"Naya,kamu itu sebentar lagi mau skripsi kalau kamu masih suka main main dan nongkrong ke tempat yang gak jelas kamu akan papa keluar kan dari daftar pewaris"
suara bariton papanya masih terngiang di telinga naya, bahkan ketika ia sudah duduk di pelataran kampus sambil meminum kopi sachet murah dikantin yang biasa jadi tempat tongkrongan anak anak kampus lainnya.
"Pewaris?Apaan siih. Selalu ngancem pake warisan" naya mendesah lelah karna terus terusan diancam oleh papanya.
Di sekeliling nya teman teman nya tertawa kecil tapi hanya sebentar karna langkah sepatu kulit warna hitam menuju ke arah mereka yang mampu membuat tawa kecil tadi seketika hilang karna aura dingin yang dipancarkan oleh kedatangan dosen.
Ya, dosen killer itulah julukan yang diberikan oleh naya dan teman teman nya.
Alvan Hermawan, Dosen baru yang hanya butuh 1 Minggu saja untuk membuat satu angkatan tiarap. Wajahnya datar tidak pernah menyunggingkan senyuman sekecil pun, tatapan mata nya tajam seperti mata elang. Bahkan cara dia memegang buku tebal pun seperti ingin melemparkan pasal kuhp ke kepala mahasiswa yang telat masuk di jam pelajaran nya.
Disaat semua mata tertuju pada Alvan yang melihat dengan takjub bagaimana penampilan dosen itu sungguh mempesona tapi berbeda dengan naya yang yang bergidik bukan karena takut tapi karna geli.
"Gaya banget baru juga jadi dosen belum jadi direktur udah sok banget mentang mentang punya tampang yang ideal jadi jalannya harus kayak ceo yang ditakuti seasia tenggara"gumam naya tapi Alvan sekilas melirik naya dari ujung matanya telinga bisa menangkap apa yang dikatakan oleh naya tapi ia abaikan dan langsung menuju ke arah koridor.
____
Didalam kelas tampak riuh dan penuh dengan canda dan tawa,tapi serempak mereka semua terdiam karna melihat dante masuk keruang kelas mereka.
"Selamat siang"ucapnya datar tanpa ekspresi.
"Siang pak" jawab mereka serempak.
"Siapa hari ini yang tidak ikut pelajaran saya?"tanya Alvan karena ia melihat ada bangku kosong ditengah bangku kedua.
Semua mahasiswa didalam menoleh satu sama lain lalu menjawab pelan.
"nayaa pak"
Dante mengangguk tanpa mengatakan apapun dan mulai memberikan materi.
sementara itu jam dipergelangan naya menunjukkan pukul 13.35
Mata nya melebar.
"Astaga,aku lupa aku ada kelas siang ini...Bisa matii niih"
Dengan rambut yang terkuncir, kemeja putih dan celana kulot jeans warna hitam dan tas Selempang yang hanya diisi lip tin naya melompat dari bangku kantin seperti kesurupan.
Teman-teman nya yang masih duduk santai melongo melihat naya lari terbirit-birit ke arah gedung perkuliahan.
"Kenapa nay?"Tanya sarah sahabat naya tidak satu kelas karna beda jurusan.
"Ada kelas dosen killer itu hari ini"balas nya setengah menjerit.
Sarah mengangguk mengerti ia sudah paham
Dampaknya nanti karna sudah satu Minggu ini ada beberapa mahasiswa yang harus mengulang mata kuliah karna absen di jam pelajaran nya.
Tangga lantai dua nyaris roboh karna pijakan kaki naya yang tergesa, nafasnya memburu dan tidak teratur detak jantungnya yang berpacu lebih kuat,ditambah lagi karena panik ia sudah tahu konsekuensi nya.
Setelah selesai lari terbirit-birit naya sudah sampai didepan pintu kelas sebelum masuk dirinya menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan menyeka keringat di dahi dan membenarkan kerah baju yang tak beraturan.
"Huuhf,oke tentang,rileks..santai kamu gak akan ditendang keluar dari kelas ini karna telat sedikit nay"
Dengan penuh percaya diri naya mendorong pintu. Cekreekk...
Semua mata langsung menoleh ke arah naya bahkan sepasang mata dengan Sorot tajam yang berdiri tegak didepan kelas.
"Selamat siang saudari..?"
"Naya,pak"mencoba tersenyum manis untuk mencairkan sedikit kegugupan nya.
Dante menatap naya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tatapan yang entah kenapa membuat naya merasa bajunya kusut dan seperti belum mandi beberapa hari.
"Sudah tahu ada jadwal dikelas ini,tapi masih datang sesuka hati?"tanya nya datar
"Maaf pak saya telat, saya lupa kalau hari ini ada kelas siang"
Dosen itu menutup bukunya dengan keras yang nyaris terdengar seperti palu sidang.
"Silahkan berdiri di sini sampai jam pelajaran saya selesai. Hari ini kami belajar sambil berdiri anggap sebagai peringatan karena kalau kamu telat lagi hukumannya akan lebih berat lagi"
Beberapa mahasiswa mengalihkan pandangan karena tidak tega dan ada beberapa juga yang menahan tawa. Tapi, berbeda dengan naya ia menegakkan badan , menyilangkan kedua tangan di dada nya dan berdiri di sisi papan tulis.
"Aku sumpahin dia kepleset di depan umum"gumamnya dalam hati sambil melirik sepatu hitam milik dosen killer itu.
Alvan tak bergeming ia melanjutkan penjelasan soal teori komunikasi tanpa ekspresi seolah tidak ada satu pun keanehan di kelas ini. Seolah berdirinya seorang mahasiswi seperti naya di depan kelas adalah hal yang sudah biasa.
“Komunikasi interpersonal yang efektif membutuhkan perhatian penuh terhadap verbal dan non-verbal. Salah satu bentuk komunikasi non-verbal adalah sikap tubuh seperti berdiri dengan tegang di depan kelas saat seharusnya duduk mendengarkan.”
Beberapa mahasiswa terkekeh pelan dan naya yang melirik tajam tetapi Alvan sama sekali tidak menatapnya, hanya terus menulis di papan tulis dengan tenang.
"Oke, anda ternyata bisa menyindir orang ternyata ya. Tapi liat aja. Aku juga bisa."
Tanpa ragu, Naya mengambil spidol yang ada di dekat papan tulis, lalu menulis satu kalimat besar di pojok bawah
"Dosen Killer \= Tidak Manusiawi"
Seisi kelas tertahan napas.
Arya menoleh pelan menatap tulisan itu lalu kembali menatap Naya, diam dan sedikit lama.
Ketegangan menggantung di udara.
Namun, alih-alih marah, Alvan hanya menghela napas singkat, lalu berbicara dengan datar.
“Silakan tambah satu baris lagi Mahasiswa yang berujung bocah kelas SD..l
Seisi kelas langsung tergelak. Bahkan beberapa ada yang tepuk tangan.
Wajah Naya merah padam tapi bukannya malu, ia malah tersenyum kecut.
"permainan mu bagus juga, Pak. Tapi ini baru awal."
🍒🍒🍒
Naya hanya diam, tak ingin membalas.
Setelah pelajaran selesai dan dosen killer keluar dari kelas tanpa senyum seperti biasa. Naya langsung menjatuhkan diri ke kursi paling belakang sambil mengerang keras.
“Ya Allah… kaki aku... serasa habis lomba lari tujuh kilo,” keluhnya dramatis.
arya yang baru saja beres mengemasi laptop ikut duduk di sebelahnya.
“Wajar orang tadi kamu lari dari kantin ke lantai dua kayak dikejar anjing gila.”ucapnya
“Aku dikejar lebih serem dari itu,” Naya mendesah. “Dikejar absensi dosen killer yang bisa jadi penyebab skripsiku gagal.”keluhnya lagi.
Ia menyandarkan kepala ke meja sambil mengusap lehernya badannya masih panas karena dihukum berdiri satu setengah jam di depan kelas. Apalagi habis lari dengan kecepatan maksimal dari kantin ke gedung perkuliahan.
“Sumpah itu dosen nggak punya perasaan,” gumam Naya. “Kayak nggak ada nurani sama sekali.”
“Jangan salahin dosen nya nay, Tadi pagi udah aku ingetin kan kalau pak Alvan ada kelas mengajar dikelas siang, eh malah leha-leha sambil minum kopi kayak nggak punya beban.”
Naya mendesah keras lalu merosot kan tubuhnya ke sandaran kursi seperti karung beras. “Iya iya, aku salah. Tapi kenapa juga harus dosen itu sih yang ngajar hari ini? Kenapa bukan dosen yang lain aja kayak Bu Eli gitu yang suka ketawa-tawa itu? Atau pak Fadli yang ngajar sambil cerita horor?”
Alvan memutar bola matanya. “Karena dunia ini nggak berputar sesuai mood kamu, Nay.”
Naya menatap langit-langit kelas dengan lemas. “Aku berdiri hampir satu jam lebih loh, ya hampir Satu jam! Padahal tadi udah hampir mati di tangga.”
“Pantesan pas kamu masuk, kelihatan kayak orang baru kabur dari film action.”
Naya menyikut lengan Arya pelan. “Gara-gara dia, harga diriku turun ke lantai.”
“Yaa... nggak turun sih, lebih kayak... ngubek tanah.”
Arya terkekeh puas melihat wajah kesal Naya.
Karena merasa sudah punya tenaga lagi naya keluar dari kelas ingin pergi ke kantin karna perut nya yang keroncong minta diisi sejak pagi apalagi tadi dia hanya minum kopi untungnya asam lambung nya tidak kumat padahal ini sudah termasuk kategori puasa yang tidak diniatkan.
“Aku ke kantin dulu ah,” gumam Naya sambil merapikan tasnya.
“Perasaan tadi kamu udah ke kantin?”tanya Arya.
“Itu tadi aku cuma minum kopi, bukan makan.”
arya tertawa pelan.
“Ya udah tapi inget jangan pesen mie pedas level lima kamu itu bukan Iron Stomach takutnya nanti malah pingsan.”
“Aku pingsan cuma kalau liat mantan, bukan karena cabai.”
Dengan langkah mantap naya keluar kelas. Tapi saat berjalan melewati koridor menuju kantin belakang gedung F langkahnya melambat. Matanya menangkap sosok yang tak asing berdiri di dekat tiang besi depan warung kecil kampus.
Kemeja putih lengan digulung rapi elana bahan abu gelap, sepatu hitam licin dan laptop di tangan kirinya.
Pak Alvan.
Naya langsung refleks bersembunyi di balik tembok pembatas koridor.
“Ya Allah... kenapa juga harus dia nongol di jam-jam keroncongan gini?”
Matanya melirik ke arah kantin ada tukang nasi goreng, bakwan hangat, teh tarik... semua seperti memanggil-manggil namanya.
Tapi dosen killer itu berdiri di depan warung kecil kampus seperti sedang ngecek nilai hidup para mahasiswa.
"Masa aku harus balik ke kelas? Nggak bisa. Perut aku nggak bisa diajak kompromi."
Tapi setelah tarik napas panjang naya mengambil keputusan cepat.
Lewat taman belakang.
Ia melipir pelan membelok ke jalur becek yang biasa dilewati anak-anak mapala kalau perlu nyeker pun dia rela. Daripada ketemu calon dosen killer... dalam kondisi laper karena bagi Naya martabat sebagai mahasiswi pembangkang harus dijaga meski harus muter satu kampus duluan.
____
Setelah semua urusan kampus selesai naya pulang dengan tubuh remuk redam dan semangat minus lima. Sumpah serapah terhadap dosen killer masih memenuhi pikirannya. Tapi belum sempat ia mencapai tangga menuju kamarnya, suara bariton yang sangat dikenalnya menghentikannya.
“Naya, Papa mau bicara.”
Naya menghela napas panjang. Kenapa sih, hidupnya nggak bisa tenang satu hari saja?
Ia menoleh dengan malas. “Apa?” tanyanya datar.
Pak Firman menatapnya dengan sorot mata tegas duduk di kursi ruang tamu dengan jas masih menempel dan wajah seperti mau rapat direksi.
“Malam ini ada tamu spesial yang akan datang. Papa minta kamu jangan keluar rumah.”
Naya mengangkat alis. “Tamu spesial? Siapa?”
Sebelum Pak Firman menjawab, suara halus yang dibuat-buat datang dari arah dapur.
“Ih, Papa kamu tuh, kalau ngasih kabar selalu dadakan ya, Nay…”
Ibu Mita mama tirinya muncul dengan senyum selembut awan membawa piring kue yang ditata cantik. Penampilannya rapi seperti selalu siap difoto tapi bagi Naya di balik senyum manis itu, tersembunyi lidah paling tajam seantero rumah.
Ia duduk manis di sebelah papanya, lalu menatap Naya penuh senyum palsu.
“Yang mau datang itu keluarga teman nya papa kamu, sayang,” katanya sambil menyuapkan kue kecil ke mulut suaminya.
“Teman papa?” Naya mengerutkan kening. “Siapa?”
Pak Firman menjawab.
“Alvan Dosen kamu. Papa kenal baik dengan keluarganya dan hari ini mereka akan datang untuk makan malam bersama dan kami merencanakan untuk menjodohkan kamu dengan dante.”
Dunia seakan berhenti sejenak.
Naya menatap ayahnya, lalu ke Ibu Mita. lalu berkata, “Kidding!”
Tapi tidak ada yang tertawa.
“Apa??” suara Naya nyaris melengking. “Papa mau jodohin aku sama... dosen killer itu?!”
Ibu Mita langsung tertawa kecil. “Sayang jangan bilang dosen killer nggak sopan dong. Arya itu sopan, pintar, punya prinsip. Cocok banget buat kamu yang... ya... masih butuh banyak bimbingan.”
Naya melotot. “Aku nggak mau dijodohin sama dosen itu, pa!”
Pak Firman meletakkan cangkir tehnya pelan. “Papa sudah sepakat keluarganya baik dia juga bukan orang sembarangan. Dan kamu butuh laki-laki yang bisa menuntun kamu. Bukan yang selevel dengan tongkronganmu itu.”
Naya hampir membanting tasnya.
Ibu Mita tersenyum halus tapi tatapannya tajam menusuk. “Lagipula, lebih baik kamu nikah dengan laki-laki mapan dan dewasa... dari pada nanti kamu jatuh cinta sama mahasiswa seumuran yang masih belum tahu arah hidup, iya kan?”
Dan di kepalanya, hanya satu suara menggema:
“Dijodohkan… sama dosen killer?! Yang tadi pagi ngasih aku hukuman berdiri hampir satu jam?! Yang mukanya kayak robot pas ngajar?! Ini mimpi buruk!”
Naya mengepalkan tangan tapi mita menangkap hal itu.
"Aku tidak mau"tolaknya mentah mentah.
"Dan papa tidak mau ada penolakan"ucap papanya lebih tegas
“Papa, ini gila. Aku bahkan barusan dihukum berdiri sama dia!”
Pak Firman hanya berkata pelan, “Kalau kamu masih ngelawan, Papa bisa pertimbangkan ulang status kamu sebagai pewaris.”
Dan itu sudah cukup membuat Naya terdiam. Lagi.
Lagi-lagi ancaman itu.
Saat ia berbalik hendak masuk kamar, Ibu Mita menambahkan, setengah berbisik:
“Kalau kamu nggak suka... pura-pura aja dulu, sayang. Yang penting Papa kamu tenang. Biar kamu bisa dapat bagian kamu nanti. Lagian, siapa tahu... kamu malah jatuh cinta beneran.”
Senyumnya manis tapi dingin seperti pisau es tapi hanya naya yang bisa melihat itu.
Di luar, senja mulai turun. Lampu-lampu taman sudah menyala. Pelayan rumah mulai menata meja makan panjang di ruang tengah. Naya menatap ke arah pintu utama dengan tatapan kosong.
Dan tepat pukul tujuh malam nanti... pintu itu akan terbuka.
Dan laki-laki yang selama ini ia kutuk sebagai dosen killer… akan duduk di meja makan sebagai calon tunangannya.
🍒🍒🍒
Malam harinya...
Rumah besar keluarga Firman dipenuhi aroma masakan yang menguar dari dapur. Pelayan sibuk mondar-mandir merapikan meja makan panjang yang sudah dihias rapi dengan taplak putih bersih, peralatan makan lengkap, dan lilin kecil di tengah meja.
Lampu gantung kristal menyala terang menyorot suasana seperti acara jamuan resmi. Semua tampak sempurna di mata orang luar.
Tapi tidak di mata Naya.
Dari balik tirai lantai dua, Naya mengintip ke arah halaman depan. Jantungnya berdegup tidak karuan. Ia mengenakan dress polos warna navy pemberian Papanya, rambutnya disisir rapi oleh Mbak Santi, pembantu rumah yang paling dia percaya.
Mobil hitam berhenti di depan pagar.
Seorang pria paruh baya turun, diikuti oleh seorang wanita dengan kebaya elegan, lalu... seorang pria muda berseragam batik formal, wajahnya tegap dan sangat familiar.
Pak Alvan.
Dosen killer itu.
Naya tertegun.
“Gila… ini mimpi buruk dalam bentuk paling nyata.”
Tak lama, suara langkah kaki menggema. Pintu utama terbuka.
Pak Firman menyambut mereka dengan senyum penuh kehormatan. “Selamat datang, Pak Hermawan, Bu Rina... silakan masuk.”
Naya hanya bisa menatap dari tangga atas. Napasnya tercekat. Ia melihat Mama Mita menyambut tamu dengan senyum palsu yang lebih manis dari gula aren, lalu menoleh ke atas sambil melambaikan tangan.
“Naya, Sayang, turun yuk. Calonmu sudah datang.”
Calon suami?
Naya ingin kabur ke atap.
Dengan langkah pelan dan enggan, ia menuruni tangga. Sepanjang jalan turun dari tangga matanya dan mata Pak Alvan bertemu. Lelaki itu berdiri tenang seperti biasa, ekspresinya nyaris tak berubah tapi kali ini sedikit berbeda. dia seperti terkejut melihat naya.
Mereka berdua tak berkata apa-apa. Hanya saling menatap. Sejenak waktu terasa melambat.
Pak Firman memperkenalkan dengan bangga.
“dante ini bukan hanya dosen di kampus kamu, Nay. Dia juga anak sahabat Papa yang sudah Papa percaya sejak dulu.”
Ibu Mita menyambung, “Dan kalian... cocok. Sangat cocok.”
Naya tersenyum. Palsu. Sangat palsu.
Ia menjabat tangan tamu satu per satu, termasuk Pak Alvan. Tangannya dingin, dan Kaku.
Dan dalam hati, ia menjerit
“Kenapa harus dia, Tuhan?”
Ruang makan keluarga Firman malam itu tampak megah dan rapi. Meja makan besar sudah dihias dengan lilin aroma vanilla, taplak mahal dari luar negeri, dan hidangan berjejer yang nyaris tak tersentuh.
Pak Alvan dan kedua orang tuanya duduk dengan tenang, menjaga sikap. Naya duduk di seberang, diam-diam menggenggam sendok seperti hendak mengayunkannya ke langit-langit.
Percakapan berlangsung canggung. Yang bicara hanya orang tua.
Sampai akhirnya, di tengah-tengah pujian manis dari Ibu Mita tentang betapa “serasinya” Naya dan Alvan, api kecil dalam dada Naya meledak juga.
Ibu Mita, dengan nada santai namun menyindir, berkata pelan, “Naya ini memang suka keras kepala, tapi nanti kalau sudah ada suami yang menuntun, pasti bisa lebih... terarah.”
Ia menyisipkan tawa kecil seolah-olah kata-katanya itu lelucon manis. Padahal, semua orang tahu siapa yang sedang disindir.
“Iya, kan, Naya?” tambahnya sambil melirik ke arah putri tirinya yang duduk di ujung meja, sendok masih dalam genggaman erat.
Naya hanya menatap balik. Wajahnya tenang, tapi matanya... dingin.
Ia tidak membalas langsung. Hanya menyandarkan tubuh ke kursi, lalu berkata pelan, namun terdengar jelas:
“Daripada mengatur masa depan orang lain, lebih baik urus cara bersikap di depan meja makan.”
Hening. Bahkan denting sendok pun berhenti.
Pak Firman mengangkat alis, tidak percaya dengan kalimat itu. Tapi Ibu Mita masih bisa menjaga senyum manisnya. Bibirnya mengatup sedikit, menahan reaksi.
“Oh... mama cuma khawatir, Sayang,” katanya tetap lembut. “Kamu kan masih muda. Perlu banyak bimbingan, apalagi kalau nanti jadi istri dosen.”
Naya menyeringai. Senyum sinis yang sudah lama ditahannya akhirnya keluar juga.
“Dan saya rasa jadi istri dosen bukan berarti harus dibentuk sesuai selera orang lain yang bahkan bukan bagian dari hidup saya.”
Pak Firman menatap Naya tajam. “Naya, jaga ucapanmu!”
“Sudah Papa bilang dari awal, jangan mempermalukan keluarga!”
Naya meletakkan sendoknya dengan pelan. “Naya tidak mempermalukan siapa-siapa, Pa. naya hanya membela diri dari yang terlalu sering menilai tanpa melihat siapa diri naya sebenarnya.”
Semua mata menoleh padanya,Termasuk Alvan.
Untuk pertama kalinya malam itu, pria itu bicara.
Suara baritonnya tenang tapi tegas.
“Bolehkah saya bicara?”
Pak Firman menoleh. “Ya tentu saja boleh.”
Dante menatap Naya, lalu berkata, “Sebenarnya saya juga baru tahu soal perjodohan ini dua hari lalu. Saya sempat berpikir, ini ide konyol. Menikah tanpa cinta... hanya karena koneksi orang tua.”
Ia menoleh ke orang tuanya. “Tapi sekarang saya paham. Yang lebih konyol adalah memaksa seseorang menerima sesuatu yang bahkan tidak pernah ia setujui.”
Naya sedikit terkejut. Tapi tak menampakkannya.
Alvan kembali bicara, kali ini tenang tapi dalam.
“Saya tidak keberatan membatalkan semua ini... kalau memang kamu tidak menginginkannya, Naya.”
Semua mata tertuju pada pria itu, termasuk kedua orang tuanya.
Pak Hermawan ayah Alvan meletakkan garpu perlahan dan menatap Pak Firman dengan anggukan tenang.
“Fir, kami tahu kamu sangat berharap hal ini berjalan sesuai rencana. Tapi kami juga tidak ingin anak kami menikah dalam tekanan. Kalau Naya belum siap, lebih baik jangan dipaksakan.”
Ibu Rina, ibu Alvan, ikut bicara sambil menatap Naya dengan tatapan yang lebih lembut daripada siapa pun malam itu.
“Anak perempuan seharusnya menikah dengan bahagia, bukan karena takut mengecewakan orang tuanya.”
Pak Firman menegang. Ia menatap satu per satu tamunya dengan rahang mengeras, sebelum akhirnya mencoba tersenyum senyum yang dipaksakan setengah mati.
“Oh... baiklah. Kalau memang itu pendapat kalian... tidak apa-apa.”
Tapi nadanya jelas kecewa,sangat kecewa.
dante menoleh ke Naya sebentar. Hanya sekejap. Tidak bicara apa-apa.
Beberapa menit kemudian, acara makan malam berakhir tanpa kata perpisahan yang hangat. Tak ada tawa. Tak ada rencana lanjutan. Hanya ucapan sopan penuh formalitas, dan langkah kaki tamu yang terdengar pelan menjauh dari pintu utama.
Saat mobil keluarga Alvan menyalakan mesin dan bergerak pergi, badai sesungguhnya baru dimulai.
Di ruang tengah, Pak Firman berdiri membelakangi jendela, wajahnya merah padam.
Naya baru saja hendak berjalan ke arah tangga saat suara ayahnya menggelegar:
“Berhenti di situ!”
Langkah Naya terhenti.
“Papa malu! Kamu mempermalukan keluarga ini di depan tamu spesial papa! Apa kamu pikir bisa seenaknya bicara begitu?!”
Naya menoleh, berani, tapi wajahnya sudah sedikit pucat. “Aku hanya membela diriku, Pa. Aku nggak minta dijodohkan, dan aku bukan barang lelang.”
“Kurang ajar!”
Pak Firman melangkah cepat ke arahnya. Tangannya terangkat, mata penuh amarah.
Plak!
Bukan pukulan. Tapi suara telapak tangan yang ditahan keras oleh seseorang.
Ibu Mita berdiri di antara mereka.
“Mas! Jangan!” serunya, menahan tangan suaminya. “Jangan kasar sama Naya!”
Pak Firman terkejut. Tapi amarahnya belum surut.
“anak ini kurang ajar! Dia mempermalukan kita semua!”
“Mas... dia anak perempuan, dia belum tahu apa-apa,” suara Ibu Mita dibuat sesedih mungkin, seolah melindungi. Tapi di balik punggungnya, matanya sekilas melirik ke Naya tatapan dingin, menang.
Naya menggigit bibirnya. Ia tahu itu bukan tindakan untuk melindungi nya Itu manipulasi.
Seolah berkata, “Kau selamat malam ini... tapi bukan karena keberuntungan mu.”
Pak Firman menghela napas kasar. Tangannya mengepal. Lalu melangkah menjauh sambil menggerutu, “Kamu bikin malu, Naya... kamu sudah keterlaluan.”
Naya berdiri di tangga, tubuhnya gemetar. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena marah.
“Aku nggak akan jadi boneka, Pa. Sekali pun.”
Dan malam itu, meski rumah keluarga Firman tetap berdiri kokoh… hati Naya runtuh sedikit demi sedikit. Tapi dari reruntuhan itu, tekadnya mulai tumbuh. Ia akan melawan.
Pelan. Tapi pasti.
___
🍒🍒🍒
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!