sikap manja kamu ini.” Amar mencubit ujung hidung Hulya.
“Nanti kau akan mengerti nak, seorang suami itu akan menjadi tempat pulang bagimu, banyak di luaran sana, istri yang menderita setelah menikah, mendapat kekerasan, kekejaman, kehinaan dan penderitaan lain dari suaminya. Papa tidak ingin kamu begitu, papa hanya ingin kamu bahagia dan Marchel adalah pria yang tepat untuk menggantikan Papa dalam menjaga kamu,” lanjut Amar.
“Coba kamu bayangkan, kamu nanti sakit dan tidak bisa melakukan apapun sendiri, kamu butuh perhatian serta kasih sayang tapi suamimu cuek dan tidak peduli, dia hanya memberikan kamu materi saja tanpa perhatian, apa yang akan kamu lakukan? Kamu tidak akan bisa hidup tanpa cinta dan kasih sayang nak.”
“Sudahlah Papa, lebih baik Papa tidur dan jangan mikir aneh lagi.”
Hulya menangis mengingat perkataan Amar, selama ini Amar sangat ingin melihat dia bersanding dengan Marchel dan sekarang semua sudah terwujud. Hulya menghapus air matanya dan memasuki kamar lalu menutup pintu serta gorden, dia tidak melihat Marchel di dalam kamar itu.
“Loh, dia ke mana?” Hulya keluar dari kamar, mencari keberadaan Marchel dan pelayan mengatakan, Marchel ada di kamar lain.
Hulya memasuki kamar tempat di mana suaminya berada. Pintu tidak dikunci, Hulya melihat Marchel tidur tanpa mengenakan baju dan hanya memakai celana santai panjang berwarna hitam.
Lampu kamar juga dimatikan dan pencahayaan hanya dari lampu tidur. Hulya menutup pintu kamar dan mendekati Marchel, dia berdiri di samping ranjang lalu menatap lekat wajah tampan yang tidur dengan damai tersebut.
“Aku yakin, pilihan papa pasti tidak pernah salah, aku akan menerima semuanya,” kata Hulya dalam hatinya.
Hulya duduk di tepi kasur, membuat Marchel terbangun karena merasakan pergerakan di tempat tidur, dia dengan spontan duduk dan menatap Hulya dengan bingung.
“Ada apa Hulya?” tanya Marchel kaget, karena mata Hulya merah sehabis menangis, dia takut jika istrinya itu sakit.
“Kenapa tidur di sini?”
“Aku hanya ingin kamu istirahat dengan tenang saja, aku tidak ingin menganggumu.”
“Aku sedih Marchel, apa kau tidak ingin memelukku untuk menghilangkan rasa sedih ini?” Marchel menghidupkan lampu kamar, wajah Hulya terlihat jelas.
Marchel membawa Hulya dalam pelukannya, memberikan rasa nyaman dan hangat pada Hulya.
“Kamu sedih karena diriku, aku sadar itu.”
“Aku menerima pernikahan ini, Marchel, aku ini istrimu dan kamu suamiku, seharusnya kita menghabiskan malam bersama, bukan tidur pisah kamar seperti ini.” Marchel tersenyum, hatinya menghangat saat Hulya berkata seperti itu.
“Apa aku tidak salah dengar?”
“Aku memang belum mencintaimu tapi kau bisa membuat aku jatuh cinta dengan caramu bukan.”
“Tentu, aku pasti bisa membuatmu jatuh cinta padaku.”
“Ayo kita ke kamar, masa malam pertama kita tidak romantis, kan harusnya kita mesra-mesraan, peluk-pelukkan dan—” Hulya tersenyum genit lalu mencolek dagu Marchel yang membuat Marchel terkekeh.
“Membuat keturunan yang banyak,” sambung Marchel. Mereka berdua tertawa.
...•••BERSAMBUNG•••...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!