NovelToon NovelToon

Cinta Rahasia Sang CEO

Bab 1. Malam yang Kupikir Cinta

“Aku bukan orang baik, Laura. Kamu tahu itu. Tapi bersamamu ... aku bisa lupa siapa diriku," bisik Jordan dengan suara parau.

Jordan membungkuk, jarak mereka menghilang. Bibir Jordan menyentuh milik Laura. Hangat, lembut, tetapi menyimpan desakan yang mendalam.

Laura tidak melawan. Dia bahkan menutup mata. Ciuman panas itu membuat hasrat kelaki-lakian Jordan bangkit. Napasnya tersengal sampai akhirnya Laura mendorong dada Jordan untuk sekadar menghirup udara. Keduanya menempelkan dahi dan tatapan mereka beradu.

"Aku menginap saja di sini. Aku tidak mungkin pulang setelah tadi meminum wine."

Otak Laura tidak bisa berpikir jernih malam itu. Laura hanya mengangguk dan membiarkan Jordan masuk ke kamar yang sudah disewanya. Setelah memasuki kamar, Jordan langsung membaringkan tubuh Laura ke atas ranjang.

Ciuman didaratkan oleh lelaki tersebut hampir di sekujur tubuh Laura. Hampir di setiap jengkal kulitnya, ditandai oleh Jordan. Lelaki itu seolah sedang memberitahukan kepada si pemilik badan bahwa hanya dia yang berhak menyentuhnya.

"Akan kubuat kamu nyaman dan senang malam ini," bisik Jordan sambil tersenyum miring.

Jemari Jordan mulai bermain di setiap sisi sensitif Laura. Dia mulai menggeliat layaknya cacing kepanasan. Ketika sudah dirasa cukup siap, akhirnya mereka bersatu dalam sebuah penyatuan yang sempat membuat Laura meringis menahan perih.

Laura yang awalnya meringis menahan sakit dan merengek agar Jordan menghentikan aksinya, mulai memegang kendali dengan bermain di atas tubuh sang kekasih. Semakin lama gerakannya semakin liar dan tak terkendali.

Peluh keduanya bercampur sehingga membasahi seprai. Sebuah lenguh panjang menandakan berakhirnya permainan keduanya. Laura terkulai lemas dalam dekapan Jordan.

"Aku akan pastikan pernikahan kita segera digelar. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Aku ingin terus mendekapmu dalam tidurku, Laura."

Sebuah kecupan lembut mendarat pada kening Laura. Keduanya pun terlelap usai kegiatan panas itu. Kehangatan cinta menyelimuti mereka di tengah dinginnya mesin pendingin ruangan.

Keesokan paginya, Laura terbangun di ranjang kamar hotel tempat keduanya mengadakan acara pertunangan. Selimut menutupi tubuhnya. Sinar matahari masuk lewat jendela besar. Di sebelahnya, tempat tidur kosong.

Perempuan tersebut bangkit, mengenakan kemeja Jordan yang tergantung di kursi. Di meja, ada secangkir kopi yang masih hangat. Namun, Jordan sudah tidak ada di sana.

"Dia pergi ke mana?" gumam Laura sambil meneliti sekelilingnya.

Tak lama kemudian, ponsel Laura berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Jordan. Lelaki tersebut mengatakan bahwa ada rapat mendadak dan mengucapkan maaf dan terima kasih atas apa yang sudah terjadi malam sebelumnya.

"Astaga! Apa yang aku lakukan semalam? Aku benar-benar liar dan tak tahu malu!" ujar Laura dengan pipi yang merona.

Laura tersenyum dengan pipi merona. Mungkin, ini awal baru bagi mereka. Mungkin Jordan benar-benar mencintainya. Dia menyentuh perutnya, entah kenapa firasatnya mengatakan bahwa malam itu akan mengubah segalanya.

Namun, sejak hari itu Jordan sulit dihubungi. Dia selalu sibuk ketika diajak bertemu. Hubungan mereka seakan renggang dan mulai berjarak. Hal itu membuat Laura begitu khawatir dan curiga.

Perempuan tersebut selalu bertanya-tanya apakah melakukan kesalahan di malam itu. Di tengah lamunannya, mendadak perut perempuan tersebut bergejolak. Sontak Laura berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya.

"Astaga! Aku kenapa?" Laura mengusap keringat yang kini membasahi dahi.

Tak lama kemudian Laura terbelalak. Dia bergegas keluar dari kamar mandi dan berjalan cepat menuju meja kecil di samping ranjang. Perempuan tersebut menutup bibirnya yang kini terbuka lebar menggunakan telapak tangan.

"Aku terlambat datang bulan! Jangan-jangan ...." Jemari Laura yang sedang menggenggam kalender gemetar.

Laura terduduk lesu di atas lantai dengan punggung yang disandarkan pada badan ranjang. Dia mengusap wajah kasar. Sedetik kemudian Laura bangkit dan bergegas pergi ke apotek.

Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Laura melakukan tes urine. Pada akhirnya perempuan tersebut tertegun. Semua tespek yang dia beli menunjukkan garis dua.

“Aku ... hamil?” Tangan Laura gemetar ketika meraih salah satu alat tes kehamilan tersebut.

Perempuan tersebut memasukkan semua tespek ke dalam tas dan keluar dari kamar mandi. Laura bergegas menghubungi Jordan. Namun, panggilannya kembali diabaikan.

Laura akhirnya menghembuskan napas dan mengetik pesan kepada tunangannya itu. Setelah pesan terkirim, Laura langsung mengendarai mobil menuju apartemen Jordan. Dia berniat untuk menagih janji Jordan yang ingin segera menikahinya.

"Jordan, kamu ke mana?" ujar Laura sambil menempelkan ponsel pada telinga.

Laura terus menggigit kukunya ketika berada di dalam elevator. Perempuan tersebut hendak menekan bel, tetapi pintu apartemen tidak sepenuhnya tertutup. Perasaannya mulai gusar.

Tangan Laura gemetar ketika hendak membuka lebar pintu di hadapannya. Dia berpikir kalau ada perampok dan Jordan sedang ada dalam bahaya. Namun begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti.

Di ruang tamu apartemen, Jordan berdiri dengan seseorang. Bibir mereka menyatu dalam ciuman. Laura membeku. Orang itu adalah Leysha, kakaknya.

“Tidak ....”

Leysha menoleh lebih dulu. Terlihat kaget, lalu tersenyum sinis. Jordan ikut menoleh dan ekspresinya membeku.

“Laura ... tunggu, ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” Jordan hendak mendekati Laura, tetapi lengannya ditahan oleh Leysha.

"Jadi, ini alasannya kamu mengabaikanku? Jika memang tidak mencintaiku, kenapa kamu mau bertunangan denganku, Jordan!" teriak Laura dengan suara bergetar.

"Laura, kamu salah paham. Aku tidak menghubungimu karena ...." Jordan mendekati Laura berusaha memegang lengannya, tetapi langsung dihempaskan oleh Laura.

"Jangan katakan omong kosong apa pun, Jordan! Aku tidak mau mendengarnya! Seharusnya kamu bertunangan dan menikah dengan Kak Leysha! Kamu lebih menyukai wanita cantik dan berbadan bagus sepertinya, kan?" teriak Laura sambil menutup kedua telinga.

"Kamu salah sangka, Laura. Aku tidak memiliki perasaan apa pun sama Leysha!" Jordan terus berusaha meyakinkan Laura.

“Benarkah? Kamu mencium kakakku, di apartemenmu, dan kamu ingin aku percaya ini bukan apa-apa?” ucap Laura dengan mata berair.

Jordan melangkah maju, tetapi Laura terus mundur. Tubuh Laura bergetar hebat. Tangisnya pecah sehingga membuat Jordan membuka mulut, tetapi tak ada kata yang keluar.

“Aku menyerahkan segalanya malam itu karena kupikir kamu mencintaiku. Tapi ternyata, aku hanya satu malam di antara ribuan malam liarmu, Jordan.”

Laura pun pergi meninggalkan Jordan yang tidak berkutik. Langkahnya tegas, meski air mata jatuh di sepanjang lorong. Jordan telah melukai hati Laura terlalu dalam sampai perempuan itu tidak dapat lagi mendeskripsikan rasa sakit yang diderita.

Malam itu Laura memutuskan untuk menghilang dari hadapan Jordan. Sama seperti yang dilakukan oleh lelaki tersebut akhir-akhir ini. Tekadnya sudah bulat.

"Sejak awal seharusnya aku tidak pernah menaruh hati kepada lelaki sepertimu, Jordan! Nyatanya kamu tidak pernah berubah! Kamu tetaplah Jordan sang Casanova!"

Bab 2. Tujuh Tahun yang Hilang

Tujuh tahun berlalu, suara papan ketik berdetak cepat di sebuah kantor startup pengembang gim, Zenith Creatives. Laura duduk di balik layar, matanya menatap deretan kode yang berbaris rapi. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada tekanan di balik ekspresi itu.

Pagi itu, sebuah email masuk ke kotak surelnya.

---

Kepada seluruh karyawan,

Diberitahukan bahwa perusahaan akan diakuisisi oleh W-Ware Group dan berpindah pusat operasional ke Jakarta. Bagi staf senior yang ingin tetap bekerja, kami akan membantu proses relokasi.

Hormat kami,

HR Zenith Creatives

---

Jantung Laura berhenti sesaat. Matanya tak lepas dari layar yang menampakkan surel tersebut. Dia membacanya berulang seakan tengah meyakinkan diri bahwa apa yang dibaca keliru.

Jakarta memang lain wilayah dengan Bali. Bahkan beda pulau, tetapi masih satu negara. Entah mengapa ada kebimbangan yang kini menerkam hati Laura, dia akhirnya mengajukan surat pengunduran diri karena enggan kembali ke Indonesia.

Keesokan harinya, Noah Wisesa menatap Laura dari sofa. Lelaki itu memutar cangkir teh hangat di tangannya. Bocah enam tahun dengan rambut cokelat acak-acakan tengah bermain di lantai dengan mainan robot.

“Kamu mau berhenti kerja karena perusahaan pindah ke Jakarta?”

“Aku nggak bisa kembali ke sana, Noah. Aku jauh-jauh pergi ke luar negeri dan memulai baru untuk mengobati luka.” Laura tersenyum kecut sambil memperhatikan putra kesayangannya.

“Luka itu nggak bisa hilang kalau kamu terus lari, Laura. Dan kamu punya anak yang harus kamu besarkan. Perusahaan itu satu-satunya yang stabil sekarang.”

Laura menatap Leon. Bocah itu menoleh dan tersenyum manis padanya. Laura mengusap puncak kepala Leon sambil membalas senyuman putranya tersebut.

“Mama, boleh nggak aku bawa robot ini ke Indonesia kalau kita pindah?” tanya Leon sambil menunjukkan robot kesayangannya.

Pertanyaan sederhana itu menampar Laura. Perempuan tersebut tersenyum kecil. Sebuah anggukan terasa berat dia berikan kepada Leon.

“Boleh, sayang. Kita bawa semuanya.”

Jawaban dari Laura membuat Leon melompat kegirangan. Dia langsung memeluk Laura dan menghujani sang ibu dengan ciuman. Noah tersenyum puas karena bisa kembali bekerja di perusahaan yang sama dengan Laura.

---

Hari itu pun tiba, gedung W-Ware menjulang tinggi di pusat kota. Laura mengenakan blazer hitam, wajahnya tegas, rambutnya digulung rapi. Dia terlihat seperti profesional sejati. Laura melangkah masuk ke ruang pertemuan, bersama para manajer senior.

Seorang pria melangkah masuk. Setelan jas biru tua membungkus tubuh tingginya. Rambut cokelat tua tersisir rapi. Matanya menyapu ruangan dan berhenti di satu titik. Jordan William menatap Laura. Waktu seakan berhenti.

“Selamat pagi. Saya Jordan William, CEO baru kalian. Saya harap kerja sama kita membawa hasil yang maksimal.”

Suara itu membuat Laura terbelalak, perlahan dia mengangkat wajah untuk menatap si pemilik suara. Jordan tidak bereaksi atau pun berkedip. Dia hanya menatap Laura, kemudian langsung duduk di ujung meja rapat.

Suara Jordan terdengar dingin, profesional, tak tersentuh. Namun, saat matanya bertemu dengan Laura lagi, sekilas ada badai di dalamnya. Lain halnya dengan Laura.

Sepanjang rapat berlangsung, keringat dingin mengucur hampir di sekujur tubuh. Celana panjang yang dia remas sejak tadi mulai basah. Noah yang terus memperhatikan Laura sejak tadi akhirnya berbisik dan menanyakan kondisi perempuan tersebut.

"Laura, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit? Kamu berkeringat banyak dan tampak pucat."

Laura tersenyum kecut dan menggeleng. Tak ada fokus di matanya. Dia hanya menunduk sepanjang rapat, dan sebisa mungkin ingin segera keluar dari ruangan tersebut.

Perempuan tersebut menyesali keputusannya untuk tetap ikut pindah ke kantor itu. Luka lama yang dulu dia pendam, mendadak kembali basah. Namun, mengingat Leon yang begitu senang mulai bersekolah, membuatnya berpikir keras.

Sampai akhirnya rapat selesai, Laura segera berdiri untuk keluar dari ruangan tersebut. Akan tetapi, suara Jordan menghentikannya.

“Laura, bisa bicara sebentar?”

Laura terpaksa berhenti. Jantungnya berdetak tak menentu. Noah menatap khawatir, tetapi Laura hanya mengangguk kecil. Noah keluar dari ruangan itu, sementara Laura melangkah ke ruang kaca di pojok ruang rapat.

“Jadi dia alasan kamu menghilang tujuh tahun yang lalu?” tanya Jordan sambil menatap punggung Noah yang mulai menghilang di balik pintu.

“Bukan urusanmu," jawab Laura dingin dengan tatapan tajam.

“Aku mencarimu. Aku datang ke rumahmu, ke rumah kakakmu. Kamu hilang tanpa jejak.”

Laura mendekat, penuh kemarahan yang ditahan. Dia menatap tajam Jordan. Jemari perempuan tersebut mengepal kuat di samping badan.

“Setelah kamu berciuman dengan kakakku? Setelah kamu hancurkan kepercayaanku?”

Jordan terpaku. Dia membuka mulut, tetapi Laura tidak membiarkannya bicara.

“Sudahlah, Jordan. Kita bukan siapa-siapa sekarang. Kamu CEO dan aku karyawan. Mari kita jaga jarak.” Laura balik badan dan mulai melangkah menjauhi Jordan.

“Kamu masih secantik dulu. Tapi tatapanmu ... seperti tidak mengenalku lagi.” Jordan tersenyum kecut sambil menatap punggung mantan tunangannya.

Laura berhenti sejenak, lalu melangkah pergi tanpa menoleh. Kini ruangan itu hening. Meninggalkan Jordan dengan hati yang berkecamuk.

---

Sepulang kerja, Laura dan Noah mengajak Leon makan di sebuah restoran Thailand. Mereka duduk di meja paling pojok dekat pintu masuk. Pada hari pertama bekerja, Laura ingin menyenangkan hati anaknya dengan makanan favorit mereka ketika tinggal di Bangkok.

“Mama, kapan kita bisa jalan-jalan ke tempat mainan?” tanya Leon sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.

“Nanti setelah makan, ya, Sayang.” Laura tersenyum lembut, kemudian mengusap puncak kepala sang putra.

Tiba-tiba Leon merajuk. Dia beranjak dari kursi dan berlari menuju pintu keluar. Tanpa sengaja bocah lelaki tersebut menabrak seseorang.

Leon pun mendongak ke arah lelaki yang sudah dia tabrak. Lelaki itu adalah Jordan. Dia berhenti di pintu sambil memegang tubuh Leon agar tidak jatuh.

Bocah itu tersenyum padanya, senyum polos yang sangat familier. Jordan membeku seketika. Pelukannya pada Leon terbuka karena Laura mengambil alih tubuh mungil bocah tersebut. Dia menatap Leon dan Laura yang kini berdiri melindungi anaknya.

“Kamu punya anak?” tanya Jordan dengan alis yang saling bertautan.

“Itu bukan urusanmu.” Suara Laura terdengar begitu tegang dan dingin.

Jordan menatap wajah bocah itu. Rambut, bentuk mata, lesung pipi, semuanya sangat tidak asing. Akan tetapi, sebelum dia bisa bicara lebih jauh, Laura menggandeng tangan Leon.

“Kami permisi," ujar Laura.

Perempuan tersebut berjalan pergi keluar dari restoran. Noah pun beranjak dari kursi. Dia sedikit membungkuk untuk memberikan hormat kepada Jordan yang merupakan atasannya di kantor.

Jordan tidak merespons, sehingga membuat Noah berlalu begitu saja menyusul Laura dan Leon. Sementara itu, Jordan berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang, dadanya sesak. Dia balik kanan dan menatap Laura, Leon, dan Noah yang pergi melalui pintu kaca di hadapannya.

“Anak itu ... kenapa wajahnya mirip denganku?”

Bab 3. Bukan Sekadar Mirip

Sejak hari itu, Jordan justru semakin penasaran. Sampai akhirnya dia kembali dipertemukan oleh Laura, Noah, dan Leon. Jordan sengaja mengadakan pertemuan keluarga pada hari jadi perusahaan. Langkah kaki Jordan terhenti begitu saja di venue tempat acara akan berlangsung.

Mata Jordan membeku pada satu titik. Seolah dunia sekelilingnya tiba-tiba menjadi sunyi dari gelak tawa, ucapan selamat, hingga musik yang mengalun pelan. Di seberang tempat dia berdiri, kini Laura tampak cantik dalam balutan gaun krem, rambutnya dikuncir rendah, posturnya masih sama seperti dulu.

Namun, bukan itu yang membuat jantung Jordan terhenti. Di sebelah Laura berdiri Noah yang sedang tersenyum hangat, dia menatapnya seolah mereka berbagi rahasia yang tak bisa ditembus orang luar. Dari kejauhan terlihat Leon yang melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah Jordan.

"Mama, siapa paman itu?" tanya Leon dengan polos sambil menunjuk Jordan yang berdiri berseberangan dengan mereka.

"Dia Pak Jordan, bosnya mama."

Tiba-tiba Leon melepaskan genggaman tangannya pada jemari Laura. Dia langsung berlari mendekati Jordan dan berdiri tepat di hadapannya. Sebuah senyum lucu kini terukir di bibir bocah tersebut.

“Paman Jordan!” seru bocah itu tiba-tiba.

Jordan menunduk, bingung. “Siapa namamu, Nak?”

Sebelum bocah itu menjawab, Laura sudah melangkah cepat dan memeluk si kecil dari belakang. “Leon, sayang, jangan berlari sembarangan.”

“Maaf,” ucap Laura sambil tersenyum tipis ke arah Jordan.

"Jadi, namanya Leon?" tanya Jordan sambil tersenyum ke arah bocah laki-laki tersebut.

Laura terdiam, tidak membalas. Namun, sorot matanya penuh kehati-hatian. Jordan bisa merasakannya, ada sesuatu yang disembunyikan.

Terutama ketika Jordan memerhatikan wajah bocah itu lebih dekat. Mata Leon seperti miliknya sendiri. Terlebih ketika melihat senyum manisnya.

"Sebagai ayah dari Leon, saya minta maaf, Pak." Noah mengulurkan tangannya kepada Jordan.

"Ayah?"

Kalimat yang keluar dari bibir Noah seakan menikam Jordan dengan pelan, tetapi sangat dalam. Dia membalas jabatan tangan Noah secara otomatis, matanya masih menelusuri Laura. Laura hanya tersenyum canggung.

Jordan perlahan melepaskan genggamannya dari tangan Noah. Kini dia berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya dengan Leon. Dia tersenyum tipis kepada bocah laki-laki tersebut.

“Berapa umurmu, Leon?”

“Enam setengah tahun, Paman!” jawab Leon antusias.

Otaknya langsung berpikir keras usai mendapatkan jawaban dari Leon. Jordan menelan ludah. Tangannya mengepal di samping tubuh, dan tiba-tiba semua detail menjadi penting, warna mata anak itu, bentuk alis, garis rahang kecilnya.

---

Sepulang dari pesta, Laura berdiri di balkon apartemen kecilnya, menatap langit Jakarta yang tak pernah benar-benar gelap. Leon sudah terlelap di dalam kamarnya. Namun, pikiran Laura masih kacau.

Perempuan tersebut masih berpikir keras karena Leon tampak mulai penasaran dengan Jordan. Terlebih setelah pertemuan kedua antara mereka. Leon terus banyak bertanya tentang Jordan dan membandingkan banyak hal tentang lelaki itu dengan dirinya.

“Leon tak boleh terlalu dekat dengan Jordan,” gumam Laura.

Laura masuk ke kamar dan memandangi putranya yang tengah tidur lelap, napasnya pelan. Namun, tiba-tiba Leon membuka mata. Dia menatap sang ibu dengan tatapan polos.

"Mama, kenapa Paman Jordan terlihat sangat mirip denganku? Apakah kita bersaudara dengan Paman Jordan? Jika aku sudah besar, apakah akan setampan Paman Jordan?" tanya Leon dengan polosnya.

Bocah itu tak berdosa. Dia hanya ingin tahu, ingin dekat dengan orang yang secara naluriah terasa familiar. Namun, Leon tak boleh tahu.

Tidak sekarang. Tidak setelah Laura membangun semuanya dari awal, menyembunyikan aib masa lalu, dan membentuk hidup baru yang tenang untuk anaknya. Laura duduk di tepi ranjang, membelai rambut Leon.

“Pak Jordan cuma bos mama di kantor.”

“Kenapa dia sangat mirip sama aku, Ma?" tanya Leon sambil menautkan kedua alisnya.

Jantung Laura mencelus. Dia baru menyadari kalau putranya sudah tumbuh menjadi pribadi yang sangat teliti dengan rasa ingin tahu tinggi. Laura pun memutar otak dan akhirnya menjawabnya dengan asal.

“Kalian mirip karena sama-sama suka main game."

"Lalu, kenapa tadi Paman Noah mengatakan kalau dia ayahku? Kenapa paman berbohong?" protes Leon.

Kini bibir Laura menganga tanpa mengeluarkan suara. Dia tak habis pikir kalau ternyata Leon se-kritis itu. Kali ini dia akan melimpahkan semuanya kepada Noah.

"Mama juga tidak tahu. Bagaimana kalau besok Leon tanya langsung kepada paman kenapa dia berbohong!" Laura memaksakan senyumnya dan berusaha mengakhiri percakapan malam itu.

---

Keesokan harinya, Jordan duduk di ruangannya yang luas sambil memandangi layar laptop dengan pikiran yang tak bisa fokus. Dia memutar ulang setiap detik pertemuan semalam di benaknya.

Wajah Laura yang tegang, suara Noah yang mengklaim diri sebagai ayah, dan terutama mata Leon yang seperti mencerminkan masa lalu Jordan sendiri. Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di meja.

Jika anak itu benar milik Jordan, kenapa Laura tak pernah menghubungi. Bahkan satu pesan pun tak pernah datang. Dia ingat malam itu, ketika Laura datang di waktu yang tidak tepat. Tiba-tiba menghilang setelahnya, seakan sengaja pergi membawa anaknya menjauh.

Jordan tak bisa menahan diri lagi. Dia menekan tombol interkom. “Panggil Laura ke ruanganku. Sekarang.”

Tak lama kemudian Laura datang dan berdiri kaku di depan pintu kaca ruangan Jordan. Dia menarik napas panjang sebelum mengetuk dan masuk. Jordan duduk dengan tangan terlipat di depan dada, wajahnya tenang, tetapi matanya tajam.

“Aku ingin tahu yang sebenarnya mengenai Leon,” kata Jordan tanpa basa-basi. “Tentang anak itu.”

Laura menggigit bibir bawahnya. “Apa yang ingin kamu ketahui tentang Leon?”

“Apa dia anakku? Apakah dia anak kita? Wajahnya ....”

“Bukan. Jordan, tolong. Jangan paksakan sesuatu hanya karena mirip. Kamu sudah punya hidupmu, dan aku juga. Jangan ganggu apa yang sudah aku bangun.”

Jordan berdiri dan melangkah mendekat. “Kalau dia benar anakku, kamu pikir aku akan diam saja? Kamu menyembunyikan ini selama tujuh tahun?”

“Kamu sudah salah paham!" Suara Laura meninggi.

"Lalu, kenapa kamu tiba-tiba menghilang?" Kini suara Jordan mengimbangi Laura yang sedang diselubungi oleh emosi.

“Saat aku pergi ke apartemenmu malam itu, dan mendapati kamu bersama Leysha, hatiku sangat hancur! Apakah alasan itu tidak cukup untuk aku meninggalkan kamu, Jordan?"

Jordan mengerjap. “Aku ... itu tidak seperti yang kamu pikirkan.”

“Sudah terlambat, Jordan. Aku pergi karena tahu kamu tidak pernah serius denganku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk hidup tanpa bayang-bayangmu!”

Mereka saling menatap, napas keduanya cepat. Suasana ruang itu terasa seperti bom waktu.

“Aku ingin tahu kebenarannya,” kata Jordan akhirnya, dengan nada lebih lembut. “Jika dia anakku, aku punya hak untuk tahu.”

Laura menunduk, air mata menggenang. “Tolong jangan hancurkan dunia kecilku, Jordan. Itu saja yang kupinta.”

Di luar ruangan, Noah berdiri diam, mendengarkan sepenggal percakapan dari balik pintu yang tak sepenuhnya tertutup rapat. Tangannya mengepal. Rahasia yang selama ini dilindungi Laura, tampaknya tak akan bisa tersembunyi lebih lama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!