NovelToon NovelToon

Pewaris Kerajaan Mafia

Bab 1

Angin malam bertiup lembut di halaman sebuah vila tua di puncak bukit Arven. Udara dingin menusuk, namun suasananya hangat—dari dalam aula utama tempat puluhan pria bersetelan hitam berdiri membentuk lingkaran. Mereka semua diam, seolah menunggu sesuatu yang besar. Di tengah ruangan itu, seorang pria berdiri tegap dengan jas panjang bergaris dan tatapan mata setajam belati.

Itulah Luke, pria yang dikenal oleh semua orang sebagai Dominus.

Namun malam ini, dia tidak berdiri sendirian. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun berdiri dengan tubuh kecil namun tegap, memakai jas kecil yang baru dijahit khusus untuknya. Matanya bulat, jernih, dan sedikit bingung. Ia menatap semua orang yang memandangnya.

“Tenang, Ethan.” Luke menunduk dan merapikan dasi kecil anaknya. “Mereka tidak akan menyakitimu. Malam ini… mereka akan mengenal siapa kamu.”

Ethan mengangguk pelan. Meski masih kecil, dia sudah terbiasa dengan perintah singkat dan aura mengintimidasi dari ayahnya. Tapi di balik kerasnya Luke, dia selalu merasa aman.

Luke berdiri tegak kembali. Suaranya menggelegar saat berkata, “Katakan pada mereka, ini Dominus.”

Semua kepala menunduk.

“Ini putraku. Darah dari darahku. Daging dari dagingku. Namanya Ethan.” Dia menoleh pada anaknya. “Dan suatu hari… dia akan menggantikan tempatku.”

Ruangan itu hening selama beberapa detik. Lalu seorang pria tua dengan bekas luka panjang di pelipis melangkah maju dan berlutut di hadapan Ethan.

“Salam hormat, Tuan Muda,” katanya dengan nada berat. Disusul oleh yang lain, satu per satu pria dewasa menunduk di hadapan anak kecil itu.

Ethan menoleh ke ayahnya, masih belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Tapi dia merasakan kebanggaan di dada ayahnya. Dan entah bagaimana, perasaan itu juga mengalir ke dalam dirinya.

Salah satu pria bernama Paul, pria bermata satu dengan suara serak seperti batu kerikil, menyodorkan kotak kecil. Luke mengambilnya dan membukanya. Di dalamnya, sebuah cincin tua dengan ukiran samar: Dominus.

Luke berlutut, memasangkan cincin itu ke jari anaknya.

“Ini milikmu. Bukan karena kamu anakku, tapi karena kamu mewarisi kehormatan yang harus dijaga. Tidak semua orang terlahir sebagai pemimpin. Tapi kamu, Ethan… kamu akan jadi lebih dari sekadar pemimpin.”

Ethan memandangi cincin itu dalam diam.

Di antara kerumunan pria yang berdiri, Ethan melihat seorang lelaki tua berkacamata, dengan tubuh jangkung dan rambut perak yang disisir rapi. Lelaki itu tersenyum ramah dan melangkah mendekat setelah diberi isyarat oleh Luke.

“Namaku Harold,” ucapnya sambil mencondongkan tubuh sedikit ke arah Ethan. “Dulu aku ikut membangun tempat ini bersama ayahmu.”

Ethan mengangguk sopan, tapi tetap memandangi pria itu dengan rasa penasaran.

Harold tertawa kecil. “Kau punya tatapan mata yang sama dengan Luke saat pertama kali kami bertemu. Penuh tekad... dan sedikit keras kepala.” Ia menepuk bahu Ethan pelan. “Kelak, kau akan mengerti segalanya.”

Dari sisi kanan aula, seorang pria berwajah karismatik melangkah pelan. Jasnya sedikit berbeda—biru tua mengilap. Senyumannya hangat, tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ethan tidak tahu kenapa, tapi dia merasa janggal saat pria itu menatapnya.

“Jadi ini dia, pewaris Dominus,” ujar pria itu sambil tersenyum. “Namaku Carlos. Aku... bisa dibilang saudara tua ayahmu. Kami membangun keluarga ini bersama-sama.”

Luke menatap Carlos sebentar sebelum mengangguk singkat. “Carlos adalah orang kepercayaanku. Dengarkan dia jika aku tidak ada.”

Carlos menunduk rendah. Tapi Ethan, meski masih kecil, merasakan bahwa senyum pria itu... tidak sama seperti yang lain.

Di luar ruangan, langit malam mulai berubah. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan. Luke menghela napas dan menoleh ke semua pria.

“Kita cukupkan malam ini. Aku akan membawa Ethan ke pesta."

Beberapa pria berseru hormat dan membuka jalan. Ethan menggenggam tangan ayahnya saat mereka berjalan keluar aula besar.

Mobil limosin hitam menggelinding perlahan di jalanan hutan menuju kota. Lampu-lampu dalam mobil menyala temaram. Ethan duduk di kursi belakang, memandangi bintang dari balik jendela. Ayahnya duduk di seberangnya, merapikan jas, namun sesekali melirik anaknya dengan senyum tipis.

“Apakah semua orang itu akan selalu tunduk padaku?” Ethan bertanya pelan.

Luke tersenyum. “Tidak, Nak. Beberapa akan mencintaimu. Beberapa akan membencimu. Tapi yang terpenting… mereka akan menghormatimu. Dan itu, lebih dari cukup.”

Ethan mengangguk, meski belum sepenuhnya mengerti.

Tiba-tiba, suara keras terdengar dari depan.

BRAK!

Mobil limosin terguncang hebat. Teriakan sopir terdengar, dan mobil keluar jalur, menghantam pohon dan berhenti mendadak. Ethan terhantam ke sandaran kursi.

Udara malam yang semula tenang berubah mencekam hanya dalam hitungan detik. Setelah benturan keras yang membuat mobil mereka keluar dari jalur dan menghantam pohon besar, Ethan menggenggam sandaran kursi sambil menahan napas. Tubuh kecilnya bergetar. Dia tidak pernah melihat ayahnya bersikap setegang ini.

“Ayah!” serunya ketakutan.

“Tetap di dalam. Jangan keluar apa pun yang terjadi!”

Luke langsung keluar dari kendaraan sambil mencabut pistol dari balik jasnya. Beberapa pengawal pribadi dari mobil belakang segera menyusul, membentuk formasi bertahan. Tapi Ethan tahu... ini bukan penyergapan biasa.

Dan kecurigaannya terbukti.

Dari balik kegelapan, belasan pria bersenjata lengkap muncul, mengepung mereka. Lalu seseorang yang tak asing baginya berjalan tenang ke tengah.

“Carlos?” Luke nyaris berteriak. “Apa kau gila? Ini aku, Luke!”

Carlos menghentikan langkah. Wajahnya terlihat datar, namun matanya berbicara banyak. “Kau masih belum mengerti, ya?” katanya pelan. “Sudah terlalu lama kita mengikuti prinsip dan idealismu yang lemah. Dunia sudah berubah, dan aku tak akan membiarkan anakmu mewarisi semuanya.”

“Kau temanku! Kita membangun ini bersama. Kau, aku, dan Harold!” suara Luke pecah, penuh rasa kecewa.

Carlos hanya tertawa tipis. “Harold sudah tua, dan kamu terlalu lunak. Kau pikir anak kecil itu bisa menggantikanmu? Dunia mafia tidak untuk bocah bermata polos.”

Carlos memberi isyarat dengan jari.

Tembakan pertama dilepaskan. Luke menghindar, menembak balik. Suara tembakan saling bersahutan. Para pengawal Dominus bertempur habis-habisan. Ethan meringkuk di balik kursi mobil, menggenggam cincin barunya erat-erat sambil berdoa agar ini hanya mimpi.

Lalu... ledakan terjadi di sisi kiri mobil. Mobil belakang mereka meledak. Suara logam beradu, api menjilat langit, dan tubuh Ethan terhempas keluar dari mobil seperti boneka kain.

Dia terbanting keras ke tanah, terbakar, debu masuk ke matanya. Telinganya berdenging. Dunia tiba-tiba menjadi hening.

Dalam kekacauan itu, dia melihat bayangan tubuh ayahnya. Luke masih bertahan, meskipun tubuhnya penuh darah.

“ETHAN!!!” Luke berteriak dari kejauhan. Ethan merangkak pelan, mencoba mendekati ayahnya. Tapi tubuhnya tak mau bergerak.

Carlos mendekat ke Luke, menodongkan pistol ke kepala sahabat lamanya.

“Terakhir kali, Luke. Serahkan cincin itu... atau mati.”

Luke tersenyum lemah. “Kau memang binatang.”

DOR!

Peluru menembus kepala Luke. Ethan menjerit... tapi suaranya tertelan dalam hening.

Carlos menatap tubuh Ethan yang tergeletak, lalu memberi isyarat dingin.

“Temui anak itu,” katanya ke salah satu pria bersenjata.

Pria itu mendekat dan menodongkan senjatanya ke arah tubuh mungil Ethan. Ia sempat menatap mata Ethan yang mulai kehilangan cahaya. Sekejap ragu, tapi perintah adalah perintah.

Tiga peluru dilepaskan.

Satu mengenai dada, satu di sisi perut, dan satu lagi di tulang rusuk. Ethan merasa tubuhnya seperti lumpuh. Sakitnya tak bisa ia gambarkan. Dunia di sekelilingnya menjadi kabur. Dia hanya bisa melihat siluet langit dan wajah ayahnya yang sudah tak bernyawa.

Satu suara terdengar samar—suara Carlos. "Biarkan dia mati. Hutan akan menguburnya."

Langkah kaki menjauh.

Ethan tergeletak sendirian, darah mengalir dari mulut dan tubuhnya. Pandangannya mulai gelap, napas tersengal.

Lalu semuanya menjadi hitam.

Bab 2

Beberapa jam kemudian...

Langkah kaki terburu-buru menerobos rerumputan liar. Seorang biarawati muda dengan pakaian lusuh dan sepatu penuh lumpur mendekati sumber suara aneh yang ia dengar sejak sore. Ia adalah bagian dari misi penyelamatan anak-anak jalanan di wilayah pinggiran.

“Suster Mira!” teriak seseorang dari belakang. “Ke sini! Ada seorang anak kecil terluka!”

Mira tertegun. Di balik semak-semak, seorang anak laki-laki terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya dipenuhi darah dan luka tembak. Nafasnya nyaris tak terdengar, tetapi... dia masih hidup.

“Ya Tuhan… siapa yang melakukan ini padamu?” bisiknya.

Dia langsung berlutut, membuka tas darurat, dan menekan luka Ethan dengan kain bersih. Dua pria dari kelompok penyelamat lainnya segera datang dengan tandu. Mereka mengangkat tubuh Ethan yang dingin dengan hati-hati.

Di tangannya, masih tergenggam erat sebuah cincin tua berukir Dominus—penuh darah, tapi tak terlepas.

Beberapa hari kemudian, di ruang perawatan Panti Asuhan Mirevale House

Ethan membuka matanya.

Lampu putih menggantung di langit-langit. Bau antiseptik menyengat. Tubuhnya dibalut perban dan kaku. Dia tak bisa bergerak. Dia bahkan... tak tahu siapa dirinya.

“Namamu siapa, Nak?” tanya suster yang duduk di samping ranjang.

Ethan menatapnya kosong. Air mata mengalir, menggeleng pelan.

Hujan turun pelan-pelan di atap seng bangunan tua yang berdiri di pinggir kota Brighton. Panti Asuhan Mirevale terlihat seperti tempat yang waktu lupakan. Catnya mengelupas, jendelanya buram, dan suara tangisan bayi menjadi musik latarnya.

Namun di kamar belakang, tempat paling tenang di seluruh bangunan itu, seorang anak laki-laki duduk diam di pinggir ranjang, membungkus tubuhnya dengan selimut tipis.

Tubuhnya masih dipenuhi luka. Perban melingkari dada dan perutnya, bekas luka tembak membekas permanen di kulitnya. Tapi luka itu bukan yang paling parah. Luka di dalam dirinya—yang tak kasat mata—jauh lebih dalam dari yang bisa dilihat siapa pun.

Namanya Ethan. Tapi dia bahkan tidak tahu nama itu miliknya.

Suster Mira masuk membawa semangkuk bubur hangat.

“Ethan... waktu makan,” ucapnya lembut.

Anak itu menoleh. Mata hitamnya terlihat kosong, tanpa cahaya. Dia tidak pernah menolak makanan, tapi juga tidak pernah mengucapkan terima kasih.

Dia menerima mangkuk itu, memandanginya lama, lalu mulai menyendok perlahan.

“Apa kamu ingat siapa namamu?” tanya Suster Mira untuk ketiga kalinya minggu ini.

Ethan hanya menggeleng. Tidak ada kebohongan di situ. Ia sungguh tidak ingat siapa dirinya. Tidak ingat siapa yang menembaknya. Tidak tahu mengapa tubuhnya penuh luka. Yang ia tahu... hanya rasa sakit.

Tapi ada satu hal yang selalu dia genggam, bahkan saat tidur: sebuah cincin logam tua yang melekat di jarinya. Cincinnya terlalu besar untuk anak seusianya, dan meski beberapa suster pernah mencoba melepasnya, tangan kecil itu selalu menggenggam kuat.

Cincin itu seperti bagian dari dirinya.

Sejak hari itu, Ethan hidup seperti bayangan. Ia tidak pernah bertanya, tidak pernah bicara banyak, dan tidak pernah tertawa. Tapi yang paling menakutkan dari semuanya adalah—dia selalu mengingat semuanya setelah panti asuhan, tapi tidak ada satupun kenangan sebelum itu.

“Siapa namamu?”

“Apa kamu punya keluarga?”

“Apa kamu melarikan diri?”

Semua pertanyaan itu datang dari suster, dokter, dan bahkan pihak pemerintah, tapi jawaban Ethan hanya satu: diam.

Di jari manisnya, ia memakai sebuah cincin tua. Logamnya usang dan tergores, tidak ada nama atau simbol yang bisa dikenali. Cincin itu satu-satunya hal yang ditemukan bersamanya. Tapi Ethan tidak tahu asal-usulnya. Hanya perasaan aneh saat melepasnya: gelisah, kosong.

Dia tidak tahu mengapa itu begitu penting. Tapi dia tidak pernah melepasnya.

Tahun-tahun berlalu.

Ethan tumbuh dengan cepat. Lebih cepat dari anak-anak lain. Ia tidak pernah sakit. Tidak pernah lelah. Dan meskipun makan seadanya, tubuhnya berkembang seperti remaja yang terlatih. Posturnya tegak, ototnya kokoh. Tapi bukan itu yang membuatnya mencolok.

Yang membuatnya dijauhi adalah tatapan matanya.

Tatapan dingin. Kosong. Seperti orang yang pernah melihat kematian.

“Dia anak iblis,” bisik seorang anak di lorong.

“Dia kan ditembak tiga kali tapi tidak mati,” sahut yang lain.

Beberapa suster pun mulai canggung berdekatan dengannya. Mereka mencintainya, tapi sekaligus takut. Ethan tahu itu. Dia bisa membacanya di raut wajah mereka.

Penghinaan menjadi hal biasa.

Anak-anak yang iri atau takut kerap memancing emosi Ethan. Melempar bajunya ke toilet. Mengolok-olok dia di depan kelas. Membisiki anak baru untuk menjauhinya.

“Dia seperti binatang buas,” kata anak tertua di panti, Dario, suatu hari.

Tapi Ethan tidak pernah membalas. Tidak pernah bicara. Ia hanya menyimpan semuanya... di dalam.

Namun suatu hari, saat Dario dan dua anak lain menjatuhkan makan siangnya ke lantai dan menyuruhnya makan dari sana, Ethan berdiri perlahan, menatap mereka... dan dalam satu gerakan cepat, menjatuhkan Dario dengan sapuan kaki yang nyaris tanpa suara.

Dua lainnya kabur. Dario bangkit dengan hidung berdarah dan trauma yang tidak akan pernah ia lupakan.

Ethan duduk kembali, mengambil sisa makanannya dari lantai, dan makan tanpa suara.

Di malam hari, Ethan sering bermimpi aneh. Bayangan api. Suara jeritan. Sosok pria bersetelan jas... tapi wajahnya selalu kabur. Kadang ia terbangun dengan napas tersengal, peluh membasahi wajah. Tapi saat ditanya suster keesokan harinya, dia hanya menggeleng.

“Aku tidak ingat.”

Dia berusaha sangat keras untuk mengingat hidupnya sebelum dia ditemukan oleh para suster di panti asuhan. Tapi kepalanya seperti dipenuhi kabut tebal. Setiap kali mencoba melewatinya, ia hanya menemukan rasa sakit dan ketakutan.

Dan tak ada satu pun dari mereka—bahkan dirinya sendiri—yang tahu, bahwa masa lalunya suatu hari akan datang mencarinya.

Beberapa minggu kemudian, psikolog anak datang ke panti. Pria berkacamata itu berbicara lama dengan Ethan. Menggali masa lalunya, mencoba menstimulasi ingatannya dengan gambar dan pertanyaan.

“Apakah kamu ingat ayahmu?”

Diam.

“Apakah kamu pernah tinggal di tempat seperti ini sebelumnya?”

Gelengan kepala.

Namanya Ethan. Bukan karena ia tahu itu nama aslinya, tapi karena Suster Mira memberinya nama itu.

“Kau butuh nama, Nak,” katanya waktu itu sambil membasuh darah kering di wajah anak itu. “Ethan. Kuat dan bertahan. Seperti kamu.”

Ethan hanya menatapnya, tanpa protes.

BERSAMBUNG...

Bab ini bikin hati ikut nyesek, ya?

Kita baru aja menyelami masa kecil Ethan—gelap, penuh luka, dan penuh misteri. Dari anak kecil tak dikenal yang ditemukan di semak berdarah-darah... sampai jadi sosok pendiam yang menyimpan banyak rahasia. Dan satu hal yang terus membekas: cincin misterius yang nggak pernah ia lepaskan.

Pertanyaannya sekarang,

❓ Siapa Ethan sebenarnya?

❓ Apa arti cincin Dominus itu?

❓ Dan... masa lalu macam apa yang menantinya di balik kabut ingatan yang hilang?

Tenang… ini baru permulaan.

Makin ke depan, cerita Ethan bakal semakin panas, penuh ketegangan, dan tentu saja... rahasia yang mulai terbuka satu per satu.

Jangan lupa kasih komentar, ya!

Simpan bab ini biar nggak ketinggalan

Follow cerita ini biar kamu jadi yang pertama baca bab selanjutnya!

Sampai jumpa di bab berikutnya~

Ethan belum selesai. Justru baru mulai. ✨

Bab 3

Tak ada yang lebih sunyi dari anak yang tidak pernah diharapkan.

Bagi sebagian anak panti, hidup tanpa orang tua memang menyakitkan. Tapi bagi Ethan, yang tidak tahu bahkan siapa dirinya, hidup adalah luka yang tidak bisa dijahit. Tiap pagi terasa seperti hukuman, dan tiap malam hanyalah pengulangan dari kesepian yang sama.

Sekalipun tidak ada yang menyatakan terang-terangan bahwa ia tidak diinginkan, sikap mereka cukup berbicara. Saat makan malam, bangku di samping Ethan selalu kosong. Anak-anak lain berbicara dengan berbisik saat ia lewat. Bahkan para suster mulai membatasi kontak.

“Anak itu berbeda,” kata Suster Agnes pada Mira, suatu hari. “Tatapannya… seperti orang dewasa yang pernah melihat pembunuhan.”

Mira tidak menjawab. Di hatinya, Ethan adalah anak yang kuat, tapi ia pun tahu—anak itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar trauma.

Suatu siang di lapangan belakang panti, seorang anak baru—Diego—mendekati Ethan.

“Kau suka main bola?” tanyanya polos.

Ethan menggeleng.

“Kau suka apa?”

Ethan diam sebentar. “Diam.”

Diego tertawa kecil. “Kau aneh.”

Tapi sebelum Ethan bisa menjawab, sekelompok anak yang lebih tua menghampiri. Dario, yang wajahnya masih menyimpan bekas luka lama, tersenyum mengejek.

“Kau mengajak ngobrol si monster? Hati-hati, nanti dia robek tenggorokanmu,” katanya pada Diego.

Anak-anak lain tertawa.

“Hey, Ethan. Kau mau bergabung? Kita akan buat kandang baru. Kau cocok dijadikan penjaganya. Diam dan ganas.”

Ethan hanya menatap mereka. Tidak menjawab. Tidak marah.

“Lihat tuh. Wajahnya seperti hewan peliharaan yang gagal.”

Tawa semakin keras. Tapi Ethan hanya membungkuk, mengambil bola dari bawah bangku, dan melemparkannya ke arah pagar. Ia pergi meninggalkan mereka begitu saja.

Diam, tenang, tapi mata itu... lebih tajam dari pisau dapur.

Di malam-malam yang sepi, Ethan mulai berlatih sendirian. Dia tidak tahu kenapa, tapi gerakan tubuhnya seperti mengingat sesuatu yang otaknya lupakan. Kuda-kuda. Pukulan lurus. Tangkisan. Ia tidak pernah diajari. Tapi tubuhnya tahu.

Setiap malam, ia berlatih dengan benda-benda seadanya, meninju kasur, melompati bangku, berdiri di satu kaki sambil menutup mata.

Suster Mira pernah memergokinya. “Apa yang kau lakukan?”

“Bernafas,” jawab Ethan singkat.

Mira ingin menasihatinya, tapi ia tahu anak itu sudah hidup di dunia yang tidak bisa dijangkau orang lain.

Saat usia Ethan mendekati tujuh belas, dia mulai mencari pekerjaan. Panti membatasi akses anak-anak ke luar. Tapi Ethan punya cara sendiri. Ia mulai membantu di pasar setiap akhir pekan, membawa barang, mengangkat karung, membersihkan lapak.

Orang-orang mulai mengenalnya sebagai “anak panti yang kuat”.

Tapi tetap saja, cap buruk tetap melekat. Jika terjadi kehilangan, nama Ethan disebut pertama. Jika ada perkelahian, bahkan jika dia tidak terlibat, dia yang dipanggil lebih dulu.

“Dia memang tidak cocok di sini,” bisik Suster Agnes, suatu malam. “Bukan karena dia jahat. Tapi karena dunia ini tidak tahu harus apa dengan dia.”

Puncaknya terjadi saat Dario dan teman-temannya menjebak Ethan dalam kamar mandi belakang. Mereka menguncinya dari luar lalu melemparkan ember kotor dari ventilasi.

“Selamat mandi, monster!” teriak mereka.

Saat pintu akhirnya dibuka dua jam kemudian, Ethan keluar dalam diam. Tidak berkata apa-apa. Tapi malam itu, Dario mendapati semua pakaiannya dipotong rapi hingga hanya tinggal sobekan kain. Tidak ada yang tahu pelakunya.

Tidak ada yang dituduh.

Tapi semua tahu, Ethan membalas tanpa perlu berkata satu kata pun.

Beberapa hari kemudian, Ethan duduk di depan Suster Mira. Di tangan suster itu, ada map kuning tipis dan sebuah amplop kecil.

“Aku tahu kau akan bicara soal ini suatu saat,” ucap Mira tenang.

“Aku ingin pergi,” kata Ethan.

“Kau yakin?”

“Aku tidak tahu siapa aku. Tapi aku tahu aku tidak akan menemukan jawabannya di sini.”

Suster Mira menatap mata itu—mata yang tidak pernah berubah sejak pertama kali ia melihatnya, mata anak yang dibentuk oleh kehancuran.

Ia menyerahkan map itu. “Ini semua yang bisa kami bantu. Dokumen identitas. Uang seadanya. Dan alamat tempat kerja informal di pusat kota. Mereka butuh anak kuat. Mereka tidak peduli siapa kamu.”

Ethan bangkit. Ia menunduk perlahan. “Terima kasih.”

“Kau akan kembali suatu hari?”

Ethan tidak menjawab. Tapi sebelum menutup pintu, ia berbalik dan menatap panti itu sekali lagi. Hatinya tidak berat. Karena ia tahu tempat itu tidak pernah benar-benar menjadi rumah.

Dan malam itu, seorang remaja tanpa identitas, tanpa asal-usul, tanpa masa lalu... meninggalkan halaman panti, menyatu dalam dunia yang keras—dengan satu tekad:

Vexley City terlihat berbeda saat dilihat dari jalanan. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan cahaya yang menyilaukan, jalanan sibuk, dan orang-orang yang selalu tampak terburu-buru. Tapi dari sudut sempit antara trotoar retak dan tumpukan kardus, kota itu adalah hutan beton yang buas.

Ethan kini hidup sendiri.

Dia tinggal di kamar sempit berukuran dua kali tiga meter, di lantai paling atas sebuah bangunan tua yang hampir runtuh. Tidak ada lemari. Tidak ada kasur. Hanya tikar tipis, kipas rusak, dan gantungan tali untuk menggantung baju.

Setelah meninggalkan panti, Ethan menerima pekerjaan sebagai kurir antar barang dari sebuah toko alat elektronik. Bayarannya kecil, waktunya panjang, dan orang-orang di sekitarnya memperlakukannya seolah dia bukan siapa-siapa.

Tapi itu tidak menghentikannya.

Setiap pagi, dia bangun sebelum matahari terbit, mandi dengan air dingin, dan langsung menjemput paket. Dia membawa semuanya dengan sepeda tua—kadang laptop, speaker, kadang televisi kecil. Tubuhnya sudah terbiasa dengan beban. Tapi beban di dadanya—itu lain cerita.

“Jangan jatuhkan barang ini, anak kampung,” ujar seorang pelanggan dengan nada jijik sambil menandatangani resi.

Ethan tidak menjawab.

“Lain kali cuci tangan dulu sebelum menyentuh kotak ini. Aku bisa mencium bau murah dari jarimu.”

Ethan menunduk sopan, menyerahkan paket, lalu melangkah pergi.

Saat dia membelok ke sudut jalan, ia berhenti sejenak di belakang bangunan, menatap tangannya. Bersih. Tapi kata-kata mereka selalu meninggalkan noda yang tidak bisa dicuci.

Di tempat kerja, para staf toko juga tak kalah kejam.

“Lambat sekali,” omel manajer. “Kamu pikir kamu pelari olimpiade? Atau keledai?”

“Dia diam terus, pasti otaknya rusak,” celetuk karyawan lain.

Ethan tetap tidak membalas. Dia tidak belajar menahan amarah di panti. Dia belajar bagaimana mengalahkan dunia dengan cara bertahan. Dia tahu satu hal: jika dia marah dan menyerang, maka dunia akan menjadikannya monster seperti yang selalu mereka tuduhkan.

Hujan turun sore itu. Jalanan becek dan kendaraan berlalu lalang seperti kawanan hewan. Ethan mengayuh sepeda dengan kardus di punggung. Pakaian dan rambutnya basah kuyup, tapi dia tetap maju.

Tujuannya: Beaumont University—tempat pengiriman sebuah laptop untuk dosen senior.

Dia belum pernah ke daerah itu. Jalan-jalannya bersih, trotoarnya licin dan lebar, dan orang-orang memakai jas hujan branded. Saat dia tiba di gerbang utama, dia terpaksa berhenti. Sepedanya terlalu usang untuk masuk begitu saja.

Petugas keamanan menatapnya penuh curiga. “Kurir?”

Ethan mengangguk.

“Jangan masuk terlalu jauh. Serahkan saja ke meja resepsionis.”

Ethan menuruti. Tapi saat hendak keluar, langkahnya terhenti. Matanya menangkap pemandangan yang tak bisa ia abaikan.

Gedung-gedung menjulang tinggi dengan jendela kaca dan balkon elegan. Taman-taman rapi. Patung para ilmuwan berdiri megah. Tapi bukan itu yang membuat Ethan terpaku.

Melainkan… tatapan di wajah para mahasiswa. Tegas. Percaya diri. Penuh tujuan.

Dia berdiri di balik gerbang. Basah kuyup. Sepatunya sobek. Tapi entah kenapa... ada sesuatu yang muncul dari dalam dadanya.

Keinginan.

Untuk pertama kalinya sejak dia mengenal dirinya sebagai Ethan, anak panti, dia merasakan hasrat yang nyata.

“Aku ingin ke sini,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Bukan untuk orang lain. Bukan karena gengsi. Tapi karena dia ingin membuktikan pada dunia bahwa dirinya bukan cuma kurir tanpa nama.

Hari itu, Ethan pulang lebih larut dari biasanya. Ia berdiri lama di atap bangunan tempat ia tinggal, menatap langit malam yang kelam. Tangannya masih dingin, kakinya pegal. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang menyala.

Dia menatap jari tangannya. Cincin tua itu masih ada di sana. Ia tak tahu kenapa tidak bisa melepasnya. Tapi hari ini, dia tahu satu hal:

Selama darahnya masih mengalir, dia akan mencoba.

Tidak peduli berapa tahun yang dibutuhkan.

Tidak peduli berapa banyak penghinaan yang akan dia telan.

Dia akan kuliah di Beaumont. Dengan jerih payahnya sendiri.

Dan dia akan menulis ulang takdirnya—bukan sebagai korban dari masa lalu, tapi sebagai orang yang akan berdiri sejajar dengan siapa pun... bahkan mereka yang menatapnya dari atas menara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!