Venezio Cafe berdiri megah ditengah kota metropolitan Arvenia. Penghujung musim semi telah tiba, angin dingin berhembus, cahaya keemasan matahari sore menimpa bangunan dengan dinding bata yang terekspos. Jendela besar dan tanaman merambat menjadi ciri khas bangunan-bangunan di sini.
Orang-orang lebih memilih berjalan cepat ke cafe atau tempat berkumpul yang cozy di akhir pekan seperti ini. Seperti halnya yang dilakukan Irfan Gamaliel, pengusaha terkenal bersama istrinya tercinta, Nadine Carolina. Mereka melangkah masuk ke cafe estetik yang merupakan tempat berkumpulnya pengusaha kaya dan orang-orang terkenal di Arvenia ini.
Venezio menawarkan kemewahan dan keanggunan kelas atas, sehingga pengunjung disini jelas merupakan kaum elite yang tidak bisa dibayangkan berapa banyak kekayaan yang mereka punya.
"Aku nggak sabar untuk segera memakai gaun itu, Sayang ... pasti semua orang kaget melihat siapa yang akhirnya membeli satu-satunya gaun yang dibuat oleh Savero itu," ujar Nadine berbinar.
Irfan hanya tersenyum sebagai jawaban. Mereka hampir tiba di meja yang mereka pesan, ketika dua orang saling menabrak dan menumpahkan Latte ke lantai. Beruntung, Irfan berhasil mengamankan Nadine dari keributan itu.
"Ya ampun, orang-orang ceroboh sekali," gerutu Nadine seraya duduk dan memeriksa kakinya yang terkena sedikit percikan Latte.
"Maaf—"
Wanita itu menunduk untuk mengambil gelas kopi yang menggelinding dekat kaki Irfan.
"Saya yang bersalah, Nona—" Orang yang menabrak itu membungkuk minta maaf.
Karena menghalangi, Irfan berinisiatif menyingkir, namun gerakannya terhenti kala wanita itu sudah berdiri kembali dan tersenyum sekilas kepadanya.
"... Sania." Irfan mendesis seperti suara angin diluar. Ia tidak mungkin salah mengenali orang, kan? Tapi Sania ... Sania yang itu—Sania tidak mungkin berubah menjadi secantik dan seanggun itu kan? Bagaimana dia bisa menjelma menjadi wanita secantik itu?
Irfan bahkan sudah tidak mengingat lagi bagaimana wajah Sania jika saja fitur wajah wanita tadi tidak melintas di depannya.
Waktu seakan membekukan Irfan saat itu sampai ia tidak sadar ketika wanita itu telah pergi dari hadapannya.
"Kamu kenal dia, Fan?" Nadine menelisik curiga dan cemburu. Wanita itu cantik sekali bahkan kafe ini terasa layu karena kecantikan wanita tadi menyedot semua keindahan yang ada.
Lamunan Irfan buyar, lalu dengan gerakan cepat, ia berjalan keluar, mengejar wanita tadi untuk memastikan.
Napas Irfan tersengal begitu tiba di trotoar jalan. Seorang pria berjas hitam mewah membukakan pintu untuk wanita yang ia sangka Sania. Tampak begitu melindungi dan posesif. Dibawahnya, Sania tampak seperti bisa hancur hanya karena tertiup angin musim semi yang lembut.
"Sania ...." gumamnya pelan. Itu benar-benar Sania, mantan istrinya yang 10 tahun lalu ia ceraikan.
Seakan mendengar panggilan itu, Sania menoleh, menatap Irfan sekilas, sebelum tubuhnya lenyap ditelan oleh mobil mewah yang Irfan sendiri tahu hanya kalangan atas tertentu yang bisa memiliki mobil itu.
Irfan menyaksikan adegan itu seperti sebuah adegan film, seperti tidak nyata. Tetapi hanya karena potongan adegan mesra tersebut,sudah cukup membuat Irfan merasa kalah telak. Jika benar tadi Sania, Irfan benar-benar ditampar dimuka oleh kenyataan yang ada.
Dari dalam mobil Sania melirik ke arah jendela seolah masih bisa melihat Irfan yang syok di sana. Pandangannya menggelap dan semakin dingin, meski ia merasakan kepuasan menjalar di dada. Pria itu bagaimana bisa masih sanggup mengejarnya, setelah semua yang ia lakukan selama ini? Bibir Sania membentuk sebuah senyum sinis. Sepuluh tahun lalu, bagaimana dia bisa lupa hari itu?
Hari dimana dirinya hancur berantakan bahkan sisa harga diri saja dia tidak punya.
Malam itu, malam yang sudah berlalu hampir sepuluh tahun lamanya, tetapi rasanya terjadi belum begitu lama.
Sania menatap halaman dengan perasan kalut dan gamang. Bibirnya pecah-pecah karena dehidrasi dan stres. Karena terlalu sering menangis, wajahnya jadi sembab, rambut kering berantakan, dan tubuhnya menggigil saat angin dingin menerpa.
Dalam kesunyian itu, Sania kepikiran pada chat mesra suaminya dengan wanita lain yang beberapa kali ia pergoki di ponsel suaminya. Tetapi sangkalan Irfan, membuatnya mencoba tidak terus mempermasalahkannya. Irfan bilang dia hanya teman kerja biasa, gaya bicaranya juga memang centil. Tapi kali ini, Sania punya feeling kuat, kalau wanita itu memiliki hubungan dengan Irfan.
Hujan deras turun malam itu. Sama seperti malam-malam sebelumnya, Sania menunggu di ruang tamu dengan secangkir teh yang sudah mulai dingin. Dia biasa menyiapkan teh untuk suaminya yang kelelahan mencari nafkah untuknya. Setidaknya, meski hampir setiap pagi ribut, Sania tetap melayani suaminya dengan baik pada malam hari.
Lagi-lagi, Irfan belum pulang. Padahal semua temannya bilang malam ini tidak ada lembur.
Sania duduk diam, sambil menggenggam HP-nya erat. Ia sudah kirim tiga pesan tetapi tidak dibaca. Ditelepon pun tidak dijawab, malah kadang ditolak.
Kekhawatiran yang dulu selalu muncul kini sudah berubah menjadi firasat yang dingin dan pahit.
Sania sekali lagi memeriksa halaman, namun tidak ada tanda suaminya pulang.
"Sudah selarut ini, Fan ... kamu kemana?" Sania khawatir. Suara tangisan Mutiara membuat Sania melangkah ke kamar untuk menenangkannya. Bersamaan dengan itu, suara mobil terdengar dari luar.
Perasaan Sania menjadi ringan. Ia menggendong Mutiara dan bergegas membuka pintu.
Irfan turun dari mobil tanpa rasa bersalah. Kemejanya kusut, ada bekas lipstik samar di kerahnya, dan parfum wanita yang menyengat bercampur dengan alkohol menghantam hidung Sania bahkan sebelum pria itu masuk rumah.
"Maaf, aku banyak kerjaan," katanya datar sambil melepaskan sepatu.
Sania hanya menatapnya, tidak bicara. Sudah tak perlu tanya—jawabannya pasti selalu penuh dusta.
Ia mengikuti Irfan ke dalam rumah. "Kamu dari mana, sebenernya, Fan? Aku tadi udah nelpon atasan kamu, tapi dia bilang semua pegawai sudah pulang jam 5 sore!"
Irfan menghela napas, meletakkan tas kerja di meja. “Nia aku capek. Jangan mulai lagi, deh! Buruan siapin air hangat, aku mau mandi!"
"Capek? Aku lebih dari capek. Aku capek khawatir karena nungguin kabar kamu, Irfan!" Sania hampir menangis. Sebenarnya ada apa dengan suaminya ini? "Kamu masih main sama wanita di chat itu?!"
"Jangan kebanyakan nonton drama. Nggak semua laki-laki seperti itu!" Irfan berdecak. Mukanya langsung berubah kesal. "Nggak usah berprasangka yang enggak-enggak, deh! Muak tauk, tiap pulang selalu aja dicurigai! Kamu pikir aku ada waktu buat main-main kalau setiap hari aku harus kerja keras buat nyukupin hidup kamu?"
Kalimat itu menghantam seperti batu ke dada.
"Otak dipakai buat mikir!" Tangan Irfan bersilaturahmi ke kepala Sania, menempeleng Sania tanpa perasaan.
Sania ingin berteriak tidak terima. Tapi dia tahu, dia tidak akan menang dengan suara. Ia akan menang dengan kebenaran dan bukti nyata.
“Aku lihat fotonya,” bisik Sania lirih, disela tangis yang perlahan meluncur di wajahnya. “Kamu berduaan dengan dia di hotel.”
Irfan terdiam. Ia kehilangan nafas untuk sesaat.
Sania awalnya tidak ingin mengungkapkan ini, tapi Irfan yang memaksanya. Dia lelah menggenggam fakta menyakitkan ini sendirian. Berharap Irfan mau berubah dan kembali padanya.
“Aku tahu namanya Nadine, putri orang penting di kantormu, dia sedang magang dan dia ... bukan sekadar wanita lewat. Kalian sudah saling mengenal lama dan saling menyentuh sejak Mutiara masih dalam perut."
Irfan masih tak bicara. Wajahnya datar. Seolah yang dia hadapi hanyalah pelanggan yang kecewa, bukan istri yang dikhianati.
“Aku sudah tahu ini sejak dua bulan lalu,” suara Sania mulai pecah. “Tapi aku tahan, demi Mutiara. Aku pura-pura nggak tahu tentang ini, tapi malam ini ... aku cuma pengen satu hal, jujurlah ke aku!"
Dan yang keluar dari mulut Irfan justru sesuatu yang membunuh Sania lebih dari perselingkuhan itu sendiri.
“Aku sudah nggak cinta lagi sama kamu.”
Jantung Sania seperti dicabut dari tubuhnya. Matanya memanas. Bibirnya bergetar.
"Jadi ... karena itu kamu cari perempuan lain?"
Irfan menggeleng, menatap Sania dengan sikap yang bahkan lebih dingin dari hujan di luar. “Nadine bisa mengerti aku, dia tidak banyak mengeluh dan menuntut. Dia tidak membebani aku dengan kata-kata yang menakutkan tentang masa depan seperti yang kamu lakukan selama ini. Setidaknya, dia anak orang terpandang, hidup kami pasti akan lebih baik jika kami bersama."
Sania mengangkat wajahnya yang penuh air mata. Ditangannya bahkan masih ada Mutiara yang berusaha tidur kembali.
"Aku membebanimu? Setelah semua yang kulakukan untukmu? Aku tinggalkan kerjaanku, rumah orang tuaku, hidupku ... demi jadi istrimu!"
Irfan mengangkat bahu. “Mungkin itu juga masalahnya. Entahlah, kamu kehilangan dirimu yang dulu, Nia. Kamu bukan lagi perempuan yang aku nikahi dulu. Kamu jadi nggak menyenangkan juga banyak menuntut, padahal kamu tau aku lelah bekerja seharian, tapi kamu masih bawel minta dibantu ini dan itu ketika aku sampai di rumah! Kamu nggak sadar kan kalau itu bikin capek aku?"
Sania merasa dunia runtuh tanpa perlu bom nuklir yang besar menghantamnya. Ia tak perlu jatuh untuk merasakan hancur dan mati. Irfan dianggapnya suami yang baik, ternyata ....
Namun, kehancuran Sania belum cukup hanya sampai di situ. Pagi pada keesokan harinya pukulan terakhir datang, bahkan ketika Sania tidak tidur dan menangis semalaman karena ucapan terang-terangan Irfan, Nadine datang ke rumah dengan tidak peduli dan percaya diri.
Dengan dandanan yang begitu menunjukkan betapa jomplang perbedaan mereka beserta senyuman sinis, Nadine berdiri di depan pintu dan berkata, “Aku ingin bicara baik-baik, sebagai sesama wanita. Em, woman support woman.”
Sania nyaris menamparnya, tapi yang ia lakukan adalah menggenggam pintu erat-erat.
"Aku minta maaf, tapi aku dan Irfan saling mencintai. Kami nggak bisa pura-pura jadi teman lagi ataupun sembunyi dari semua orang tentang hubungan ini."
Sania hanya diam membisu, hatinya hancur, tapi matanya menyimpan bara.
"Aku tahu kamu terluka, tapi kamu bisa mulai lagi dari awal. Masih muda, masih cantik ... kalau kamu tahu cara merawat diri." Nadine menatap penuh ejekan Sania dari posisinya berdiri.
Kalimat itu menghina seluruh luka yang Sania simpan. Lalu setelah itu, Irfan pergi begitu saja bersama Irfan tanpa dicegah sekalipun oleh Sania.
...
Sudah beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu. Sania bertahan karena dia tidak tahu harus kemana jika memilih bercerai. Dia bukan wanita yang memiliki skil luar biasa. Ia hanya wanita berkemampuan pas-pasan, bagaimana dia menghidupi Mutiara nantinya dengan keadan begini? Ia hanya mengandalkan Irfan usai tidak lagi bekerja di pabrik konveksi karena melahirkan Mutiara.
Mutiara baru saja tidur karena efek obat ketika Sania tiba di rumah. Anak yang baru berusia dua tahun itu kemarin tubuhnya mendadak panas, dan Sania nyaris tidak tidur semalaman bahkan dini hari tadi Sania melarikan Mutiara ke UGD karena demamnya makin tinggi. Beruntung, Mutiara boleh pulang usai tidak ditemukan infeksi virus maupun bakteri dalam darahnya.
Ia baru saja meletakkan botol susu di dapur usai menidurkan Mutiara, ketika langkah kaki terdengar tergesa dari lantai atas. Irfan turun sambil membenarkan lengan kemejanya, wajahnya penuh kesal.
“Kenapa rumah ini berantakan terus sih, Sania? Apa susahnya sih beberes rumah?” bentak Irfan ketika kakinya terantuk mainan Mutiara yang masih berserakan.
Sania menahan napas, mengambil sapu dan keranjang usai merapikan rambut ala kadarnya. “Mutiara sakit. Aku belum sempat bersihkan semuanya.”
“Alasan terus, alasan terus,” maki Irfan. “Kalau kau sibuk ngurus anak, kenapa nggak panggil orang buat bantu-bantu? Atau memang kau sengaja biar aku makin muak?”
Sebelum Sania bisa membalas, suara lain muncul dari balik tangga.
"Aku bisa bantu bersihkan, kok, tapi sepertinya bukan itu yang jadi masalah di rumah ini."
Sania membeku. Nadine berjalan santai dari lantai atas, memakai kemeja Irfan yang kebesaran di tubuh mungilnya. Rambutnya basah, wajahnya segar seperti baru mandi.
“Dia ... dia kamu bawa pulang?” suara Sania bergetar. Matanya masih tak percaya pada apa yang dilihatnya. Semalam dia sendirian di rumah bahkan ke rumah sakit saja Sania harus menunggu taksi begitu lama. Jangan tanya Irfan kemana, pasti bersama wanita itu sampai pagi.
“Iya,” jawab Irfan tanpa ragu. “Dan dia akan tinggal disini mulai hari ini. Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku nggak cinta lagi sama kamu? Artinya kita sudah sepakat cerai, kan? Jadi hal seperti ini sudah tidak bisa kita tutupi lagi."
Sania menggeleng pelan. “Kita belum bicarakan apa-apa. Aku bahkan—”
“Apalagi yang harus kita bicarakan, Nia ... semua udah jelas! Kau cuma numpang hidup di sini. Aku menampungmu sementara waktu sampai Nadine aku bawa ke sini. Sekarang, angkat kakimu dari sini selagi aku mengurus perceraian.” Irfan makin muak melihat air mata Sania. Wanita itu hanya bisa nangis dan mengeluh saja, batinnya.
“Aku ... dengan Mutiara?” bisik Sania getir.
Nadine tertawa kecil. “Tentu saja, kamu bawa anakmu pergi! Aku nggak mau ya repot ngurusin bayi penyakitan begitu. Apalagi kalau kau tinggal di sini, nanti aku yang disangka perebut suami orang, padahal kan kamu yang nggak becus jadi istri selama ini."
Air mata Sania tidak terbendung lagi saat dengan perasaan hancur berlutut di depan Irfan dan Nadine.
"Kumohon, biarkan aku tinggal disini sementara. Mutiara sedang sakit, aku nggak bisa bawa dia kemana-mana untuk saat ini."
"Nggak bisa, Nia—"
Ucapan Irfan terpotong oleh tangan Nadine yang memintanya diam.
"Oke, kamu boleh tinggal asal kamu tidak banyak bicara dan melakukan apapun yang aku dan Irfan minta! Nanti setelah kamu resmi cerai, kamu harus pergi dari sini, tidak peduli mau anak penyakitan itu hidup atau mati!"
Ketika Sania mengangguk setuju, Nadine tersenyum miring penuh kemenangan.
...
Beberapa minggu kemudian, Irfan benar-benar mengajukan gugatan cerai. Bukan karena Sania meminta, tapi karena dia ingin segera bebas dari pandangan buruk orang lain seakan dialah yang paling salah dalam perceraian ini. Ia muak hidup dengan Sania yang biasa saja tanpa ada lonjakan cinta diantara mereka.
Di pengadilan, Irfan tidak menatap mata Sania sama sekali. Dia hanya bicara singkat, duduk tenang di samping Nadine, yang dengan tanpa memiliki rasa malu sedikitpun hadir sebagai rekan kerja yang bersimpati pada masalah rumah tangga Irfan. Di ruang kecil tempat pernikahan mereka dulu disahkan, kini ikatan itu diakhiri.
"Saya sangat setuju dan merasa yakin hak asuh anak jatuh ke ibunya. Mutiara masih kecil, yang dia butuhkan adalah kasing sayang utuh dari ibunya." Kalimat singkat itu yang terakhir keluar dari bibir Irfan sebelum palu hakim menjatuhkan putusan.
Dengan tawa kecil dari Nadine dan sikap diam tapi mematikan dari Irfan, mereka berdua resmi bercerai.
Hari itu Sania berjalan pulang dengan mata kosong. Tak ada mobil yang menjemput. Tak ada tangan yang menggandengnya.
Tapi seakan semua itu belum lengkap, setibanya di rumah, koper kecil berisi pakaian dan kebutuhan Mutiara tergeletak di luar. Di dekatnya ada Nadine dan Irfan berdiri angkuh.
Ketika Sania mendekat, Nadine menendang koper itu hingga mengenai badan Sania.
"Kamu bukan istri Irfan lagi, jadi bawa pergi barang-barangmu! Sampah semacam itu mengganggu pemandangan kami."
Irfan lalu datang memeluk Nadine dari samping, mencium pipinya lembut.
"Ayo masuk, udara siang yang panas ini bisa merusak kulitmu."
Hati Sania hancur. Ia jatuh terduduk memunguti pakaian yang berserakan. Air matanya merembes keluar tanpa henti.
"Kalian berdua sungguh manusia terkutuk!"
"Mom!"
Pikiran Sania masih melayang, bahkan ketika ia masuk ke unit apartemen yang ia tinggali bersama Mutiara selama beberapa tahun ini. Namun, seruan Mutiara membuat Sania segera tersenyum saat menatapnya.
"Bagaimana sekolah kamu hari ini?" Sania menyambut putrinya dalam pelukan. "Kamu terlihat gembira, ada apa?"
Mutiara mencium pipi ibunya, lalu melepaskan pelukan. "Gold medalion for the sains Olimpiade."
Medali emas muncul di depan mata Sania sehingga membuat Sania kaget dan heboh. Ia tidak percaya Mutiara mengalahkan ribuan peserta yang mendaftar.
"Dan aku akan mengikuti Olimpiade internasional di Amerika sebelum ujian akhir tiba." Mutiara pamer meski bukan kali ini saja dia mengikuti Olimpiade seperti ini.
"Oh, my sweetheart." Sania memeluk anaknya erat-erat, "Momy selalu merasa terkejut atas semua pencapaianmu."
Mutiara tersenyum, masih memeluk ibunya. "Aku akan bikin momy bangga terus."
Sania mengusap rambut Mutiara lembut. Rasanya perjuangannya selama ini terbayar lunas dengan melihat Mutiara tumbuh dengan baik.
"Oh, ya, tadi aku ambil surat untuk Momy, di kirim dari apartemen lama kita." Mutiara melepas pelukan dan mengambilkan surat untuk ibunya. "Aku pikir ini penting."
Sania menerimanya dan sedikit mengerutkan kening melihat cap dari amplop krem tebal itu.
Alveron&Associates
Seingatnya, dia tidak ada masalah dengan hukum, tapi kenapa kantor hukum mengirimkan surat kepadanya.
"Apa ada masalah, Mom?"
Sania buru-buru menormalkan ekspresinya, lalu menatap Mutiara lagi sambil menggeleng. "Momy tidak tau pasti, tapi Momy harap ini bukan sesuatu yang penting."
Sania menyimpan suratnya, lalu menggandeng Mutiara. "Malam ini kamu mau makan apa, Tiara? Momy akan memasak untukmu."
"Em, grilled salmon—maybe ...." Mutiara berkata dengan ekspresi ragu-ragu yang imut. "Aku tau kemarin momy baru saja buatin itu buat aku, tapi hari ini aku ingin makan lagi."
Sania tersenyum kecil. "Apapun selama kamu suka, Honey."
Sania segera berlalu ke dapur. Dia harus menyibukkan diri untuk mengalihkan rasa penasaran akan surat dari kantor hukum tersebut. Memang, masih ada surat yang datang ke alamatnya yang lama, karena disana tidak disewakan maupun dijual. Pengurus apartemen sudah diberitahu alamatnya kini, jadi mereka biasa langsung mengirimkan kesini surat-surat tersebut.
Sania mengingat satu hal Alveron adalah pengacara yang membantu Irfan memuluskan perceraiannya.
...
Sania mengambil amplop dari Alveron dan membukanya perlahan. Tidak perlu waktu lama, Sania sampai pada inti surat tersebut.
"... dengan ini menyampaikan permohonan atas pengalihan hak asuh penuh atas anak kandung Irfan Gamaliel, Mutiara Gamaliel ...."
Tangan Sania gemetar membaca surat tersebut. "Hah ... bagaimana bisa dia melakukan itu padaku setelah menyakiti Mutiara sebegitu kejam?"
Sania sekali lagi membaca isi surat tersebut, dan tidak ada yang berubah sama sekali. "Untuk apa mereka melakukan itu?"
Sania menjatuhkan badannya di kursi. Satu-satunya hal yang tidak pernah Sania bayangkan adalah Irfan menginginkan Mutiara. Setidaknya, setelah teror yang tidak pernah berhenti datang sampai Sania pindah ke kawasan Diora Street yang kumuh dan terpinggirkan.
Beberapa minggu setelah bercerai, Sania pulang ke rumah ibunya di Venus Park, tetapi ia hanya mendapatkan perlakuan yang kurang baik.
"Ibu bilang juga apa, jangan menikah dengan Irfan karena dia laki-laki brengsek! Sekarang kalau sudah begini, kamu kembali ke sini, mana bawa anak lagi. Apa kamu tidak bisa melihat, Ibu masih harus melunasi biaya rumah sakit kamu saat melahirkan dulu? Ini malah kesini dan nambah-nambahin beban."
Air mata Sania di tahan agar dia terlihat tegar. Memohon pun percuma kalau ibunya sudah berkata demikian. Ibunya tau kalau Mutiara mudah sakit, tapi Sania tidak akan menjadikan Mutiara sebagai alasan.
Hari itu juga, Sania pergi mencari tempat tinggal yang sedikit lebih murah daripada di kawasan sebelumnya, tetapi dia tidak ingin ke Diora Street. Lingkungan yang buruk untuk membesarkan anak.
Namun, saat Sania hendak menyeberang jalan, sebuah mobil menyerempet Sania hingga tubuhnya terpental.
Nadine muncul dari dalam mobil dan tertawa kecil. "Ups, ada janda gelandangan lewat, ya? Sorry, nggak kelihatan tadi."
Sania meringis, tangannya yang melindungi Mutiara tergores aspal. Beberapa orang berhamburan menolong Sania dibawah pandangan mengejek Nadine.
"Hati-hati kalau bantu dia, nanti ketiban sial!" Nadine berkata keras-keras sehingga membuat orang-orang itu menggantung gerakannya. "Dia janda yang diceraikan karena tidak berguna! Jaga pria ataupun suami kalian, siapa tau nanti kalian yang akan jadi korban."
Usai mengatakan demikian, Nadine berlalu begitu saja tanpa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Sania di bawah berusaha berdiri sendiri dan segera menjauh dari kerumunan yang membicarakannya.
Dalam keadaan terluka, ia berjalan sembari menahan tangis hingga sampai di sebuah kompleks pertokoan yang sepi. Sania duduk di salah satu emperan toko, membuka dompet dan menggigit bibir melihat sisa uangnya.
Mutiara yang semula rewel juga akhirnya tidur dengan perut menahan lapar. Hanya air dari fasilitas umum dan sepotong roti yang ia berikan pada Mutiara hari ini.
Ya Tuhan ....
Sania menengadah ke langit, berdoa dalam tangis yang memilukan. "Momy akan pastikan kamu tidak akan merasakan apa yang Momy rasakan, Mutiara!"
Air mata Sania jatuh begitu saja setiap kali nama Irfan disebut. Sampai sekarang dia tidak lupa perjalanan menyakitkan itu.
Ayah yang seharusnya melindungi buah hatinya, justru menjadi orang yang paling banyak menorehkan luka di hati anaknya.
Sania menarik napas dalam sebelum mengeringkan air matanya. Tangannya meraih ponsel dan mengirimi pesan seseorang, yang tak lama kemudian langsung mendapat balasan.
—Maxwell—
"Akan ku antar langsung ke kantormu begitu semua sudah terkumpul. Aku akan usahakan meski agak sulit. Kau tau kan, Tuan Brooch bukan orang sembarangan."
Sania meletakkan ponselnya dengan tenang ketika Max menyatakan kesulitan menghadapi Tuan Brooch, tetapi Sania pernah bertemu beberapa kali dan karakternya mudah ditebak.
"Mungkin dulu aku kesulitan menghadapi Tuan Brooch karena aku tidak punya uang, tapi sekarang, pengacara terbaik sekali pun akan tunduk padaku."
Sania berdiri, bersedekap menghadap ke jendela besar kamarnya. Taman Deliora terhampar tepat di depan jendela kamar. Pohon-pohon maple telah berdaun penuh, tampak tegak menjulang dan tenang. Sania merasakan juga ketenangan setiap kali melihat pohon-pohon maple membuka daunnya penuh.
Pohon maple di musim ini memperkuat daun dan batangnya untuk menghadapi badai yang akan datang nanti.
Sama seperti Sania. Dia akan memperkuat semua senjata yang dia punya sebelum menyerbu ke kubu musuh.
"Nadine, aku tidak akan kalah lagi olehmu mulai saat ini," tekat Sania dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!