Nama di batu nisan itu masih baru. Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya. Sebuah aksi meninggalkan dunia yang membuat siapapun terkejut karena tindakannya terlampau berani atau mungkin sudah sangat putus asa dilakukan Ziudith karena tekanan yang selama ini dia alami.
Meski penyendiri, Ziudith adalah siswa yang rajin juga pandai. Dia punya impian, berhasil lulus dari Lavente dan bisa mendedikasikan ilmu yang dia timba di sana untuk kehidupan yang lebih baik. Ziudith seorang yatim piatu, dia masuk Lavente melalui jalur beasiswa. Mendapat beasiswa ketika masuk di sekolah internasional tersebut adalah berkah! Ah, mungkin lebih tepat disebut musibah. Karena sebelum lulus dari Lavente, Ziudith sudah tidur abadi di dalam tanah.
"Akhirnya gadis bodoh itu memilih mengakhiri hidupnya! Syukurlah jika dia sadar jika keberadaannya di sini memang tidak pantas!"
"Kau tau, aku selalu risih jika duduk satu bangku ketika di kantin. Oh ayolah, dia tidak pernah memakai parfum. Jangankan parfum, aku yakin dia tidak pernah mencuci bajunya dengan bersih! Bau badannya itu membuatku mual!"
"Yang paling menyebalkan, jika berada di dalam kelas. Dia selalu menarik atensi teacher untuk memanggilnya maju ke depan kelas dan mengerjakan soal rumit di papan tulis! Wajahnya yang sok polos benar-benar membuatku ingin muntah saja!"
Suara hujatan dan makian sangat jelas terdengar di koridor asrama setelah meninggalkan area pemakaman. Hanya orang tuli yang tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Tapi, tak seorangpun yang membela Ziudith. Mereka diam dan mendengarkan. Seolah Ziudith memang pantas menjemput kematiannya dengan cara menyedihkan seperti itu.
Megan Alexa, dia teman satu kamar Ziudith Clementine. Bukan tidak merasa kehilangan namun interaksinya dengan Ziudith juga sangat jarang. Padahal mereka teman satu kamar. Bayangkan betapa tertutupnya seorang Ziudith, hingga teman satu kamarnya saja tidak menyadari jika hari ini Ziudith akan mengakhiri hidup di tangannya sendiri.
Semua 'kekacauan' yang diakibatkan oleh Ziudith sudah dibereskan. Pecahan kaca, darah yang berceceran, serta banyaknya benda yang mungkin ada sangkut pautnya dengan meninggalnya Ziudith sudah dibersihkan oleh petugas kebersihan sekolah.
Jangan tanya apakah ada tim penyidik dari kepolisian yang datang untuk menyelidiki penyebab kematian Ziudith yang tiba-tiba itu. Jelas jawabannya adalah tidak ada!
Bahkan ketika jenazah Ziudith dibawa ke rumah sakit, pihak sekolah rela menggelontorkan banyak uang untuk menutup fakta jika sebelum meninggal Ziudith telah mengalami pelecehan seksual. Dia diperkosa!
Namun siapa peduli? Ini sekolah internasional. Banyak murid kaya, lebih bersinar, lebih bertalenta, lebih segala dari pada seorang Ziudith yang hanya hidup sebatang kara. Kehilangan seorang yatim piatu dari jalur beasiswa bukanlah hal yang patut dijadikan alasan Lavente untuk bersedih. Pihak sekolah juga sangat diuntungkan karena tak ada pihak manapun yang menuntut kematian gadis itu.
"Kau baik-baik saja? Jika aku menjadi kau, aku tak akan sudi tinggal di kamar itu lagi." Rebecca, teman satu kelas Ziudith dan Megan sedang berbicara dengan Megan.
"Aku tak masalah." Jawab Megan langsung menuju kamarnya.
Kamar yang sama di mana mayat Ziudith ditemukan. Kamar yang sama di mana setiap hari mereka bertemu hanya untuk berbaring di tempat tidur tanpa melakukan obrolan yang bearti.
Pintu kamar dibuka, Megan tak percaya adanya hantu. Dia bukan seorang penakut, dia tak peduli jika orang lain menatap dirinya aneh karena masih mau menempati kamar yang sama di mana ditemukan mayat di dalam sana.
"Semoga kamu bisa beristirahat dengan tenang di manapun dirimu berada. Maaf jika selama ini kita tidak bisa menjadi teman yang baik. Tapi, aku berjanji akan sering mendoakan mu, Ziu."
Tepat ketika ucapan Megan berakhir, matanya menangkap adanya buku usang di atas meja belajar milik Ziudith. Padahal pagi tadi, bertepatan dengan dibersihkannya kamar ini.. Semua barang milik almarhumah sudah diambil oleh pihak sekolah. Entah dibuang kemana, Megan tak ingin tahu. Tapi.. Apa itu?
"The book?" Dua kata yang Megan ucapkan.
Megan lalu memejamkan mata. Lelah sekali rasanya hari ini. Dari mulai kematian Ziudith, acara pemakaman gadis itu, dan principal yang terus menerus menegaskan pada setiap siswa siswinya agar tidak membahas kematian Ziudith di luar lingkungan sekolah. Kalau bisa jangan lagi membicarakan tentang gadis menyedihkan itu.
Memang harus dilupakan, karena jika pihak luar mengetahui bobroknya sistem operasional yang Lavente terapkan di sekolah elite itu tak memberikan perlindungan pada korban perundungan, maka bisa dipastikan sekolah berbasis internasional tersebut akan segera kehilangan eksistensinya. Tak lagi dianggap sebagai sekolah favorit, dan yang lebih menakutkan bagi pihak sekolah adalah nama besar Lavente akan dilebur tanpa sisa bersama dicabutnya izin operasional sekolah tersebut.
Meski sudah dicoba untuk terpejam, nyatanya mata Megan tak bisa diajak untuk beristirahat. Tangannya mengambil buku yang tadi dia taruh di samping bantalnya.
'The book. Ziudith Clementine.'
"Apa ini buku harian Ziudith? Aah.. Mungkin principal lupa membawa buku ini untuk ikut disimpan bersama barang-barang Ziudith yang lain."
Sampul dibuka menampilkan nama Ziudith di sana. Megan membacanya, tak terasa air matanya menetes begitu saja. Dengan tulisan tangan.. Ziudith menceritakan bagaimana dirinya dirundung selama ini.
Kepala gadis itu dibenturkan ke tembok, jari tangannya diinjak ketika akan mengambil bolpoin yang jatuh, buku catatannya di buang ke kolam renang, pakaian olahraga nya sengaja digunting dan dirusak, dituduh menggunakan tubuhnya sebagai alat barter pada setiap guru agar selalu bisa mendapatkan nilai bagus, semua itu Ziudith tulis rapi seperti bukan dirinya yang mengalami kemalangan tersebut.
Tapi anehnya, Megan tak menemukan nama siapa saja yang sudah melakukan perundungan itu pada Ziudith. Ziudith tak menuliskan nama atau ciri-ciri orang-orang jahat yang melukainya pada di buku tersebut.
"Maafkan aku Ziudith... Maafkan aku.. Jika saja aku tak terlalu abai pada dirimu, pada sekitar... kamu pasti punya teman untuk berbagi semua penderitaan ini. Setidaknya satu saja, kamu pasti ingin memiliki teman berbagi cerita meski hanya satu... Maafkan aku.."
Tiba-tiba saja Megan merasakan tengkuknya merinding. Seperti ada yang meniupkan udara di sekitar sana. Tapi, ketika Megan melihat ke belakang.. Tak ada siapapun di sana. Megan kembali fokus pada buku yang tadi dia baca.
'Kematian pertama.'
Buku itu terbuka pada halaman berikutnya. Ada judul 'kematian pertama' di sana.
"Kematian pertama? Maksudnya apa? Sebentar... Owh astaga.."
Megan menutup mulutnya tak percaya. Di buku itu.. Di buku itu, jelas sekali tertulis tanggal 'kematian pertama' akan terjadi pada esok hari!
"Bukankah ini buku harian Ziudith?? Lalu kenapa tanggal ini dia tulis setelah dia meninggal dunia. Bukankah dia meninggal hari ini, lalu bagaimana mungkin dia bisa menceritakan hari berikutnya di mana dirinya saja sudah tidak ada di dunia??"
Megan menutup kasar buku tersebut. Dia tak percaya apapun yang tertulis di sana. Mustahil! Ini pasti hanya lelucon konyol orang-orang yang ingin menakuti dirinya saja karena masih betah di kamar bekas orang melakukan bunuh diri! Iya, pasti seperti itu.
Di tangannya sudah ada buku yang Megan yakini adalah milik Ziudith. Meski awalnya dia tak tertarik pada buku harian bertuliskan tangan itu, nyatanya kini Megan mensejajarkan tangannya untuk menopang buku tersebut. Megan membacanya.
"1 juli 2025. Pagi itu sekolah sudah melakukan kegiatan belajar mengajar seperti sedia kala. Sepertinya kematian ku tak berpengaruh apapun pada mereka. Tidak guru, tidak juga para muridnya. Lagi pula apa yang harus aku harapkan dari mereka? Meratapi kepergian ku? Owh bener juga.. Mereka saja begitu ingin agar aku segera pergi jauh dari sekitar mereka. Pergi jauh! Sejauh mungkin. Dan aku sudah melakukannya. Aku pergi sangat jauh sampai mereka tak bisa menemukan ku lagi. Bagi mereka aku tak nampak. Bagi mereka aku hanya bidak kecil tak berguna."
"Dua minggu yang lalu, aku bertemu dengannya. Tiba-tiba saja dia mencekik leherku. Aku kesulitan bernapas. Aku memohon padanya untuk melepaskan cekikan di leherku. Sakit. Ini sakit sekali. Aku menangis. Bibirku membiru. Barulah dia melepaskan cekikan nya. Dia menendang punggung ku ketika aku terjatuh dan berusaha mengatur nafas karena jujur saja, dadaku sakit sekali. Dengan amarah, dia injak punggung ku keras. Semua itu dia video kan. Dia rekam. Katanya aku suka mencari perhatian pada lelaki yang dia sukai? Siapa? Aku sendiri tidak tahu. Aku tak diberi kesempatan untuk membela diri. Dia menjambak rambut ku, lalu memperingatkan ku agar tak lagi mendekati lelaki yang dikaguminya. Aku tak tahu letak salahku di mana, tapi lagi-lagi aku harus meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi perbuatan yang sebenarnya tidak pernah aku lakukan. Mendekati laki-laki? Ayolah... Bahkan bayanganku saja takut padaku."
"Di tengah hiruk pikuk kegembiraan serta keceriaan sekolah internasional yang sempat aku banggakan.. Dia ikut bercanda tertawa dengan teman satu bangkunya. Sepertinya pembicaraan mereka tak jauh-jauh dari pembahasan siswa laki-laki. Asal tahu saja, di sekolah ini tidak ada murid dengan fisik standar. Semua memiliki ciri khas dan menonjolkan bakat serta kemampuan masing-masing. Yang jelek hanya aku seorang!"
"Dia berkata pada temannya jika ingin mendekati seorang kakak kelas, si kapten basket di Lavente. Temannya menyarankan untuk menemui kapten basket itu di lapangan basket siang ini. Katanya akan ada pertandingan antar kelas nanti. Jika ingin mendekati target buruannya, bukankah harus sering menampakkan diri? Begitu saran temannya."
"Pukul 10.15, bangku penonton di lapangan basket tidak penuh. Tidak banyak yang menonton, mungkin karena pertandingan ini diadakan di area outdoor maka tak banyak orang yang mau menonton di jam-jam seperti ini. Panas! Namun, dia mengikuti saran temannya untuk pergi ke lapangan basket dengan membawa ponsel keluaran terbaru yang dia banggakan. Sambil melakukan live streaming, dia ingin memperlihatkan pada followers nya jika dia sedang berusaha menarik perhatian crush nya. Memberi semangat pada lelaki yang dia incar ketika sedang berebut bola di lapangan. Bukankah itu terdengar sangat manis sekali?"
"Pukul 10.20, dia sedang asik memvideokan laki-laki yang dia kagumi. Dia tidak memperhatikan jika sedang berdiri di bawah bayang-bayang ring basket dengan tiang besi sebagai penyangganya, mungkin saja dia memang sengaja berdiri di sana untuk menghalau sinar matahari agar tidak mengenai kulit putihnya."
"Tapi siapa sangka keputusannya itu akan membuatnya menyesal seumur hidup. Tepat setelah dia berteriak kegirangan karena lelaki yang dikaguminya berhasil menambah angka bagi timnya, ring basket di atasnya terkena pantulan bola basket dengan sangat keras. Ring basket beserta papan backstop nya tersebut jatuh dengan cepat menghantam siapa saja di bawah sana. Dia terkejut, untung saja papan itu tidak mengenainya. Semua orang melihat ke arahnya. Dia bilang dia tidak apa-apa. Dia masih bisa tersenyum membalas tatapan mata lelaki pujaannya sambil melambaikan tangan. Sedetik kemudian, besi penyangga papan backstop jatuh. Kali ini dia tak seberuntung tadi. Punggungnya tertimpa besi itu. Bukan, bukan besi itu yang membuatnya bertemu denganku di neraka.. Tapi papan yang tadi sempat jatuh di awal. Lehernya tertancap papan pantul basket, yang terbuat dari plexiglass atau kaca temper, yang dirancang untuk menahan benturan bola dan mencegah pecahan, justru malah menyebabkan dirinya meninggal dunia. Darah segar mengucur dari lehernya. Matanya terbuka lebar, seakan mengingat momen di mata dia meregang nyawa dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Ya, dia tewas di depan crush dan para followernya. Mari lanjutkan live streaming di neraka saja!"
Megan menatap nanar pada buku tersebut. Dia menggeleng tidak ingin percaya. Ini pasti tidak benar kan? Tapi dia berlari keluar kelas kala mendengar temannya bicara tentang pertandingan basket di lapangan siang ini akan mempertemukan tim dari kelas-kelas unggulan. Yang paling dijagokan adalah Arkana, si kapten basket dari Lavente. Belum ada yang bisa mengalahkannya jika sudah turun ke lapangan!
Kaki Megan berlari begitu cepat melesat menuju lapangan basket. Dia sampai tidak sempat mengambil nafas. Dadanya bergemuruh, dia hanya ingin memastikan jika apa yang dia baca barusan bukan suatu kenyataan. Mana mungkin Ziudith bisa membaca masa depan? Pasti hanya sekedar lelucon belaka kan?
Belum sampai Megan bernafas lega, dia dihadapkan dengan seorang gadis yang tersenyum melambaikan tangan ke arah Arkana. Tepat di depan gadis itu ada papan beserta ring basket yang jatuh entah karena apa. Mungkin saja fasilitas olahraga di Lavente harus diperbaiki.
Megan tak percaya. Baru saja ingin berteriak memperingatkan Patricia agar beranjak dari tempatnya berdiri, sebuah besi penyangga papan ring jatuh menimpa Patricia. Patricia melotot. Mulutnya menganga. Dia tak sempat menghindar. Semua terjadi begitu cepat. Secepat Megan yang saat ini pingsan tak sadarkan diri! Semua yang dia baca di buku tadi benar adanya. Semua terjadi di depan mata Megan.
________
Kepala Megan terasa pusing. Dia bangun melihat sekitar, ini health center di Lavente. Kenapa dia bisa berada di sini? Pertanyaan itu terjawab kala Samuel berada di sampingnya.
"Sam. Sammy, aku melihatnya! Aku membacanya dan semua itu nyata! Sam, aku tau semuanya tapi--"
"Hei, tenanglah.. Kamu tarik nafas dalam-dalam.. Lalu hembuskan. Ceritakan pelan-pelan. Aku akan mendengarkan mu." Samuel atau biasa Megan panggil Sammy berusaha menenangkan kekasihnya.
Ya, Samuel adalah kekasih Megan, mereka baru menjalin hubungan ketika sama-sama menempuh pendidikan di Lavente.
Megan menangis sejadi-jadinya. Bayangan Patricia yang melotot ke arahnya dengan darah mengucur dari leher membuat dia kembali terisak sambil menutup mulutnya.
"Aku melihatnya.. Aku tahu jika Patricia akan meninggal gara-gara ring basket yang rusak." Megan mengawali ceritanya.
"Iya? Apa maksud mu, sayang?"
Lalu dengan susah payah Megan bercerita tentang buku yang barusan dia baca. Buku bertuliskan tangan yang ada nama Ziudith Clementine di sana. Dan penyebab Patricia meninggal, dia juga menceritakan semuanya pada Samuel.
"Itu mustahil, sayang. Kamu hanya terlalu banyak pikiran. Wajar saja jika kamu seperti ini, sampai sekarang saja kamu masih menempati kamar yang sama di mana gadis itu bunuh diri. Itu tidak baik, Megan. Kamu akan terus mengalami halusinasi dan frustasi jika terus seperti ini. Aku akan mengajukan pindah kamar untuk mu pada principal. Kamu tenang saja, aku tidak akan membiarkan dirimu melewati ini sendirian. Ada aku. Percaya kan semua padaku."
"Kamu tidak percaya padaku, Sam? Bahkan jika nanti kamu melihat buku itu dengan mata kepala mu sendiri? Aku akan tunjukkan buku itu padamu.. Ada di meja, di kelasku. Kamu bisa ambil sekarang dan kamu akan percaya jika apa yang aku ucapkan memang sesuatu kenyataan! Aku tidak berbohong, Sam!"
Samuel menggeleng. Dia memegang tangan Megan yang dingin. Samuel merasa kasihan pada kekasihnya ini, dia pikir Megan hanya sedang berhalusinasi. "Istirahat lah.. Aku akan tetap di sini."
Megan kecewa. Ternyata seperti ini rasanya ketika seseorang tak percaya pada apapun yang dia ucapkan. Ini benar-benar menyebalkan. Apakah Ziudith juga pernah merasakan hal ini?
Lagi-lagi kegiatan belajar mengajar di Lavente terpaksa dihentikan karena insiden yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Tewasnya Patricia sedikit banyak mampu mempengaruhi mental siswa siswi di sekolah elite itu.
Keluarga Patricia bahkan sampai menuntut pihak sekolah karena dianggap lalai dan abai dalam menjaga keselamatan para siswanya di dalam lingkup sekolah.
Meninggalnya Patricia karena tertimpa papan ring basket tentu tidak pernah mereka duga. Apalagi kejadian ini terjadi di Lavente sekolah berbasis internasional, kenapa sampai mengabaikan kerusakan fasilitas olahraga yang justru berakibat fatal hingga mengakibatkan korban jiwa seperti ini?
Yang paling terpukul diantara ratusan orang di Lavente bukanlah pihak sekolah atau keluarga Patricia namun Megan Alexa. Dia membaca semua yang akan terjadi pada diri Patricia tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Langkah kaki Megan terhenti di sebuah kelas yang hari ini ditutup rapat. Ruang kelas Patricia. Mereka semua berkabung atas kematian Patricia yang begitu tragis, oleh karena itu sekolah diliburkan. Ruang kelas dikunci. Ditutup sementara dari kegiatan belajar mengajar.
"Hei.. Bukankah kau Megan?" Suara seorang gadis menyapa Megan yang pucat pasi berjalan seperti mayat hidup di koridor kelas seorang diri.
Megan menoleh. Dia Nancy. Teman sekelas Patricia. "Iya, aku Megan. Kau mengenalku?" Megan menyipitkan matanya. Berusaha mengenali siapa yang menyapanya.
Demi Tuhan, Megan memang seorang gadis introvert luar biasa. Dia teramat abai dengan sekitarnya, hingga tak ada orang lain yang dia kenal selain Samuel sang kekasih dan Ziudith yang adalah teman satu kamar di asramanya. Bahkan dia tak kenal siapa saja yang menjadi teman sekelasnya. Dia merupakan gadis yang acuh dan tak peduli dengan sekitarnya.
"Ak-Aku.. Aku Nancy. Teman Patricia." Wajah Megan yang memang putih pucat makin kelihatan seperti orang yang tak memiliki darah di tubuhnya ketika mendengar nama Patricia disebutkan.
"Kau.. Apa kau teman sekelas Patricia?" Tanya Megan hati-hati.
Nancy mengangguk membenarkan. Kedua gadis itu lalu berjalan cepat menuju asrama, jika ketahuan principal jika ada siswa yang berkeliaran di area kelas di saat seperti ini, bisa dipastikan mereka akan mendapat hukuman.
"Kenapa kau ada di depan kelas ku tadi? Apa yang kau cari?" Tanya Nancy ketika mereka sudah ada di dalam kamar Megan.
"Aku hanya ingin tahu tentang Patricia. Dia meninggal tak wajar kan? Bagaimana bisa seseorang meninggal karena tertimpa tiang penyangga ring basket? Seperti tak masuk akal sama sekali." Kata Megan asal-asalan.
Megan membaca pergerakan bola mata Nancy. Gadis itu seperti ketakutan. Mungkin karena berada di dalam kamar yang pernah ditempati Ziudith. Aura kamar ini memang sedikit berbeda. Menyeramkan. Itu bagi orang lain, bukan bagi Megan tentunya.
"Iya. Dan aku lah yang bilang padanya untuk ke lapangan siang itu. Kau tau..? Patricia sangat mengagumi Arkana, semua tentang ketua tim basket di sekolah kita ini seperti medan magnet yang mampu menarik siapapun untuk masuk dalam pesonanya. Dan Patricia akan melakukan apapun hanya untuk bisa dekat dengan lelaki pujaannya itu.." Nancy bercerita.
'Oowh ayolah. Arkana tidak semenarik itu di mata ku!' Batin Megan.
"Aku menyuruhnya ke lapangan.. Aku.. Aku tidak bermaksud apapun.. Aku hanya memberi saran saja.. Aku..." Nancy menangis. Terlihat sekali jika dia sangat menyesali perbuatannya yang menyarankan Patricia pergi ke lapangan basket kemarin.
"Apa kau pernah melihat Patricia melakukan kekerasan pada.. Ziudith?" Kali ini mata Nancy memicing. Sepertinya dia tak menyukai obrolan tentang Ziudith.
"Oowh.. Maaf. Aku hanya ingin tahu saja." Lanjut Megan tak ingin suasana di antara mereka jadi canggung.
"Beberapa Minggu sebelum si cupu itu bunuh diri.. Aku dan Patricia sempat melihat dirinya memberikan botol minum untuk Arkana. Patricia marah! Dia tidak suka jika si cupu itu kecentilan dan cari perhatian pada lelaki yang dia kagumi. Maka ketika Patricia melihat gadis berkacamata itu keluar dari toilet seorang diri, Patricia langsung memberi peringatan pada gadis berkacamata itu. Aku juga melihat bagaimana Patricia sangat marah.. Dia mencekik dan menendang punggung--"
"Stop! Panggil namanya dengan benar. Dia punya nama, kau tau?! Namanya Ziudith! Bukan si cupu, bukan gadis berkacamata! Namanya Ziudith!!" Megan kesal sekali.
Bagaimana hal sepele bisa dijadikan alasan wajar bagi seseorang menganiaya orang lain?! Otak para siswa Lavente benar-benar bermasalah!
"Kenapa kau semarah itu?? Aku hanya memanggil dia seperti orang lain memanggilnya ketika dia masih hidup! Dan si cupu itu juga mau dan terima dipanggil seperti itu! Bahkan ada yang memanggil dirinya jalAng!! Dan dia tidak marah, tidak mengatakan apapun! Lalu untuk apa kau harus semarah ini??" Nancy beranjak dari kamar Megan dengan rasa kesal.
'Kau salah, dia bukan mau dipanggil seperti itu.. Dia hanya tidak bisa melawan ketika kalian memperlakukannya bukan seperti manusia.'
Dari pembicaraan dengan Nancy, Megan jadi tahu jika apa yang dituliskan di buku harian Ziudith adalah cara Ziudith atau siapapun itu membalas perlakuan tak adil yang selama ini Ziudith terima selama berada di Lavente.
"3 juli 2025. Dia merasa kesal setelah meninggalkan kamar asramaku. Lucu ya, dia yang selama ini tidak pernah memperlakukan ku dengan baik tiba-tiba saja mau berkunjung ke kamarku. Tapi ternyata kunjungannya ke sana hanya untuk menggunjing ku. Sebenarnya tidak masalah bagiku, aku sudah kebal dengan segala caci maki yang orang-orang tudingkan padaku. Tapi ada yang menegurnya ketika selalu menyebutku si cupu, dan dia tak terima ditegur seperti itu. Harga dirinya terlalu tinggi untuk mau meminta maaf."
Megan menelan salivanya. Dia merinding. Bukankah yang sedang dia baca adalah kejadian hari ini? Baru saja?! Dan.. Dan dia membacanya sebagai sudut pandang seorang Ziudith! Ini gila!
"Sebelumnya dia selalu pamer dengan kecantikan yang dia miliki. Dia bahkan pernah mencoret-coret wajahku dengan spidol hitam dan aku dilarang menangis. Aku disuruh memuji hasil karyanya pada wajahku. Ketika teacher masuk ke dalam kelas, tetap aku yang disalahkan karena dianggap memicu kegaduhan. Oke. Tidak masalah. Aku disuruh keluar kelas dan tidak boleh mengikuti pelajaran, mungkin itu yang terbaik karena jujur saja.. Aku malu memperlihatkan wajah ku yang makin jelek ini di hadapan semua orang."
"Ketika aku ingin membersihkan wajahku di wastafel, dia datang dengan semprotan lada dan mengarahkan benda itu pada wajah ku. Pedih sekali. Aku sampai menangis merasakan mata dan wajahku seperti terbakar. Aku salah apa? Lagi-lagi itu yang aku tanyakan. Katanya aku banyak gaya, aku sok kecantikan, hahaha.. Seriously? Dia mengatakan itu di depanku. Di depan si cupu ini. Apa dia takut kalah saing? Aku saja takut melihat bayangan ku di cermin, jadi untuk apa dia melakukan semua ini padaku?"
"Dan.. Hari ini, dia keluar dari kamarku menuju asramanya. Dia memperhatikan penampilannya menggunakan kamera depan di ponselnya. Padahal baru sedetik yang lalu dia merasa sangat marah, tapi sekarang dia terlihat senyum senyum sendiri melihat pantulan dirinya di depan kamera. Dia cantik. Aku akui itu. Tapi sayangnya dia tak memperhatikan jalan ketika menuju asramanya."
"Sebuah tanda jika lantai yang dipijak baru saja di pel dan masih basah tidak dia lihat. Dia terus saja berjalan sambil memperhatikan kecantikannya di depan layar ponselnya, sampai di anak tangga ke tiga belas sebelum sampai di lantai dasar dia terpeleset. Dia terpelanting jatuh. Berkali-kali membentur anak tangga. Dengan kesadaran yang masih tersisa, dia mencoba menghubungi siapapun untuk menolongnya. Darah mengalir dari kepalanya, mungkin karena tadi kepalanya terbentur anak tangga berkali-kali. Sayangnya, ponsel itu malah meledak tepat di depan wajahnya. Kasihan sekali.. Kecantikan yang dia banggakan sekarang menyisakan wajah menghitam oleh luka bakar. Banyak yang berkerumun karena bunyi ledakan dan teriakannya, tapi bukan untuk menolong.. Mereka terlalu takut untuk mendekat. Alhasil, kematiannya menjadi sebuah tontonan yang menarik karena banyak yang merekamnya. Selamat ya, kamu viral di dua dunia sekarang."
Megan mundur beberapa langkah. Dia syok. Apakah kali ini Nancy yang menjadi korban?
Jerit teriakan seorang gadis menggema hingga ke lantai atas asramanya. Megan buru-buru berlari ingin tahu apa yang terjadi, dan rasa ingin tahunya terbayar ketika melihat sosok Nancy yang terkapar dengan muka hitam dengan kulit wajah terkelupas, darah menggenang di sekitar kepalanya. Nancy meninggal dunia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!