NovelToon NovelToon

Akan Ku Balas Rasa Sakit Ini

Impian Yang Mati

Menikah dengan pria yang dicintai adalah impian dari seorang gadis. Tidak terkecuali gadis cantik dengan mata sebening kristal dan berkulit seputih susu Luna Aurora Abraham.

Tapi rencana pernikahannya ditentang keras oleh papanya Bramantyo Abraham, seorang pengusaha sukses yang telah membawa bisnisnya menggurita hingga ke Eropa. Begitu juga kakaknya Ervan Abraham.

Kedua pria tangguh ini tidak ingin putri dari keluarga terpandang seperti Luna harus mendapatkan suami dari kalangan bawah, yang setelah mereka selidiki identitas dan kepribadiannya bukan seorang pria yang baik.

Tapi cinta itu buta, meskipun darah pebisnis mengalir deras di pembuluh nadi yang membuat gadis berusia 22 tahun itu sukses.

Ya, Luna memiliki perusahaan miliknya sendiri yang dia bangun sejak masih duduk di bangku kuliah. Kecerdasan yang menurun dari keluarganya. Luna hanya tinggal bersama Papa dan Kakaknya, karena mamanya telah meninggal dunia saat melahirkan dirinya.

Kecerdasan Luna, tidak berlaku saat dirinya jatuh cinta pada seorang pria sederhana bernama Bima Pratama.

"Jika kamu memaksa menikah dengan laki-laki tidak punya masa depan seperti kekasihmu itu, maka pergilah dari rumah ini. Dan jangan pernah pergunakan nama belakangmu. Karena Papa akan mencoretmu dari daftar kartu keluarga." Ucap Papa Bram menatap sengit putri bungsunya.

"Baiklah jika itu yang Papa inginkan." Ucap Luna dengan tegas.

"Kamu akan menyesal Luna tidak mendengarkan omongan kami keluarga kandungmu sendiri. Demi orang yang baru kamu kenal." Ucap Ervan sengit.

"Aku tidak akan menyesal, karena aku mencintai mas Bima dengan tulus. Begitu juga sebaliknya, mas Bima tidak seburuk yang kalian katakan padaku. Bahkan dia tidak tahu identitas asliku." Ucap Luna.

"Tapi dia tahu, jika kamu pemilik perusahaan Skin Care. Memiliki hunian mewah yang membuat dia mengejarmu, Luna. Buka lebar-lebar mata dan telingamu. Jangan hanya peduli tentang cinta. Cinta yang buta, yang akan membuatmu sengsara." Ervan masih berusaha mengingatkan Luna.

"CUKUP, cukup kakak mengatakan hal buruk tentang kekasihku." Sentak Luna.

"Biarkan saja Ervan, kita cukup jadi penonton jika suatu hari apa yang kita omong menjadi kenyataan. Biar adikmu membuktikannya sendiri."

"Tapi... Luna adalah kesayangan Papa."

"Tidak lagi, selangkah saja Luna keluar dari rumah ini. Tidak hanya dalam kartu keluarga, tapi dia juga akan Papa hapus dari hati." Ucap Papa kecewa.

"Jangan pernah kembali ke rumah ini, pergilah segera!" Ucap Ervan.

Pernikahan pun terjadi beberapa minggu setelah Luna pergi dari keluarganya. Mengaku seorang yatim piatu Luna menikah tanpa didampingi seorang pun.

Luna yang bahagia lantaran memiliki keluarga baru, mempersilahkan Ibu mertua dan adik iparnya untuk tinggal bersama di rumahnya yang mewah.

"Luna, kenapa kamu belum masak pagi ini?" Teriak Ibu mertuanya yang bernama Ratna Saraswati, seorang wanita paruh baya yang menjadi sombong setelah Luna menikahi putranya.

"Maafkan aku Bu, aku sedang tidak enak badan. Tiba-tiba perutku sakit." Ucap Luna sambil memegang perutnya yang besar. Ya, Luna sedang mengandung 8 bulan.

"Halah... Kamu ini bisanya alasan saja, justru dengan kehamilan yang sudah besar seperti itu harusnya kamu banyak bergerak supaya mempermudah proses kelahiran. Jangan manja begitu, ayo sekarang masak ibu tunggu."

"Tapi Bu..." Ucapan Luna dipotong oleh Bima yang baru turun dari kamarnya dengan setelan kemeja rapi. Padahal sekarang hari Minggu.

"Mas Bima mau kemana minggu pagi begini, kan kantor kita libur mas?" Tanya Luna mendekati sang suami yang terlihat berbeda semenjak usia kehamilannya semakin besar.

"Aku ada urusan di luar kota untuk beberapa hari. Jadi jangan ganggu aku dengan teroran telepon atau pesan singkat sepanjang waktu. Urus saja tubuhmu itu.

"Memangnya ada apa dengan tubuhku mas, apa karena sekarang aku menjadi gemuk membuat kamu sudah beberapa bulan tidak mau menyentuhku lagi?" Ucap Luna menahan tangisan.

"Ya harusnya kamu sadar diri Luna, siapa juga yang berselera dengan wanita yang tidak bisa menjaga bentuk tubuhnya." Ucap Bima tanpa perasaan melukai hati Luna.

"Tapi aku sedang hamil anakmu mas, anak kita." Protes Luna.

"Sudahlah Luna, aku pergi dulu. Jangan menghalangiku." Tanpa mau mendengar rengekan istrinya, Bima pergi dengan mengendarai mobil mewah milik Luna.

"Daripada kamu menangis lebih baik kamu masak. Siang ini Ibu akan pergi arisan, jangan lupa transfer uangnya." Ucap Ibu Ratna.

"Bukankah seminggu yang lalu aku sudah memberi Ibu uang 50 juta, apa sudah habis Bu?"

"Uang segitu dapat apa Luna, kemarin adik kamu minta dibelikan baju baru untuk pesta dengan teman-temannya. Katanya kamu sudah lama tidak memberinya uang jajan."

"Aku sudah memberi Elina Ambarsari uang jajan sebulan sekali, Bu."

"Tapi uang yang kamu berikan tidak cukup Luna. Kamu ini semakin hari semakin pelit saja. Kalau bukan kita keluargamu yang menggunakan uangmu, mau kamu berikan kepada siapa?" Sengit Ibu Ratna.

"Tapi itu tabunganku untuk lahiran Bu, dan sejak mas Bima menggantikanku menjadi CEO di perusahaanku, dia tidak lagi memberiku nafkah."

"Kamu sudah mulai perhitungan dengan Bima? Jangan lagi mengatakan jika perusahaan itu milikmu. Karena harta istri sama juga harta suami dan keluarganya. Ingat kamu hanya anak yatim yang tidak punya tempat berlindung. Jika bukan pada kami siapa lagi?" Ucapan Ibu Ratna sungguh melukai perasaan Luna.

"Kenapa Ibu berkata seperti itu."

Ibu Ratna berlalu pergi begitu saja mengabaikan tangisan pilu sang menantu. Dengan hati yang terluka, Luna mulai melakukan tugasnya sebagai seorang istri sejak setahun yang lalu. Pekerjaan yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan. Memasak, mencuci dan membersihkan seluruh penjuru rumah. Karena kurang hati-hati, minyak goreng yang dipegang luna tumpah.

"Ckkk... Kenapa bisa tumpah sih, ini tanganku kenapa mendadak tremor." Gumamnya kemudian Luna ingin membersihkannya dengan lap kering yang ada di laci lemari. Tapi malang tidak bisa ditolak, kaki Luna justru menginjak tumpahan minyak yang tak terlihat di pinggir lemari.

Bruk...

Brak...

Luna tergelincir menabrak kaki meja dengan posisi miring.

"Ahh... Sakittt..." Teriak pilu Luna. Darah segar mengalir dari sela pahanya hingga membuat genangan merah di lantai marmer berwarna putih.

"Ada apa sih, di suruh masak malah teriak tidak jelas." Sentak Ibu Ratna berkacak pinggang.

"Apa yang kamu lakukan hah... Kamu sengaja ingin membunuh cucuku?" Maki Ibu Ratna melihat darah.

"Bu, tolong panggilkan ambulan, atau pesankan taksi bawa aku ke Rumah Sakit." Pinta Luna terisak sambil menahan rasa sakit yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Dasar menantu tidak berguna, menyusahkan." Meskipun masih memaki, tapi Ibu Ratna dengan sigap memesan taksi online. Karena dia tidak mau Luna mati di rumah ini.

Ternyata bayi yang dikandung Luna tidak bisa diselamatkan lagi. Bayi gembul berjenis kelamin laki-laki itu sudah tidak tidak memiliki detak jantung setibanya di Rumah Sakit. Luna menangis histeris merasa nasibnya sungguh tidak berpihak padanya. Di saat seperti itu justru tidak ada kehadiran sang suami yang seharusnya memeluk dan menghiburnya.

"Bu... Bayiku meninggal, tolong telepon mas Bima suruh segera pulang." Pinta Luna mengiba pada mertuanya.

"Untuk apa aku harus menuruti perkataan wanita sepertimu. Menjaga kandungan saja tidak bisa, dasar ceroboh."

"Bu, ini musibah. Aku juga tidak mau anakku tiada. Kenapa Ibu terus saja menyalahkan aku. Seharusnya Ibu bersimpati." Teriak Luna.

Plak...

"Berani sekali kamu meninggikan suaramu padaku." Sentak Ibu Ratna.

Dan sejak saat itu, Luna menjadi pribadi yang tertutup dan lebih pendiam. Luna hanya mengurung diri di kamar tanpa mau melakukan apa pun selain menangis.

Apalagi sikap suami dan Ibu mertuanya semakin keterlaluan. Mereka kerap menghinanya sebagai perempuan pembawa sial.

"Dasar istri gila, setiap hari hanya bisa menangis sambil memeluk baju bayi. Kamu pikir dengan begitu, anakku bisa hidup lagi?" Ucap Bima semakin menyudutkan Luna.

Tapi Luna tidak bereaksi apa pun, hingga suatu hari Bima membawanya pergi dari rumah. Luna kira, dirinya akan dibawa berlibur untuk menghilangkan pikiran yang stres.

Tidak tahunya, Bima membawanya ke Rumah Sakit Jiwa yang terletak jauh dari kota tempat tinggalnya. Bima mengatakan pada Dokter, jika Luna depresi karena kehilangan bayinya.

Sehari, dua hari, seminggu, bahkan sudah hampir sebulan Luna ditinggal begitu saja di tempat yang tidak seharusnya dia datangi. Luna memang stres tapi tidak gila.

Setelah lama tidak menjenguk Luna, tiba-tiba Bima datang berkunjung dengan membawa banyak berkas-berkas penting. Ternyata itu semua adalah berkas pengalihan seluruh aset kekayaan Luna untuk Bima dengan dalih Luna sedang sakit yang tidak mungkin mengurusi perusahaan dan aset lainnya. Dengan dibantu dokter dan pengacara, Bima memaksa Luna menandatanginya.

Luna hanya pasrah, dalam hati dia mengutuk perbuatan Bima. Jika dia berontak, itu akan semakin meyakinkan pengacara jika dirinya memang sakit jiwa seperti tuduhan Bima.

Bulan berganti bulan, sudah hampir lima bulan Luna terkurung di Rumah Sakit Jiwa. Bukan kondisi mentalnya yang sakit, tapi seluruh badannya yang terasa semakin lemah.

Luna yang memang tidak gila, tidak sengaja mendengar pembicaraan Dokter dengan sesorang di sambungan telepon.

"Sudah tuan, setiap hari nyonya Luna sudah saya berikan obat yang Anda berikan. Obat itu akan membuat kinerja syarafnya melemah. Dan lebih parahnya lagi jika diminum dalam jangka panjang, maka nyonya Luna akan lumpuh permanen."

Sejak saat itu, Luna setiap harinya hanya akan berpura-pura meminum obatnya sampai dokternya pergi.

Hingga suatu hari, Bima datang berkunjung dengan menggandeng wanita hamil yang ternyata adalah kekasih barunya.

"Aku akan menikah dengan Maya karena dia sedang mengandung anakku."

"Dasar suami tidak punya moral, aku menyesal pernah mencintaimu Bima."

Luna yang marah karena Bima berani mengkhianatinya pun berniat menyerang wanita yang katanya sedang hamil. Tapi, Bima berhasil menghalangi serangan Luna dan melindungi kekasih barunya. Kemudian Bima membalas serangan Luna dengan mendorong kuat tubuh ringkih itu hingga terpelanting. Kepala Luna membentur keras ujung pagar besi yang patah dan terlihat berkarat.

Darah yang keluar dari luka Luna cukup banyak. Di ujung nafasnya Luna berkata lirih sambil menatap penuh dendam pada Bima.

"Jika aku diberi kesempatan kedua oleh Tuhan, aku akan mendengarkan nasehat Papa dan Kak Ervan. Aku tidak akan terjerat dengan cinta palsumu Bima. Aku akan buat kamu menyesal pernah melukaiku."

Membatalkan Pernikahan

Sebelum waktu terulang, hari ini adalah hari paling membahagiakan bagi seorang Luna Aurora karena besok pagi dia akan merubah status menjadi seorang istri dari kekasihnya yang paling dicintainya Bima Pratama.

Bahkan saking antusiasnya, Luna sudah memboyong seluruh anggota keluarga Bima sebulan yang lalu atas permintaan calon ibu mertuanya tentu saja.

"Luna, sebentar lagi kamu akan menjadi istri Bima putra ibu satu-satunya. Selama ini, Bima sudah menjadi tulang punggung bagi keluarga kami. Apakah setelah kalian menikah, akan membiarkan ibu dan adiknya Bima tinggal berdua saja di rumah kontrakan kecil ini. Sedangkan ibu punya menantu kaya raya." Ucap Ibu Ratna Saraswati.

"Mbak Luna, sudah menjadi hal wajar jika keluarga itu berkumpul jadi satu. Lagi pula siapa yang akan mengantar aku sekolah, jika mas Bima pindah ke rumah kamu?" Tanya Elina Ambarsari.

"Baiklah, kalau begitu kalian bisa tinggal bersamaku. Bawa saja barang yang penting saja, karena kebutuhan lainnya akan aku belikan baru."

Dan sejak hari keluarga Bima menginjakkan kaki di rumah Luna, kedamaian terasa berkurang. Meskipun begitu, Luna nampak memaklumi, mungkin karena pertama kalinya bagi mereka tinggal di rumah mewah. Setiap hari Luna diminta memasak masakan yang enak dalam porsi banyak. Dengan alasan, calon Ibu mertuanya tidak bisa memasak masakan yang lezat.

"Kamu saja yang masak Luna, Ibu ini hanya wanita kampung. Bisanya ya cuma masak makanan kampung, pasti kamu tidak doyan."

"Iya, mba hitung-hitung belajar menjadi istri dan menantu yang baik. Dengam begitu mas Bima betah di rumah karena istrinya pandai memasak." Ucap Elina mempengaruhi pikiran Luna supaya semakin menurut.

Tidak hanya urusan masak, bahkan mencuci baju pun Luna yang mengerjakan semua. Ibu Ratna dengan alasan klasiknya tidak bisa menggunakan mesin cuci. Dan kalau mencuci pakai tangan, Ibu Ratna mengaku lututnya sakit jika duduk terlalu lama di bawah. Sedangkan, Elina beralasan sibuk mengerjakan tugas sekolah. Padahal di kamar hanya bermalasan.

Semua itu Luna lakukan karena cintanya pada Bima melebihi apapun. Bima yang baik hati, bahkan rela terluka karena menyelamatkannya dari tindakan asusila yang hampir Luna alami saat pulang kerja dan mobilnya mogok di jalanan sepi.

Tapi itu sebelum waktu terulang, Luna bodoh karena cinta. Cinta buta yang membawanya pada kematian.

Saat ini, Luna tengah mengumpulkan seluruh anggota keluarga yang menumpang hidup bagaikan benalu di ruang tamu yang sudah disulap sebagai tempat akad nikah besok pagi.

"Ada apa sih sayang, kok kamu terlihat serius ingin bicara dengan kami semua malam ini. Besok acara pernikahan kita, seharusnya kamu istirahat sekarang." Ucap Bima.

"Aku ingin membatalkan pernikahan kita mas Bima." Ucap Luna tegas.

"Maksud kamu apa ini, membatalkan pernikahan sehari sebelum akad nikah. Apa aku punya kesalahan yang membuatmu marah sayang?" Tanya Bima.

"Banyak mas, kesalahan kamu banyak dan tak termaafkan." Tapi Luna hanya bisa menjawab dalam hati. Belum saatnya benalu itu tahu.

"Tidak ada, mas Bima tidak melakukan kesalahan. Tapi aku yang salah karena tidak jujur padamu." Ucap Luna sengaja memancing reaksi negatif dari Ibu dan adiknya.

"Maksud kamu apa Luna? Apa kamu selingkuh di belakang putraku, benar begitu?" Tanya Ibu Ratna dengan raut wajah tak terbaca.

Gotcha...

Ternyata pikiran mereka buruk.

"Bukan perkara selingkuh atau diselingkuhi. Aku mencintai mas Bima begitu juga sebaliknya. Tapi ada hal yang lebih penting dari itu."

"Apa, tolong jangan berbelit-belit mba Luna. Aku ini sedang sibuk." Ucap Elina nampak enggan.

"Perusahaanku bangkrut, dan rumah ini sudah aku jadikan jaminan pinjaman di bank yang akan disita."

"Jadi aku memutuskan untuk pergi dari kota ini, karena jujur aku malu dan takut dikejar-kejar dept collector." Ucap Luna.

"APA BANGKRUT?" Tanya Ibu Ratna terlihat berwajah pucat karena terkejut.

"Benar Bu, dan besok pagi pihak bank akan datang untuk menyegel rumahku ini. Tidak masalah jika mas Bima akan marah."

"Tapi aku tidak bisa berbuat apapun lagi saat ini. Jika mas Bima masih ingin menikahiku aku terus terang sangat bahagia. Tapi setelah menjadi istri, aku ikut tinggal bersama mas di rumah Ibu yang dulu. Dan mas Bima harus siap memberiku nafkah." Ucapan Luna menjadi momok menakutkan bagi Bima dan keluarganya.

"Sebaiknya kita tunda dulu pernikahan kita sampai perusahaan kamu kembali pulih seperti semula. Bukan tidak mau jika kamu ikut denganku. Tapi aku takut, kamu tidak terbiasa hidup menderita." Ucap Bima, seolah menjadi pria yang sangat tulus mencintai Luna hingga memikirkan kenyamanan hidup calon istrinya itu.

"Aku rela hidup miskin mas."

"Dasar bodoh, aku yang tidak rela." Maki Bima dalam hati.

"Ayo Bima kita pergi dari sini malam ini. Jangan sampai besok pagi, pasti akan sangat memalukan jika tetangga tahu kamu gagal nikah dan calon istrimu bangkrut." Ucap sinis Ibu Ratna.

"Kenapa Ibu berkata seperti itu, jika memang mas Bima mencintaiku..."

"Tidak ada cinta tanpa harta. Ayo Bima, apa kamu memang mau menanggung hidup Luna dengan keringat dan keringatmu sendiri. Ingat kamu masih punya Ibu dan Elina yang wajib kamu nafkahi."

"Iya, Bu kita pulang sekarang. Maaf Luna, jika terpaksa aku menyetujui pembatalan pernikahan ini. Bukan karena aku tak mencintaimu, tapi..."

"Ya, aku paham mas Bima. Sangat paham, maafkan aku ya. Apa mas masih mau menunggu sampai perusahaanku bangkit kembali?" Tanya Luna dengan wajah dibuat sendu.

"Menunggu sampai kapan?" Tanya Bima.

"Tidak tahu, tidak menjamin juga dalam waktu dekat." Jawab Luna.

"Kita bicarakan ulang setelah kamu perusahaanmu benar-benar sudah bangkit."

"Hmmm... Baiklah, aku mengerti. Maaf." Seolah berat melepaskan, padahal dalam hati Luna mengutuk mulutnya sendiri yang berkata manis pada lintah.

Setelah kepergian mereka semua, Luna luruh ke lantai. Bukan karena sedih sudah berhasil mengusir mereka, tapi karena teringat dengan keluarganya.

"Papa, maaf aku salah. Kak Ervan benar, sekarang aku menyesal."

Semalam suntuk Luna tidak bisa tidur, dia terus memikirkan jika dia sudah diberi kesempatan kedua. Seharusnya Luna sudah mati akibat dorongan kuat Bima yang membuatnya jatuh tersungkur dengan kepala bocor akibat terbentur ujung pagar besi. Tapi sekarang dia hidup lagi, dan harus mengubah takdir menjadi lebih baik daripada kehidupan sebelumnya.

Akhirnya pagi pun tiba, Luna segera meminta pada pihak WO untuk membongkar seluruh tenda pernikahan. Setelah ini, Luna akan kembali pulang ke rumah dan memohon ampun kepada papa dan kakaknya. Setelah rumah kembali bersih, Luna segera mengemasi pakaian dan barang penting lainnya termasuk semua berkas kepemilikan perusahaan yang dibangunnya sendiri.

Tak lupa, Luna sudah membeli banyak plakat bertuliskan DISEGEL, untuk dia tempel di pintu rumah sati dan pintu pagar satu.

Meskipun berat, tapi kaki Luna tetap melangkah. Memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah yang menjadi huniannya selama beberapa tahun sebelum kematiannya.

Menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya Luna tiba di halaman rumah.

Rumah tempat dia dibesarkan hanya dengan kasih sayang dua orang lelaki tanpa seorang Ibu. Papa dan Kakaknya tidak pernah kurang melimpahinya dengan banyak kebaikan, tapi sebelum waktu terulang apa yang diberikan oleh Luna pada mereka.

Tiiinnn...

Luna membunyikan klakson dengan kencang, supaya Pak Amir satpam rumah membukakan pintu gerbang untuknya.

"Apa Papa masih di rumah pak?" Tanya Luna membuat petugas keamanan itu tersentak kaget. Pasalnya, hampir setengah tahun putri tunggal majikannya ini tidak pernah pulang.

"Ada, Pak Bram sedang tidak enak badan. Sudah beberapa hari ini beliau tidak berangkat kerja."

"Papa..." Lirih Luna, rasa bersalah seketika menghantam jantungnya dengan keras.

"Lalu di mana Kakak?" Tanyanya lagi, sungguh rasanya Luna ingin memaki dirinya sendiri saat ini.

"Den Ervan belum pulang dari luar kota." Jawab Pak Amin.

"Kalau begitu, aku masuk dulu Pak. Aku harus segera menemui Papa." Ucap Luna kembali melajukan mobilnya hingga ke depan pintu utama hunian bak istana ini.

Begitu tiba di teras rumah, Luna bergegas membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Biarkan, bukankah ini masih rumahnya, rumah keluarganya?

Luna memasuki kamar sang papa, terlihat pria tua tapi masih tampan itu sedang memandangi sebuah bingkai foto di tangan kirinya sedang tangan kanannya mengusap penuh cinta gambar keluarganya sebelum kelahirannya.

Ya, dalam foto itu terlihat papa merangkul mesra pinggang sang mama yang sedang hamil besar. Bisa dipastikan jika yang ada di dalam perut mama adalah dirinya. Momen terakhir sebelum mamanya meninggal karena berjuang melahirkan putrinya.

"Mau apa kamu pulang? Bukankah hari ini acara pernikahanmu dengan pria yang kamu cintai itu?"

Menyetujui Rencana Perjodohan

"Papa... ampun... ampuni Luna yang sudah menjadi anak yang durhaka." Luna mencium kaki papanya dengan suara tangisan yang menyayat hati.

"Bukankah ini kemauanmu sendiri, kamu yang bersikeras membantah omongan pria tua ini. Kenapa sekarang pulang dengan tangisan, apakah kamu sedang memainkan drama baru karena Bima menginginkan sesuatu?" Cecar Papa Bram.

"Maaf, Papa aku tahu aku salah. Tidak seharusnya aku memaksa kehendak tanpa restu darimu. Aku sudah membatalkan pernikahanku dengan Bima. Dan aku menerima perjodohan yang Papa inginkan, nikahkan aku segera dengan lelaki pilihan Papa. Aku siap." Ucap Luna penuh ketegasan.

"Apa Kakak tidak salah dengar? Kamu membatalkan pernikahanmu?" Tanya Ervan.

Langkah kaki seorang pria berusia 27 tahun yang belum berkeinginan menikah sebelum melihat adiknya bahagia.

Mendengar suara dari lelaki kedua dalam hidupnya, Luna bangkit kemudian berlari berhambur ke pelukan sang Kakak. Pria yang selalu mengalah dan berkorban demi dirinya sejak kecil. Pria tanggung yang bisa menenangkan Luna kala dia menangis.

"Kakak... Maafkan aku yang tidak mendengar kata-katamu. Sekarang aku akan menuruti permintaan kalian. Ternyata kalian benar, tidak ada yang mencintaiku lebih baik dari keluargaku."

"Jadi, katakan apa Bima berselingkuh darimu sehingga kamu membatalkan pernikahanmu." Ucap Papa Bram dengan suara lebih tenang dan tatapan mata yang kembali hangat seperti dulu.

"Belum, tapi nanti iya. Aku tidak bisa menceritakan keadaan yang aku lalui. Tapi intinya aku tahu Bima tidak mencintaiku dengan tulus. Dia hanya menginginkan hartaku." Ucap Luna sambil mengeraskan rahangnya.

"Sebenarnya kakak dan papa sudah tahu, tapi kamu selalu tidak percaya jika kami bicara. Soal kejadian yang hampir merenggut kesucianmu..."

"Apa kakak mencurigai Bima bersekongkol dengan preman." Tebak Luna langsung memotong kalimat Ervan dengan cepat.

"Bukan hanya curiga, tapi kakak sudah menyelidikinya. Preman itu tidak lain adalah teman Bima, ingin memperkosa kamu karena memang sengaja menjebakmu. Membuat seolah Bima adalah seorang pahlawan. Dan yang, dia berhasil bukan. Kamu terjerat cintanya.

"Bagaimana caranya kamu mengusir Bima dan keluarganya dari rumahmu?" Tanya Papa Bram ingin tahu.

"Aku berpura-pura bangkrut, dan rumah akan disegel oleh bank. Makanya, aku setuju dengan perjodohan yang Papa inginkan. Kalau bisa secepatnya Papa nikahkan aku, supaya mereka tidak bisa menggangguku lagi." Pinta Luna membuat Papa menggelengkan kepala.

"Pernikahan bukan untuk mainan atau ajang coba-coba. Apalagi tujuanmu hanya minta perlindungan. Jika hanya itu, Papa dan Kakakmu sudah cukup bisa melindungimu, Luna." Ucap Papa Bram menatap kecewa putrinya.

"Lalu aku harus apa, aku tidak tahu siapa lelaki yang ingin Papa jodohkan padaku. Apakah aku mengenalnya?" Tanya Luna penasaran.

"Kamu sudah cukup mengenalnya, besok Papa akan mengundang dia dan keluarganya untuk makan malam. Kamu siapkan saja dirimu." Ucap papa.

"Baiklah, aku setuju. Terima kasih Papa masih bersedia menerima aku di rumah ini." Ucap Luna.

"Kamu ini bicara apa, semarah-marahnya Papa, Kamu tetap putri kesayangan kami." Ucap papa Bram.

"Papa dan Kakak mau makan apa siang ini, biar aku yang masak untuk kita makan bersama." Ucap Luna memberikan usulan.

"Kamu bisa masak? Sejak kapan?" Tanya Ervan memicingkan sebelah matanya.

"Ya sejak aku tinggal sendiri di rumahku." Ucap Luna yang tidak mungkin mengaku jika di kehidupan pertamanya dia dijadikan pembantu.

Waktu makan siang telah tiba, meja makan sudah penuh dengan hidangan yang dimasak oleh Luna.

"Ternya lezat juga makanan buatan kamu, kalau begitu mulai sekarang setiap hari kamu wajib mengantarkan makan siang buat kami. Sebagai bentuk tulusnya permintaan maaf kamu." Ucap Papa Bram mengajukan permintaan.

"Baik, Papa aku akan buatkan."

Waktu terus berputar, malam yang dinanti oleh Papa Bram tinggal beberapa jam lagi. Luna sejak sore sudah berkutat di dapur membuat aneka macam hidangan yang akan menjadi menu makan malam istimewa mereka. Entah siapa dan dari keluarga mana lelaki yang akan dijodohkan padanya. Luna terlihat pasrah daripada dia mati tersiksa.

"Selamat malam Om Bram." Sapa seorang pria yang suaranya Luna kenali. Tapi Luna sedikit lupa, suara siapa gerangan yang datang.

"Luna, ke sini dulu nak temui calon suami kami sebentar." Teriak Papa Bram dari ruang tamu, sedangkan Luna berada di ruang keluarga sedang duduk santai karena rasa lelah setelah memasak.

"Iya, Papa tunggu." Jawab Luna.

"Hai Luna, apa kabar?" Tanya pria itu ramah lebih tepatnya sok akrab dengan suara menyebalkan.

Kedua bola mata Luna membola, jadi suami yang dipilihkan Papanya adalah dia. Lelaki paling menyebalkan yang selalu mengejarnya sejak masih SMA hingga kuliah. Astaga apakah nasib Luna tidak bisa berubah.

Keluar kandang serigala, masuk kandang buaya. Lutut Luna seakan tidak bertulang, lemas lunglai tak berdaya.

"Atlas Greyson?" Satu nama yang selalu ingin Luna hindari sejak dulu. Lantaran setiap melihat Atlas tersenyum, Luna merasa jantungnya sakit.

"Ya Luna aku calon suamimu. Aku dengar dari Om Bram jika kamu sekarang pandai memasak."

"Sudah tidak sabar rasanya mencicipi makanan yang dibuat penuh cinta oleh calon istri. Pasti lezat."

"Astaga, Papa..." Ingin rasanya Luna menjerit sekuat tenaga. Kok ada pria yang tingkat kepedeannya setinggi gunung Himalaya. Sungguh Luna ingin menenggelamkan diri di samudera Hindia.

"Kenapa kamu datang sendiri, di mana kedua orang tuamu Atlas?"

"Papa dan Mama mungkin sebentar lagi tiba, tadi aku sedang berada di sekitar sini ada keperluan. Jadi tanpa pulang dulu, aku langsung mampir menemui calon istri tercinta Om." Ucap Atlas.

"Ya sudah, kita tunggu Mama dan Papamu dulu. Kita ngobrol dulu di sini. Luna tolong buat jus buah untuk Atlas."

"Baik Papa." Jawab Luna sambil

Setelah Luna pergi, Atlas menatap serius Papa Bram. Nada bicaranya juga tidak sekonyol bersama Luna.

"Jadi, Luna membatalkan pernikahannya dengan kekasihnya kemudian menyetujui perjodohan yang sebelumnya telah Om ajukan?" Tanya Atlas dengan mimik wajah tenang.

"Apa kamu masih akan melanjutkan niatmu melamarnya?" Tanya Papa Bram.

"Tentu saja, tapi aku tidak ingin ada pernikahan kontrak atau semacamnya Om. Aku mencintai Luna sejak sekolah, tapi sayang dia tidak pernah melihat ke arahku."

"Ada alasan dalam setiap perbuatan dan tindakan. Apa kamu yakin Luna membencimu bukan karena kesalahanmu?"

"Maksud Om Bram apa, aku tidak mengerti." Jawab Atlas bingung.

"Coba ingat-ingat kembali apa yang membuat Luna terkesan menghindarimu. Dan setelah kalian resmi menikah, Om harap kamu tidak menyerah untuk mendapatkan hatinya. Luna memang keras kepala, tapi sebenarnya jika dia sudah mencintaimu maka apa saja akan Luna berikan padamu. Luna itu cerdas soal bisnis, tapi bodoh dengan urusan cinta."

Ting tong

"Sepertinya itu Papa, saya saja yang bukakan pintunya Om." Ucap Atlas menawarkan diri.

"Papa, Mama sudah ditunggu. Kenapa lama?" Cecar Atlas menatap sebal.

"Ckkk... Yang sudah tidak sabar mau melamar, Papa dan Mama datang tepat waktu. Kamu saja yang datangnya kecepatan." Ucap Mama Atlas yang bernama Widya Kartika.

"Dia memang kebelet kawin Ma, kasihan puluhan tahun jomblo abadi." Celetuk Papanya yang bernama Wiradarma Greyson, pria blesteran Jawa Jerman.

Sekarang tahu kan sifat konyol Atlas berasal dari mana? Tentu saja keturunan Papa Wira pria setengah bule berambut abu-abu.

"Dikiranya ayam, kawin? nikah dulu Papa baru aku kawinin Luna."

"Hussttt... kalian ini di mana pun berada tidak pernah akur."

Makan malam berjalan dengan rasa puas karena rasa masakan yang lezat meskipun Luna bukan chef.

"Hidangan yang lezat, Luna kamu pandai membuatnya." Puji Mama Widya.

"Hanya masakan biasa, Tante terlalu memuji." Balas Luna rendah hati.

"Jadi tujuan kami ke sini..."

"Hmm... Atlas menyela ucapan Mamanya, dia tidak ingin kalimat sakral itu digantikan oleh orang lain.

"Aku melamarmu Luna, maukah kamu jadi istriku?" Ucap Atlas tegas.

"Kamu melamarku di depan meja makan tanpa sebuah cincin? Sungguh tidak romantis." Ucap Luna sinis.

"Itu hanya formalitas, mau tidak mau besok akan akad nikah."

"Baiklah, dengan satu syarat. Pernikahan ini akan diadakan secara tertutup dan rahasia. Aku juga tidak ingin orang tahu identitas asliku. Karena aku masih punya misi." Ucap Luna dengan api dendamnya.

"Boleh, tapi kita menikah resmi dan sah. Tidak ada kontrak, karena pernikahan berlaku untuk selamanya." Tegas Atlas tidak ingin dibantah.

Sementara itu di sebuah rumah kontrakan kecil terlihat tiga orang sedang makan malam dengan menu yang sangat sederhana. Wajah cemberut tidak bersukur terlihat dari ketiganya.

"Ckkk... Apes banget nasib kita, hidup mewah cuma bertahan sebulan." Ucap Ibu Ratna sambil mengunyah.

"Mas Bima kurang gercep, seharusnya kita rampok sebelum dia bangkrut."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!