Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang yang ditinggalkan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tinggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artinya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tersentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk setuju. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
"Baiklah Nyonya, aku setuju tapi dengan satu syarat" ucapnya tegas penuh dengan penekanan.
"Aku ingin dinikahi secara siri" lanjutnya.
Wanita itu tersenyum tipis. Lalu mendekatkan diri pada Violet.
"Tentu. Tapi jangan melewati batasmu!" bisiknya tegas.
Setelah melalui kesepakatan bersama, akhirnya wanita itu memberikan setengah dari jumlah uang yang ia tawarkan. Dan sisanya akan dia lunasi saat Violet sudah menyerahkan bayinya kepadanya. Violet pun menyetujuinya. Ia lalu melunasi semua hutang-hutangnya dan kembali ke gubuk kecil,tempat tinggalnya.
Violet menatap dirinya pada cermin, matanya berkaca-kaca. Ia tak tahu apakah keputusannya itu benar. Namun ia sadar,itulah jalan satu-satunya agar ia terbebas dari jeratan hutang kedua orangtuanya.
Sementara Claudia pulang ke rumahnya. Ia merasa lega telah menemukan wanita yang bisa memberinya anak tanpa harus hamil dan membuat tubuhnya berubah.
"Dari mana saja kau?" tanya Adrian seketika.
Claudia tersentak, ia tak menyangka suaminya sudah pulang dari kantor. Claudia langsung menghampirinya dan bergelayut manja di pangkuan suaminya itu.
"Aneh sekali? tak biasanya kau marah seperti ini? Ada apa hem? " ucap Claudia seraya merayu nya.
Adrian tidak langsung menjawab. Matanya menatap Claudia tajam, seakan sedang menelusuri sesuatu yang tak ia pahami.
“Aku dengar.... kau keluar rumah selama dua hari untuk ‘urusan penting’. Dan sekarang kau pulang dengan wajah puas seperti itu. Jelaskan padaku, Claudia. Apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyanya dingin.
Claudia tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. Ia membelai dada Adrian dengan lembut.
“Sayang... kau ingat, bukan? Kita sudah coba bertahun-tahun dan tidak pernah berhasil punya anak. Aku hanya mengambil keputusan. Kau sendiri setuju saat kita berdiskusi soal ibu pengganti... dan aku akhirnya menemukannya.”
Adrian terdiam. Ia mengingat diskusi itu, ya. Tapi tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa Claudia akan membuat kesepakatan tanpa keterlibatannya.
“Siapa dia?” tanya Adrian kemudian, suaranya datar namun mengandung tekanan.
Claudia bangkit dari pangkuannya, berjalan ke arah bar kecil dan menuangkan segelas wine untuk dirinya.
“Namanya Violetta Madison. Gadis desa. Miskin. Lugu. Dia butuh uang, kita butuh anak. Bukankah semuanya cocok?”
Adrian memicingkan mata, menatap Claudia seakan ingin menelanjangi pikirannya.
“Kau yakin dia orang yang tepat?”
“Tentu saja. Bahkan dia meminta untuk dinikahi secara siri olehmu sebagai syarat. Bukankah itu lucu?” Claudia tersenyum menyeringai.
Adrian mendongak, menatap Claudia penuh keterkejutan.
“Apa?! Ayolah Claudia... sudah aku katakan aku tak ingin menikah lagi. Dan.."
Claudia menenggak wine nya lalu berkata tenang,
“Tenang saja. Pernikahan itu hanya formalitas. Kita akan buat kontrak. Setelah bayi lahir, dia akan pergi, dan semuanya kembali seperti semula.”
***
Tiga hari kemudian, Violet datang dengan koper kecilnya, dijemput oleh supir pribadi keluarga Claudia. Rumah itu seperti istana di matanya, dan Violet merasa semakin kecil di dalamnya. Claudia menyambutnya dengan senyum dingin, memperkenalkannya pada beberapa staf rumah tangga yang akan membantunya selama masa kehamilan.
Dan untuk pertama kalinya, Violet bertemu langsung dengan Adrian. Adrian mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Sikapnya dingin, namun mata itu—mata tajam yang memandang Violet dari ujung kepala hingga kaki—membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
“Jadi, kau gadis itu?” tanyanya pelan.
“Ya, Tuan.” Violet mengangguk pelan.
Claudia tertawa, menggandeng tangan suaminya.
“Dia memang polos, bukan? Cocok untuk tugas ini.”
Adrian tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, tapi ada sesuatu di wajah Violet yang entah kenapa mengganggu pikirannya. Gadis itu... tampak seperti seseorang yang selalu ada di dalam mimpinya, tapi tetap memilih berdiri.
Malam harinya, Violet menatap langit-langit kamar tamu mewah yang kini jadi tempat tinggalnya. Di sebelah ranjangnya tergeletak dokumen pernikahan siri yang baru saja ia tanda tangani bersama Adrian. Proses itu cepat, sederhana, tanpa saksi selain seorang penghulu bayaran yang Claudia datangkan diam-diam. Tidak ada pesta, tidak ada doa-doa. Hanya kata sah dan tanda tangan.
“Sekarang kau adalah istri sah Adrian, setidaknya di atas kertas,” ucap Claudia sebelum meninggalkannya sendiri di kamar itu.
Violet menatap kontrak itu,jantungnya berdesir. Jelas sangat jelas. Violet sadar jika dirinya akan menyerahkan seluruh hidupnya pada pria yang sudah beristri walau hanya sementara. Tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka. Mata Violet terbelalak ketika melihat siapa di balik pintu itu.
Tatapan tajam dan aura dingin langsung menyeruak di kamar itu.
"Malam ini, kita lewatkan saja. Aku tak bisa tidur denganmu." ucap Adrian tegas.
Adrian terpaksa tidur di kamar itu karena Claudia yang memintanya. Violet menunduk dalam diam, dadanya terasa sesak. Ia tak tahu harus merasa lega atau kecewa dengan ucapan Adrian. Lelaki itu... terlalu dingin. Bahkan tak memberi sedikit pun ruang bagi Violet untuk sekadar bernapas tenang.
"Baik, Tuan," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Adrian melangkah masuk, lalu duduk di kursi baca di sudut kamar, jauh dari ranjang. Ia membuka buku yang dibawanya, seolah kehadiran Violet sama sekali tak berarti. Padahal, dalam diamnya, pikirannya kacau.
Keesokan harinya, Claudia berdandan dengan anggun dan menyambut Violet di ruang sarapan. Meja penuh makanan mahal, namun suasananya sangat kaku.
"Bagaimana tidurmu semalam?" tanya Claudia dengan senyum penuh sindiran.
"Baik, Nyonya," jawab Violet pelan.
"Mulai hari ini, kamu harus mengikuti program medis yang sudah kami siapkan. Setiap pagi, kamu akan disuntik hormon. Agar kau cepat hamil. Semua sudah diatur. Dan ingat, Violet... jangan pernah berani mengacaukan apa pun."Claudia menatapnya tajam.
"Saya mengerti." Violet mengangguk.
Adrian masuk beberapa saat kemudian. Ia menatap Violet sekilas lalu duduk di samping Claudia. Suasana meja semakin dingin ketika ia melihat perlakuan Adrian pada Claudia yang begitu berbeda dengan sikapnya tadi malam. Violet merasa canggung melihat kemesraan mereka di meja makan.
Namun,entah mengapa melihat mereka hatinya terasa panas.Hingga membuatnya menunduk cepat.
Seminggu berlalu. Dokter keluarga Claudia datang hampir setiap hari, menyuntik hormon, memantau kesehatan Violet, memastikan rahimnya siap. Tubuhnya melemah, mual, dan emosinya naik turun.
Namun, semakin lama tatapan Claudia semakin penuh kecurigaan. Ia mulai merasa posisi Violet bukan hanya sebagai pengganti rahim. Tapi ancaman. Claudia bukan perempuan bodoh. Ia tidak akan membiarkan rumah tangganya berantakan. Ia akan memastikan Violet akan keluar dari rumahnya begitu bayi mereka lahir.
Claudia menatap pantulan wajahnya di cermin, sambil menyisir rambutnya perlahan. Matanya dingin, pikirannya berputar cepat. Ia sudah menyiapkan semuanya—dokumen, kontrak, bahkan perjanjian rahasia yang akan memaksa Violet pergi tanpa suara begitu bayi itu lahir. Tidak akan ada drama. Tidak akan ada simpati.
Malam itu selepas makan malam, Claudia kembali meminta Adrian untuk tidur di kamar Violet.
"Sayang... ayolah. Aku mohon padamu. Bagaimana dia bisa hamil jika kau terus-terusan menolak untuk tidur dengannya?" rengek Claudia.
Adrian memandang Claudia dengan mata yang tak bisa diselami. Ia lelah berdebat, tapi lebih dari itu… ia muak menjadi pion dalam rencana istrinya yang makin hari makin dingin.
“Claudia, apakah harus sekarang? Aku masih sibuk.” ucap Adrian tegas, menekankan kata ‘cara lain’ dengan nada tak suka.
Claudia mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan paksa.
“Adrian… kita butuh hasil. Jika kau terus menundanya, apa kau rela menunggu lagi bertahun-tahun? Aku sudah terlalu lelah, aku... hanya ingin anak darimu. Aku tidak sanggup lagi,” bisiknya dengan suara bergetar, seolah-olah ingin menunjukkan luka yang tak ada.
Namun Adrian tahu, air mata Claudia kini tak murni seperti dulu. Ia terlalu sering melihat wanita itu berakting demi mendapatkan apa yang ia mau.
Tapi malam itu, entah karena desakan batin atau hanya demi menghindari pertengkaran lebih panjang, Adrian akhirnya mengangguk pelan.
“Aku akan menemaninya... hanya untuk malam ini,” ucapnya dingin, lalu berjalan ke arah kamar Violet.
Pintu kamar diketuk perlahan sebelum terbuka. Violet yang baru saja selesai mengenakan gaun tidur langsung menoleh panik.
“Tuan... Anda?” gumamnya gugup.
Adrian berdiri di ambang pintu. Diam sejenak, sebelum akhirnya masuk dan menutup pintu di belakangnya. Matanya kelam, rahangnya mengeras. Namun ada perasaan berbeda saat melihat gadis polos itu menatap nya .
“Aku... hanya akan tidur di sofa. Kau tak perlu takut,” ujarnya, lalu menarik selimut di sofa panjang di sudut kamar.
Namun Violet merasa janggal. Ada ketegangan aneh di udara malam itu. Bukan karena rasa malu, tapi karena firasat buruk yang pelan-pelan merayap di benaknya.
“Ada apa Tuan ? Kenapa Anda... di sini?” tanyanya lirih.
Adrian menoleh, menatapnya dari balik bahu.
“Claudia memintaku. Dia... ingin hasil cepat.”
Violet menunduk. Rasa malu, amarah, dan kepedihan bercampur di dadanya. Ia bukan perempuan murahan. Tapi di mata Claudia, ia tak lebih dari wadah yang bisa diatur sesuka hati.
“Aku tidak akan menyentuhmu. Tidak tanpa persetujuan mu,” tambah Adrian, dengan suara yang lebih lembut.
Violet mengangguk pelan. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha kuat. Ia tahu dirinya tak punya hak lebih.
Malam itu berlalu dalam sunyi. Namun di balik pintu kamar, Claudia berdiri dengan segelas wine, menatap jam tangan emasnya dengan senyum penuh rencana.
***.
Keesokan paginya, Adrian berangkat ke kantor lebih cepat dari biasanya. Tanpa berpamitan dengan Claudia sebelumnya. Namun Claudia merasa jika Adrian marah kepadanya atas tindakan malam tadi yang memintanya untuk tidur dengan Violet. Sesampainya di kantor, Adrian meminta asistennya untuk mencaritahu latar belakang Violet yang sebenarnya.
"Cari tahu tentang gadis ini" titah Adrian tegas .
Mark langsung mengambil sebuah poto ukuran pas poto yang menampilkan wajah polos Violet disana. Mark menyipitkan kedua matanya,samar-samar ia memperhatikan wajah itu dengan teliti.
"Maaf, Tuan... Apakah gadis itu kenalan Anda?" tanya Mark pelan.
Adrian memutar kursi kerjanya pelan, menatap keluar jendela sambil menyilangkan tangan. Suaranya tenang namun penuh tekanan saat menjawab.
“Bukan. Aku hanya membutuhkan informasi tentangnya. Seluruh latar belakangnya, Aku minta kau segera melakukannya secepat mungkin."
Mark pun mengangguk patuh. Ia langsung membawa gambar itu ke ruangannya. Mark termenung menatap poto itu. Wajahnya tidak asing tapi Mark tidak tahu dimana dia pernah melihatnya.
"Baiklah gadis kecil, sesuai perintah... aku akan segera mencari tahu siapa dirimu."
Mark mulai membuka laptopnya dan mencari tahu dengan menggunakan poto yang ada.Mark mulai menjalankan perangkat lunak pengenal wajah milik perusahaan—program yang biasanya digunakan untuk menyaring mitra bisnis dari latar belakang kriminal atau koneksi mencurigakan. Ia menempelkan foto Violet di sistem, mengetik cepat beberapa perintah, dan menunggu layar menampilkan hasil.
Beberapa detik kemudian, muncul sederet file. Mark menyipitkan mata. Salah satu data langsung menarik perhatiannya.
Nama: Violet Madison
Tempat lahir: Crestville.
Nama ibu: Emma garden.
Nama ayah: David Madison.
"I got it"
Mark mencatat data itu lalu mengirimkannya pada Adrian. Adrian menatap layar ponselnya begitu mendengar notifikasi masuk ke ponselnya. Ia membuka pesan itu menatapnya lama. Lalu menutup pesan itu dan memasukkan kembali ponsel itu ke saku celananya.
Adrian duduk kembali dibalik meja kerjanya. Ia menatap lama bingkai poto pernikahannya.
"Apa yang kau inginkan Claudia?" bisiknya dalam hati.
Adrian merasa jika belakangan ini Claudia bersikap aneh. Tak seperti biasanya ia bertindak diluar nalar seperti ini. Dari awal pernikahan mereka,Adrian sudah tahu jika Claudia mandul. Namun tanpa Adrian sadari jika semua itu adalah kebohongan yang sengaja dibuat oleh Claudia sendiri.
Claudia sengaja meminum pil penunda kehamilan setiap kali berhubungan dengannya. Hal itu ia lakukan karena Claudia tidak ingin merubah bentuk tubuhnya. Ya,Claudia dulunya seorang model terkenal. Namun setelah menikahi Adrian, ia terpaksa berhenti. Lamunan Adrian berhenti ketika Claudia masuk ke ruangannya.
"Apa yang kau pikirkan?" ucap Claudia ,mendekati Adrian di mejanya
Adrian menatap Claudia tanpa senyum di bibirnya.
"Kau? Apa yang kau lakukan di sini. Sudah ku katakan padamu... jangan pernah menemui ku di kantor." ketusnya.
Claudia tersenyum tipis, ia tahu Adrian marah kepadanya. Namun ia tetap berusaha tersenyum manis di depannya.
" Maafkan aku soal malam tadi. Kau masih marah padaku?" ucapnya seraya merangkul Adrian dari belakang.
Adrian melepas tangan Claudia. Bukan lagi marah. Adrian sudah tidak bisa menahan kegilaan Claudia.
"Sudah berulang kali aku katakan padamu... jika kita tidak bisa memiliki anak, kita bisa mengadopsi saja, bukan?"
Claudia tak bergeming walau ia tahu Adrian sangat kesal padanya. Tapi, ia tak akan mengurungkan niatnya itu. Sedikit cerita bahwa Claudia mendengar pembicaraan kedua mertuanya ,jika Adrian tidak bisa memberikan keturunan maka harta mereka akan di serahkan ke yayasan yang dipimpin oleh ibu mertuanya.
"Sayang... kenapa kau tak mengerti? Aku hanya melakukan kewajibanku yang tak bisa aku berikan kepadamu." ucapnya,nada bicaranya seolah ia bersedih padahal nyatanya tidak.
Adrian memejamkan matanya sesaat menahan rasa kesal yang sudah membuncah. Ia bangkit dari kursinya mendekati Claudia yang berdiri menatap ke jendela. Adrian memeluknya ,merangkul tubuh rampingnya dan menyandarkan kepalanya di bahu Claudia.
"Aku tetap mencintaimu. Apa pun yang terjadi. Tapi ini... ini terlalu keterlaluan Claudia." ucap Adrian tegas.,
Claudia tersenyum smirk, tangis palsunya berhasil meluluhkan Adrian. Namun ia masih berusaha meyakinkan Adrian agar menuruti semua keinginannya itu.
"Aku... hanya ingin memiliki bayi darimu Ad. Kalau gadis itu saja setuju , kenapa kau tidak?"
Adrian melepas pelukannya, Ia berdiri di samping Claudia. Ikut menatap ke luar . Menatap gedung-gedung yang berdiri rapi di depannya.
"Aku tak ingin menyakitimu."
Claudia langsung menatap Adrian, tubuhnya terdiam,tegang dan entah kenapa itu seperti pisau yang menghujam dadanya. Adrian tidak pernah berubah. Adrian masih mencintainya seperti dulu. Namun Claudia tidak pernah menyadari jika dirinya mulai terobsesi dengan semua yang dimiliki Adrian. Bukan cinta,bukan ketulusan seperti dulu.
***
Sementara di rumah Violet mulai menyesuaikan dirinya dengan penghuni rumah itu selain Claudia dan Adrian. Ia berjalan menyusuri lorong-lorong ruangan itu sambil sesekali berhenti menatap bingkai poto Adrian dan Claudia yang berjejer di dinding.
"Nona, apa yang anda lakukan di sini?" tanya Eva,kepala pelayan dirumah itu.
Violet terhenyak,ia menoleh pada Eva lalu tersenyum tipis kepadanya.
"Bolehkah kau tunjukkan di mana tamannya?" tanyanya balik.
"Lewat sini ,Nona." sahut Eva.
Violet mengangguk kecil, mengikuti langkah Eva dari belakang. Eva sempat meliriknya sekilas. Ia tahu Violet bukan seorang bangsawan seperti majikannya Claudia.
"Maafkan saya jika lancang, Nona. Apakah Anda istri tuan Adrian?" tanyanya ragu.
Violet tersenyum getir,ia tahu keberadaan nya di rumah ini pasti membuat mereka bertanya-tanya.
"Tidak. Itu tidak sepenuhnya benar. Pernikahanku dengannya hanya sebuah kesepakatan."
Eva terdiam,berhenti melangkah lalu berbalik menatap Violet. Ia tak menyangka Violet tanpa ragu mengatakan padanya tentang kondisinya.
"Nona, aku harap anda berhati-hati. Aku tak ingin Anda terluka selama tinggal di rumah ini."
Violet menatapnya heran. Matanya melebar namun bibirnya kaku. Eva tahu ucapannya telah membuat Violet tidak tenang. Violet menelan ludah pelan. Suara Eva barusan seperti peringatan samar yang menusuk tulang. Ia menatap wajah wanita paruh baya itu yang kini tampak lebih serius dibanding sebelumnya.
“Apa maksudmu, Eva?” tanyanya lirih.
Eva menggeleng pelan, ekspresinya menyiratkan ketakutan yang tertahan.
“Aku tidak bisa berkata banyak, Nona. Tapi... rumah ini bukan tempat yang aman untuk seseorang seperti Anda. Apalagi jika hati Anda mulai berharap lebih dari sekadar kesepakatan.”
Violet terdiam. Jantungnya berdegup kencang, seolah mendengar sesuatu yang belum ia siap hadapi. Ia menunduk, menenangkan pikirannya, lalu mengangguk pelan.
“Terima kasih... aku akan berhati-hati.”
Eva menunduk hormat lalu kembali berjalan, kali ini dalam diam. Violet mengikutinya menuju taman belakang yang luas, dengan air mancur kecil di tengah dan bangku kayu tua di bawah pohon beringin besar. Udara terasa lebih ringan di sana. Namun ketenangan itu tak sepenuhnya mampu mengusir firasat buruk yang mulai tumbuh di hati Violet.
***
Sore itu Adrian pulang lebih awal, Eva langsung menyambutnya, membawa tas dan jasnya ke kamar.
"Dimana Claudia?" tanya Adrian.
"Nyonya keluar sejak tadi dan... beliau belum pulang,Tuan." Jelas Eva,wajahnya tetap menunduk seraya mengikuti langkah Adrian.
Adrian berhenti sejenak,menarik nafasnya panjang. Ia tahu jika Claudia menyempatkan diri keluar rumah setelah menemuinya di kantor. Selama ini Adrian tak memberi kebebasan padanya untuk keluar tanpa seizinnya.
"Jika dia sudah kembali,segera beritahu padanya aku menunggunya di ruang kerja." ucap Adrian tegas.
"Baik Tuan." sahut Eva seraya menunduk patuh.
Adrian melepas dasinya asal,melemparnya ke atas ranjang. Ia berjalan menuju balkon menghirup udara yang tampak sepoi-sepoi. Tatapannya berhenti ketika melihat sosok wanita dengan rambut panjang yang tergerai indah tertiup angin. Violet.
Dari kejauhan Adrian melihat gadis itu duduk di sisi kolam sambil sesekali melempar sesuatu ke dalamnya. Adrian memiringkan kepalanya sedikit mencoba menangkap gerak-gerik Violet dibawah sana.Meski jarak pandang menghambat pandangannya, entah kenapa hal itu membuat dadanya sesak.
Perlahan Adrian membenarkan posisinya lalu berbalik meninggalkan balkon dan kembali masuk ke kamar.
"Shit!"
"Ada apa denganku?" gumamnya.
Adrian melepas pakaiannya ,lalu bergegas ke kamar mandi. Air shower mulai membasahi tubuhnya membuat Adrian memejamkan kedua matanya namun bayangan Violet muncul disaat bersamaan.
Air dingin yang mengalir di tubuhnya tak mampu menyapu wajah bersih Violet dari benaknya. Semakin Adrian mencoba semakin Adrian memikirkannya. Semakin jelas gadis berusia 20 tahun lebih muda darinya itu menari dalam pikirannya. Adrian menyandarkan tubuhnya ke dinding,mengusap wajahnya yang basah.
"Tidak, ini tidak mungkin." lirihnya.
Ia mengatur nafas,mencoba mengusir perasaan yang mulai tumbuh liar di dalam hatinya.Perasaan yang seharusnya tidak ada dalam sebuah hubungan yang dimulai dengan kesepakatan dan syarat yang dibuat istrinya Claudia.
***
Malam pun tiba,selesai makan malam Adrian meninggalkan meja makan dan Violet yang masih berada di tempat duduknya. Dalam sesi makan malam itu, Adrian sempat curi-curi pandang menatap Violet.
Adrian tahu perasaannya mulai berubah tapi sebisa mungkin ia tetap tenang. Ia tak ingin sesuatu terjadi di dalam rumah tangganya bersama Claudia yang sudah hampir 20 tahun mereka bina.
Dengan langkah tegap Adrian meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya sambil menunggu kepulangan Claudia. Sementara Violet membantu membersihkan meja makan bersama para pelayan lainnya.
"Nona, biarkan mereka saja yang melakukannya." ucap Eva.
"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa."
Eva hanya bisa memperhatikan Violet dengan seksama. Ia tahu gadis itu baik dan sangat polos. Di dalam hatinya ,Eva akan berusaha melindungi gadis itu dari majikannya.
Di ruang kerja, Adrian memandangi layar laptopnya dengan tatapan kosong. Ia mencoba membaca laporan keuangan yang dikirimkan sekretarisnya, namun huruf-huruf itu hanya menari tanpa makna. Pikirannya tak bisa fokus.
Pintu ruang kerja terbuka. Claudia masuk dengan langkah anggun namun dingin. Tas tangannya diletakkan sembarangan di sofa. Ia menatap Adrian yang langsung berdiri dari kursinya.
“Kau mencari ku?” tanya Claudia datar.
“Aku ingin bicara,” jawab Adrian tenang.
Claudia menyilangkan tangan di dada, berdiri tak jauh dari meja kerja Adrian.
“Kalau soal kontrak dan kehamilan, kita sudah bicara tadi. Dan aku sudah jelas—aku menginginkan keturunan dari hubungan ini, Ad. Apalagi Violet sudah menyetujui.”
“Itu yang ingin aku bicarakan, Kita harus hentikan ini, Claudia.”ucap Adrian,nada suaranya lebih tegas.
“Apa maksudmu?” Claudia menatapnya tajam.
“Kontrak ini. Semuanya. Aku tak bisa terus berpura-pura. Ini tidak sehat untuk siapa pun. Termasuk dirimu.”
Claudia tertawa sinis, lalu berjalan mendekati meja Adrian, menatap pria itu dari jarak yang sangat dekat.
“Tidak sehat? Justru inilah satu-satunya hal yang membuat kita tetap terlihat ‘normal’ di mata publik. Aku membiarkanmu tetap menjadi ‘pahlawan perusahaan’, aku membiarkan wanita itu tinggal di rumah kita demi rencana ini. Dan sekarang, kau ingin mundur?”
“Karena hal itu akan menyakiti gadis itu... dan aku menyakiti diriku sendiri.”
Claudia membeku. Tatapannya berubah.
“Kau memikirkan gadis itu? Ada apa Ad, apakah kau mulai berubah pikiran? " tanya Claudia menyelidik.
Adrian tidak menjawab.Claudia lalu tertawa kecil, getir.
“Kau tahu... aku dulu mencintaimu dengan seluruh jiwaku, Ad. Bahkan setelah semua pengorbananku. Aku pikir jika aku mengikatmu dengan cara seperti ini... aku bisa membahagiakanmu."
Ia menoleh ke jendela, menyembunyikan matanya yang mulai basah. Namun semua itu hanya sandiwara semata.
Adrian mulai mendekati Claudia dan memeluknya. Lagi dan seperti biasa usaha Claudia tak sia-sia. Sedikit merajuk bisa membuat Adrian lemah.
"Kenapa harus aku? Kita sudah bahagia selama ini. Walau tanpa seorang anak. Aku senang memilikimu."
" Tapi aku tidak, Ad! Aku takut kau akan berpaling padaku jika orangtuamu mendesak mu terus menerus "
Adrian mengernyit, ia baru menyadari satu hal. Claudia sudah mengetahui pembicaraannya dengan orangtuanya. Adrian membalikan tubuh Claudia menghadapnya.
"Kau sudah tahu?"
Claudia mengangguk. Air matanya mulai menetes. Namun semua itu hanya sandiwara semata tanpa rasa tulus di dalamnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!