NovelToon NovelToon

Si PHYSICAL TOUCH

Ulang Tahun

Setelah tepukan tangan yang meriah, suasana di dalam rumah besar bak istana itu seketika hening ketika sang kepala keluarga angkat suara.

"Selamat ulang tahun, Putriku. Ini adalah salah satu dari sekian banyak kado yang kamu terima. Tapi ayah tahu kamu juga punya keinginan lain, jadi malam ini katakanlah." Suara tuan Oldrich Jay yang berat dan tegas mengisi seluruh penjuru rumah. Dengan senyum khasnya tangannya terulur memberikan sebuah kotak sedang pada gadis remaja dengan balutan gaun indah diatas betis. Gadis itu adalah anaknya.

Tangan kecil yang seputih salju itu menerima kado ulang tahun dengan senyum lembut sambil menunduk sedikit tanda kehormatan pada ayahanda.

"Terima kasih, Ayah."

PROK! PROK! PROK!

Suasana kembali meriah setelah gadis itu berterima kasih. Bapak-anak itu berpelukan sayang. Hingga beberapa saat tuan Oldrich Jay kembali bersuara.

"Katakan, apakah ada yang kamu inginkan selain kado-kado ini?"

Senyum gadis itu tak pernah luntur. Kasih sayang dilimpahkan keluarganya tak pernah luntur. Dia diperlakukan layaknya putri raja.

Tanpa canggung dan segan dia mengangguk, "ya, Ayah."

Tangan besar tuan Oldrich Jay terulur menyentuh pipi anaknya, "katakanlah, Nak. Apa yang kamu inginkan?"

Dengan senyum penuh arti, sorot mata gadis itu tertuju pada sosok tinggi diantara manusia-manusia pendek yang berdiri didepannya menutupi setengah badan tinggi menjulangnya.

Melihat itu, tuan Oldrich Jay mengikuti arah pandang sang anak. Bukan hanya tuan Oldrich Jay saja, seluruh tamu dan pelayan ikut menoleh pada satu titik manusia yang berdiri di pojok ruangan.

"Ebha. Saya menginginkan Ebha menjadi kekasih saya, Ayah."

-PAGI SEBELUM ACARA ULANG TAHUN-

Setiap pagi gadis remaja itu selalu bangun tepat waktu, tapi pagi ini dia begitu semangat. Setelah matanya terbuka, senyumnya langsung mengembang.

Alasannya, pertama karena hari ini adalah ulang tahunnya dan yang kedua hari ini usianya telah tujuh belas tahun. Dia sama seperti gadis lainnya yang menunggu angka tujuh belas yang mengartikan kedewasaan dan kebebasan.

Karena sekarang adalah ulang tahunnya, dia ingin merepotkan semua orang. Cukup aneh karena biasanya yang kerjai adalah mereka yang berulang tahun, tapi tidak baginya. Dia berbeda.

Tangan kecilnya terulur mengambil telepon genggam yang biasa digunakan untuk memanggil pelayan dengan nomor-nomor khusus yang telah dibuat.

"Satu, empat, lima, lima, nol, sembilan." Ejanya menekan angka pada papan telepon. Telinganya sudah menempel pada telepon, tinggal menunggu suara dari seberang.

Sedetik.

"Selamat pagi, Nona Merzi. Ada yang anda butuhkan?"

Mendengar suara bass itu membuat Merzi menggigit bibirnya gemas. Dia menahan senyum dan menggenggam gagang telepon lebih erat.

"Pagi, Ebha. Ya. Masuklah ke kamar. Merzi membutuhkan bantuan."

"Saya segera kesana."

"Baiklah."

Panggilan terputus. Merzi setengah duduk dengan menyenderkan punggungnya pada kepala ranjang. Menunggu.

Dia melihat pintu tinggi dengan ukiran bunga indah ditambah aksen emas yang membuat pintu itu terlihat begitu mewah. Lalu perhatian teralih pada cermin besar yang berjarak cukup jauh dari kamar besarnya tapi masih bisa melihat pantulan benda dengan jelas. Tangannya menyisir sedikit rambut putih tulangnya yang panjang.

Matahari diluar sana belum sepenuhnya terbit. Suasana kamar Merzi terang dengan lampu tidur yang menenangkan. Tapi perlahan cahaya matahari mulai masuk dari celah-celah jendela dan ventilasi dibeberapa sisi kamar.

Merzi menghela napas. Kepalanya menoleh pada jam dinding antik besar yang berdiri disudut kamar, menghadap padanya.

"Kemana Ebha? Kenapa lama sekali?" Padahal dia baru menutup telepon beberapa detik yang lalu, tapi Merzi sudah dilanda bosan. Perlahan dia turun dari ranjang. Kaki halusnya menyentuh lantai marmer yang berkilau.

Sekali lagi sebelum melangkah menuju pintu, Merzi menatap pantulan dirinya dari cermin. "Cantik," pujinya kemudian.

Gaun tidurnya menjuntai menyentuh lantai, dengan langkah pasti Merzi membawa kaki ke depan pintu. Tapi tiga langkah lagi tangannya menyentuh gagang pintu, bel yang disediakan diluar kamarnya berbunyi menandakan seseorang datang. Lalu disusul dengan suara yang memanggil namanya,

"Nona Merzi, saya Ebha."

Merzi pikir Ebha akan datang lebih lama, dia tidak siap akan sapaan tiba-tiba itu hingga kakinya salah langkah dan menginjak gaun tidurnya.

"Aw!" Aduhan kecilnya terdengar hingga keluar. Kamarnya memang tidak begitu kedap suara ditambah Ebha itu tajam pendengaran dan penglihatannya.

"Nona Merzi! Apa yang terjadi?" Suara Ebha naik seoktaf. "Apakah anda baik-baik saja? Bolehkah saya masuk, Nona?"

"Masuklah, Merzi tidak mengunci pintu."

Ceklek!

Hal pertama yang didapati Ebha adalah penampakan Merzi yang jatuh terduduk dengan kepala terdongak tinggi menatapnya. Wajahnya cantik si rambut putih tertutup oleh surai indahnya.

Ebha langsung mendekat dan berjongkok. Rautnya panik dan khawatir. "Apa yang nona lakukan disini?"

Merzi menikmati wajah penuh tanya Ebha. Dia menjawab singkat, "terjatuh."

"Terjatuh? Kenapa nona bisa terjatuh?"

Merzi meniup helaian rambut didepan mata yang menghalangi penglihatannya. Aksi itu membuat Ebha mengedip sekali karena rambut putih itu menampar pelan wajahnya.

"Apakah kamu akan terus bertanya, Ebha? Tanpa membantu Merzi?"

Pertanyaan itu bagai sindiran yang menyadarkan Ebha. "Ah, ya, maafkan saya, Nona."

Lalu tubuh seringan kapas itu melayang di udara. Ebha mengangkat Merzi dengan mudah tanpa mengeluarkan tenaga yang seberapa. Dibelakang mereka, pintu otomatis tertutup, menyisakan dua manusia didalam kamar luas nan besar itu. Majikan dan pelayan.

Tangan Merzi menggantung diatas leher Ebha. Jika kaki kecilnya melangkah sepuluh langkah lebih dari ranjang menuju pintu, maka Ebha akan mempersingkat langkah menjadi lima langkah atau kurang dari itu.

Perlahan Ebha menunduk guna menurunkan Merzi diatas kasur. Dia menahan tubuhnya tetap bungkuk saat Merzi sudah mendarat sempurna diatas peraduan. Seharusnya dia sudah menjauh, tapi nona kecil ini malah menahan lehernya.

"Nona Merzi, biar saya periksa kaki nona." Ujar Ebha berusaha menjaga jarak agar wajahnya dengan majikan tak terlalu dekat.

Merzi diam tak mendengar. Dia semakin menarik leher Ebha mendekat. Matanya meneliti wajah tegas Ebha yang tampan dengan bulu-bulu halus diatas pria itu.

"Ebha …."

"Nona." Tangan besar Ebha menggenggam pelan pergelangan tangan Merzi yang menahan lehernya. Dia harus segera menjauhkan diri. "Nona … saya—"

Merzi langsung menarik tangannya ketika sebelah tangan Ebha menyentuh pinggangnya. Dia tak suka sentuhan yang disengaja atau tidak, kecuali jika itu diperlukan. Seperti Ebha yang menggendongnya tadi. Yang itu Merzi tidak mempermasalahkan.

Ebha pun langsung menarik diri kala lehernya dilepas. Dengan sembunyi dia menghela napas lega. Tubuhnya kembali tegap disamping ranjang.

"Apakah saya perlu memanggil dokter untuk mengobati nona?"

"Buat apa?"

"Bukankah nona bilang jika nona terjatuh didepan pintu?" Ebha melirik tempat Merzi jatuh. "Biar saya panggil dokter jika nona merasa sakit."

Kepala Merzi perlahan menggeleng. Dia bergeser sedikit untuk menurunkan kakinya. Kini dia kembali berhadapan dengan Ebha.

"Tidak perlu."

Ebha melihat kaki Merzi yang menjuntai. Otaknya berpikir bahwa kaki Merzi yang sakit. "Kaki nona terluka? Biarkan saya memeriksanya?"

Merzi mendongak menatap Ebha yang menunggu persetujuannya. Dia mundur sedikit agar kakinya lebih menggantung diatas ranjang, lalu mempersilahkan Ebha, "baiklah, Ebha. Merzi menginjak gaun tidur tadi."

Begini lebih baik. Ebha punya pekerjaan lain untuk mengalihkan perhatiannya. Dia mulai berlutut dihadapan Merzi. "Mana yang sakit, Nona?"

"Sebelah kiri."

Setelah itu dengan penuh kehati-hatian Ebha mengangkat kaki kiri Merzi untuk menyentuh pahanya yang ditekuk. Pertama dia menggoyangkan pergelangan kaki Merzi sambil memeriksa raut wajah nona kecil.

"Ssttt."

Ternyata disana pusat sakitnya. Baiklah, ini perihal kecil. Ebha mampu mengatasinya dengan cepat.

"Tahan sedikit, Nona, ini sedikit sakit."

"Hmm."

Merzi memperhatikan Ebha dengan seksama. Sebenarnya kakinya tidak sakit sama sekali. Bahkan dia lupa kaki sebelah mana yang menginjak gaun tidurnya.

"Aw!—" telapak kecilnya memegang pundak Ebha sambil meremas kecil, "—lebih pelan, Ebha. Itu sakit."

Mendengar suara ringisan sang nona membuat Ebha menghentikan pijatannya. Dia melirik sebentar pundaknya yang di remas Merzi lalu menatap wajah kecil Merzi yang terpejam.

"Maaf, Nona." Kali ini dia lebih lembut. Pijatannya sekarang bukan hanya pada pergelangan kaki, tapi sudah sampai pada telapak lalu menyentuh betis bawah Merzi.

Pijatan Ebha terus berlanjut. Entah karena Merzi keenakan atau karena hal lain. "Ebha," panggilnya kemudian.

"Saya, Nona." Ebha menyahut cepat. Kini pijatannya beralih pada kaki kanan Merzi.

"Ebha, tatap Merzi." Tangan kecil dan lembut itu semakin berani. Merzi menangkup rahang Ebha lalu menariknya keatas guna mendongak menatapnya.

Bukan hal biasa bagi Ebha dengan sikap Merzi ini. Tapi dia menuruti ingin nona kecil.

"Apakah kamu melewatkan sesuatu, Ebha?" Tanya Merzi dengan jempol yang mengelus pipi kasar Ebha yang mulai ditumbuhi bulu-bulu.

Ebha melarikan pandangannya. Dia hanya bisa pasrah ditatap dan perlakuan Merzi seperti ini. Menyentuh-nyentuh wajahnya. Pria itu mengangguk singkat.

"Maafkan saya, Nona Merzi. Dan selamat ulang tahun."

Senyum Merzi semakin lebar. Dia menurunkan tangannya untuk menyentuh lengan keras dan besar Ebha.

"Berdirilah, Ebha." Pintanya.

Ebha berdiri perlahan disusul dengan Merzi. Telapak tangan kanan Merzi terulur. Dia harus mendongak demi menatap Ebha.

Sekarang Ebha dibuat bingung. Apa maksud uluran tangan ini? Keningnya berlipat lalu menatap Merzi bergantian.

"Maaf, Nona?"

"Hadiah. Tidak cukup hanya mengatakan selamat ulang tahun, Ebha. Apalagi ini adalah sweet seventeen Merzi."

Oh, hadiah. Barulah dia paham. Ebha membalas senyum Merzi. "Saya sudah mempersiapkan hadiah untuk nona."

Merzi menggoyangkan telapak tangannya. "Mana hadiah itu?"

"Saya akan mengambilnya di kamar."

Kepala Merzi menggeleng. "Merzi ingin hadiahnya sekarang."

"Saya akan mengambilnya sekarang nona. Tunggulah sebentar."

Merzi menggelang lagi. Kali ini lebih banyak. "Sekarang itu, detik ini juga, Ebha."

Dalam hati Ebha menggeram. Dia menunduk, "maaf, Nona, saya tidak membawa hadiahnya sekarang dan detik ini juga. Jika nona tidak keberatan saya akan mengambilnya dalam lima detik."

Merzi mengulum bibir. Dia menarik kembali tangannya dan bersedekap. "Merzi tetap ingin detik ini juga."

Sial! Kali ini Ebha mengumpat dalam hati. Dia tidak kesal pada Merzi, tapi pada dirinya sendiri.

"Nona bisa menghukum saya atas ketidaksigapan saya, Nona." Ujar Ebha mundur selangkah dan semakin menunduk dalam.

"Ck." Merzi berdecak. Dia mendekati Ebha lalu memiringkan kepala dengan sedikit merunduk untuk mengintip wajah Ebha. "Tidak mungkin Merzi menghukum Ebha dihari bahagia Merzi. Jangan menunduk."

"Baik, Nona. Terima kasih."

"Iya."

Ebha mengangkat wajah lalu memandang kearah Merzi. Tapi dia harus tetap menunduk karena perbedaan tinggi mereka yang sangat jauh.

"Merzi tetap ingin hadiah ulang tahun dari Ebha. Sekarang. Tapi …." Kaki polos Merzi yang menyentuh lantai menyentuh sepatu pantofel mengkilat yang dipakai Ebha. "….Ebha bisa memberikan hadiah lain yang Merzi inginkan. Sekarang. Detik ini juga."

Dengan yakin Ebha mengangguk mengiyakan, berbisik dalam hati bahwa hadiah yang diinginkan tuan putri ini tidaklah sulit didapatnya sekarang. Pasti ada sekitar kamar sang nona.

"Saya akan memberikan apapun yang nona Merzi inginkan."

"Merzi ingin mencium Ebha."

Bodyguard

Sejak Merzi memasuki usia sekolah dasar, gadis itu sudah dikawal oleh penjaga yang biasa disebut bodyguard yang selalu mengekorinya. Tapi dia tidak pernah suka akan manusia-manusia patung di sekelilingnya. Wajahnya sering memberengut kala mendapati sosok bodyguard yang berdiri tak jauh darinya.

Tapi apa daya. Seberapapun dia sering protes pada tuan Oldrich Jay— ayahanda— akan bodyguard-bodyguard itu, sang ayah akan pasti mengatakan,

"Putri raja itu dijaga. Dan para bodyguard tugasnya adalah menjaga Merzi karena Merzi adalah putri ayah. Tugas mereka hanya mengawasi, tidak mengganggu Merzi, bukan?"

Dan Merzi akan menjawab, "karena mereka mengawasi Merzi lah makanya Merzi terganggu, Ayah. Tidakkah ayah percaya Merzi bisa menjaga diri sendiri?"

Lalu sang ayah akan tertawa mendengar kalimatnya. "Tentu saja tidak. Kamu cukup manja jika kamu lupa, Nak."

Itu benar. Dan Merzi benci sikapnya yang tidak pernah hilang itu.

Sudah ada empat bodyguard yang menjaga di sekitarnya. Setiap jenjang pendidikannya, dia akan dikawal dua orang bodyguard. SD dua orang, SMP dua orang, dan jenjang terakhir SMA Ebha seorang lah yang menjadi pengawalnya.

Masa-masa puncak pubertas itu Merzi selalu ditemani Ebha. Bahkan orang pertama yang tahu dia datang bulan adalah Ebha. Ebha jugalah yang menjadi lelaki pertama yang dia pegang tangannya. Hingga perlahan, Merzi menerima Ebha disisinya.

Lelaki itu adalah keponakan dari bodyguard sebelumnya. Awalnya Merzi akan kembali mempunyai dua bodyguard, tapi ketika melihat Ebha pertama kali dia langsung berlari menuju ruang kerja sang ayah, meminta bahwa cukup Ebha lah yang menjadi pengawalnya.

Tuan Oldrich Jay mengiyakan. Tidak masalah hanya seorang bodyguard, yang penting anaknya tetap terjaga. Apalagi Merzi meminta dengan sorot memohon yang biasa dia gunakan.

"Edam Bhalendra."

Panggilan itu menyadarkan Ebha dari masa lalu. Kakinya refleks mundur ketika sang nona berjinjit demi menatap matanya lebih dekat. Aksi Ebha itu membuat kaki kecil Merzi sedikit oleng. Tangan besarnya segera menahan pinggang Merzi.

"Ma–maaf, Nona…?" Entah maaf mana yang ingin Ebha katakan. Maaf karena membuat Merzi hampir jatuh kembali atau maaf karena tidak mendengar kalimat Merzi sebelumnya.

Merzi membiarkan tangan Ebha memegang pinggangnya. Gadis itu kembali mendekat. Kakinya menginjak kaki Ebha yang dibalut sepatu pantofel yang keras dan mengkilat.

"Apakah sakit jika Merzi berdiri disini?" Tanyanya mengintip sedikit ke bawah. Dimana dia berdiri diatas kaki Ebha.

Ebha menggelang. Dia ingin melepaskan tangannya dari pinggang Merzi tapi takut sang nona malah akan kembali terjatuh. "Tidak nona. Tidak sakit sama sekali."

Mendengar itu mata Merzi sedikit memicing. Tangan seputih susu itu kembali terulur perlahan. Netra Merzi terpaku pada tangannya sendiri hingga menyentuh dada tegap Ebha dibalut sweater hitam.

Ini yang membuat Merzi menyetujui Ebha menjadi bodyguardnya. Yaitu lelaki ini selalu berpakaian santai dengan gaya semiformal tidak seperti bodyguard-bodyguard sebelumnya yang selalu berpakaian formal dengan kemeja dan jas.

"Kalimat Ebha menyiratkan bahwa Merzi kurus. Apakah Ebha sedang mengejek Merzi?" Kini Merzi bisa melihat wajah Ebha lebih dekat. Tubuh mereka bahkan menempel dengan posisi yang begitu intim.

"Saya tidak mungkin berani melakukannya, Nona. Maaf—"

"—sutt…" jemari lentik Merzi menyentuh bibir bawah Ebha. "…Ebha sudah lebih mengatakan sepuluh kali kata maaf pagi ini. Merzi lelah mendengarnya. Apakah Ebha tidak bosan mengatakan itu-itu saja?"

"Tidak, Nona." Mana mungkin dia bosan mengatakan kata 'maaf' itu. Jadi dia menggeleng.

Mendengar jawaban singkat Ebha membuat Merzi terkekeh kecil. Dia kembali berjinjit untuk meraih leher Ebha. "Terserah Ebha saja."

Ebha menahan napas. Dia bersumpah nona kecilnya ini begitu menguji iman. Lihatlah bagaimana napas lembut yang keluar dari hidung mancung kecil Merzi menerpa wajahnya.

"Nona Merzi, apakah ada hal lain yang nona inginkan? Maksud saya, saya akan membantu nona." Ebha meneguk ludah. Jakunnya naik-turun dan itu tak luput dari perhatian Merzi. Gadis itu penasaran dan menyentuh ujung jakun Ebha dengan telunjuknya. Tingkah Merzi ingin membuat Ebha semakin panas dingin dan merinding.

"Yeah …. Hadiah ulang tahun Merzi."

Itu lagi. "Saya akan mengambil dan memberikannya pada nona."

Kepala Merzi menggeleng. Kedua tangannya kembali memeluk tengkuk Ebha. "Tidak. Simpan saja hadiah itu untuk acara nanti malam. Kumpulkan bersama hadiah yang lain."

"Baik, Nona."

"Sekarang Merzi ingin hadiah yang lain."

CUP!

Singkat. Ebha tak sempat menghindar. Mungkin karena terlalu terpaku pada wajah cantik majikan kecilnya ini. Pipinya dikecup sekali. Sedetik. Hanya sekilas. Tapi itu adalah pertama kali.

Hening beberapa saat setelah Merzi mendaratkan bibirnya diatas pipi sebelah kiri Ebha. Tanpa beban gadis itu berujar,

"Merzi suka mencium Ebha." Kepala Merzi kembali mendekat, tapi kali ini Ebha lebih sigap.

"Nona!" Ebha mendorong pelan bahu Merzi membuat gadis itu turun dari atas kakinya yang dipijak. "Itu tidak pantas, Nona. Maafkan saya." Setelah itu Ebha mundur beberapa langkah, membungkuk lalu keluar dari kamar Merzi tanpa permisi.

Merzi terpaku sejenak tapi kemudian senyumnya semakin lebar. Tidak peduli bagaimana tanggapan Ebha setelahnya. Yang terpenting adalah ….

"Merzi ingin mencium Ebha lagi."

...****************...

Derap langkahnya pasti. Sepatu mengkilat yang dipakainya menghentak lantai mengkilat dirumah besar itu. Ebha berjalan cepat dengan badan yang tetap tegap.

Dia berpapasan dengan kepala pelayan di kediaman tuan Oldrich Jay. Seorang pria paruh baya tetapi tegap tegas. Ditangannya selalu terpasang sarung tangan kain. Jangan lupakan kumis yang melengkung diatas bibirnya.

Ebha menghentikan langkahnya, menunduk singkat lalu menyapa, "selamat pagi, Pak Barid."

Pak Barid mengangguk, "pagi, Ebha. Kenapa langkahmu tergesa-gesa? Dan dari mana kau?"

"Saya ingin ke kamar mandi, Pak. Nona Merzi memanggil saya tadi."

"Oh, begitu."

Ebha mengangguk mengiyakan. Dia ingin berbalik dan kembali melangkah tapi Pak Barid kembali bersuara.

"Apakah nona Merzi mengisengi kau, Ebha? Ini ulang tahun nona, dia pasti bertingkah jahil." Ujar Pak Barid sambil menggeleng kecil membayang tingkah nona muda di keluarga Oldrich itu.

Langkah Ebha terhenti. Kakinya bagai di lem diatas lantai. Merzi memang sudah mengerjai, tapi Ebha lebih membalas, "tidak, Pak. Nona Merzi tidak menjahili saya. Nona hanya meminta bantuan kecil dari saya."

"Baiklah, Ebha. Segeralah ke kamar mandi. Sepertinya kau sudah begitu tidak tahan."

"Saya duluan, Pak."

Kaki jenjang Ebha kembali melangkah. Kamarnya terletak diluar rumah utama. Ada kamar-kamar khusus untuk para pekerja yang menetap dan kamarnya terletak paling ujung.

BRAK!

"Huft …." Ebha menyenderkan punggungnya dibelakang pintu. Napasnya terhela keras.

"Ck, nona Merzi terlalu berbahaya. Kenapa dia begitu blak-blakan?" Monolog Ebha tak habis pikir akan tingkah diluar prediksi si nona muda.

Lelaki itu kembali berdecak, kali ini lebih kuat. "Tingkahnya seperti menyukaiku saja."

"Ah, apa yang kau pikirkan, Ebha? Dasar gila."

Selesai bergumam sendiri Ebha berjalan menuju lemari. Dia berdiri disana, memandang pantulan dirinya dari balik cermin yang menempel di lemari tersebut.

Ebha memegang dagunya, diputar ke kiri dan ke kanan. Memperhatikan wajahnya yang berkulit kuning langsat medium. Rahang tegas, dagu terbelah, hidung mancung bagai perosotan, ditambah mata tajamnya dengan alis tegas berwarna hitam pekat.

"Apa yang kau lihat, Bodoh?! Cepatlah mandi, nona Merzi akan segera memanggil kau."

Tidak berlama-lama lagi, Ebha melepaskan sweater hitamnya dan melemparnya begitu saja diatas kasur sedang disisi ruangan. Dibawah bahu sebelah kirinya ada tato kecil bulan sabit dan bintang. Ada tato lain juga disamping lengannya. Gambar seekor kuda yang ukir menawan dan tegas.

Mengabaikan tato-tatonya Ebha juga membuka celana hitamnya dan kembali dilempar keatas kasur. Dengan langkah lebar dia memasuki kamar mandi.

Air dingin memantul diatas kulitnya. Ebha menikmati sejenak deras air yang menghantam punggungnya. Matanya terpejam, lalu kilas beberapa menit lalu tiba-tiba muncul.

"Sekarang Merzi ingin hadiah yang lain."

CUP!

"Merzi suka mencium Ebha."

Ebha sontak membuka mata. Dia menatap bayangan tubuh telanjangnya dari kaca kamar mandi shower yang berembun.

Apa-apaan maksud Merzi itu? Apakah gadis itu sedang menggodanya? Ebha adalah lelaki dewasa yang usianya berjarak cukup jauh dengan Merzi. Jika jalan beriringan mereka layak paman dan keponakan. Bahkan ayah dan anak.

"Ahh …." Ebha menyugar rambut lebatnya ke belakang seraya mendesah berat.

Tidak boleh. Tugasnya adalah menjaga nona Merzi. Jangan sampai dia bertingkah layaknya lelaki brengsek yang berfantasi liar tentang sang majikan. Jangan sampai!

Hingga beberapa menit kemudian, Ebha selesai akan aktivitas mandinya. Dia meraih handuk yang digantung dan melilitkannya dipinggang.

Ceklek!

Dengan langkah santai dan ringan Ebha keluar dari kamar mandi. Dia mengambil dua handuk, satu untuk menutup area pribadinya dan satu untuk mengeringkan rambut.

Sambil bersiul asik dia merunduk dengan satu tangan yang mengeringkan rambut sementara tangan lain memperbaiki letak handuk dipinggang.

Seperkian detik kemudian Ebha mengangkat kepalanya. Dan kejutan lain ada didepan matanya.

"Non—nona Merzi? Apa yang—?!"

Siapapun tolong sembunyikan Ebha sebentar saja. Semenit— tidak, sedetik saja dari kelakuan nona muda kediaman Oldrich ini.

"Oops! Jadi Ebha sedang mandi ya? Maaf, karena Merzi masuk tanpa ijin."

Satu lagi. Keajaiban apapun itu, tolong hilangkan senyum genit Merzi yang tidak sesuai dengan kalimat dan reaksinya.

Mendengar itu, Ebha menguasai diri lebih tegas. "Tidak apa, Nona, kalau begitu maaf jika saya meminta nona Merzi untuk menunggu di kamar saja. Saya harus …" Ebha berdehem, handuk kecil untuk rambutnya dia bentangkan didepan dada gunanya adalah agar lebih sopan saja, "…saya harus berpakaian dahulu."

Bukan Merzi namanya jika langsung menurut. Dia melangkah mundur kearah ranjang Ebha sambil berkata, "bagaimana … jika Merzi ingin menunggu Ebha disini? Menunggu Ebha diatas kasur, Merzi … bolehkan duduk disini?"

Mengigit bibir Merzi boleh tidak ya? Agar gadis itu berhenti bersuara.

"Saya akan berpakaian di dalam kamar mandi. Nona boleh duduk dengan nyaman diatas kasur tersebut." Lebih baik dia yang mengalah.

"Ebha yang terbaik."

Pujian itu terdengar hambar ditelinganya, tapi Ebha tetap membalas dengan senyum tertekan.

"Nona Merzi yang tak tertebak."

Merzi Ratu Jahil

Setelah Ebha keluar dari kamarnya, Merzi berjalan menuju ruang ganti tempat menyimpan segala pakaian dan aksesorisnya.

Jubah baju tidurnya di lepas dan masukkan ke dalam keranjang baju kotor. Kemudian dia berdiri didepan salah satu lemari tinggi dan lebar berisi berbagai bentuk dress berwarna putih— warna kesukaannya.

Jemarinya bergerak dari kiri ke kanan, memilah dress mana yang akan di gunakan.

Hingga tangannya berhenti ditengah-tengah dress pilihannya. "Ini dia."

Merzi menarik dress itu lalu menempelkan didepan dada. Ini dress baru yang belum di pakainya. Dia akan memakai ini saja.

"Merzi mandi dulu."

Dress-nya yang diambil tadi Merzi gantung, dia akan membersihkan diri terlebih dahulu.

Lima menit berlalu dia selesai dengan aktivitas mandinya. Merzi keluar dari kamar mandi dengan bahtrobe yang membalut tubuh polosnya.

Merzi hanya mandi tanpa keramas, lalu dia segera bersiap memakai baju dan keluar dari kamar.

Dengan sendal rumahan, Merzi menyusuri lorong panjang rumahnya. Para pelayan mulai keluar beraktifitas dengan tugas masing-masing. Dia bisa melihatnya dari lantai dua— letak kamarnya.

Merzi membawa langkah ke lantai dasar. Setiap dia berpapasan dengan pelayan, mereka akan menunduk dan menyapa tak lupa menyampaikan selamat ulang tahun untuknya.

"Selamat pagi, Nona Merzi." Pelayan yang bertugas didapur menyapanya.

"Pagi, Bibi Liney." Balas Merzi tersenyum.

"Selamat ulang tahun, Nona. Apakah ada sarapan khusus yang nona inginkan pagi ini?"

Merzi menggeleng, senyumnya tak pernah lepas. "Terima kasih, Bibi. Sarapan khusus? Hmm…." Merzi mengetuk-ngetuk dagunya berpikir. Sepertinya target berikut yang akan dia jahili adalah bibi Liney.

Melihat Merzi yang berpikir itu, bibi Liney punya firasat tak enak. Bukan hal yang baru jika Merzi senang mengerjai orang-orang apalagi ini adalah ulang tahunnya. Gadis ini begitu senang menyusahkan orang lain.

"Ya, Nona. Katakanlah jika nona ingin sarapan yang berbeda pagi ini."

Merzi menatap bibi Liney yang masih menampilkan senyum. "Baiklah jika bibi memaksa Merzi untuk meminta sarapan khusus."

Memaksa?

Bibir bibi Liney berkedut. Dia tidak memaksa sang nona muda. Dia hanya bertanya.

"Bibi,"

"Ya, Nona?"

"Merzi lupa nama makanan dari daging sapi yang ditambah dengan saus krim dan dumpling roti juga susu krim manis."

Apa? Daging sapi?

Astaga nona, itu adalah menu yang berat untuk sarapan. Pikir bibi Liney dalam benak.

"Svíčková?" Sebut bibi Liney. Makanan khas negara mereka yang sebenarnya adalah menu makan siang atau malam.

"Ah, ya! Svíčková!"

"Nona ingin Svíčková untuk sarapan?"

"Ya, Bibi! Tapi Merzi ingin semua orang makan Svíčková pagi ini." Kata Merzi dengan senyum manis.

"S—semua orang, Nona?" Tanya bibi Liney heran. Bagaimana tidak heran? Svíčková hanya dimakan waktu siang atau malam. Bibi Liney memang lumayan sering membuat menu itu. Tapi tidak untuk pagi.

"Iya, Bibi. Apakah permintaan Merzi terlalu sulit?" Merzi mengubah rautnya menjadi sedih.

Bibi Liney sontak menggeleng. "Tentu saja tidak, Nona. Semua akan menuruti permintaan nona. Apalagi ini adalah ulang tahun nona Merzi, bukan?" Jelas bibi Liney dengan senyum ramah.

Senyum Merzi kembali mengembang. Berhasil juga sandiwaranya.

"Terima kasih, Bibi Liney."

"Sama-sama, Nona."

"Baiklah. Kalau begitu Merzi duluan, Bibi."

"Iya, Nona."

"Sampai nanti, Bibi. Dadah!"

Merzi berbalik dan berlari kecil. Dress pendeknya itu bergoyang mengikuti langkahnya.

"Hati-hati, Nona. Jangan berlari!" Ucap bibi Liney sedikit berteriak. Merzi mengacungkan jempolnya menyiratkan baik-baik saja.

Setelah si nona muda tak terlihat bibi Liney menghela napas. Dia bergumam, "nona Merzi semakin bertingkah saja. Ck ck ck," sambil berlalu ke dapur.

Merzi pergi ke bagian penginapan para pelayan. Disana dia semakin sering disapa. Ucapan-ucapan selamat ulang tahun terus diucapkan, tak terkecuali. Ini adalah hari istimewanya. Dia harus bahagia begitu juga yang lain.

Hingga tibalah dia didepan kamar pelayan paling ujung. Sebelum mengetuk pintu, Merzi merapikan tatanan rambutnya.

"Ehem-ehem," berdehem sedikit lalu tangan kecilnya mulai mengetuk pintu.

TOK! TOK! TOK!

"Ebha."

Itu adalah kamar bodyguardnya. Ebha.

Entah apa tujuannya kesana. Hanya Tuhan dan Merzi lah yang tahu. Dia kembali mengetuk pintu.

"Ebhaaa …. Ini Merzi."

Beberapa kali dia mengetuk pintu tapi masih tak ada sahutan dari Ebha.

"Kenapa tidak ada suara? Apakah Ebha tidak di kamar?" Tanya Merzi pada dirinya sendiri.

Jangan tanya kenapa dia tidak memanggil Ebha dengan panggilan telepon seperti sebelumnya, gadis itu sedang ingin berjalan-jalan dan tentu saja mengerjai Ebha.

Sejenak Merzi berpikir. "Eh, tidak apa kan jika Merzi membuka pintu kamar Ebha? Yah! Pasti tidak masalah. Merzi kan hanya ingin mengecek saja." Katanya diakhiri cekikikan kecil.

Perlahan tangan putihnya memegang gagang pintu. Tidak terkunci. Merzi semakin mendorong pintu. Terbuka. Kepalanya melongok masuk.

"Ebha?" Merzi semakin membuka lebar pintu kamar Ebha lalu membiarkannya tertutup.

"Ebha?" Panggil Merzi lagi. Dia memutarkan pandangan menyusuri kamar Ebha yang tertata rapi ditambah aroma khas lelaki sejati.

Hingga telinganya menangkap suara kran air yang menyala. Merzi menatap asal suara. "Mandi?"

TING!

Gadis itu menjentikkan jari. Ide baru tiba-tiba muncul di kepalanya.

Merzi melangkah mendekati ranjang disamping dinding. Ada baju dan celana yang Ebha pakai tadi. Tergelak tak rapi diatas kasur, mungkin lelaki itu buru-buru meletakkannya. Lalu Merzi mengambil sweater Ebha, dan duduk dipinggir ranjang.

Sweater Ebha begitu besar ditangannya yang kecil. Dia seperti memegang baju raksasa. Lalu tangannya meraih celana Ebha.

"Ck, pakaian Ebha besar-besar sekali. Merzi memegangnya saja keberatan apalagi jika Merzi pakai baju dan celana ini. Entah jadi apa Merzi."

Dia meletakkan kembali celana Ebha diatas kasur tapi kembali mengambil sweater Ebha dan mencium baunya.

"Wangi. Ebha memang selalu wangi. Merzi jadi penasaran Ebha memakai parfum apa."

Setelah mengatakannya Merzi berdiri. Niatnya tadi ingin melihat meja yang ada disamping lemari Ebha. Tapi tidak jadi karena Ebha telah keluar dari kamar mandi. Merzi tetap berdiri ditempat. Melihat Ebha yang mengeringkan rambut sambil bersiul. Sepertinya lelaki ini belum menyadari kehadirannya.

Baiklah mari kita tunggu Ebha sadar jika Merzi ada didalam kamarnya dan sedang melihat gaya seksinya yang sedang mengusak-ngusak rambut.

Dan yeah, ini dia. Ebha mengangkat kepalanya. Lelaki itu tentu terkejut dan tergagap. "Non—nona Merzi? Apa yang—?!"

Sedangkan Merzi? Gadis itu pura-pura terkejut sambil menutup mulut. "Oops! Jadi Ebha sedang mandi ya? Maaf, karena Merzi masuk tanpa ijin."

Bisa Merzi lihat Ebha menghela napas berat. Pasti lelaki ini begitu tertekan. Dia bahkan mengusir Merzi dengan cara halus.

Ganti namanya jika dia langsung menurut. Merzi malah melangkah mundur sambil berkata, "bagaimana jika Merzi ingin menunggu Ebha disini? Menunggu Ebha diatas kasur, Merzi bolehkan duduk disini?"

Lagi-lagi Ebha menghela napas. Dia menutup bagian dadanya yang terekspos dengan handuk yang pakai untuk mengeringkan rambut tadi.

Tidak ada gunanya bernegosiasi dengan sang nona. Hanya menguras kata dan tenaga. Lebih dia undur diri dengan mengganti pakaiannya dikamar dan membiarkan Merzi duduk bebas diatas kasurnya. Harapannya semoga nona muda itu keluar dari kamarnya sebelum dia selesai berganti pakaian.

Tapi itu hanyalah sebuah harapan palsu. Tekad Merzi terlalu besar dan kuat. Lihatlah, gadis itu sekarang berdiri didepan mejanya. Entah melakukan apa.

Merzi mendengar pintu kamar mandi kembali dibuka. Dia berbalik sambil menunjukkan sebuah botol parfum kaca pada Ebha.

"Apakah ini parfum yang Ebha gunakan sehari-hari?" Tanya Merzi.

Ebha mendekati Merzi sebelum membalas, "iya, Nona. Ada apa?"

Merzi mengangguk paham. Dia membuka tutup parfum itu, melangkah lebih dekat pada Ebha.

"Tidak ada. Biar Merzi bantu Ebha menggunakan parfum ini." Merzi bersiap menyemprotkan parfum, tapi tangannya ditahan Ebha.

"Tidak perlu, Nona. Terima kasih. Saya bisa melakukannya sendiri."

Merzi menggenggam botol parfum lebih erat. Senyum luntur sedikit. Dia melihat tangan Ebha yang bersiap mengambil alih parfumnya. "Merzi hanya ingin membantu. Kau menolak, Ebha?"

Suara Merzi berubah datar. Ebha tahu bahwa Merzi adalah anti di tolak. Apalagi yang menolaknya ada dia. Lelaki itu tak punya kuasa selain, membiarkan sang nona muda.

"Saya tidak bermaksud demikian, Nona. Terima kasih sudah menawarkan bantuan." Ujar Ebha menurunkan tangannya.

"Begitu lebih baik."

Tiga kali Merzi menyemprotkan parfum didepan tubuh Ebha. Lelaki itu hanya pasrah menatap lurus ke depan, tak melihatnya.

"Ebha."

"Nona Merzi."

Mereka sama-sama memanggil. Tapi Ebha lebih dulu berdehem dan melanjutkan, "perempuan dahulu."

"Oke." Merzi mundur sedikit untuk meletakkan kembali botol parfum diatas meja. Dia mendongak melihat Ebha yang tak melirik padanya. Dengan gerakan pasti dia melepaskan kardigan kebesaran yang menutup bagian atas tubuhnya.

"Apakah dinding itu lebih menarik daripada Merzi, Ebha?"

Mendengar Merzi yang bersuara, Ebha segera menunduk, "maaf, Nona?"

Mata mereka saling terpaku. Ebha lah yang pertama kali mengalihkan pandangannya, menatap lurus kembali. Bukan hal baru baginya melihat pundak halus Merzi yang terekspos sekarang. Tapi dia harus menjaga sopan santun.

"Apa yang Ebha lihat dari dinding itu?" Merzi kembali bertanya dan ikut menoleh pada apa yang Ebha lihat.

"Tidak ada, Nona."

"Kalau begitu kenapa tidak ingin menatap Merzi?"

Ebha menurunkan kepalanya. Memandang hidung kecil Merzi yang menggemaskan. "Saya menatap nona sekarang."

Merzi tersenyum. Dia berjalan ke samping, berdiri agak jauh dari Ebha lalu berputar pelan diatas lantai. Menunjukkan dress baru yang dipakainya.

"Lihat. Bagaimana gaun baru Merzi? Pas tidak ditubuh Merzi?"

Ebha memperhatikan. Dia mengangguk. "Sangat cantik. Pakaian apapun yang nona pakai akan kelihatan pas."

"Bohong sekali."

"Saya mengatakan yang sesungguhnya, Nona. Tidak mungkin saya membohongi nona."

Benar juga. "Tapi ucapan Ebha terlalu berlebihan." Merzi menunjuk baju Ebha yang masih teronggok diatas kasur. Ebha mengikuti arah telunjuk Merzi. "Baju Ebha tidak akan pas jika Merzi pakai. Terlalu besar. Merzi akan kelihatan jelek memakainya."

Ebha mengernyit sedikit. "Untuk apa nona memakai baju saya?"

Merzi mengangkat kedua bahu. "Tidak tahu, Merzi hanya iseng mengatakannya."

"Baiklah, Nona. Tapi nona pasti kelihatan cantik memakai apapun. Biar pakaian itu kekecilan atau kebesaran."

"Terima kasih penilaiannya, Ebha."

Ini juga yang Merzi sukai dari Ebha yang menjadi bodyguard sekaligus menjadi penilai akan penampilannya.

"Sama-sama, Nona."

"Oiya, Ebha ingin mengatakan sesuatu juga tadi. Apa itu?"

"Iya, Nona. Apakah nona hanya bertanya tentang gaun baru itu?

"Ya, ah— tidak juga. Ada hal lain. Tapi nanti saja. Sekarang giliran Ebha." Merzi duduk kembali diatas kasur. Kakinya dia rapatkan dan mendongak menatap Ebha, menunggu lelaki itu bersuara.

Ebha juga berjalan mendekati kasur. "Maaf sebelumnya, Nona. Saya akan menyimpan baju kotor ini dulu." Ebha menunduk. Wajahnya begitu dekat dengan Merzi karena gadis itu sedikit menduduki celananya.

Merzi suka mencium aroma tubuh Ebha. Dia suka berdekatan dengan Ebha. Dan dia punya kesukaan baru, mencium pipi Ebha.

"Apakah Ebha mempunyai pacar?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!