Langit di utara bukan biru yang tenang. Ia selalu kelabu, membawa awan berat yang menggantung seperti firasat buruk yang tak pernah selesai. Angin menggigit, dan salju turun lebih dini dari biasanya, menyelimuti puncak-puncak rumah di Desa valters , perbatasan utara Kekaisaran Balderans.
Di dalam benteng tua yang megah namun tak bernyawa, seorang pria bertubuh tinggi dan berseragam kesatria agung berdiri membelakangi jendela besar. Di luar, ribuan pasukan di bawah panjinya telah kembali dari medan perang yang tak adil, perang saudara kecil yang seharusnya tak terjadi. Perang yang ia menangkan, tetapi ia tahu, bukan kemenangan yang membuatnya kembali hari itu. Ada sesuatu yang lebih gelap menyusup dalam kabut.
Duke Xander Estelle, sang Penjaga Utara, pemilik lambang singa bersayap di atas medan salju, terbatuk keras... darah segar menyembur dari bibirnya. Tubuhnya yang dahulu digerakkan oleh kehormatan kini mulai tunduk pada racun yang lambat, tak kentara namun mematikan. Ia sudah tahu. Ia tak akan bertahan malam ini.
“Daren…” gumamnya, suaranya berat, ditelan oleh lorong-lorong batu yang membatu.
Di ruangan sebelah, seorang bayi perempuan terbaring dalam kain wol, menangis sepelan salju yang jatuh. Ibunya, Duchess sintya Estelle, perempuan bangsawan dari selatan yang memilih cinta ketimbang gelar. Ia telah menghembuskan napas terakhir, beberapa jam setelah melahirkannya. Wajahnya masih pucat, membeku dalam keheningan, dan ruangan itu kini sunyi, kecuali suara tangis bayi yang kehilangan segalanya sebelum mengerti arti kehilangan.
Duke Xander berjalan terhuyung, mendekati adiknya. Lord Marien, satu-satunya kerabat darah yang tersisa. Wajahnya tegas, tapi matanya menyimpan keraguan.
"Kakak izinkan aku membawanya ke ibu kota. Tidak mungkin ia hidup disini, diantara reruntuhan dan perang yang tak henti,"
Xander menggeleng lemah.
"Tidak Marien. Daren... dia adalah darah utara. Ia akan tumbuh disini, ditanah yang sudah ku jaga. Jaga dia untukku, aku yakin dia akan menjadi seseorang yang dapat memakmurkan desa ini."
Marien menunduk, menyembunyikan kilatan ambisi di balik kesetiaan pura-pura.
"Baik. Aku akan menjaganya... Seperti yang kakak inginkan."
Beberapa hari kemudian.
Kabut turun lebih tebal. Peti mati Xander dibakar menurut adat leluhur. Tidak ada lagu duka, tidak ada rombongan dari ibu kota. Hanya ada penduduk desa, dengan pakaian lusuh dan mata yang kering, sudah terlalu banyak kematian di desa itu. Dan sekarang petinggi desa. Xander yang sudah lama menjaga desa Valters telah gugur dalam peperangan.
Ia menghembuskan napas terakhirnya di medan perang.
Sejak kehilangan istrinya, kondisinya tak pernah benar-benar membaik. Semangatnya seakan menguap bersama kepergian wanita yang paling dicintainya dna melihat anak semata wayangnya tanpa belaian kasih sayang. Ia hidup, tapi kosong. Ia berdiri, tapi tak lagi memiliki tujuan.
Namun hari itu, perang besar tak terelakkan. Sebuah pertempuran yang tak bisa ia hindari, sebuah medan yang memaksa dirinya... Duke utara, untuk turun tangan.
Pria itu, dengan sorot mata tajam, tak punya pilihan lain. Ia menatap Daren yang tertidur di ranjang kecilnya, masih bayi, masih polos, tapi sudah menyimpan luka yang tak bisa dilihat siapa pun.
Sebelum pergi melangkah, Xander menunduk, mendekat, lalu membisikkan kata-kata lembut di telinga anaknya yang tertidur.
“Maafkan Ayah...”
Lalu ia mencium kening Daren.
Sebuah sentuhan penuh kehangatan, namun sarat perpisahan.
Dari jauh, seekor burung gagak hitam melintas di langit. Tanda tua perubahan nasib. dan malam itu, Daren yang baru beberapa hari melihat dunia kini harus hidup dari pengkhianatan pamanya.
Marien memandangi bayi itu, tangannya gemetar saat menyentuh kepala bayi yang belum tahu bahwa dunianya baru saja runtuh. Tapi ambisi adalah sesuatu yang tumbuh dari rasa kecil, dan Marien selalu merasa kecil, tidak dipandang penting. Ia merasa dirinya hanya ada di balik bayang-bayang Xander.
"Daren... Kau adalah halangan bagiku," brisiknya lirih.
"Xander bodoh karena mempercayakan segalanya padaku,"
Dengan diam-diam, tanpa seizin dan sepengetahuan Kaisar, Marien membawa Daren kecil ke barak militer yang berada di utara. Tapi bukan ke ruang utama ketua barak, atau pengadilan barak. Ia menyerahkan Daren pada bagian bawah barak militer, tempat pelatih budak, dan calon prajurit kelas rendah.
Ia menyuap, menyembunyikan identitas Daren. Daren bukan sebagai putri bangsawan, tapi seorang anak "tidak sah" yang di buang.
"Anak itu akan sangat kuat jika kalian melatihnya," ucap Merian. Berlalu meninggalkan barak dan berlalu pergi.
Desa Valters, desa yang selalu Dibanjiri darah kematian. Marien duduk di kursi Duke, tawanya menggema di ruangan yang penuh dengan mutiara, emas dan berlian. Harta yang dititipkan Xander untuk anaknya, kini di pakai untuk menyenangkan hidup Marien.
Sementara itu, di salah satu sudut paling terlupakan dari kompleks pelatihan militer, seorang bayi perempuan menangis.
Tangisnya tidak kencang. Tidak nyaring. Tapi lirih dan panjang, seperti suara luka yang tidak pernah dihibur. Bayi itu, dengan rambut perak pucat dan mata hijau yang belum bisa benar-benar terbuka, tergeletak di atas alas jerami tipis di sebuah ruangan kosong yang bahkan tidak layak disebut kamar.
Namanya Daren.
Dan sejak hari ia di buang ke barak militer. , hidupnya dimulai bukan dengan pelukan, tapi dengan penolakan.
Makanan yang diberikan padanya adalah bubur dingin yang hampir basi. Namun terkadang salah satu pelayan yang merasa iba, menyelinap masuk utnuk memberikan Daren susu.
Bagi Daren, teriakan jadi pengganti nyanyian tidur.
Usapan menjadi dorongan kasar.
Dan cinta... adalah hal asing yang tak pernah diajarkan.
Setiap malam, suara tangisan Daren menyelinap di antara suara serangga dan rantai latihan. Tapi tak ada yang datang membujuk. Tak ada yang menyelimuti.
Tapi, tubuh kecil itu terus hidup.
Terus bertahan.
Hari demi hari, napasnya menjadi kuat. Tangisnya mulai jarang terdengar, bukan karena tidak ingin menangis, tapi karena ia tahu tak ada gunanya.
Dia belajar berjalan bukan karena diajar. Tapi karena jika ia tidak bangkit, ia akan diinjak oleh waktu.
Banyak desa mulai bertanya-tanya, kemana perginya Duke Xander?
Sosok pemimpin yang dulu berdiri paling depan dalam badai, kini lenyap tanpa jejak. Tak ada pengumuman resmi. Tak ada upacara keberangkatan. Hanya keheningan yang menyelimuti nama besarnya dan istanya. Beberapa rakyat percaya ia dikirim untuk misi rahasia kerajaan. Beberapa lainnya berbisik bahwa ia telah gugur dalam tugas, namun tubuhnya tidak pernah kembali. Ada pula yang berani bersumpah telah melihatnya terakhir kali di perbatasan utara, berjalan sendirian ke dalam kabut.
Namun, satu hal yang pasti: kepergian Xander diselimuti kabut misteri yang tak terjelaskan. Bahkan kaisar pun tidak mengetahuinya.
Hanya segelintir orang tahu kebenarannya. Dan mereka memilih diam, karena Marien adiknya telah membungkam mereka. Bahkan para pelayan yang sudah lama bekerja di kediaman Duke Xander.
Suara cambuk menari di udara, menghantam lantai batu dengan dentuman yang menggetarkan tulang. Anak-anak berusia delapan hingga empat belas tahun berbaris dalam dua puluh deretan. Tubuh-tubuh kecil mereka menggigil di bawah hujan, tapi tidak satu pun berani mengeluh. Suara pelatih menggema seperti badai datar, bengis, dan tak memberi ruang untuk belas kasih.
"Baris!"
Bentakan kasar menggema, membuat sebagian besar anak menciut. Tapi di tengah barisan, ada satu yang tidak bergerak walau hanya satu inci.
Di tengah barisan, seorang gadis perempuan berdiri tegap. Rambutnya berwana perak keabu-abuan dengan mata biru yang tajam menangkap perhatian siapapun yang melihatnya. Tak ada air mata di pipinya meski bajunya sudah basah karena lumpur dan cipratan darah.
Namanya Daren. Daren kini berusia dua belas tahun, Setidaknya itu yang dia tahu, sebelum mereka mencabut semua identitasnya. Mereka bilang dia budak. Mereka bilang dia bukan siapa-siapa. Mereka bilang anak yang malang.
Anak yang di jual ke barak militer utara ketika masih bayi. Sejak hari pertama pelatihan, Daren tidak menangis, tidak bertanya, dan tidak menatap siapa pun lebih lama dari yang diperlukan. Ia tidak menyukai kontak mata, karena tatapan mereka membuatnya teringat sesuatu yang hilang.
“Jangan bicara,” katanya pelan pada dirinya sendiri, suatu malam di balik jeruji kamar dingin. “Jangan ingat. Kau harus belajar.”
"Dia aneh..."
Bisik anak-anak yang lain.
“Dingin, Rambutnya kayak es.”
Namun Daren tak peduli. Ia berjalan di atas tanah keras dengan langkah tegak yang tak sesuai usianya. Ia tidak menangis seperti yang lain. Ia tidak mengeluh ketika perutnya kosong dua hari berturut-turut. Ia diam. Tapi ia melihat. Menghafal. Menyusun tanpa kebencian dalam tenangnya napas.
Dan dia tidak sendirian.
Ada seorang gadis lain.
Fyona. Ia berbeda dari yang lain. Tidak sekuat Daren, tidak setegas itu saat berlatih. Tapi ada sesuatu dalam caranya mengikat luka dengan kain robek, atau dalam bisikannya yang tenang ketika anak-anak lain menangis diam-diam di malam hari.
Memiliki rambut ikal berwarna cokelat gelap dan tangan-tangan kecil yang selalu hangat.
Suatu malam, saat waktu istirahat dan anak-anak lain tergeletak seperti boneka patah, Fyona duduk di samping Daren dan merobek sebagian kain bajunya untuk membalut luka di lutut gadis berambut perak itu.
"Aku rasa kamu akan menjadi orang penting," bisik Fyona sambil memeras kain ke dalam semangkuk air kotor hasil tampungan.
“Kau jalan seperti... orang yang pernah memimpin pasukan. Tapi tubuhmu jalan seperti kau gak pernah diizinkan jadi manusia.”
Daren tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, matanya berkedip sedikit lebih lama. Seolah... menyimpan sesuatu.
Fyona tersenyum tipis. “Orang-orang bisa lupa siapa kamu. Tapi tubuhmu ingat. Tulangmu ingat.”
Ia menatap luka itu sebentar, lalu menambahkan, “Jangan mati ya. Kalau kamu mati, siapa yang bakal ngajarin aku cara untuk bertahan hidup?”
Kali ini Daren menjawab, tatapannya tertuju pada bulan yang bersinar di kegelapan langit. "Aku tidak ingin mati, aku menyukai hidup yang keras ini."
Mereka tidak banyak bicara setelah itu. Tapi tiap malam, jika Daren kembali dengan luka baru, Fyona ada di sana. Dengan kain robek, ramuan pahit dari akar tumbuhan sisa dapur, dan cerita kecil tentang suatu hari, saat dunia tidak lagi membusuk seperti tempat ini.
Di luar sana, para penjaga dan petinggi barak sedang ricuh. Suara bisikan cepat bercampur dengan nada geram dan penuh tekanan.
"Aku tidak tahu kalau bocah itu anak bangsawan..." bisik seseorang dengan nada panik.
"Tapi kau sudah keterlaluan! Petinggi-petinggi seperti kalian seharusnya dihukum tanpa ampun!" seru seorang lelaki dengan nada lantang, jelas berasal dari luar struktur barak biasa.
Sementara itu, suasana barak berubah mencekam. Para penjaga dan petinggi barak yang biasanya bersikap angkuh kini saling berbisik dengan wajah pucat. Suara derap pasukan dari Kekaisaran semakin banyak terterbuka, langkah-langkah teratur dan berat yang menandakan bukan hanya satu divisi biasa, melainkan pasukan elite Kekaisaran.
Mereka datang dengan bendera resmi. Dengan panji keluarga kerajaan. Dengan wajah-wajah yang dikenal di istana.
Panik mulai menyebar.
Para petinggi barak tidak tahu bahwa Daren adalah anak dari Xander Estelle. Duke besar yang dulu dihormati dan kini menjadi nama terlarang di antara para penguasa.
Namun ketakutan mereka bukan hanya karena itu.
Mereka tahu... barak ini penuh dosa.
Barak ini bukan tempat resmi. Ini adalah ladang pelatihan ilegal, tempat anak-anak kecil, bahkan yang belum genap sepuluh tahun... dipaksa berlatih dalam penderitaan. Mereka disiksa. Dipukuli. Dijadikan alat.
Banyak dari anak-anak itu bukan berasal dari keluarga militer, melainkan ditangkap atau dijual. Beberapa di antaranya hilang. Tak pernah kembali. Dan semua itu ditutup rapat oleh "kedisiplinan" dan dalih pengabdian.
"Suruh semua anak keluar dan berbaris di halaman!" perintah salah satu pria dari Kekaisaran dengan suara lantang, penuh wibawa.
Tanpa membantah, puluhan prajurit Kekaisaran segera menyebar. Mereka menggeledah setiap ruangan, membuka pintu-pintu dengan paksa, memeriksa lorong-lorong gelap, menyeret keluar para pelatih dan petinggi barak yang mencoba bersembunyi.
Sementara itu, para petinggi barak, yang selama ini memegang kekuasaan atas tempat itu, telah ditangkap. Tangan mereka dibelenggu, wajah mereka tertunduk, beberapa bahkan memohon dengan suara bergetar. Namun tak satu pun dari pasukan Kekaisaran memberi belas kasihan.
Kini, kedok itu terbuka.
“Kekaisaran benar-benar sangat lengah…” ujar seorang pria tampan, tinggi menjulang, dengan rambut pirang keemasan yang tersisir rapi. Matanya merah menyala seperti bara, menyorotkan ketajaman yang menusuk udara sekitar. Ia mengenakan mantel Kekaisaran yang mewah, kainnya berkilau dan berkelas, menandakan kedudukannya yang tak sembarangan.
Dialah putra mahkota Kekaisaran Balderans. Gerald Valeon Therando.
Di sampingnya berdiri seorang pria lain, pakaian seperti komandan tinggi Kekaisaran. Bahunya tegap, langkahnya mantap, dan auranya dipenuhi kewibawaan. Rambutnya berwarna kuning pucat, sedikit acak, namun tidak mengurangi ketajaman matanya yang berwarna hijau menyala, menelusuri barak yang kini dalam kekacauan.
Komandan Kanel. Salah satu nama paling disegani di medan perang, dan... yang dikenal karena pandangannya yang tajam terhadap segala bentuk pengkhianatan.
Mereka berdiri di atas dataran tinggi barak, mengamati kericuhan di bawah dengan tenang namun penuh ancaman.
"Tempat ini sangat kacau. Kau lihat sendiri, paman," ujar Gerald dingin.
Kanel mengangguk pelan. “Bocah itu... telah tumbuh di antara lumpur, tapi tetap membawa darah Estelle. Kalau benar itu dia, ini sungguh aib bagi Kekaisaran. Dan banyak orang tidak akan senang.”
Gerald tidak menjawab. Ia hanya memandangi barak itu dan berpikir, betapa tipis garis antara seorang anak biasa... dan takhta yang mengancam stabilitas seluruh kerajaan.
"Semuanya tolong berkumpul dan berbaris, Cepat!" Teriak seroang prajurit Kekaisaran di kamar barak itu.
Angin malam membawa bau besi dan hujan. Ruang pelatihan anak-anak telah lengang, tapi beberapa penjaga masih berdiri di bawah lentera gantung, berjaga seperti biasa, datar dan membosankan. Tak ada yang menyangka malam itu akan berbeda.
Daren sedang duduk diam, membiarkan Fyona membalut luka di bahunya. Mereka duduk di belakang gudang persenjataan kecil, satu-satunya tempat yang tidak diawasi ketat. Fyona mengunyah tanaman pahit yang ia sembunyikan di balik baju, mencoba menyeduhnya menjadi pasta penyembuh.
Tiba-tiba, langkah-langkah berat terdengar dari koridor utama. Tidak seperti langkah penjaga. Lebih tenang. Lebih tegap.
Fyona reflek menarik Daren agar bersembunyi di balik tumpukan peti kayu. Tapi sebelum mereka sempat, suara perintah terdengar.
"Semuanya berkumpul! Berbaris Cepat!"
Seorang prajurit bintang lima, bertiak di tengah prajurit lain yang terus menggeledah.
Daren berdiri tegap. "Ayo berbaris," ucapnya tenang.
Fyona yang belum menyelesaikan pengobatan untuk Daren, merasa kecewa. Mereka diperintah tanpa henti, dipanggil tanpa henti dan selalu mendapat hukuman."Oke, ayo pergi,"
Langkah-langkah berat memecah kesunyian. Bukan langkah penjaga biasa. Sepatu kulit mahal. Iringan bayangan dari lentera kerajaan.
Semua anak-anak menunduk berbaris ketakutan, kecuali Daren. Tubuhnya berdiri tegap, tatapannya kosong melihat pasukan dari istana yang berjalan mantap.
“Yang itu. Bawa dia keluar,” kata suara bariton, tegas tapi tak bernada amarah.
“Sesuai perintah Sang Kaisar,"
Fyona nyaris tersedak. Ia menarik tangan Daren.
“Daren... itu... itu bukan penjaga biasa...”
Lalu muncullah sosok yang mereka kenal hanya dari dongeng para budak dan obrolan tentara mabuk. Putra Mahkota Gerald Valeon Therando. pewaris utama takhta Kaisar Theron, Anak tunggal dari Permaisuri Aurenne kerajaan Balderans.
Ia tampak terlalu tenang dan tajam untuk usianya. Sembilan belas tahun dan sudha memiliki postur tubuh yang tinggi, kekar dan berwibawa. Ia menatap ruangan dengan sikap seorang raja, meski belum dinobatkan.
“Atas titah sang Kaisar: Anak perempuan dari barak Pelatihan Utara, Nomor 47, darah dari keluarga Estelle, ditemukan memiliki kecocokan tempur dan garis keturunan langsung. Akan dibawa ke ibu kota malam ini.”
Semuanya membisu.
Fyona memegangi tangan Daren lebih erat, panik.
“Itu kau, Daren... Mereka bicara tentang kau! Mereka pasti tahu tentang keluargamu....”
Daren berdiri. Tak gentar, tapi juga tidak sombong.
Seolah... ia memang menunggu dijemput, hanya belum tahu oleh siapa.
Gerald melangkah maju. Pandangannya bertemu dengan mata biru milik Daren. Dan untuk pertama kalinya malam itu, sang putra mahkota tersenyum kecil, bukan senyum bahagia, tapi senyum yang seolah berkata: Aku tahu rasa ditinggalkan dunia seperti apa.
“Nama asli?” tanyanya singkat.
Daren menatap lurus. Suaranya nyaris tak terdengar.
“Daren.... Virana."
Gerald mengangguk. “Kau akan ikut denganku ke Istana Timur.”
Fyona memberanikan diri, melangkah maju. “Bolehkah aku ikut? Dia tidak punya siapa-siapa...”
Komandan Kanel hendak melarang, tapi Gerald mengangkat tangannya menghentikan.
“Yang ini?” tanyanya, menatap Fyona.
Daren menoleh pada Gerald. Untuk pertama kalinya, ia berbicara lebih banyak kata.
“Dia bisa menyembuhkan. Lebih banyak menyelamatkan dari pada saya melukai. Dia... temanku.”
Gerald terdiam sejenak. Kemudian memberi isyarat.
“Bawa keduanya.”
Malam itu, dua gadis kecil dibawa keluar dari dunia kegelapan.
Yang satu diam, kuat, dan berisi amarah tak bersuara.
Yang satu lagi gadis tabib kecil yang tak pernah berhenti bicara.
Mereka tidak tahu bahwa perjalanan itu bukan menuju kebebasan. Tapi ke dalam medan perang yang lebih besar, lebih licik, dan lebih kejam dari semua cambuk pelatihan.
Istana.
“Kau lihat cara gadis itu berdiri?” bisik penjaga tua kepada rekan di sebelahnya.
“Bukan budak. Dia berdiri seperti... putri dari medan perang.”
Dan Kaisar, jauh dari sana, sedang menunggu untuk melihat...
Apakah warisan Xander bisa bangkit.
Kereta kerajaan bergerak tenang di tengah malam. Di luar, hujan mulai turun ringan. Lentera gantung bergoyang di setiap sudut jalan, menciptakan bayangan seperti hantu-hantu masa lalu yang berjalan mengikuti. Bunyi roda kereta di atas batu basah membentuk irama sendu yang menyatu dengan desau angin dan detak hati yang belum tenang.
Daren menatap ke luar jendela. Wajahnya kosong, tapi tangan kecilnya menggenggam erat lencana perak yang baru diberikan oleh utusan istana. Sebentuk ukiran naga bersayap dengan lambang mahkota di tengahnya. Tanda bahwa ia bukan lagi sekadar anak barak. Di seberangnya, Fyona mulai terlelap, kepalanya bersandar ke bantal kain beludru, sambil memeluk tas kecil berisi peralatan pengobatan. Sesekali tubuhnya berguncang, tapi ia tetap memeluk erat benda itu seolah nyawanya ada di dalam sana.
“Menurutmu... seperti apa istana itu?” tanya Fyona setengah sadar, matanya belum sepenuhnya terbuka.
Daren tak menjawab. Ia masih menatap luar, melihat pohon-pohon tinggi yang bergoyang seakan sedang membisikkan peringatan. Perjalanan mereka baru dimulai, dan istana, empat yang hanya pernah ia dengar dari bisikan orang dewasa, masih begitu asing dalam bayangannya.
Perjalanan menuju istana memakan waktu empat hari tiga malam. Mereka berhenti di benteng istirahat militer, berganti kuda, dan tidur di tempat yang lebih mewah dari apa pun yang pernah Daren bayangkan. Namun, kemewahan itu tidak pernah mampu menenangkan hatinya. Semua terasa asing. Makanan yang lezat tidak bisa menyaingi rasa hangat bubur basi barak utara. Tempat tidur empuk terasa terlalu sepi. Bahkan suara malam tidak terdengar karena dinding tebal menghalau segalanya.
Fyona mencoba menghibur diri dengan berbicara sepanjang malam, bercerita tentang apa yang akan ia lakukan jika jadi tabib istana. Tapi Daren hanya mendengarkan. Ia tahu, yang mereka tuju bukan hanya istana, tapi juga ujian besar.
Pada malam kedua, saat hujan turun deras, mereka berhenti di sebuah rumah peristirahatan kecil di pinggiran Kota Dalam. Daren berdiri di balkon sempit, membiarkan angin malam dan titik hujan membasahi wajahnya. Di kejauhan, puncak istana masih belum mulai terlihat.
“Apa kau takut?” tanya Fyona, tiba-tiba muncul dengan selimut di tangannya.
“Tidak,” jawab Daren pelan. “Tapi aku tahu, dunia yang akan kita masuki... bukan dunia yang membiarkan kita bertahan tanpa luka.”
Fyona menunduk, menggigit bibirnya. “Kalau kau berubah, aku akan tetap percaya padamu. Karena aku ingat kamu sebelum semua ini.”
Pada hari berikutnya...
Di luar kereta, pasukan pengawal berkuda mengiringi dalam diam. Jalanan mulai berubah, dari tanah berbatu menjadi jalan batu marmer hitam. Tanda bahwa mereka mulai memasuki kawasan kota dalam, tempat hanya keluarga bangsawan dan elit kekaisaran diperbolehkan tinggal.
“Daren...” gumam Fyona lagi. “Apa kita... tidak akan dibunuh?”
Daren akhirnya menoleh, pelan. Matanya menatap wajah sahabat kecilnya yang tertidur dengan cemas. “Tidak," katanya, ia mencoba menenangkan Fyona walau dirinya sendiri tidak tahu antara hidup dan mati.
Dan akhirnya...
Pada hari keempat, kereta berhenti di gerbang istana utama. Pintu-pintu raksasa terbuka perlahan, diiringi tabuhan genderang lambat yang menandai kedatangan tamu istimewa. Pasukan pengawal berdiri dalam dua barisan, dan para pelayan istana mulai berdatangan, membungkuk dengan wajah datar namun penuh kewaspadaan.
Daren turun lebih dulu. Sepatu lusuhnya menyentuh marmer putih mengilap yang terasa dingin menembus telapak. Ia berdiri, menatap bangunan besar di hadapannya. Bangunan tempat para penguasa tinggal, memerintah, dan juga menyimpan banyak rahasia kelam.
Fyona turun menyusul, menggandeng lengan Daren sebentar sebelum melepaskannya ketika pengawal lain mendekat.
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan utama membungkuk. “Yang bernama Daren dan gadis kecil satunya. Selamat datang di Istana Balderans.
Daren mengangguk. Tak ada waktu untuk kagum. Tak ada tempat untuk ragu.
Dan di atas tangga istana, Kaisar berdiri diam di balik jendela besar ruang kerajaannya. Ia melihat kedatangan Daren dan menarik napas panjang. Matanya tenang, tapi raut wajahnya sulit untuk di jelaskan.
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu...
Gadis kecil yang berdiri tegap di bawah sinar matahari pagi itu, adalah awal dari sesuatu yang besar. Sesuatu yang bahkan seorang kaisar tidak bisa kendalikan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!