“Mel, nanti kalau semisal ada yang nanya, kamu yang jawab ya. Aku agak gugup kalau tampil di depan banyak orang.”
“Iya, kamu tenang aja. Sebisa mungkin aku akan jawab pertanyaan teman-teman.”
Ayu si anak pendiam sudah terlebih dahulu konfimasi pada Amelia perihal ketakutannya tampak depan umum meski hanya tampil di depan kelas.
Hari ini mereka akan presentasi makalah pelajaran agama setelah pekan lalu bagian kelompok lain. Ayu, Dirgan dan Amelia terbentuk dalam satu kelompok. Dirga berperan sebagai orang yang akan persentase, Ayu yang mencatat dan Amelia yang menjawab jika ada pertanyaan.
Setelah tugas Dirga selesai, kini tiba mereka dalam sesi tanya jawab.
“Ada yang mau bertanya?” Tanya Amelia sambil berdiri.
Arif mengangkat tangan.
“Coba jelaskan apa itu yang namanya tumaninah dalam salat!?”
“Oke, pertanyaan akan ditampung.”
“Ada lagi?”
Karina mengangkat tangan.
“Silakan.”
“Dalam rukun Islam, yang pertama itu ‘kan syahadat. Kenapa bukan salat? Kan salat adalah amalan yang pertama dihisab.”
“Oke, Terimkasih atas pertanyaan nya. Masih ada lagi?”
Hening
“Oke, kalau tidak ada lagi saya akan menjawab pertanyaan satu per satu. Dimulai dari pertanyaan arif dulu. Apa itu yang namanya tumaninah dalam salat. Jadi begini teman-teman, dalam solat itu ada beberapa gerakan salah satu contohnya adalah ruku dan suju. Nah, habis ruku itu kan kita sujud tuh, yang namanya tumaninah itu sama aja kayak jeda gitu. Jadi habis ruku terus bangun lagi, baru sujud. Itu yang namanya tumaninah itu setelah kita ruku kita berdiri dulu kembali ke posisi semula dan jangan berdiri bentarkan diang langsung sujud. Minimal kita berdiri dengan sempurna, diam sejenak baru sujud. Jadi kesan nya gak buru-buru. Gimana arif?”
“Oke, faham. Makasih ya.”
“Sip. Nah, untuk pertanyaan kedua dari Karina. Kenapa rukun iman yang pertama syahadat bukan solat? Saya sih gak tau pastinya kenapa. Cuma bisa memberikan gambaran aja. Semisal kita mau daftar sekolah, pasti ada yang namanya syarat bukan? Dan ada yang namanya ijazah. Saat kita menerima ijazah, maka yang akan dipertanyakan itu adalah nilai selama kita sekolah, ilmu yang kita dapatkan. Bukan syarat masuk sekolah seperi akta lahir dan yang lainnya. Sama seperti syahadat yang menjadi syarat kita agar termasuk menjadi orang muslim. Itu syarat masuk. Nah yang dipertanggung jawabkan ya isi setelah syahadat itu. Ada solat, zakat dan puasa. Gimana, Na?”
“Tetep gak faham.”
Amelia melirik guru mata pelajar. Meminta bantuan untuk menjelaskan pada teman-teman yang lain.
“Begini anak-anak. Kalian tahu apa arti syahadat itu bukan?”
“Tau, buuu.” Mereka menjawab kompak.
“Aku bersaksi bahwa Allah Tuhanku. Itu adalah keimanan yang diucapkan dengan lisan. Seperi ungkapan aku cinta sama kamu. Lalu kenapa di akhirat nanti salat menjadi yang pertama? Karena itu merupakan pembuktian. Kalau kamu percaya Allah sebagai Tuhan, makan buktikan dengan salat, zakat dan puasa juga ibadah lainnya. Jika salat kamu tidak benar, maka ucapan kamu bahwa kamu beriman pada Allah itu bohong. Bagaimana kamu mau menikah sama dia misalkan. Karena kamu cinta dan kamu percaya sama dia. Buktinya? Nikahlah. Pacaran elit ijab qobul sulit. Itu artinya dia bulshit!”
“Huuuuuuu” ruang kelas riuh oleh sorak sorai anak-anak.
“Bagaiman? Sampai sini faham?”
“Tetep aja bu, kenapa solat nomor dua tapi syahadat no 1.”
“Rin, semua aturan itu dibuat oleh Allah. Kita sebagai manusia hanya perlu menjalankannya. Kita tidak bisa mempertanyakan hak prerogatif Allah. Otak kita tidak akan mampu kenapa ini begini, kenapa itu begitu. Semua yang ada di dunia ini terjadi karena kehendak Allah. Manusia bisa apa?”
Karina terdiam. Dia bukan tidak mengerti hanya saja rasa tidak suka pada Amelia membuatnya berbuat hal yang menjadikan nya nampak bodoh dan ngeyel.
“Sebentar lagi bel istrihat kedua. Sebaiknya kita sudahi pelajaran hari in biar kalian bisa rileks sejenak sebelum berlari ke kantin beli es cekek dan cimol.”
Wkwkwkwk. Gelak tawa pun menggelegar di ruang kelas.
“Bete banget anak papa. Kenapa, sayang? Ada yang bikin kamu bete?”
“Masih dengan urusan yang sama, Pa.”
“Karina lagi? Kenapa lagi dia hari ini?”
“Biasalah. Selalu berusaha memojokkan gak jelas. Kadang kasian sama dia, capek loh benci sama orang tanpa alasan yang penting tuh. Masa gara-gara adek gak mau gabung sama genk dia, terus dia jadi jauhin adek. Gak masuk akal. Adek tuh gak mau pilih-pilih temen. Hanya karena kita sesksama orang berada terus harus satu circle, harus jauh-jauh dari temen di bawah kita gitu? Sorry, it’s not my style.”
“Keren anak papa.”
“Nge batin tapi aku jadiny.”
“Nanti sampe rumah bete kamu pasti hilang, kok.”
“Kenapa emang?”
“Papa mau kasih kamu kejutan.”
“Mau kasih kejutan kok bilang-bilang? Bukan kejutan lagi itu sih namanya. Papa tuh, ya, bocor emang.”
“Terlalu jujur bukan sih?”
“Beda, beda banget jujur sama bocor tuh, Pa.”
Alex tertawa melihat betapa imutnya sanga anak saat dia sedang kesal.
Begitu sampai halaman rumah, Amelia langsung membuka sepatu dan menyimpannya di rak. Setelah membaca salam, dia menghampar ibunya, Ira. Mencium punggung tangan wanita itu dengan buru-buru.
“Eh, mau ke mana? Makan dulu, Nak.”
“Solat dulu, mama. Keburu habis waktunya.”
Ira menggelengkan kepala bangga atas sikap anaknya.
Brakkk! Amelia membuka pintu kamarnya dengan kasar karena dia kebelet buang air kecil. Dan ….
“Abangggggg.” Gadis itu berlari menghampiri kakaknya lalu memeluknya erat.
“Kapan pulang? Kok gak bilang-bilang? Ihhhh kangen banget tau. Tega banget sih dua bulan gak pulang ke rumah.”
“Sibuk, adek. Ini kalau gak sibuk mah kan abang pulang.”
Amelia tertawa sambil menengadahkan wajah dan menatap penuh kerinduan pada kakaknya. Kemudian sekali lagi dia memeluk Rehan.
“Han, gue gak bawa parfum, bagi dong.”
Amelia perlahan melepaskan pelukannya dan menoleh bersamaan dengan rehan ke arah sumber suara.
“Oh, ambil aja. Kayaknya ada di atas meja deh.”
“Oke. Itu Amelia ya, adek lo?”
Amelia dan rehan saling menatap.
“Iya, dia adik gue. Jelek ‘kan?”
“Cantik.”
Tiba-tiba wajah Amelia terasa panas dan memerah. Dia juga merasa tubuhnya sangat sulit digerakkan dan hanya bisa diam dengan tatapan melongo.
“Heh, adek. Kenapa? Terpesona kamu sama ketampanan Harlan?”
Harlan? Apa itu nama pria tadi? Ohhhh, jadi namanya Harlan.
“Yah, malah tambah diem. Adeekkkkkk …..” Rehan mengguncangkan wajah Amelia dengan kedua tangannya.
“Ihhhhh sakit tau!” Amelia memukul tangan kakaknya.
“Habisnya kamu diem aja kayaknya orang kesurupan.”
“Awas, ah! Aku mau solat. Keluar gih.”
“Solehahnya adek abang.” Ujar Rehan sambil ndusel-dusel pipi Amelia.
“Mamaaaaa ….”
“Kaboooorrrr”
Niat hati hanya ingin ganti baju lalu solat, Amelia mendadak ingin mandi, solat lalu berdandan rapi. Berkali-kali dia berdiri, memutar badan ke kiri dan kanan, memastikan jika tidak ada celah keburukan dalam berbusananya.
Semerbak wangi parfum menyeruak, menusuk rongga hidung orang tua, kakak dan teman Rehan yang menunggu sejak tadi di meja makan.
“Buseeet, kamu pake parfum sebotol tumpah ruah, Dek? Apa gimana?”
Amelia memukul pundak Rehan, lalu duduk di samping Ira, tepat berhadapan dengan Harlan. Sesekali dia mencuri pandang pada pria tampan yang ada di hadapannya. Gaya makan Amelia pun mendadak kalem dan like a princess.
Rehan tertawa geli melihat tingkah adiknya. Dia tau jika Amelia sedang caper pada temannya.
“Berarti rumahmu cuma dua jam dari sini, ya?” Tanya Alex pada Harlan.
“Iya, Om.”
“Rencananya besok aku mau anterin Harlan pulang sekalian manasin si blacki.”
Hah? Besok kak Harlan pulang? Cepet amat. Apa aku ikut aja ya.
“Dek, ikut gak?”
“Ke mana?” Tanya Amelia jutek, berpura-pura. Rehan menahan tawa.
“Seriusan gak mau ikut ke rumah Harlan? Sekali-kali naik motor lah. Sinar matahari tuh bagus buat kulit, asal jangan tengah hari aja berjemur.”
“Gimana besok aja, deh.”
“Ya udah, kita berdua aja ya, bro. Lo pake motor gue yang merah.”
Yang merah? Itu kan bisa boncengan. Kalau kakak bawa si blacki itu artinya aku dibonceng sama kak Harlan dong? Si blacki kan cuma muat satu orang doang.
“Gimana? Jadi ikuta gak?” Ledek Rehan.
“Boleh, deh. Cuma dua jam kan? Adek bisa kok.”
“Mama sih gak yakin.”
“Papa juga.”
“Ih, kenapa memangnya? Adek mau kok. Bisa pakai jaket, helm, sepatu juga kan? Pake masker sama kacamata juga.”
Ira dan Alex hanya saling melirik, lalu tertawa kecil. Amelia si anak dengan imun tubuh yang ringkih, akan mudah masuk angin jika berkendara dengan roda dua. Dia bahkan akan muntah-muntah dan besoknya akan sakit.
Harlan dengan perhatiannya memijat pundak Amelia saat entah untuk ke berapa kalinya dia muntah. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dengan waktu 2 jam, mereka baru bisa sampai ke rumah Harlan setelah tiga setengah jam karena sering berhenti untuk istirahat.
Tubuhnya sangat lemah karena terkuras energinya. Dia bahkan tidak sadar sepanjang perjalanan tadi memeluk dan bersandar pasrah pada punggung Harlan.
“Assalamualaikum, Bu.”
Tidak ada jawaban.
Harlan membuka pintu yang tidak terkunci itu.
“Awww!” Amelia berjinjit saat menginjakkan kaki di teras rumah Harlan yang masih menggunakan tegel berwarna kuning.
“Kenapa?” Tanya Rehan cemas.
“Dingin banget, ih. Padahal adek pake kaos kaki, Bang.”
“Iya, di sini memang sangat dingin. Apalah terasnaya masih tegel gini.”
“Ngaruh ya?”
“Ngaruh bange,” ucap Harlan. “Ayo, masuk.”
Pintu terbuka, aroma lembab begitu kuat menusuk hidung. Rumah itu terlihat sangat rapi dengan perabotan jaman dulu. Bukan sembarang perabotan. Kayu jati premium dan ukiran khas Jepara terlihat begitu menawan meski sudah usang.
“Rapi bener rumahnya, Kak.”
“Ibu memang sangat cinta kebersihan.”
“Bahaya dong, soalnya aku pemalas.”
“Hubungannya apa?” Tanya Rehan meledek.
Amelia melirik sinis sang kakak yang duduk di sampingnya.
Harlan pergi ke satu ruangan. Tidak lama dia kembali dengan membawa minuman dan toples berisi keripik singkong pedas. Dia kembali masuk, lalu keluar dengan dua toples yang isinya berbeda.
“Sepi banget, bro. Ibu lo ke mana?”
“Solat kayaknya di kamar.”
Amelia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 09.45 wib. Solat duha.
Setelah ngobrol beberapa saat, seorang wanita masih dengan mukena terusan, keluar dari kamar. Mungkin umurnya tidak muda lagi, tapi wajahnya terlihat bersih dan cerah. Dia tersenyum pada Rehan dan Amelia. Mereka betiga bangun, lalu mencium punggung tangan ibu Harlan secara bergantian.
“Kenapa gak bilang, lan, kalau mau ajak teman ke rumah.”
“Dadakan, Bu. Ini juga gak niat sebenernya.”
“Adik saya ngebet pengen main ke sini.”
Ih, apa? Kenapa jadi aku yang dijual?
“Cantik sekali ya adiknya. Mau bantu ibu ke dapur gak? Tunggu Ibu ganti mukena dulu.”
“I-iya, Bu.”
Amelia menyikut kakaknya sambil berbisik “adek mau disuruh apa, Bang? Adek kan gak bisa ngapa-ngapain selain belajar.”
“Paling disuruh cuci piring atau baju.”
“Gimana caranya?”
“Ya dikucek, lah. Masa dikunyah.”
“Ihhhh, abang! Gak seru, ah!”
“Ayo, Nak.”
Amelia langsung merubah sikapnya dalam hitungan detik. Bersikap manis dan sopan.
Dia perlahan melangkah dan mengikuti ibu Harlan ke dapur. Ibu mengambil keranjang dan juga topi yang terbuat dari anyaman bambu. Lalu memakaikan nya pada Amelia.
“Ayo kita ke kebun.”
Kebun? Kalau ada ulet gimana? Aduuuhhhhh
“Kelas berapa, Mel?”
“Tiga, Bu.”
“SMA?”
“SMP.”
“Aduh, masih kecil atuh ya.”
Kecil? Ih, aku udah gede kali.
“Kalau ada nyamuk, gimana?”
“Gak apa-apa asal jangan ada ulet aja, Bu.”
“Takut ulet ya. Padahal kita mau ke kebun kacang. Di sana banyak banget ulet bulu.”
Amelia menghentikan langkahnya.
“Ada apa? Gak jadi ikut?”
“Hehehe. Jadi, Bu. Nanti saya di pinggir aja ya.”
Ibu Harlan tertawa kecil. “Biasa tinggal di kota, gimana bisa main ke kebun. Biasa main ke mol, ya kan?”
Amelia merasa hatinya sedikit tidak enak mendengar notasi ucapan ibu Harlan yang terkesan mengejeknya. Langkahnya perlahan melambat. Dia yang awalnya antusias, menjadi enggan.
Ibu Harlan yang sudah berjalan di depan. Melirik sekilas, lalu bibirnya menyungging sebelah.
Bodo amat! Mau ada ulet atau nggak. Aku gak akan diem di pinggir. Harus berani. Tunjukkan pada ibunya kak Harlan kalau aku bukan cuma bisa main ke mall doang.
Saat tiba di kebun, Amelia dibuat terkejut. Karena ekspektasi dia sangat jauh berbeda. Kebun yang dia bayangkan penuh dengan daun merambat, semak belukar, banyak nyamuk, banyak ulat. Langsung sirna.
“Ini kebunnya, Bu? Waaaah, rapi banget. Ini sih bikin betah lama-lama juga. Mana sayurannya yang suka dibeli mama di supermarket. Mama nih, kalau diajak ke sini dia bisa bawa sambel sama kerupuk. Anteng deh.”
Ibu Harlan tertawa mendengar celotehan Amelia.
“Harusnya liwetan juga, ya. Biar tambah mantap.”
“Bisa gak berhenti makan itu sih, Bu. Ini Ibu yang tanam sendiri? Dibantu Bapak?”
“Bapak Harlan maksudnya? Harlan udah yatim sejak dia berusia lima tahun.”
Amelia menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Maaf, ya, Bu.”
“Gak apa-apa, kamu kan gak tau. Ayo, mau coba panen gak? Bawa sekalian buat mama nanti.
“Ini beneran boleh bawa buat mama?”
Ibu Harlan mengangguk pelan.
“Waaaaah, makasih, ibu. Ibu baaaaik,” ujar Amelia sambi bergelayut manja pada tangan ibu Harlan.
Melihat Amelia tidak segan bersikap seperti itu, membuat hati ibu Harlan menghangat. Dia teringat pada almarhumah adiknya Harlan yang meninggal bersamaan dengan bapaknya karena sebuah kecelakaan.
Gadis itu terlihat sangat girang saat memilih beberapa sayuran yang sedang dia petik. Ibu Harlan hanya menatap sesekali sambil tersenyum.
Setelah dirasa cukup, ibu mengajak Amelia ke tempat lain.
“Kolam ikannya jernih bangetttttt. Berasa pengen ikut nyebur sama ikan.”
“Hahaha. Jangan, ini airnya kotor.”
“Segini terbilang kotor, gimana yang bersihnya. Duh, jadi pengen lama-lama tinggal di rumah ibu. Asik tau ibu di sini. Sejuk, udaranya bersih. Sayuran ya fresh. Gak berisik.”
“Kalau sebentar mah mungkin seru, kelamaan mah pasti kamu bosan. Jauh ke warung, susah sinyal, kendaraan umum jarang ada yang lewat.”
“Tapi aku suka di sini.”
“Sering-sering atuh main ke sini ya.”
“Kalau ada yang nganter ya, Bu.”
“Biar nanti Harlan yang jemput.”
“Mau. Kalau itu aku mau.”
Ibu Harlan mengernyitkan dahinya mendengar Amelia begitu bersemangat saat mendengar nama Harlan.
Setelah mendapatkan beberapa ekor ikan, mereka akhirnya kembali ke rumah. Ibu mencuci ikan, sementara Amelia mencuci sayuran.
“Mau coba goreng dong, Bu.”
“Jangan. Menggoreng ikan itu minyaknya suka muncrat. Takut kena tangan atau muka kamu. Nanti cantiknya berkurang.”
“Gak apa-apa, aku bisa kok.”
Benar saja, baru saja Amelia memegang sutil, minyak panas itu meletup dan mengenai tangan Amelia. Sontak gadis itu berteriak lalu menangis karena panas.
Harlan dan Rehan yang mendengar teriakan Amelia segera berlari menuju dapur. Melihat ikan di atas kompor, dan Amelia yang sedang meniup tangannya, Harlan tau apa yang terjadi meski tidak ada yang menjelaskan.
Dia berlari, lalu menarik Amelia menuju keran air. Tangannya dibiarkan diguyur air tanpa henti.
“Panas bangetttttt.” Amelia masih menangis histeris.
Harlan masih memegang tangan gadis itu sambil diletakkan dibawah kucuran air keran. Setelah hampir setengah jam, tangisan Amel baru mereda.
“Masih panas?” Tanya Harlan cemas.
Amelia menggelengkan kepala dengan bibir bawah maju lebih depan. Air matanya masih menetes.
“Pakai ini,” ujar ibu yang sangat cemas sejak tadi sambil membawa pasta gigi.
Tidak ada kotak P3K. Terpaksa ikut apa kata orang tua jaman dulu. Memakai pasta gigi sebagai salep meredakan panas dan bengkak. Dengan hati-hati Harlan mengoleskan pasta gigi tersebut pada tangan Amelia yang terlihat sangat merah.
Gak apa-apa deh kena minyak lagi juga kalau yang ngobatin kak Harlan sih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!