Gyan Adriansyah. Seorang pemuda sukses dan tampan berusia 28 tahun. Memiliki pesona yang kharismatik dan berwibawa. Tinggi 182 cm, kulitnya putih bersih, mata berwarna kecoklatan. Tubuhnya tegap ideal serta dadanya yang bidang atletis. Status, single dengan jabatan seorang General Manager hotel legendaris bintang 5 yang terkenal milik kakeknya, hotel Nawasena. Sekaligus calon pewaris.
Di sebuah rumah sakit, tepatnya dikamar rawat inap VIP. Gyan duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya dengan santai dan menyenderkan punggungnya dengan nyaman pada sofa yang berada tepat menghadap ranjang pasien. Tempat dimana kakeknya berbaring dan menjalani perawatan medis akibat penyakit diabetesnya yang memburuk.
“Menikahlah dengan gadis itu,“ bujuk kakek untuk kesekian kali dengan suaranya yang parau.
Gyan memijat pelipis dan berpaling melihat jendela tertutup dengan tirai terbuka lebar. Ia menopang dagunya dengan telapak tangannya. Matanya menatap kosong pemandangan langit cerah di siang itu dari kaca jendela. “Kenapa kakek sangat berusaha membujukku agar aku menikah dengan gadis pilihan kakek?“
“Karena dia gadis yang baik.“
“Aku belum mau menikah, aku ingin fokus mengembangkan hotel legendaris milik kakek. Aku tak ingin hotel itu redup begitu saja.“
“Kau bisa mengelola hotel itu, bahkan kau juga bisa memilikinya. Asalkan…”
“Asalkan menikah?“ potong Gyan, “dengan gadis itu? Gadis yang tak pernah aku tau," sambungnya dengan hapal tanpa menoleh sedikitpun.
Kakek terkekeh pelan. “Kata siapa kamu nggak tau, kamu kenal betul gadis itu.“
Perkataan kakek berhasil memancing rasa penasaran. Gyan menoleh mengernyitkan alisnya dengan tatapan tajam menatap kakek. “Siapa?“
***
Jasmine Adisty Zahra, gadis berusia 25 tahun. Tinggi 158 cm, kulit bersih kuning langsat. Rambut hitam lurus dan tebal, panjang sepinggang. Matanya hitam, bulu matanya lentik dan juga panjang. Status pekerjaan, sebagai petani sayur dikebun miliknya dan juga kakek.
Ia adalah gadis desa yang dikenal sebagai bunga desa, karena kecantikannya yang begitu mempesona. Namun beberapa saat terakhir ini sang bunga desa itu telah mengalami nasib yang begitu sial dan masalah ini telah mengakibatkan nama baik serta keluarganya tercemar. Beredar sebuah video syur yang mirip siluet dirinya dan juga Rendy, sang kekasih yang sebentar lagi akan menjadi tunangannya.
Warga desa berbondong-bondong mengecam dan menggelar aksi unjuk rasa di depan rumah Jasmine, meski Jasmine telah membantah dengan keras bahwa dirinya tak pernah melakukan hal itu. Tak ada satu pun warga yang mempercayainya. Kecuali satu, yaitu sahabatnya yang bernama Nessa.
Meski begitu, tak ada hal yang bisa di lakukan sahabatnya karena tak memiliki dukungan kuat untuk membuktikan, serta banyaknya warga yang terlanjur tersulut emosi dan mengancam akan mengusir mereka. Tanpa menyelidiki lebih jelas kasus ini.
Pilihannya adalah, segera menikah atau pergi meninggalkan desa. Jelas Jasmine tak ingin menikah dengan cara seperti ini. Memilih menikah, sama halnya secara tidak langsung mengakui bahwa video palsu yang beredar itu adalah benar. Lebih baik hengkang dari desa itu untuk sementara waktu sampai bisa membuktikan ketidakbenaran video yang beredar.
Kesehatan jantung kakek juga tiba-tiba menurun akibat adanya masalah itu, yang membuatnya harus mendapat perawatan medis di rumah sakit. Jasmine beserta keluarganya terpaksa melarikan kakek ke rumah sakit yang berada di pusat ibukota. Mereka juga memilih menyewa rumah sederhana sebagai tempat bernaung.
Jasmine menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. Duduk termenung di kursi, didalam minimarket dekat rumah sakit. Ternyata cukup nyaman untuk menyendiri. Tak banyak orang yang berlalu lalang memasuki minimarket pada saat itu.
Jasmine memilih untuk duduk sejenak sembari menikmati kopi panas yang baru saja ia beli. Jika saja minimarket itu kondisinya mendadak ramai, maka ia akan memilih untuk beranjak dari sana. Jasmine tak terlalu suka keramaian kecuali… pasar. Pasar adalah tempat favoritnya.
Srup…
“Ah…” Jasmine menghembuskan napas hangat melalui mulutnya setelah menyeruput kopi Americano yang baru saja ia beli. “Nikmatnya…” ujarnya merasa lebih baik. Rasanya sedikit plong.
Saat sedang pusing karena beratnya masalah yang di derita, maka dengan menikmati secangkir kopi panas ini cukup bisa menenangkan pikirannya yang kacau. Ini adalah hal yang terkadang Jasmine lakukan selain meminum jamu-jamu tradisional racikannya sendiri.
Bagaimana bisa aku se-menderita ini? Batin Jasmine mengeluh.
Jasmine menatap layar ponselnya dan melihat satu-persatu foto-foto mesra dirinya dan juga kekasihnya saat mereka sedang bermain ditempat wisata. Foto-foto dengan gaya dan juga aksesoris bando yang unik membuat Jasmine tersenyum sendiri. Masih banyak kenangan lain yang tersimpan didalam ponselnya.
Ada rasa kesepian yang menyelinap dalam diam dihatinya. Sudah beberapa hari ini kekasihnya tidak dapat dihubungi. Terakhir kali, laki-laki itu mengatakan bahwa dirinya sangat frustasi akibat skandal buruk yang akibatnya mempengaruhi pekerjaan serta lingkungan sekitarnya. Ia mengaku butuh waktu untuk menyendiri.
Aku merindukannya. Apa yang sekarang sedang dia lakukan disana? Seandainya dia tau bahwa aku juga sama frustasinya, ditambah lagi tak ada kabar sedikitpun darinya seakan membuatku tak punya tempat bersandar untuk saling menguatkan. Cepatlah kabari aku... aku menunggumu.
“Ehm! Permisi…” suara bariton seorang pria cukup mengejutkan Jasmine hingga ia tersentak dan hampir saja menjatuhkan ponselnya.
“Eh? i, iya? Ada apa ya?“ ucap Jasmine tergagap.
Terlihat seorang laki-laki yang berusia kurang lebih seumuran dengan dirinya dan bersama dua orang temannya berdiri di hadapannya sambil tersenyum.
“Maaf ya bikin kamu kaget,“ ucap laki-laki yang di tengah, kedua temannya asyik senyum-senyum melihat sahabatnya yang sedang 'PDKT' alias pendekatan.
Jasmine hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Dari gerak-geriknya saja, Jasmine sudah bisa menebak apa maksud dari si pria ini.
Teringat saat dirinya berada didesa. Julukan sebagai kembang desa yang disandangnya bukanlah suatu hal yang membanggakan bagi Jasmine. Dia justru seringkali merasa tak nyaman karena hal ini sering terjadi. Sering didekati dan diajak kenalan oleh berbagai macam pria asing, dari yang muda sampai yang tua. Terkadang ia seperti orang yang diteror melalui pesan anonim. Terkadang juga berbagai macam barang dikirim ke rumahnya agar bisa mendapatkan hatinya.
“Boleh kenalan?“
Tuh, kan? Batin Jasmine dengan tebakan tepat.
“Ah… maaf ya mas, nggak bisa. Aku sudah punya tunangan soalnya,“ tolak Jasmine dengan senyum manis dan nada yang halus.
Namun tak disangka, bukannya para pria itu tau diri dan pergi. Malah ekspresi mereka justru berubah drastis. Senyum manis yang sejak tadi mereka tampilkan telah berubah menunjukkan wajah asli mereka. Garis bibir itu memudar menjadi ekspresi malas namun juga sinis.
“Mana? Nggak ada cincin apa pun tuh, di jari kamu! Memang dasarnya aja jual mahal. Jadi cewek jangan sok jual mahal deh! Nggak laku nanti!“ ujar pria yang mengajaknya kenalan. Kedua temannya mendengus dan menyunggingkan sudut bibirnya dengan sinis serta tatapan merendahkan.
Menyebalkan! Umpat Jasmine dalam hati.
Memang tak ada cincin yang melingkar di jemari Jasmine. Rendy seorang guru honorer yang mengajar murid SMA. Bayarannya tak seberapa dan dia mengaku kesulitan menabung. Namun dia berjanji akan memberikan cincin pertunangan mereka tepat beberapa hari sebelum melangsungkan pertunangan mereka. Ia mengaku akan berusaha demi dirinya.
Jasmine memaklumi hal itu. Dan untuk acara pernikahan mereka. Rendy berencana melakukannya di kantor KUA saja. 'Meski pernikahan kita dilangsungkan secara sederhana, tapi rasa cintaku untukmu jauh lebih besar dari kata sederhana,' begitulah katanya.
Jasmine merasa mulai kesal. Sedang enak-enaknya menikmati secangkir kopi agar pikirannya yang kacau bisa lebih jernih tapi yang datang justru pengganggu yang menambah kekacauan dipikirannya.
“Terserah kalian mau bilang apa. Aku merasa terganggu. Jadi, tolong menjauh lah dari sini,“ ucap Jasmine sinis.
Jasmine kembali menyeruput kopinya yang masih mengepul tanpa memedulikan ekspresi mereka yang semakin kesal. Pria itu bahkan tak ingin menyingkir dari hadapan Jasmine. Tapi justru duduk di kursi kosong yang berada disebelahnya. Ditambah kedua temannya yang tak mau ketinggalan pun ikut duduk disebelah satunya. Jasmine di apit oleh ketiga laki-laki brengsek.
Salah satu temannya tiba-tiba berkata “Wajah-wajah pelacur aja sok jual mahal.“
Dasar brengsek! Umpat Jasmine dalam hati. Ia mulai geram namun berusaha untuk menahannya.
Salah satu temannya ikut tertawa bersama pria yang mengajaknya kenalan. Pria yang mengajaknya berkenalan tiba-tiba menyeret kursinya agar lebih dekat dengan Jasmine.
“Biasa dibayar berapa? Pasti murah. Boleh kan, kita sewa semalam buat giliran bertiga? Pasti suka. Kita bertiga nggak akan bikin kamu kecewa, deh. Yang ada malah bikin kamu ketagihan. Gimana?“ ucapnya menyeringai lebar di iringi tawa kedua temannya.
“Hahaha… kalo di lihat-lihat sih, body-nya lumayan juga. Asyik nih,“ timpal temannya.
Jasmine sudah menahan kesabarannya sejak tadi. Padahal beban pikirannya masih terasa sangat berat sampai rasanya mau meledak. Perasaan marah, kecewa, sedih yang masih coba ia pendam selama beberapa hari, kini seolah bergejolak bagai gunung yang ingin memuntahkan lahar panasnya.
Mereka sudah melewati BATAS. Jasmine tak akan membendung luapan perasaannya yang sudah tak tertahankan lagi. Siapa suruh cari gara-gara pada orang yang sedang kacau.
Jasmine mengepalkan tangannya sekeras mungkin hingga gemetar. Amarahnya seakan menjalar cepat hingga naik ke ubun-ubun. Dan…
Byur!
“Dasar bajingan keparat!!“ sentak Jasmine. Suaranya yang menggelegar bagai petir berhasil memecah suasana di minimarket.
Kopi panas itu mendarat tepat di wajah pria brengsek yang baru saja melecehkan dirinya secara verbal. Jasmine bangkit dari kursinya dan mundur menjauhi mereka. Sementara laki-laki itu berteriak merasakan panas dan perih di wajahnya. Satu temannya langsung menghampiri penuh kekhawatiran.
“Aaakkhhh!! Dasar jalang!“ Teriak laki-laki itu sambil mengerang kesakitan.
“Laki-laki brengsek sepertimu seharusnya disiram air panas lebih banyak! Tidak! bukan hanya itu. Seharusnya aku menenggelamkan mu saja sekalian ke neraka!“ sergah Jasmine meluapkan seluruh amarahnya.
Napasnya memburu cepat. Tangannya masih gemetar seakan ingin membalasnya lebih dari ini. Bahkan kalau perlu, ia ingin sekali menghajarnya habis-habisan. Laki-laki yang paling dia benci adalah laki-laki yang suka merendahkan dan melecehkan perempuan dengan mudahnya. Seolah hal itu adalah hal yang pantas dilakukan. Tidak sadarkah bahwa mereka juga lahir dari rahim seorang wanita?
Teman satunya yang berdiri dibelakang Jasmine menjambak rambutnya hingga tubuh Jasmine ikut terhuyung kebelakang. “Hei sialan! Berani-beraninya kau!“
“Akh!“ Pekik Jasmine refleks sambil memegangi cengkraman pria itu. Jasmine lupa bahwa masih ada salah satu bagian dari mereka yang berdiri dibelakangnya. Namun hal tidak terduga juga tiba-tiba saja terjadi.
Bugh! Suara dentuman terdengar empuk dari belakang.
Tiba-tiba saja ada sebuah tendangan keras mendarat tepat sasaran…
Pria yang mencengkram rambut Jasmine tiba-tiba terhuyung. Seseorang dengan teknik beladiri yang jitu berhasil menendang kepala pria itu sampai tumbang dalam sekejap. Cengkraman tangannya melemah seiring hilangnya kesadaran dan terlepas dari rambut Jasmine.
Bruk! Pria itu ambruk.
Jasmine menoleh seketika dan ia tercengang hingga mulutnya terbuka lebar. Siapakah gerangan yang menumbangkan bedebah itu dengan satu serangan? Ternyata bukan hanya dia yang tercengang. Dua pria brengsek yang tersisa serta beberapa orang penonton yang penasaran didalam minimarket itu pun ikut tercengang menatap kebolehan sang pahlawan yang tiba-tiba muncul.
Pria dengan setelan formal berdiri dihadapan Jasmine. Celana hitam serta kemeja putih yang dibalut dengan vest dan dasi berwarna dark grey. Pria itu terlihat tinggi dengan tubuh proporsional. Penampilannya benar-benar memukau seperti melihat artis didepan mata. Wajahnya juga sangat tampan rupawan hingga mampu menghipnotis pandangan orang-orang disekitar. Namun disisi lain ia terlihat dingin. Tak ada senyum mengulas di bibirnya. Sorot matanya tajam menatap dua bedebah yang masih tersisa.
“Minta maaf, atau ku bunuh?“ ancamnya.
Bu-bunuh? Pria ini sepertinya agak berlebihan. Batin Jasmine.
Glek!
Jasmine menelan ludah. Pria ini benar-benar memiliki aura yang sangat kuat. Tatapannya yang tetap konsisten tajam seperti sebuah pedang yang siap menghunus target dihadapannya. Serta atmosfer disekitarnya seolah menebarkan hawa yang menegangkan. Dia pria serius tanpa basa-basi.
Dua bedebah itu, meski merasa gentar atas ancaman singkat, namun mereka tetap menjaga harga diri mereka. Tak ingin terlihat seperti pengecut. Maka dari itu, mereka tetap memantapkan diri untuk menyerang pria yang baru saja menumbangkan teman mereka.
“Brengsek! Kita habisi dia!“ seru mereka mencoba melayangkan serangan secara bersamaan.
Bugh!
Satu tonjokan mendarat cepat membuat temannya tumbang. Dan untuk bedebah terakhir, pria misterius itu mengunci tangannya kebelakang serta membuatnya bertekuk lutut di hadapan Jasmine. Dia bedebah brengsek yang pertama mengajak Jasmine kenalan. Raut wajahnya terlihat sangat kesakitan seakan tangannya sudah siap untuk dipatahkan.
“Minta maaf!“ perintah pria misterius itu.
“Aakh! Baiklah, baiklah, aku minta maaf! Lepaskan aku!“ ucapnya tak tulus sembari mengerang kesakitan.
“Ku lepaskan jika dia menerima maaf mu.“
“Apa?? Yang penting kan aku sudah minta maaf! Dia bahkan sudah menyiram kopi panas di wajahku!"
Pria itu me-melintir tangannya lebih kencang hingga bedebah itu teriak kesakitan hampir menangis.
“Aaaakhh! Tolong, tolong, aku minta maaf, aku mohon. Tolong maafkan kesalahan ku,“ ujarnya sambil memohon karena kesakitan.
Jasmine menatapnya sinis. “Aku tidak akan memaafkan laki-laki bermulut kotor seperti mu."
“Apa?? Dasar cewek sia…”
Bugh!
Pria itu langsung memukulnya hingga pingsan sebelum menyelesaikan umpatannya.
“Akan ku hubungi polisi,“ pria misterius itu langsung mengeluarkan ponsel hitamnya. Menelpon polisi dan berbicara singkat sambil memanggil dengan nama akrab. Sepertinya, polisi yang ia hubungi adalah kenalan dekatnya, tak lama kemudian ia menutup telpon.
“Polisi akan segera datang dan meminta keterangan darimu. Aku ada urusan, jadi aku akan pergi. Banyak saksi mata yang akan mendukungmu. Lain kali jaga dirimu baik-baik,“ pamit pria misterius itu dengan cepat meninggalkan tempat. Sekilas sorot matanya menampakkan kekhawatiran.
Aneh... kenapa aku merasa seakan pernah kenal ya? Apa cuma perasaanku saja? Batin Jasmine.
Jasmine mengejarnya hingga keluar dari minimarket. Sementara kasir pria dan beberapa pelanggan berinisiatif langsung mengikat para bedebah itu.
“Tunggu!“
“Ada apa?“ pria itu berhenti mendadak hingga Jasmine hampir menabraknya. Ekspresinya begitu datar.
“Terimakasih.“
“Sama-sama,“ jawabnya singkat. Cukup membuat Jasmine merasa canggung.
Menyadari pria itu tak membawa apapun dari minimarket itu. Jasmine menebak, mungkin tadinya dia mau membeli sesuatu tapi tak jadi karena menolongnya, ditambah dia juga terlihat buru-buru.
“Mau saya belikan sesuatu? Sepertinya anda tak sempat membelinya,“ ucap Jasmine menawarkan.
“Ah, nggak perlu.“
“Saya merasa berhutang budi kalau anda menolak. Sebutkan satu saja, saya akan membelinya sebagai rasa terima kasih.“
Pria misterius itu terdiam mencoba untuk mempertimbangkan. “3 menit. Lewat dari itu, aku pergi.“
“3 menit? Oke! Apa itu?“
“N Coffe Latte dingin.“
“Oke!“ jawab Jasmine mantap dan langsung berlari kencang memasuki minimarket. Kurang dari 3 menit dia sudah keluar membawakan minuman dingin yang di inginkan pria itu.
“Thanks. Aku harus pergi sekarang. Ada urusan penting,“ ucap singkat pria itu.
“Iya, baiklah. Sekali lagi terimakasih dan maaf mengganggu waktu anda,“ ucap Jasmine sedikit membungkuk sambil tersenyum.
Dia benar-benar kaku sekali. Batin Jasmine.
Pria itu menatap Jasmine sejenak dengan sorot mata yang sulit diartikan sebelum meninggalkannya. Jasmine sempat merasa bertanya-tanya pada dirinya, apa ada sesuatu yang terlihat aneh? Seperti ada hal yang janggal saat pria itu memandangnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan dirinya yang masih berdiri penuh tanya. Jasmine lagi-lagi menepis pikirannya, tak ingin berprasangka yang aneh-aneh.
Drrttt… ponsel Jasmine tiba-tiba bergetar saat punggung pria itu terlihat semakin menjauh. Jasmine melihat nama panggilan yang tertera dilayar.
Nessa?
“Ya? Hallo Nes.“
“Miiin! Ada berita besar!“ seru Nessa diseberang sana.
Jasmine mengernyitkan sudut alisnya penasaran. “Ada apa?“
“Tapi aku ragu, berita ini pasti akan sangat menyakitkan untukmu."
Jasmine semakin dibuat penasaran. “Nggak apa-apa, ceritakan saja.“
“Emm… ini tentang Rendy…”
“Ya? Ada apa dengan Rendy? Kalau itu tentang dia, kenapa dia nggak menyampaikan langsung dan menghubungi ku?“
“Dia nggak akan bisa menghubungi kamu, Min. Mungkin juga untuk waktu yang sangat lama.“
Jasmine merasa heran dan penasaran yang semakin meningkat dipikirannya. Firasatnya mengatakan akan ada hal yang buruk yang akan ia dengar. “Loh? Kenapa? Ada masalah apa dengan Rendy? Apa dia baik-baik saja? Ada apa sih?“
“Gini, Min… kamu yang tabah ya? Sebenarnya… em… Rendy di tangkap.“
“Ditangkap siapa?“ sahut Jasmine dengan cepat.
“Po-polisi.“
“Apa??“
Bak petir menyambar di siang bolong. Berharap ini bukanlah berita sungguhan. Semoga hanya prank. Jantungnya mulai berdegup semakin kencang hingga menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran yang mulai menguasai dirinya.
“Ke-kenapa? Apa gara-gara video itu? Nggak mungkin kan, warga memenjarakan Rendy gara-gara video yang mirip dia? Rendy sendiri yang bilang padaku kalau itu bukan dia. Iya, kan, Nes?“
“Gini Min, em…”
Jasmine memotong pembicaraannya.“Nggak Nes, nggak mungkin. Mereka ngga bisa gitu dong! Buktinya kan, belum jelas. Setelah kesehatan kakek lebih baik, aku pasti akan mengumpulkan bukti secepatnya. Mereka pasti main hakim sendiri. Aku harus kesana!“
“Min! Dengerin aku dulu!“
Emosi Jasmine mulai memuncak namun matanya mulai berkaca-kaca. “Dengerin apa?? Itu semua nggak benar! Bahkan aku juga nggak pernah melakukan hal itu sama Rendy.“
“Iya, aku percaya. Masalahnya Rendy yang nggak bisa dipercaya Min! Laki-laki di video itu beneran Rendy dan si perempuannya kamu tau siapa?? Perempuan itu muridnya sendiri! Orang tua dari pihak perempuan tidak terima dan melaporkan kejadian itu. Gadis itu sudah hamil dua bulan. Dan parahnya lagi, itu bukan kehamilan pertama. Gadis itu sudah pernah hamil dan digugurkan diam-diam yang didalangi oleh Rendy. Mereka mengaku melakukannya atas dasar suka sama suka. Ayo-lah Min. Sadarlah...“
Perasaannya seperti dibanting dari ketinggian ujung awan kemudian jatuh menghantam bumi dan hancur berkeping-keping. Jasmine terdiam tak bergeming sama sekali. Matanya menatap nanar. Bibir ranumnya mulai bergetar. Pikirannya menjadi lebih kusut. Banyak pertanyaan serta luapan perasaan yang tiba-tiba ingin diungkapkan. Namun tak sepatah kata pun mampu ia keluarkan dari bibirnya.
Tatapan matanya bergerak liar seolah kebingungan sedang melanda dirinya. Pandangan matanya kabur akibat air mata yang menggenang memenuhi bola mata indahnya. Napasnya sesak. Namun juga sakit. Tenggorokannya tercekat seperti sesuatu yang besar sedang menyumbat dan tersangkut disana..
Jasmine tak mampu menanggapi panggilan dari sahabatnya. Meski berkali-kali sahabatnya terus memanggilnya penuh rasa khawatir. Jasmine terduduk. Lututnya terasa lemas seakan tak mampu menopang tubuhnya. Tangisnya mendadak pecah dan air matanya mengalir deras membasahi pipi.
Bagaimana bisa kau melakukan itu padaku dengan begitu kejam? Batin Jasmine.
Beberapa orang dari dalam minimarket yang melihat Jasmine begitu terpukul hingga terduduk lemas membuat mereka berbondong-bondong menghampirinya dengan rasa iba dan coba menenangkan Jasmine. Mereka berpikir jika penyebab ia menangis adalah efek trauma karena diganggu para berandalan tadi.
Tangisannya justru semakin pecah dan menangis sejadi-jadinya saat ibu-ibu mulai merangkul menenangkan dirinya. Tak ada sepatah kata apapun yang sanggup terucap pada saat itu. Hanya air mata pilu lah yang mampu mencurahkan segala yang ia rasakan.
***
Di hotel bintang lima, hotel Nawasena.
Didalam ruang kerja pribadinya. Gyan menatap sebuah foto seorang gadis desa yang tersenyum ceria memakai seragam SMA sambil membawa beberapa bunga Chrysant dalam genggaman dihalaman rumahnya. Gyan menghela napas dalam-dalam seraya menaruh foto itu dalam laci meja kerjanya.
Teringat dengan pertemuan dirinya beberapa jam yang lalu di minimarket. Suatu kebetulan yang jarang terjadi. Seakan takdir telah mengaturnya dengan baik. Bahkan ia sempat merasa cukup terkejut dengan pertemuannya barusan. Sudah lama sekali dan tanpa sengaja ia dipertemukan lagi dengan gadis itu.
Ada debaran aneh yang mengusik perasaannya ketika secara tak sengaja menatap gadis itu sebelum memasuki minimarket. Terlihat dibalik kaca transparan gadis itu sedang duduk tenang menikmati secangkir minumannya.
Namun hal yang aneh juga terjadi ketika tiga orang laki-laki melewatinya sambil membicarakan ingin berkenalan dengannya dan melakukan hal yang buruk. Amarah yang begitu besar secara cepat menjalar menguasai dirinya. Ia tak bisa jika tak melakukan sesuatu untuk melindunginya.
Gyan menyandarkan punggungnya dengan pasrah dan memposisikan dengan nyaman. Pandangannya sedikit menengadah menatap langit-langit ruang kerjanya. Pikirannya melayang pada masa beberapa tahun silam saat dirinya berusia 8 tahun.
Saat itu usia Jasmine berusia 5 tahun. Gyan bisa mengingat dengan jelas bahwa itu adalah pertama kali ia mengenal Jasmine, yang tak lain adalah cucu dari sahabat baik kakeknya.
Setiap setahun sekali. Selama itulah setiap kali ia libur panjang disekolah nya. Keluarganya selalu mengunjungi kampung halaman kakeknya. Namun semenjak sang nenek meninggal, keluarga Gyan membawa kakek ke kota untuk tinggal bersama mereka serta menjalani beberapa serangkaian perawatan medis untuk tetap menjaga kesehatan kakek.
“Gadis itu. Dia adalah anak nakal yang selalu menggangguku saat aku masih kecil,“ gumam Gyan.
Gyan menatap meja kerjanya. Terdapat sebuah bingkai foto penampakan hotel legendaris yang tengah ia kelola saat ini. Mata elangnya tertuju pada foto itu sekarang. Gyan meraih bingkai foto itu. Kemudian ia membuka kembali laci dimana ia menyimpan foto Jasmine pemberian dari kakeknya.
Kakek sempat beralasan bahwa foto itu dikirimkan melalui pos. Awalnya Gyan sempat mempercayainya, namun melihat kebetulan yang terjadi saat mereka bertemu membuat pikiran Gyan menemukan sesuatu yang ganjal. Kakeknya berbohong. Ia pasti meminta langsung dari sahabatnya. Mungkin saja anggota keluarga Jasmine sedang berada dirumah sakit ini sehingga mereka bisa bertemu dan kakek meminta foto cucu sahabatnya. Insting Gyan cukup tajam.
Sejak ibunya mulai mencarikan jodoh untuk Gyan. Kakeknya juga tak mau kalah antusias menjodoh-jodohkannya dengan cucu sahabatnya.
Gyan mensejajarkan kedua foto itu di kedua tangannya dan kembali bergumam, “Untuk mendapatkan hotel yang selama ini ku perjuangkan ternyata 'kuncinya' ada di kamu?“
Gyan menatap kedua foto itu secara bergantian. Senyuman tipis tersungging jelas pada salah satu sudut bibirnya. “Sepertinya aku terpaksa harus mendapatkan mu dengan segala cara, apakah ini bisa disebut juga kesempatan emas untuk balas dendam?“
***
Jasmine seperti manusia yang hidup tanpa ruh. Pandangannya kosong. Matanya sembab dan sedikit pucat dengan kantung mata hitam yang terlukis jelas di wajahnya yang sendu. Seakan awan mendung berada tepat diatas kepalanya. Wajahnya terus terlihat muram. Bahkan ia yang dikenal sebagai anak yang periang, kini menjadi anak yang sangat pendiam.
Jasmine melamun seraya menatap jendela kamar kakeknya dirawat. Tatapannya nyalang dan masih tak henti mempertanyakan dalam hati 'mengapa dia tega melakukan hal itu padaku? Apa salahku?' pertanyaan yang masih belum mendapatkan jawaban apapun. Namun terus saja menggoreskan luka yang semakin dalam. Membuatnya semakin sesak.
Ponselnya berdering untuk yang kesekian kali. Sahabatnya terus berusaha menelponnya. Banyak pesan masuk dari Nessa yang ia abaikan begitu saja. Sahabatnya terus mengirimi bukti-bukti kelakuan bejat Rendy. Jasmine malas untuk menanggapi telpon dari sahabatnya. Bagaimana tidak, hampir setiap hari sahabatnya selalu mengadukan semua kelakuan Rendy yang terungkap satu persatu melalui telpon tanpa henti hingga berjam-jam. Rasanya seperti menjejalkan kenyataan pahit ke dalam mulutnya hingga ia sulit untuk menelan. Terlalu sesak.
Jasmine ingin sekali mendengar pengakuan langsung darinya. Jika harus sakit. Maka biarlah sakit sekalian. Agar dirinya bisa benar-benar sadar untuk tak berharap lebih pada seseorang yang pernah menjadi mimpi masa depannya.
“Jasmine?“ Suara parau dengan nada lembut memanggil namanya. Namun Jasmine tak kunjung menyadari.
Cucu kesayangannya kembali meneteskan air mata. Tetesan yang mengalir terasa hangat membasahi pipi. Bibirnya terkunci tanpa isak tangis. Namun air mata itu terus menggenangi mata indahnya.
“Jasmine?“ panggilnya untuk yang kedua kali. Namun kali ini sang kakek turun dari ranjangnya dan menyeka air mata di pipi cucu kesayangannya.
Jasmine tersentak hingga refleks ikut menyeka air matanya dengan cepat. “Oh kakek? Kapan kakek bangun?“
“Hehe… barusan. Kenapa kamu masih terus menangisi laki-laki itu?“
“Jadi kakek sudah tau ya?“
“Tentu saja kakek tau, mana mungkin kakek nggak tau apa-apa tentang cucu kesayangan kakek.“
Jasmine menunduk menahan air mata yang ingin kembali menetes. Namun pada akhirnya tetap gagal juga. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan kembali terisak. Walau disisi lain hatinya terus mengutuk dirinya 'kenapa cengeng banget sih?!' tapi apa daya, jika air mata ini memang sulit tertahan. Kakek berusaha untuk menenangkannya dengan membelai lembut kepalanya menunggu cucunya tenang.
Dengan sabar kakek menunggunya selama beberapa menit berlalu. Perlahan Isak tangis itu mereda hingga suaranya kembali stabil. Kakek membuka segel botol air minum dan membuka tutupnya. Ia menyodorkan kepada Jasmine agar langsung meminumnya. Jasmine menyambutnya sambil tersenyum.
“Sudah tenang?“ tanya Kakek sambil menunjukkan senyumnya.
Jasmine menghela napasnya dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. “Sudah,“ jawab singkat.
Jasmine sempat bertanya-tanya tentang reaksi kakeknya yang terlihat tenang saat kondisinya sedang down. Tanpa basa-basi Jasmine langsung mengutarakan pertanyaannya pada kakek. “Kenapa kakek menanggapi nasib yang menimpaku dengan santai? Apa kakek nggak merasa sedih?“
Kakek justru terkekeh. “Hahaha… tentu saja kakek sedih. Kakek sedih melihat air matamu terkuras sia-sia karena laki-laki yang nggak pantas buat kamu. Tapi untungnya dia nggak berjodoh dengan kamu. Dari awal, kakek memang punya firasat buruk tentang dia.“
Jasmine menangapi dengan senyuman pahit. “Firasat kakek tepat sasaran kalau begitu.“
“Kalau begitu cepatlah berhenti menangisinya, itu tidak akan ada gunanya. Sedangkan dia disana malah memikirkan gadis lain.“
“Aku pasti akan melupakannya kek, hanya soal waktu. Saat kembali kerumah nanti aku akan kembali mengurus perkebunan. Aku akan menyibukkan diri dengan membuka warung makan. Masih banyak hal yang bisa ku kerjakan agar pikiran ku ter-alihkan.“ ucap Jasmine menyemangati diri.
Tiba-tiba sang ibu datang dengan wajah kesal hampir menangis sambil menjewer telinga suaminya. Ayah adalah putra pertama dari kakek. Ibu memotong pembicaraan mereka secara tiba-tiba saat memasuki kamar rawat inap.
“Kita tidak akan pulang dan mendapatkan perkebunan itu lagi!“ ucap ibu mengalihkan pembicaraan mereka.
Sontak saja hal itu sangat mengejutkan bagi kakek dan juga Jasmine. Jasmine bangkit dari kursinya.
“Apa?“ tanya Jasmine tak percaya.
Ayah nampak meringis kesakitan hingga akhirnya ibu melepaskan tangannya. Ayah masih tak berani menatap putri semata wayangnya, serta kakek yang berada disampingnya. Jasmine dan kakek menatap penuh tanya akan kejelasan kata-kata barusan.
Ibu memukul ayah. “Ayo ngaku sama mereka! Bisa-bisanya membuat masalah disaat seperti ini!“ bentak ibu mendesak ayah.
Ayah hanya menunduk dalam-dalam penuh rasa bersalah. Bibirnya seolah berat mengucap kejujuran. Namun Jasmine mendekat menggoyang-goyangkan lengan ayahnya. Berharap masalah yang datang kali ini bukanlah masalah besar.
“Ayah! Sebenarnya ada apa?“
Kakek pun ikut maju mendekati wajah putranya yang masih tak berani menatapnya. Pasalnya, kakek tau betul bagaimana tabiat putranya.
“Kau membuat masalah apalagi sampai menyusahkan anak dan istrimu? Jawab Yuda!“ desak kakek dengan tatapan sinis.
Ayah semakin merasa bersalah dan semakin tak berani menatap mereka. Bibirnya semakin terkunci rapat tak berani mengungkapkan. Hal itu tentu saja membuat ibu menjadi gemas. Pada akhirnya ibu-lah yang menjelaskan kesalahan ayah.
“Dia… berhutang dengan si kades itu mulai dari dua tahun lalu dan merahasiakannya dari kita. Ayahmu dengan cerobohnya menandatangani perjanjian tanpa membacanya dengan teliti bahwa jumlah bunganya sangatlah besar. Pada akhirnya dia menyerahkan rumah dan juga tanah perkebunan satu-satunya yang kita miliki sebagai jaminan untuk melunasi hutang-hutang itu,” ucap ibu gemetar. Ia meremas rambutnya yang acak-acakan. Betapa frustasinya. “Haahhh… dia membuatku gila” keluh ibu.
Mendengar penjelasan mengejutkan itu membuat mata kakek dan Jasmine membelalak lebar. Kakek tak bisa berkata apa-apa. Saking syok-nya dan sulit menerima kenyataan yang terjadi, kakek sampai hampir pingsan dan tubuhnya terhuyung. Beruntung Jasmine langsung merangkul tubuh ringkih kakeknya.
“Kakek! Ya ampun, ibuk tolong bantu aku,” pinta Jasmine, takut tak mampu menahan tubuh kakek. Ibu langsung menanggapi permintaan Jasmine. Sedangkan ayah, ia juga ingin menolong namun kakek menepis tangannya dengan kasar agar tidak menyentuhnya. Seakan tak sudi.
Mereka membantu kakek berbaring di ranjang pasien. Jasmine mencoba membantu menenangkan kakek dengan meminta kakek untuk mengatur pernapasannya agar lebih tenang selama berulang kali. Sedangkan ibu tak henti-hentinya menghujani ayah dengan tatapan sinis dan tajam. Ayah tak bisa berkata apa-apa, hanya diam tertunduk.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!