"Apa? Nikah? Sama siapa, Ma?”
Nada suaraku naik dua oktaf, dan aku yakin kalau detik itu juga, jantungku baru saja kehilangan iramanya."
Mama mengangguk tenang sambil menyesap teh hijaunya.
“Dengan pamanmu. Lebih tepatnya, pamannya Farel, CEO tempat kamu magang itu, lho.”
Aku menatap Mama dengan sorot penuh tidak percaya.
“Yang bener aja, Ma. Aku masih dua puluh dua tahun. Baru lulus. Belum kerja tetap, belum sempet ngapa-ngapain! Masa disuruh nikah?” aku tak mempedulikan lagi suaraku yang ngegas seperti motor 2 tak.
“Justru karena kamu belum terlalu banyak terikat, ini momen yang pas.” jawab mama dengan santuy-nya.
Aku memijit pelipis. Mencoba mengingat dengan keras, paman siapa yang dimaksud. Farel, cowok itu, senior waktu kuliah yang sekarang jadi bosku, memang kaya raya, ganteng, tapi dinginnya minta ampun. Pernah sekali aku mendengar dia bicara tentang pamannya. Katanya, pemilik utama perusahaan tempat kami bekerja. Tapi...kok bisa harus nikah? Sama dia?
“Pamannya itu... yang rambutnya ada uban sedikit di pelipis, yang suka datang ke kantor pakai jas hitam dan jam tangan mahal itu?” tanyaku dengan suara parau dan menegaskan lagi.
Mama tersenyum bangga.
"Tuh kan, kamu tahu juga. Namanya Arka Pratama. Duda, belum punya anak. Masih muda. Baru tiga puluh lima tahun, gak tua-tua amatlah," ucap mama.
Tiga puluh lima? Hampir dua kali umurku. Aku hampir tersedak napas sendiri.
“Aku bukan barang buat dipaketin gitu aja, Ma!” aku masih tidak terima dengan usulan untuk menikah, apalagi dengan orang yang usia jauh di atasku.
“Tapi kamu tahu kan keadaan Papa? Kita butuh biaya buat pengobatan. Kamu sendiri lihat surat-surat tagihan itu.” Mata Mama mulai memerah.
“Dan paman Arka itu... dia bersedia bantu semua pengobatan Papa kalau kamu mau menikah dengannya.”
Aku menunduk. Hening. Sakit kepala, dada sesak. Bukan karena Arka-nya, tapi karena pilihan yang mendesak. Seolah hidup menempeli leherku dengan pisau.
“Jadi ini barter?” tanyaku lirih.
"Aku jadi istri buat bayar utang?”
“Enggak begitu maksud Mama, Nayra.” Mama menggenggam tanganku.
“Beliau bilang... beliau suka kamu. Udah lama. Sejak pertama kali kamu ikut Mama ke acara kantor dulu.”
Mataku memelotot, nyaris melotot keluar. “Itu... waktu aku SMA!”
Mama mengangguk pelan.
“Katanya itu kamu manis, pintar, dewasa.”
“Jadi dia udah naksir aku dari aku SMA? Gila.” Aku bangkit dari kursi, berjalan ke arah jendela, menarik napas panjang. Di luar, hujan mulai turun. Seolah semesta ingin ikut menumpahkan segala rasa tidak masuk akal ini.
Aku memejamkan mata. Mencoba menenangkan diri. Aku tahu Papa sakit keras. Biaya kemoterapi mahal. Rumah sakit sudah mengirimkan tiga surat penundaan pembayaran. Kami sudah menjual mobil, perhiasan, bahkan rumah kecil di kampung yang diwariskan kakek.
Dan sekarang, seorang pria bernama Arka Pratama, duda kaya raya, ingin menikahiku... untuk menyelamatkan keluargaku dari kehancuran.
“Aku boleh ketemu dia dulu?” tanyaku akhirnya. Suara lirih yang nyaris tak terdengar.
Mama mengangguk cepat.
“Besok malam, di restoran dekat taman kota.”
Aku membalikkan badan, menatap Mama. “Dan kalau aku tetap nolak?”
Mama diam. Lalu berkata dengan suara serak,
"Kalau kamu nolak, Papa akan dipulangkan dari rumah sakit.”
***
Restoran itu mewah. Bahkan terlalu mewah untuk orang yang hanya berniat ngobrol tentang... penawaran pernikahan.
Aku mengenakan blouse putih sederhana dan celana bahan. Makeup tipis. Rambut ku ikat ke belakang. Aku tak tahu harus menyiapkan diri untuk apa. Tapi aku ingin datang sebagai aku yang apa adanya, tanpa polesan.
Dan di sanalah dia. Duduk di pojok restoran, mengenakan kemeja abu gelap yang terlihat mahal. Wajahnya tegas, bersih, nyaris tak ada kerutan. Hanya mata tajam itu yang membuatku merasa seperti sedang diselami.
“Silakan duduk, Nayra.” Suaranya rendah, dalam, dan sangat tenang.
“Aku pesan teh chamomile untukmu.”
Aku duduk, mencoba bersikap wajar.
“Terima kasih. Tapi... bagaimana Bapak tahu aku suka chamomile?”
Dia tersenyum tipis.
“Aku tahu banyak hal tentang kamu. Termasuk bagaimana kamu suka membaca buku di peron kereta, dan kamu selalu menulis puisi di ponsel setiap malam.”
Aku mengerutkan kening.
“Kamu ngintilin aku?”
Dia terkekeh, dan untuk pertama kalinya senyumnya terasa... manusiawi.
“Tidak. Aku hanya... memperhatikan dari jauh. Sejak kamu datang ke kantor dulu bersama ibumu.”
“Jadi benar. Kamu udah ngelirik aku dari aku SMA?”
Dia tak menyangkal. “Kamu masih anak-anak waktu itu. Aku cuma mengagumi, dan menyimpan rasa itu sampai kamu dewasa.”
Aku mengangguk pelan. “Jadi, kamu... suka sama aku?”
“Ya.” Jawabnya tegas, tanpa ragu.
Aku menggigit bibir bawah. “Kenapa harus menikah? Kenapa bukan... pacaran dulu? Kenapa harus buru-buru?”
Arka menatapku lama, lalu berkata,
“Karena aku bukan lelaki yang suka main-main. Aku tahu apa yang aku mau. Dan aku mau kamu.”
Detak jantungku tidak beraturan. Aku menelan ludah. “Apa aku punya pilihan?”
“Selalu.” Jawabnya.
“Tapi aku janji, kalau kamu menikah denganku, kamu akan tetap bisa jadi dirimu sendiri. Aku tidak akan mengurungmu. Aku tidak akan menyentuhmu tanpa persetujuanmu. Aku hanya ingin kamu ada di sisiku.”
Aku memejamkan mata. Memikirkan Papa. Mama. Hidup yang tidak pernah mudah. Dan pria dewasa di depanku ini, yang tampak begitu yakin, begitu stabil, dan entah kenapa menakutkan sekaligus meyakinkan.
Lalu aku bertanya pelan, “Kalau aku bilang ya... kapan pernikahannya?”
“Dua minggu dari sekarang.”
Dan hari itu, langit seolah menggelap lebih cepat dari biasanya. Tapi entah kenapa... aku tidak bisa berkata tidak.
***
“Aku nggak tahu harus jawab apa malam ini,” gumamku sambil menatap meja makan yang sudah sepi. Teh chamomile yang tadi dipesankan Arka sudah dingin. Tapi kata-katanya masih menghangatkan ubun-ubunku. Menikah dua minggu lagi.
Arka menatapku dengan sorot lembut tapi tajam.
“Kamu nggak harus jawab sekarang. Tapi aku harap kamu nggak terlalu lama menimbang.”
Aku mengangguk pelan. “Kenapa aku?”
Dia tak langsung menjawab. Sebaliknya, dia membuka ponselnya, memperlihatkan satu foto padaku. Aku mencondongkan tubuh, lalu terdiam.
Itu foto aku dan Mama, saat kami sedang duduk di halte. Aku mengenakan seragam SMA, menunduk sambil membaca buku.
“Kamu pernah bilang kamu bukan barang untuk dipaketin,” ucap Arka pelan.
“Dan kamu benar. Tapi sejak hari itu... aku tahu, kamu adalah sesuatu yang ingin aku jaga. Mungkin terdengar klise, tapi itu kenyataannya.”
Aku mengalihkan pandangan. “Kenapa baru sekarang?”
“Karena aku harus memastikan kamu cukup dewasa untuk membuat keputusan. Dan aku cukup sembuh untuk menjalani hubungan.”
Aku ingin tertawa sinis, tapi entah kenapa bibirku justru kelu. Aku bingung antara takut dan... tersentuh. Arka bukan tipikal pria yang basa-basi. Setiap katanya terasa seperti surat kontrak yang tidak bisa digugat. Tegas. Lurus. Tapi jujur.
“Kamu bilang nggak akan nyentuh aku tanpa izin,” aku mencoba meyakinkan diri. “Itu janji?”
“Janji,” sahutnya tanpa ragu.
“Kalau suatu hari kamu jatuh cinta, dan ingin hubungan yang lebih, aku akan siap. Tapi kalau tidak pun, aku akan tetap menjagamu.”
Ada sekelebat bayangan masa depan dalam pikiranku, hidup dalam rumah besar bersama pria yang hanya aku kenal setengahnya. Duduk di meja makan tanpa kata-kata romantis. Tidak ada pelukan pagi atau pesan manis sebelum tidur. Hanya status dan ikatan tanpa hati.
Tapi dibanding kehilangan Papa? Dibanding melihat Mama menangis tiap malam karena tagihan rumah sakit? Aku bahkan tak tahu lagi mana yang lebih menyakitkan.
“Kalau aku bilang iya... apakah aku akan kehilangan kendali atas hidupku?” tanyaku lirih.
Arka menggeleng.
“Justru kamu akan dapat kendali yang lebih besar. Aku ingin kamu sekolah lagi kalau mau, kerja kalau kamu suka, atau membuka usaha sendiri. Aku akan dukung. Aku bukan penjara, Nayra. Aku hanya ingin menjadi rumah.”
Ada sesuatu di nada suaranya. Seperti luka yang lama mengering tapi tak pernah benar-benar sembuh.
Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Dia bukan pria muda penuh kejutan seperti dalam drama korea. Arka adalah badai yang telah berlalu, tenang, namun bisa menghancurkan jika dipaksa bicara masa lalu.
Aku berdiri, menghela napas panjang. “Aku... butuh waktu semalam.”
“Ambillah,” ucapnya. “Tapi Nayra... satu hal.”
Aku menoleh.
“Jangan menikah karena merasa terpaksa. Kalau kamu bilang ‘iya’, aku ingin kamu berjalan ke pelaminan karena kamu memilih itu, bukan karena ingin membayar sesuatu.”
Aku mengangguk pelan. “Kalau begitu... sampai besok.”
Dan aku pun pergi. Membawa tas kecil dan guncangan besar di dada.
***
Malam itu aku tidak tidur. Kupelototi langit-langit kamar sambil memutar ulang semua percakapan tadi. Ada suara hati kecil yang terus berbisik,
“Kamu mau hidup dengan pria yang kamu nggak cinta, Nay?” Tapi suara itu tak bisa mengalahkan fakta bahwa hidup tidak selalu memberi pilihan yang ideal.
Pukul tiga dini hari, aku menatap bayangan wajahku di cermin. Aku bukan gadis remaja yang bisa menunggu pangeran dengan kuda putih. Aku adalah anak pertama, tulang punggung keluarga. Dan pria itu... menawarkan bahu yang bisa menopang segalanya.
Jadi, saat matahari muncul perlahan dari balik jendela, aku tahu jawabanku.
***
Arka menungguku di taman kecil belakang kantor. Kali ini tanpa jas, hanya kemeja putih sederhana yang digulung di lengannya. Ia terlihat jauh lebih manusiawi dari biasanya.
“Kamu datang lebih pagi dari yang kukira,” katanya sambil menoleh.
Aku mengangguk. “Karena aku nggak mau menunda keputusan yang udah jelas.”
Matanya menatapku, penuh sorot tak terbaca. “Dan?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku setuju menikah dengan kamu, Pak Arka.”
Dia mengangkat alis. “Cuma setuju’?”
Aku tersenyum tipis. “Untuk sekarang, cukup. Cinta... mungkin butuh waktu. Tapi komitmen bisa dimulai dari kepercayaan.”
Dia tertawa kecil. “Jawaban yang dewasa.”
“Karena kamu bukan ngajak anak kecil.”
“Dan kamu bukan gadis biasa.”
Aku menatapnya. “Jadi, langkah kita berikutnya?”
“Temui pengacaraku. Kita akan buat kesepakatan tertulis. Pernikahan ini bukan sekadar janji mulut.”
Aku mengangguk. “Dan... soal keluarga?”
“Kamu cukup beri tahu ibumu. Sisanya, aku yang urus.”
Arka berdiri, lalu mengulurkan tangan. “Selamat datang di hidup baruku, Nayra.”
Aku memandang tangan itu lama... lalu menjabatnya. Tangan yang hangat tapi tegas. Dan saat itu, aku sadar: hidupku tak akan pernah sama lagi.
“Gue serius. Lo nikah? Sama paman gue?”
Nada Farel terdengar nyaris seperti orang mau pingsan. Matanya menatapku seperti aku baru saja mengatakan bahwa aku akan pindah ke planet lain.
Aku mengangguk, mencoba tenang. Tapi tangan di bawah meja ini gemetar luar biasa. “Iya, Rel. Dua minggu lagi.”
Dia menggeser gelas kopi yang belum disentuhnya. “Lo waras?”
Aku menelan ludah. “Gue sadar sepenuhnya waktu bilang iya.”
“Dia paman itu paman gue, Nayra! Jauh lebih tua dari lo. Dan... dia itu orang yang paling dingin yang pernah gue kenal.”
Aku memejamkan mata sebentar. Kalau aku bisa memilih, aku juga nggak ingin duduk di kafe ini, menjelaskan ke teman satu kampus, senior kerja, sekaligus orang yang dulu pernah naksir aku, bahwa aku akan menikahi pamannya.
“Tapi dia juga orang yang menolong keluarga gue waktu semua pintu tertutup,” jawabku perlahan.
Farel tertawa miring. “Oh, jadi lo nikah karena utang budi?”
Aku menatapnya tajam. “Enggak. Gue nikah karena dia menawarkan pilihan ketika nggak ada satu pun orang lain yang datang bantu.”
“Termasuk gue?”
Suaranya merendah. Menyakitkan. Membuat udara di sekitarku ikut terasa pekat.
Aku tercekat. “Rel, lo nggak tahu seberapa buruk keadaan keluargaku. Papa gue...”
“Gue tahu, Nay.” Farel menyela pelan. “Dan justru karena itu, gue lebih kecewa lo nggak cerita. Gue bisa bantu. Setidaknya gue bisa nyoba.”
Aku menunduk. Kalau aku cerita waktu itu... mungkin Farel akan benar-benar membantu. Tapi apakah adil menyeret orang lain dalam kesulitan yang aku sendiri nggak yakin bisa dilewati?
“Dia cinta sama lo?” Farel kembali bicara. “Atau ini cuma... transaksi?”
Aku terdiam.
Pertanyaan itu memukul tempat paling rapuh di hatiku. Karena jawabannya... aku sendiri belum tahu. Yang kutahu, Arka peduli. Tapi cinta? Aku belum bisa memaksa diri untuk menyebut apa yang dia beri sebagai cinta.
“Gue nggak tahu, Farel. Tapi gue tahu dia akan jaga gue.”
Farel bersandar ke kursi, frustrasi. “Dia bukan pria sembarangan, Nay. Banyak yang takut sama dia. Punya kuasa. Kontrol. Lo yakin bisa hidup bareng orang kayak gitu?”
Aku mengangkat wajah. “Lo sendiri kerja buat dia, Rel. Lo tahu betapa dia profesional, bukan orang sembarangan. Dan kalau dia bisa menjalankan perusahaan segede itu dengan kepala dingin, gue percaya dia nggak akan semena-mena sama gue.”
Farel memejamkan mata, lalu berdiri. “Terserah, Nay. Tapi kalau dia nyakitin lo, bahkan cuma secuil, gue nggak akan tinggal diam.”
Aku tersenyum getir. “Makasih.”
Dan saat Farel pergi, aku sadar... bahwa bukan cuma aku yang terluka karena keputusan ini. Tapi entah kenapa, luka itu seperti harga yang harus kubayar agar keluargaku bisa tetap bertahan.
***
Pagi berikutnya, aku mendatangi kantor hukum tempat Arka menunjuk pengacaranya. Sebuah gedung putih elegan dengan kaca bening dan aroma parfum mahal di lobi.
Seorang perempuan berambut pendek, dengan kacamata dan wajah serius menyambutku.
“Saya Rasti, legal konsultan Pak Arka. Ini draf kontrak pernikahan. Silakan dibaca pelan-pelan.”
Aku membuka dokumen setebal dua puluh halaman itu. Ada banyak istilah hukum yang asing. Tapi yang kutangkap, garis besarnya adalah....
Tidak ada kewajiban hubungan fisik antara suami dan istri kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.
Tidak ada hak waris selama pernikahan belum mencapai dua tahun.
Pihak istri boleh tetap bekerja atau sekolah.
Semua aset tetap dipisah.
Jika pihak istri ingin bercerai lebih awal, maka pihak suami tetap menanggung biaya kesehatan keluarga istri selama satu tahun.
Aku mengangguk pelan. Ini... terlalu rapi untuk disebut hanya ‘pernikahan’. Ini seperti bisnis. Tapi entah kenapa, aku tidak marah. Karena Arka tidak pernah mengklaim ini sebagai kisah cinta. Ia jujur sejak awal.
Dan mungkin... aku butuh hubungan yang bisa dimulai dari kejujuran, bukan ilusi.
***
Malam itu, Arka menjemputku ke rumah. Untuk pertama kalinya, dia masuk dan duduk bersama Mama dan Papa.
“Izinkan saya menjaga putri Bapak dan Ibu,” ucapnya sambil menatap Papa yang kini jauh lebih lemah dari sebelumnya.
“Saya tidak datang sebagai bos, atau CEO. Tapi sebagai pria yang ingin memberikan rumah, bukan hanya atap, untuk Nayra.”
Mama menangis pelan. Papa menatapnya lama, lalu hanya berkata, “Jaga dia baik-baik.”
Dan aku... hanya bisa menunduk.
Karena sejak malam itu, aku bukan lagi Nayra Kirana gadis biasa. Aku adalah calon istri seorang pria bernama Arka Pratama, sosok yang mungkin bisa membangun istana, tapi aku belum tahu apakah hatinya siap ditempati.
***
“Cincinnya kebesaran sedikit, Kak Nay...”
Suara lembut dari asistennya Arka, seorang wanita paruh baya bernama Bu Nani, terdengar saat ia mencoba menyelipkan cincin berlian mungil ke jari manisku. Jemariku sedikit gemetar. Bukan karena ukuran cincin itu, tapi karena semuanya terasa… terlalu cepat.
Arka, duduk tak jauh dariku, hanya mengangguk. “Ganti ukuran. Kirim yang baru sore ini.”
“Siap, Pak.” Bu Nani tersenyum sopan dan pamit keluar ruangan.
Aku menunduk, menatap jari yang kini dihiasi logam mewah itu. Rasanya seperti melihat tangan orang lain. Nayra Kirana, gadis yang biasa belanja baju diskon dan minum kopi sachet, sekarang mengenakan cincin seharga motor.
“Kamu kelihatan canggung,” komentar Arka tanpa suara keras. Dia mendekat, duduk di kursi seberangku, mengenakan setelan jas biru tua yang selalu terlihat pas di tubuhnya. “Kamu takut?”
“Bukan takut,” jawabku pelan. “Aku cuma... belum sepenuhnya percaya ini nyata.”
Arka tersenyum tipis. “Kalau kamu mau mundur, belum terlambat.”
Aku menatapnya. “Aku bukan anak kecil yang bisa lari begitu saja, Pak Arka.”
Dia tertawa pelan. “Berhenti panggil aku ‘Pak Arka’. Kita akan menikah.”
Aku mengangguk pelan. “Baik... Arka.”
Nama itu terasa asing di lidahku. Tapi juga... hangat, dalam cara yang aneh.
“Besok kita tunangan. Cuma acara kecil. Beberapa kerabat dekat, dan... ya, beberapa wartawan. Sudah terlanjur bocor ke media.”
Aku membeku. “Wartawan?”
Arka mengangguk. “Kabar pernikahan CEO dengan gadis muda selalu menarik buat mereka. Aku nggak bisa sembunyikan terus. Tapi aku pastikan, nama kamu tetap dijaga.”
Aku menghela napas. Berharap bisa menarik kembali waktu.
***
Keesokan harinya, kami berdiri di ruang kaca di sebuah hotel bintang lima. Hanya sekitar dua puluh orang yang hadir. Wartawan dari media bisnis berdiri di belakang pita pembatas, kamera siap di tangan. Arka menggenggam tanganku erat. Aku mengenakan dress biru pastel, sederhana tapi elegan. Wajahku dirias oleh MUA profesional, tapi hatiku? Masih berantakan.
Flash kamera mulai menyala saat Arka mengumumkan,
"Saya akan menikahi Nayra Kirana dalam dua minggu ke depan. Kami harap doa dan dukungan dari semua pihak.”
Tepuk tangan terdengar. Lensa kamera terus menyorot kami. Aku tersenyum, tapi itu bukan senyum bahagia. Itu senyum bertahan hidup.
Setelah acara formal selesai, aku sempat keluar ke balkon untuk menghirup udara. Dan saat itulah, aku melihatnya.
Seorang wanita tinggi, elegan, mengenakan gaun merah darah. Bibirnya merah menyala, dan langkahnya penuh percaya diri. Dia berjalan lurus ke arahku, tanpa ragu sedikit pun.
“Hai.” Suaranya tajam dan dingin.
Aku mengerutkan kening. “Maaf, kenal...?”
“Belum. Tapi aku kenal kamu.” Dia tersenyum tipis, menatap ke arah cincinku. “Jadi ini gadis muda yang akhirnya berhasil menaklukkan Arka Pratama, ya?”
Napas tercekat di tenggorokanku. “Kamu siapa?”
“Aku? Oh, cuma mantan istri.”
Dunia seperti berhenti sesaat.
Aku menelan ludah. “Kamu... mantan istri Arka?”
Dia mengangguk. “Rania. Kami menikah lima tahun lalu. Tapi ya, tidak bertahan lama. Arka bukan tipe pria yang bisa... mencintai dengan utuh.”
Aku tetap diam.
Rania mendekat, matanya bersinar aneh. “Kamu masih muda. Mungkin kamu pikir kamu akan mengubah dia. Tapi percayalah, dia akan tetap jadi orang yang sama. Dingin. Tertutup. Dan hancur di dalam.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Tapi satu hal yang kupelajari hari itu: masa lalu Arka... tidak semudah kelihatannya.
Rania menepuk bahuku pelan. “Selamat ya, sayang. Nikmati masa bulan madumu, selama masih ada.”
Dan dia pun pergi. Meninggalkan aroma parfum dan tanya besar di kepalaku.
***
Di dalam mobil saat perjalanan pulang, aku tak bisa menahan diri. “Kamu nggak bilang kalau kamu pernah menikah.”
Arka tetap menyetir tanpa menoleh. “Aku nggak pikir itu penting.”
“Penting buat aku. Karena kalau aku tahu lebih awal... mungkin aku akan lebih siap menghadapi hal kayak tadi.”
“Rania datang?” tanyanya tanpa nada terkejut.
“Dia bilang kamu nggak bisa mencintai siapa pun.”
Mobil berhenti mendadak di lampu merah. Arka menoleh, wajahnya gelap.
“Rania adalah masa lalu. Dan dia meninggalkanku karena alasan yang bahkan dia sendiri tidak paham. Jangan biarkan dia masuk ke kepala kamu.”
“Tapi kamu... memang bisa cinta?”
Pertanyaanku keluar sebelum bisa kutahan.
Hening. Lalu Arka menjawab, lirih. “Aku nggak tahu. Tapi aku ingin belajar. Sama kamu.”
Kata-kata itu... lebih tajam dari peluru mana pun. Karena yang lebih menyakitkan dari tidak dicintai... adalah dicintai oleh seseorang yang bahkan tidak tahu bagaimana cara mencinta.
***
Malam itu aku kembali ke kamar, melepas cincin, dan meletakkannya di atas meja. Aku menatapnya lama, sebelum membisikkan satu pertanyaan:
“Aku menikah untuk menyelamatkan keluargaku. Tapi siapa yang akan menyelamatkan hatiku?”
“Nanti kamu tinggal di rumahku mulai minggu depan,” kata Arka saat kami duduk di ruang tamu apartemenku yang mungil.
Aku menoleh pelan. “Maksudmu, sebelum pernikahan?”
“Sebagai adaptasi. Supaya kamu nggak kaget setelah semuanya sah.”
Aku mengangguk pelan. Sambil berpikir, kalau rasa sesak ini sudah datang sekarang, bagaimana nanti saat semuanya benar-benar jadi nyata?
“Rumahku tidak terlalu ramai. Hanya ada Bu Nani, sopir, dan kadang keponakanku datang main, itupun kalau lagi sempat.”
Keponakan yang dia maksud tentu saja Farel. Dan aku tidak yakin itu hal yang ingin kudengar malam ini.
***
Hari Minggu pagi, aku menjejakkan kaki di rumah Arka untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya sebuah mansion.
Rumah itu berdiri megah dengan sentuhan arsitektur modern, dengan pilar-pilar putih, jendela kaca besar, dan halaman luas yang lebih mirip taman hotel bintang lima. Aku berdiri di ambang pintu, merasa seperti turis di negeri orang.
“Selamat datang,” sambut Bu Nani dengan senyum hangat.
“Kamar Nona Nayra ada di lantai dua, sebelah ruang baca.”
Aku mengikuti Bu Nani menaiki tangga spiral yang terbuat dari kayu mahoni. Kamar yang disiapkan untukku lebih besar dari seluruh apartemen kontrakanku. Ada rak buku kosong, balkon kecil, dan lemari baju yang sudah berisi dress dan blus mahal semua sudah disiapkan Arka.
Aku hanya bisa berdiri terpaku, merasa asing dalam kehidupanku sendiri.
***
Sore harinya, Arka mengajakku makan malam bersama keluarga besarnya.
“Ini hanya makan malam ringan. Mama dan adikku datang. Bukan formal, santai saja,” katanya di mobil.
Tapi begitu aku masuk ke ruang makan, aku tahu itu bukan pertemuan biasa. Semua orang berdandan rapi. Ibu Arka mengenakan kebaya modern. Adik Arka, wanita elegan bernama Dira, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Dan yang paling mencolok adalah keheningan saat aku duduk.
“Ini Nayra,” kata Arka singkat. “Tunanganku.”
Ibu Arka tersenyum... terlalu tipis. “Ah, akhirnya kamu benar-benar memilih menikah, Arka. Kami semua penasaran, seperti apa gadis yang berhasil... meyakinkanmu.”
Aku mencoba tersenyum. “Terima kasih, Tante. Senang bisa bertemu keluarga.”
Dira mengaduk supnya pelan. “Kamu masih kuliah?”
“Saya baru lulus tahun ini.”
“Wah, muda sekali ya,” ucapnya, datar. “Apa Nayra memang sudah siap menjadi istri, terutama istri seorang Arka Pratama?”
Pertanyaan itu tidak bisa dianggap basa-basi. Aku tahu, Dira tidak sedang bertanya, tapi dia sedang menguji.
Aku menatapnya pelan. “Saya belum sempurna, tapi saya siap belajar. Dan saya tahu, jadi istri bukan soal usia, tapi soal kemauan untuk bertumbuh bersama.”
Dira menaikkan alis. Ibu Arka hanya mengangkat cangkir tehnya tanpa komentar.
Dan makan malam itu berjalan seperti aku adalah tamu yang tak diinginkan.
***
Malam harinya, saat kami sudah kembali ke kamar masing-masing, Arka mengetuk pintuku.
“Boleh masuk?” tanyanya.
Aku membuka pintu. “Ada apa?”
Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus abu dan celana santai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya masih sama, penuh kontrol.
“Mereka memang begitu. Tapi jangan biarkan itu menyakiti kamu.”
Aku tersenyum tipis. “Kamu yakin bukan aku yang salah masuk dunia?”
“Bukan. Mereka cuma terbiasa melihatku sendiri. Tiba-tiba aku bawa perempuan ke rumah, dan bilang akan menikah. Mereka terkejut, bukan marah.”
Aku menatap wajahnya, mencoba mencari celah, adakah luka yang dia sembunyikan? Ataukah memang dia terbiasa membungkus semua emosi dengan dingin?
“Apa kamu pernah bahagia, Arka?” tanyaku tiba-tiba.
Dia terdiam. Lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Mungkin... bahagia itu bukan buat semua orang.”
“Lalu kenapa kamu nikah?”
Dia menatapku. “Karena kamu bikin aku ingin percaya... mungkin bahagia itu bisa dicoba.”
Aku tercekat. Tak menyangka mendapat jawaban seperti itu.
“Tapi aku nggak janji akan berhasil,” lanjutnya.
Aku tersenyum samar. “Aku pun tidak.”
Dan malam itu, kami berdiri di ambang pintu masing-masing. Dua orang asing yang saling memberi rumah, tapi masih mencari kunci untuk membuka hati mereka sendiri.
***
Aku memandangi dinding putih kamar baruku. Kosong. Bersih. Rapi. Terlalu sempurna untuk kutinggali.
Di lantai bawah, suara percikan air dari kolam kecil di taman belakang terdengar samar. Rumah ini terlalu tenang. Dan keheningannya membuat pikiranku gaduh.
Sudah tiga hari aku tinggal di sini. Arka nyaris tidak pulang malam. Saat pulang pun hanya untuk bicara sebentar, lalu tenggelam lagi dalam rapat atau dokumen.
Aku mengerti dia sibuk. Tapi aku juga bukan boneka pajangan. Aku tidak diminta menikah untuk sekadar duduk cantik di rumah besar.
Aku berdiri dan mengambil beberapa lukisan kecil yang dulu kubeli dari pelukis jalanan. Kubuka koper, mulai menyusun buku-bukuku di rak. Lalu menaruh foto kecil Mama dan Papa di meja samping tempat tidur.
Aku belum bisa menyebut tempat ini sebagai rumah. Tapi setidaknya, aku ingin membuatnya sedikit lebih ‘aku’.
***
Sore itu, saat sedang menggantung satu lukisan bunga matahari di dinding, suara ketukan membuatku menoleh.
“Masuk,” kataku.
Pintu terbuka dan muncullah sosok yang tak kusangka akan kulihat di rumah ini.
“Farel?”
Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan hoodie dan ransel di punggung. Rambutnya sedikit berantakan, ekspresinya penuh keraguan.
“Lo ngapain di sini?” tanyaku pelan.
“Om Arka manggil. Dia minta bantu urus desain interior ruangan baru di kantor,” jawabnya. “Dan... gue dengar Lo udah pindah ke sini.”
Aku mengangguk. “Iya, buat adaptasi katanya.”
Farel masuk pelan, menatap kamar yang kini mulai berisi. “lo beneran tinggal di rumah ini? Sama dia? Di bawah atap yang sama?”
Aku menelan ludah. “Kita masih di kamar terpisah.”
Dia menghela napas. “Gue nggak ngerti, Nay. Gimana bisa Lo nerima semua ini kayak ini hal biasa?”
Aku menatapnya tajam. “Karena hidup gue nggak biasa, Rel. Karena gue nggak punya banyak pilihan seperti lo.”
Farel mendekat, berhenti di depan lukisan yang belum sempat kupaku. Tangannya menyentuh bingkai kayu, lalu menatapku.
"Lo tahu gue masih peduli kan?”
Aku menarik napas panjang.
“Farel, tolong jangan ngomporin emosi yang bahkan belum sempat gue urus.”
“Kalau lo butuh tempat kabur, lo tahu di mana gue,” ucapnya lirih, lalu keluar sebelum aku sempat menjawab.
***
Malam itu, saat aku turun untuk makan malam, Rania datang lagi.
Dia duduk di ruang tamu, berbincang ringan dengan Ibu Arka dan Dira. Wajah mereka tampak jauh lebih hangat dibanding saat aku hadir di rumah ini.
Aku berdiri di ujung tangga, tidak ingin turun. Tapi terlalu telat. Rania sudah menoleh ke arahku.
“Nayra,” sapanya manis.
“Akhirnya ketemu lagi. Aku ke sini mau kasih undangan pembukaan galeri baruku. Aku kira... kamu juga akan diundang, kan?”
Aku turun pelan, mencoba tetap tenang. “Terima kasih, tapi sepertinya aku belum pantas hadir di tempat sekelas itu.”
“Oh, jangan gitu. Kamu kan sekarang tunangan Arka. Harus mulai belajar bersosialisasi.”
Nada bicaranya sopan. Tapi setiap katanya seperti ditaburi garam ke luka.
Ibu Arka tersenyum tipis. “Rania memang sudah seperti anak sendiri. Kami masih sering bertemu.”
Dan di detik itu, aku sadar. Rumah ini... belum tentu akan jadi milikku. Bukan karena ukuran atau properti. Tapi karena hati orang-orang di dalamnya.
***
Malam semakin larut saat aku duduk di balkon kamar. Arka akhirnya pulang. Kudengar suara mobilnya. Tapi aku tak turun menyapa. Biarkan dia sibuk dengan dunianya, dan aku dengan resahku.
Tak lama, ponselku bergetar.
Arka: Kamu sudah tidur?
Nayra: Belum, ini lagi ada dibalkon.
Arka: Maaf aku terlambat lagi. Besok pagi kita sarapan bareng. Aku yang masak.
Aku membaca pesannya berulang-ulang. Arka... memasak?
Kugigit bibir. Lalu membalas.
Nayra: Oke. Aku tunggu.
***
Pagi itu, dapur rumah yang biasanya sepi terasa hidup. Arka mengenakan celemek putih dan mengaduk telur di wajan. Bau roti panggang menyebar, mengimbangi keheningan yang biasanya mendominasi.
“Kamu bisa masak?” tanyaku setengah tak percaya.
Dia mengangguk pelan.
“Cuma menu sarapan. Tapi cukup untuk bikin kamu duduk manis dan makan.”
Aku duduk, memperhatikan caranya menyusun makanan ke piring. Semua begitu presisi. Rapi. Seperti dirinya.
“Rania datang lagi semalam,” kataku tiba-tiba.
Arka meletakkan sendok. “Aku tahu.”
“Kamu nggak keberatan dia dekat sama keluargamu?”
“Dia bagian dari masa lalu. Tapi mereka... belum bisa melepaskannya.”
Aku menatapnya.
"Apa kamu juga belum?”
Dia tak langsung menjawab. Lalu berkata, “Aku sudah melepaskan. Tapi bekasnya tidak hilang begitu saja.”
Aku mengangguk. Lalu bertanya pelan.
“Apa kamu akan bisa cinta lagi?”
Dia menatapku lama.
“Mungkin tidak. Tapi aku ingin belajar.”
Dan pagi itu, dengan dua piring sarapan di meja dan jarak sejauh lengan di antara kami, aku sadar... Arka memang tidak menjanjikan cinta.
Tapi dia mencoba memberiku ruang.
Dan mungkin... itu permulaan yang cukup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!