NovelToon NovelToon

Suamiku Dokter Sultan

Bab 1

Cerita Alina dan Brayn, Author sambung di sini aja, ya!

Biar ceritanya gak kecampur-campur.

Untuk yang sudah baca di novel sebelumnya, boleh baca kelanjutannya saja 🙏

**

Dua minggu berlalu.

Pagi itu Pak Vino dengan ditemani Gilang mendatangi rumah Bagas.

Tadinya mereka ingin langsung sekalian mengajak keluarga besar.

Namun, demi kenyamanan, mereka memilih pergi berdua lebih dulu sebagai pembuka jalan dari pihak lelaki.

Kedatangan Pak Vino pun disambut baik oleh Bagas.

Meskipun ia sedikit terkejut dengan kedatangan sang bos yang mendadak.

Setelah mengisi waktu dengan perbincangan santai, ketiganya mulai tampak serius.

Pak Vino menyeruput secangkir teh hangat lebih dulu, lalu menarik napas dalam.

"Bismillah, sebenarnya kedatanganku kemari untuk satu tujuan," ucap Pak Vino memulai.

Bagas terdiam, menunggu ucapan sang bos berikutnya.

"Maksudnya tujuan apa?" tanya Bagas.

"Kita sudah berteman sangat lama. Bahkan sejak kita masih remaja. Sebenarnya, aku sangat berharap persahabatan kita bisa berkembang menjadi sebuah keluarga. Karena itu, aku sangat senang saat anakku, Brayn, memberitahuku bahwa dia punya niat baik terhadap anakmu, Alina."

"Maksudnya ...." Bagas yang terkejut itu tak mampu berucap banyak. Ia bahkan mematung karena terkejut.

"Kamu pasti tahu Alina sudah seperti anakku sendiri. Dia yang menemaniku dan Resha saat kami berada di masa-masa sulit sejak hilangnya Byan. Aku sangat ingin menjadikannya sebagai bagian dari keluargaku. Kalau kamu setuju, insyaallah secepatnya kami akan datang untuk melamar Alina secara resmi."

Bagas terkejut. Sama sekali tak menyangka bahwa gadis yang selama ini disebut-sebut Brayn adalah putrinya.

Brayn kerap bercerita tentang gadis yang disukainya, meski secara tak langsung menyebut sebuah nama.

Bagas mengusap ujung matanya yang basah. Lalu, menarik napas dalam-dalam dan tersenyum.

"Sebelumnya, aku ucapkan terima kasih. Sejujurnya, aku benar-benar terkejut. Aku sangat tersanjung dan menghargai niat baik ini. Tapi, apa Bos yakin?"

"Insyaallah. Brayn pasti sudah memikirkan semuanya sampai menjatuhkan pilihan pada Alina."

Bagas menjeda dengan hela napas.

"Hanya saja, status Alina jauh di bawah kalian, kami hanya orang yang berasal dari keluarga biasa. Bagaimana pun juga status sosial kita tidak sama. Anakku mungkin akan dianggap memanfaatkan kedekatan orang tuanya untuk masuk ke keluarga ini."

"Tolonglah jangan bicara begitu. Kita sudah lama berteman dan aku benar-benar ingin persahabatan kita menjadi keluarga," sahut Pak Vino. "Aku tidak peduli apa kata orang. Lagi pula, Alina tidak pernah memanfaatkan apapun."

Bagas kembali merenung, selama beberapa saat ia larut dalam kebisuan.

Sejenak ia melirik Maya yang duduk di sisinya. Wanita itu pun sama diamnya.

Hingga akhirnya, Bagas memberanikan diri menatap sang bos.

"Maaf, Bos. Tapi, sungguh aku merasa tidak layak. Ada banyak gadis baik yang sepadan yang bisa memenuhi harapan itu. Aku benar-benar minta maaf, dengan berat hati, aku tidak bisa menerima niat baik ini. Tolong sampaikan permintaan maafku pada keluarga Hadiwijaya, terutama pada ... Brayn."

"Apa ada kekurangan dalam diri anakku yang mungkin tidak bisa kamu terima?" tanya Pak Vino setelah Bagas menolak lamarannya.

"Sama sekali tidak. Bagiku Brayn adalah laki-laki yang sangat baik. Tidak ada kekurangan apapun dalam dirinya." Bagas berucap pelan.

"Kalau begitu alasan apa yang membuatmu menolaknya?" Kali ini Gilang membuka suara. "Kamu pasti tahu seperti apa Brayn karena kamu sudah menjaganya sejak kecil."

Bagas mengangguk pelan, masih ada senyum tipis di sudut bibirnya.

"Karena aku sangat mengenalnya maka aku menolak. Aku yakin dia bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik, yang bisa memenuhi semua harapannya, yang bisa membangun keluarga sempurna dengannya. Sedangkan Alina ... dia tidak akan mampu memenuhi itu semua. Alina hanya akan jadi beban untuknya."

Tentu alasan tersebut tak semudah itu untuk diterima Pak Vino.

Jika dilihat dari luar, Alina mungkin bukan gadis sempurna yang masih butuh banyak belajar.

Tetapi, ia memiliki hati yang lembut dan tulus. Karena itu Pak Vino yakin bahwa Brayn mampu membawanya ke jalan yang lebih baik. Begitu pun sebaliknya.

"Beban apa maksudmu? Tidak akan ada yang membebani siapapun. Mereka akan saling melengkapi dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Brayn pun punya kekurangan."

"Bos, maafkan aku yang sudah lancang menolak. Bukan aku tidak menghargai. Tapi, aku benar-benar belum bisa melepas putriku. Maafkan aku."

Tak ingin memaksa, Pak Vino akhirnya pasrah.

Sepenuh hatinya bahkan berharap bahwa Bagas hanya sedang bercanda dengan penolakannya. Mengingat kedekatan Bagas dengan Brayn selama ini.

"Apa sama sekali tidak ada kesempatan bagi anakku?" tanya Pak Vino menatap lelaki yang duduk di hadapannya.

Sementara Maya sejak tadi hanya diam dan menunduk.

"Jodoh tidak ada yang tahu. Tapi, kalau untuk saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa." Bagas menghela napas panjang.

Pak Vino melirik Gilang seolah sedang meminta pendapat. Sepupunya itu hanya memberi isyarat dengan anggukan pelan.

Sebuah isyarat yang mampu ditangkap oleh Pak Vino dengan baik, agar dirinya tidak sampai memaksa atau membuat Bagas tidak nyaman.

Biarlah hal ini akan mereka bicarakan lagi di rumah dengan kepala dingin.

"Maaf, kalau kami terkesan terburu-buru. Sejujurnya, aku sangat senang saat Brayn memberitahuku bahwa dia memiliki niat yang baik terhadap Alina dan dia siap menikah. Karena itu aku tidak mau mengulur waktu dan memutuskan bertemu denganmu," ucap Pak Vino.

"Aku yang minta maaf untuk ini," balas Bagas.

"Kenapa harus minta maaf? Aku menghormati keputusanmu. Meskipun aku berharap Alina bisa menjadi anggota keluarga kami seutuhnya, tapi, kamu Ayahnya dan kamu berhak memilihkan jodoh untuknya."

Bagas mengangguk. "Terima kasih, Bos. Aku benar-benar tidak enak."

"Jangan dipikirkan. Semoga hal ini tidak mempengaruhi apapun. Alina tetap akan jadi anakku yang istimewa."

Bagas mengulas senyum. Tetapi matanya mengembun, seperti menyimpan sesuatu dalam hati.

Setelah pembicaraan panjang itu, Pak Vino dan Gilang beranjak meninggalkan rumah Bagas.

Mobil melaju pelan malam itu. Pak Vino duduk bersandar di sisi Gilang yang sedang mengemudikan mobilnya.

"Menurutmu apa ada penyebab lain yang membuat Bagas menolak lamaran kita?" Gilang melirik Pak Vino sekilas, lalu kembali fokus dengan jalanan di depan.

"Aku tidak tahu. Tapi, semua orang pasti punya kriteria calon menantu. Mungkin saja, ada dalam diri Brayn yang tidak disukai Bagas."

"Aku rasa bukan itu. Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan kejadian mereka terjebak di kamar hotel?"

"Tidak mungkin. Bagas bukan tipe orang yang mudah peduli dengan pendapat orang lain," imbuh Pak Vino.

"Kalau begitu kenapa?"

Pak Vino mengangkat bahu sambil membuang napas panjang.

"Aku tidak mau sembarang menebak, takut jadinya malah su'udzon."

"Ya, kamu benar."

"Yang sekarang aku pikirkan adalah bagaimana aku akan beritahu anakku kalau lamarannya ditolak? Dia pasti akan kecewa dan patah hati."

Gilang kembali melirik sekilas. "Bagaimana aku bisa tidak menyadari perasaannya terhadap Alina?"

"Aku juga hampir tidak menyadarinya. Baru tahu beberapa waktu lalu, saat aku berniat mengenalkannya dengan anak salah satu rekan bisnis kita. Dia menolak dan bilang sudah punya pilihan sendiri. Katanya, gadis itu adalah orang yang sangat dekat dengan kami. Siapa lagi kalau bukan Alina?"

Gilang mengangguk. "Apa Alina tahu? Kenapa Bagas tidak tanyakan dulu pada anaknya? Bagaimana kalau Alina punya perasaan yang sama terhadap Brayn?"

"Aku sudah pernah menanyakannya pada Alina."

"Lalu?"

"Dia pikir aku bercanda." Pak Vino tersenyum setelahnya. "Makanya aku langsung lamar, supaya dia tidak berpikir aku bercanda."

"Tapi malah ditolak."

Keduanya tersenyum kecut.

*************

*************

Bab 2

Kurang dari 30 menit mereka telah tiba di rumah. Brayn sedang fokus dengan laptopnya saat Pak Vino memasuki kamarnya.

Melihat raut wajah sang papa, Brayn telah menebak apa yang terjadi.

Pak Vino memang tersenyum, tetapi ada raut kecewa yang terlihat jelas dalam tatapan matanya.

"Ditolak," ucap Brayn menghela napas.

Pak Vino duduk di sisi putra sulungnya itu. Menepuk bahunya.

"Terkadang memang ada hal yang tidak sejalan dengan harapan kita. Termasuk jodoh."

Brayn mengangguk pelan. Ia mengulas senyum. "Tidak apa-apa, Pa. Setidaknya sudah mencoba."

"Benar, anakku. Setidaknya kamu sudah menunjukkan keseriusan. Jangan tersinggung dengan penolakan ini. Ayahnya Alina pasti sudah memikirkan semuanya."

"Iya, Pa. Aku ngerti. Aku sudah menebak kalau 90 persen akan ditolak."

Pak Vino terkekeh. "Kalau seyakin itu kenapa masih dicoba?"

"Tidak ada salahnya, kan? Siapa tahu yang jadi kenyataan yang 10 persennya."

Lagi, Pak Vino terkekeh.

"Lagi pula aku sudah tahu Om Bro pasti menolak. Dia suka aku untuk dijadikan teman, bukan untuk jadi menantu." Brayn menutup laptop setelahnya.

Setelah mengobrol sebentar, Pak Vino meninggalkan putranya seorang diri.

Brayn termenung di balkon kamar. Menatap taman rumahnya yang luas dan dihiasi lampu-lampu bercahaya keemasan.

Hingga akhirnya, nada pesan masuk terdengar dan berhasil mengalihkan perhatiannya.

Nama Om Bro muncul pada layar atas membuatnya segera membuka pesan.

"Maaf, Bro," tulis Bagas disertai gambar dua tangan mengatup.

**

**

Di sisi lain, Bagas menutup ponsel setelah mengirim pesan pada Brayn. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia mungkin telah mematahkan banyak hati.

Pertama, anak yang selama ini telah dianggapnya anak sendiri. Lalu, Pak Vino. Bos sekaligus sahabatnya sendiri.

Berusaha menekan rasa yang kian berkecamuk dalam hati, Bagas menatap pintu kamar putrinya. Memutar gagangnya pelan dan mendorong hingga terbuka setengah.

Alina tampak sedang duduk di kursi sambil menulis sesuatu pada sebuah buku.

Ketika Bagas masuk, ia menoleh dan berhenti. Lalu, memasukkan buku catatannya ke dalam laci.

"Muka Ayah kusut, jelek, tahu. Cintanya Ibu bisa berkurang kalau lihat Ayah manyun," ucap gadis itu tertawa pelan.

Bagas tersenyum dan memilih duduk di sisinya. Ia belai rambut panjang putrinya yang tergerai.

"Mau camping di taman belakang lagi? Berdua saja."

"Boleh, Ayah."

"Oh ya, sesuai permintaan kamu ... Ayah sudah tolak."

Alina mengulas senyum, lalu bersandar di dada sang ayah yang memeluknya.

"Terima kasih, Ayah. Maafkan aku," balasnya, menyembunyikan mata yang mengembun.

**

**

Pagi hari Alina terbangun dengan mata sembab dan wajah pucat. Dengan perasaan lemas, ia duduk bersandar di tempat tidur.

Memandangi pantulan dirinya dari cermin meja rias yang berhadapan dengan tempat tidurnya.

Seingatnya, semalam ia tidur di tenda dengan sang ayah saat berkemah di taman belakang rumah.

Namun, pagi ini ia berada di kamar. Seperti biasa, Bagas akan memindahkan dengan menggendongnya menuju kamar.

Bangkit dari pembaringan, ia beranjak keluar. Melangkah pelan menuruni tangga.

Saat berada di anak tangga terbawah, kakinya berhenti. Dari sana ia bisa mendengar suara ayah dan ibunya sedang berbicara.

Mulanya hanya pembicaraan singkat tentang keseharian mereka. Alina tersenyum dan hendak bergabung.

Memasang wajah paling ceria di dunia. Namun, seketika terhenti saat mendengar pembicaraan selanjutnya.

"Aku jadi tidak enak dengan Mbak Resha dan Mas Vino. Mereka sudah begitu baik pada kita, tapi sekarang kita malah membuat mereka kecewa," ucap Maya yang sedang membuat sarapan.

Sementara Bagas sedang duduk di kursi, menatap istrinya sambil menyeruput secangkir kopi.

"Mau bagaimana lagi. Ini sudah jadi keputusan Alina dan kita tidak bisa memaksa."

"Aku yakin Brayn benar-benar tulus terhadap Alina, tidak memandang dia anak siapa. Padahal ada banyak gadis baik dan sepadan dengan keluarganya. Dia juga seorang dokter, tapi dia mau menerima anak kita yang hanya gadis biasa."

"Siapa orangnya yang tidak mau punya menantu seperti dia? Aku banyak bertemu laki-laki, tapi tidak ada yang seperti Brayn."

Bagas tersenyum sambil meletakkan cangkir kopi ke meja.

"Semoga Brayn dan Alina bisa menemukan jodoh yang baik."

"Tapi, aku harus bagaimana sekarang? Mbak Resha memintaku menemaninya siang ini ke pondok Ustadz Yusuf. Aku tidak punya keberanian untuk memunculkan diri di hadapan mereka setelah kejadian semalam."

"Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Lakukan demi Alina saja. Bu Boss tidak akan mempermasalahkan itu."

Maya mengangguk dengan hela napas berat.

Sementara Alina yang masih berdiri di tangga termenung. Melihat kesedihan ayah dan ibunya, mana mungkin ia tega. Namun, ia tak memiliki pilihan lain.

Gadis itu segera kembali ke kamar dan merenung sepanjang pagi. Bahkan ia tak keluar kamar sampai Maya datang dan membawakan sarapan.

"Bu ... kenapa orang tua selalu ingin melihat anaknya menikah?" tanya Alina.

"Karena orang tua tidak akan tenang sebelum memastikan anaknya punya kehidupan yang baik dengan pasangannya. Menikah memang bukan akhir perjalanan, tapi awal perjalanan hidup yang sebenarnya. Kamu akan belajar dewasa, belajar menerima, belajar memberi."

"Seperti perjalanan Ayah dan Ibu?"

"Kurang lebih begitu. Tapi, perjalanan kamu harus lebih baik dari Ibu."

Ia mengulas senyum tipis. "Ibu bahagia sama Ayah?"

"Kalau tidak bahagia mana mungkin bertahan sampai puluhan tahun?"

"Tapi dulu Ibu dan Ayah sering bertengkar kalau Ayah pulang telat."

Maya tertawa kecil. "Kamu sering nguping?"

Alina mengangguk. "Orang suara Ibu terdengar sampai Merauke."

Maya kembali tertawa sambil merangkul putrinya. "Namanya orang berumah tangga pasti ada bertengkarnya, Nak. Itu hal biasa. Tapi, bertengkar itu bukan berarti tidak bahagia, kan?"

"Sesayang apa Ibu ke Ayah?"

"Sayang sekali. Tidak bisa digambarkan."

"Kalau antara aku dan Ayah ... Ibu lebih sayang yang mana? Kalau kehilangan, lebih sakit kehilangan aku atau Ayah?"

"Sama sakitnya. Kalau disuruh pilih, Ibu tidak mau kehilangan dua-duanya."

Alina membenamkan diri ke pelukan hangat sang ibu. Perasaan bimbang mulai memenuhi hatinya.

Setelah menghabiskan sarapan, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Vino dengan menumpang ojek online, padahal ia memiliki mobil pemberian Bu Resha di hari ulang tahunnya beberapa waktu lalu.

Niatnya ingin menemui kedua orang tua angkatnya itu untuk memberitahu bahwa dirinya lah yang sudah menolak, bukan ayahnya.

Ia akan memohon agar Pak Vino tidak marah terhadap ayahnya.

Saat memasuki rumah suasana terasa sepi. Dua orang yang dicarinya ternyata sedang menghabiskan waktu di taman. Menikmati pagi ini dengan merawat tanaman hias.

Bu Resha sedang memotong daun yang mengering, sementara Pak Vino menyirami dengan air.

Ada Bastian di sisi mereka yang terbaring di atas stroller bayi.

"Masih sedih, ya?" tanya Bu Resha melihat wajah suaminya masih murung.

"Aku hanya sedih dan kecewa karena Bagas menolak niat baik Brayn. Tapi, tidak aра-apa. Tidak akan ada yang berubah di antara keluarga kita. Aku akan menghormati keputusan Bagas."

"Padahal aku sangat menyayangi Alina dan ingin dia benar-benar jadi anggota keluarga kita." Bu Resha meletakkan gunting setelah memotong daun yang kering.

"Alina akan tetap jadi anak kita," imbuh Pak Vino.

Bu Resha mengangguk pelan.

"Ngomong-ngomong, Brayn ke mana pagi ini?"

"Katanya mau ke makam Oma buyut, lalu ke rumah sakit."

"Oh ya, semalam Brayn bilang padaku ada kemungkinan dia akan dipindah tugaskan sementara di luar kota. Dia masih memikirkannya."

"Tidak apa-apa kalau dia berangkat, Mas. Setidaknya, itu bisa sedikit mengalihkan perhatiannya. Aku melihatnya sedih pagi ini dan tidak biasanya dia begitu."

"Semuanya akan segera membaik." Pak Vino tersenyum sambil membelai puncak kepala Bastian.

***********

***********

Bab 3

Tanpa disadari Bu Resha dan Pak Vino, Alina yang berada di balik pilar sedang menitikkan air mata.

Rasa bersalah merasuk semakin dalam. Bertanya dalam hati apakah ia telah membuat banyak orang kecewa dan sedih.

Ia mengusap ujung matanya yang basah, lalu melangkah pergi tanpa menemui Pak Vino dan Bu Resha lebih dulu.

Sebuah rumah sakit tempat Brayn praktek adalah tempat yang dituju selanjutnya.

Namun, rupanya Brayn tidak berada di sana. Melainkan sedang mengikuti pemeriksaan kesehatan di sebuah sekolah.

Beruntung lokasi sekolah tersebut tak begitu jauh dari rumah sakit.

Hanya butuh waktu 20 menit Alina sudah tiba di sana.

Alina melangkah perlahan melewati koridor sekolah. Matanya melirik ke segala arah demi menemukan orang yang dicarinya.

Brayn tampak sedang memeriksa beberapa anak, sesekali menanyakan sesuatu pada mereka.

Dilihat dari arah manapun lelaki itu selalu hangat dan ramah. Ia bahkan menjadi pusat perhatian para guru wanita.

Alina harus menunggu berjam-jam sampai pemeriksaan untuk anak-anak selesai.

"Kamu akan menerima tugas untuk pindah ke luar kota?" tanya Siska, seorang dokter yang merupakan teman lama Brayn.

Alina mengenal gadis itu. Ia seorang dokter yang sangat cantik, lembut dan juga pintar.

Alina bahkan sempat mengira Brayn dan temannya itu memiliki hubungan spesial.

Siapa yang tidak akan jatuh hati dengan Dokter Siska. Sebagai seorang wanita ia sempurna.

"Sepertinya... sekalian cari pengalaman baru. Di desa sepertinya lebih enak. Kita akan lebih dekat dengan masyarakat. katanya di salah satu puskesmas belum ada dokternya."

"Heemm ... itu bagus, sih," imbuh Siska.

Pembicaraan keduanya pun terhenti saat pandangan Brayn tertuju pada seorang gadis yang berdiri tak jauh darinya.

Brayn sempat terkejut melihat keberadaan Alina, begitu pun dengan Siska.

"Itu Alina, kan?" tanya wanita itu, membuat Brayn mengangguk.

"Sebentar, ya. Aku temui dulu."

Siska mengangguk diiringi senyum. Ia menatap punggung lelaki yang perlahan menjauh darinya menuju sudut lapangan.

"Alina, kamu sedang apa di sini?" Brayn mendekat dan berdiri dari jarak dekat dengan gadis itu.

"Maaf, aku ganggu. Ada yang mau aku bicarakan," ucap Alina sedikit ragu.

Pandangannya menunduk dan tak berani menatap lelaki di hadapannya.

"Soal apa?"

"Kenapa kamu memilih aku? Bukannya ada banyak perempuan yang lebih baik di sekitarmu? Kenapa harus aku?"

Brayn tersenyum. Seperti biasa ia selalu tenang menghadapi situasi apapun.

"Karena aku tidak melihat yang lain di sekitarku. Hanya kamu."

Ingin rasanya Alina menangis, namun ditahannya.

Selama beberapa saat ia diam. Seperti sedang memilih kata yang tepat. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berkata...

"Kalah begitu, aku setuju menikah denganmu."

Apa yang diucapkan Alina membuat Brayn lebih terkejut lagi.

Selama beberapa detik ia bahkan tak sanggup mengucapkan apapun. Hanya matanya yang memandang mata gadis di hadapannya.

"Yakin?" tanya Brayn ragu.

Alina mengangguk pelan.

"Tapi aku punya sedikit syarat. Apa kamu bisa?"

"Apa syaratnya berat?"

"Tergantung."

"Ya sudah, apa itu?"

"Jangan menyentuhku sebelum aku mengizinkan."

Brayn terdiam menatap Alina. Napasnya serasa tertahan di rongga dada.

"Tapi, sebelum aku setuju, apa boleh aku tahu alasannya?" tanya Brayn menatap gadis di hadapannya.

"Karena aku belum mau! Aku juga tidak mau kita sekamar, jadi kita akan tidur di kamar terpisah. Apa kamu sanggup?"

Brayn mengangguk pelan. Ada senyum tipis di sudut bibirnya.

"Oke, tidak masalah."

Alina menatap sedikit heran. Bisa-bisanya Brayn menyanggupi syarat tidak masuk akal yang ia ajukan. Bahkan Brayn menjawab tanpa beban sama sekali.

"Apa kamu tidak keberatan dengan syaratku?"

"Aku berniat menghalalkanmu bukan semata sebagai pelampiasan syahwat. Tapi, sebagai pembuka jalan untuk menyempurnakan agamaku. Perasaan orang siapa yang tahu, kan?"

Alina tergugu. Ia menatap lelaki di hadapannya penuh ragu.

"Jadi kapan Papa boleh datang melamar lagi?" pertanyaan Brayn membuat kening Alina mulai berkeringat.

"Tunggu-tunggu! Aku masih ada syarat lain."

Dahi Brayn berkerut tipis mendengar ucapan sang gadis. Namun, ia tetap berusaha bersikap tenang.

"Apa itu?"

"Aku ingin pernikahan kita digelar sederhana dan hanya melibatkan keluarga saja. Tidak ada pesta meriah seperti pernikahan Zahra atau Mia."

Brayn tersenyum. "Kebetulan aku juga tidak suka pesta meriah dan lebih suka pernikahan sederhana. Aku akan bicara dengan Papa soal ini. Apa masih ada syarat lain? Kamu boleh memberi syarat apapun."

Alina terdiam beberapa saat, memikirkan matang-matang dalam hati jangan sampai salah langkah. Hingga akhirnya, ia kembali menatap pria jangkung di hadapannya.

"Aku mau kita membuat perjanjian sebelum menikah. Kita akan melalui masa percobaan selama 6 bulan. Kalau dalam 6 bulan kamu tidak bisa membuat aku jatuh cinta, maka kita akan bercerai. Kamu tidak boleh mencampuri urusanku begitu pun sebaliknya. Jadi, apapun yang kulakukan jangan tanya alasannya."

Deretan persyaratan panjang itu membuat Brayn terdiam selama beberapa saat.

Membuat Alina menyembunyikan senyum.

"Bagaimana? Kamu tidak sanggup?"

"Kalau aku menyanggupi bagaimana?" tutur Brayn santai. "Tidak masalah kalau mau dicoba dulu. Siapa tahu nanti kamu benar-benar jatuh cinta dan tidak bisa jauh dari aku."

Seketika senyum tipis di bibir Alina sirna.

Padahal ia sengaja memberi syarat yang sangat sulit agar Brayn berpikir lagi dan menemui orang tuanya untuk membatalkan niat untuk menikah.

Ia begitu yakin Brayn akan mundur, tetapi di luar dugaan, ia malah menyanggupi semua syarat aneh itu.

Alina menunduk. Sekarang ia malah harus terjebak di dalam labirin yang ia buat sendiri.

"Secepatnya Papa akan datang dan mengulang lamaran." Brayn masih tersenyum. "Tapi, sebelum itu aku juga ada permintaan kecil. Aku harap kamu tidak keberatan."

"Jangan minta macam-macam!" sentak Alina memasang sikap galak.

Brayn terkekeh. "Aku hanya minta supaya orang tua kita tidak tahu tentang kesepakatan yang akan kita buat. Biar saja mereka mengira hubungan kita baik baik saja. Mudah, kan? Kamu hanya perlu berpura-pura menjadi istri yang baik di hadapan mereka."

Alina kembali terdiam sejenak. Tangannya sibuk memainkan rambut.

"Oke! Deal!"

"Terima kasih."

*********

*********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!