Devan Ganendra yang saat ini dalam perjalanan menuju Jogja. Meski sudah magrib ia tidak segera berhenti, agar segera sampai di kampung budhe Watik. Karena tempatnya masih jauh.
Braaakkk.....!!!
Ciittt...ciiiittt....!!!
Gubraaaakkkk....!!!
Devan menabrak seorang wanita yang mengendarai sepeda.
Beruntung wanita tersebut hanya oleng kemudian terjatuh.
Sementara Devan terkapar di aspal jalanan hingga membuatnya terluka.
Pemuda dua puluh empat tahun itu segera berdiri. Ia berjalan tertatih ke arah wanita yang di tabraknya. Bukan tabrak sih, tapi terserempet kemudian oleng dan menabrak pagar tanaman.
"Maaf mbak!, tidak apa-apa?" Tanya Devan sambil mengambil sepeda yang menindih wanita tersebut.
"Tak apa bagaimana!, ini jatuh!, sakit lagi. tolongin napa!, malah sepeda duluan!"
"Ehh, iya mbak!"
Devan segera memapah wanita itu menuju pos ronda, dekat tempatnya terjatuh. Sementara motor Devan masih berada di aspal jalanan kampung dan terkapar disana.
Kemudian Devan mengambil motornya dan di taruh dekat dengan sepeda wanita itu.
"Tanggung jawab!!" teriak wanita itu kepada Devan.
"Iya!, iya." Sahut Devan, kemudian mencari dompetnya yang ada di saku celana.
Sialnya Devan, celana yang berisi dompet ada di celana bagian dalam pakaian balapnya.
Karena susah, ia membuka jaketnya dahulu kemudian celana balapnya.
"Woy!, woy, woy!!!"
"Mesuuuummm!!!
Teriak seseorang yang baru pulang dari masjid. Membuat beberapa warga berlarian menuju ke pos ronda tempat Devan berada.
Bugghh...!!!
Bugghh...!!!
Bugghh...!!!
"Jangan woyyy!!" Teriak wanita yang bersama Devan sambil melerai warga yang menghajar Devan.
Wanita itu bernama Nisa, salah satu warga kampung sebelah.
Apes memang bagi Devan. Habis jatuh, dipukulin warga lagi.
"Alah kalian sama saja, Janda gatel!!" teriak salah satu warga yang di sinyalir sebagai anak juragan sapi yang sangat membenci Nisa. Dia adalah Wondo, anak dari juragan sapi di kampung sini.
"Kamu sama saja Nisa!!, suami sudah meninggal, malah pelampiasan ke orang!" Suara ketus keluar dari salah satu mulut warga.
Nisa yang mendengar itupun menjadi geram. "Dia itu jatuh, bukan mau mesum!" Ketus Nisa.
Nisa adalah janda tanpa anak yang ditinggal mati suaminya.
Banyak yang bilang, jika Nisa janda gatel karena sering akrab dengan lelaki. Entah di jalan atau di tempat kerja.
"Berhenti...!!" Teriak seseorang yang memakai peci warna putih.
"Kalian main hakim sendiri aja!, ditanyain dulu baik-baik!, bukannya langsung main jotos begitu!" ucapnya kemudian mendatangi Devan yang nyaris tidak di kenali karena pukulan dari warga.
Wajahnya sudah tak terlihat tampan. Karena mukanya memar dan bengkak.
"Mesum di pos pak kaum!" Ucap salah satu warga berteriak.
"Kawinin aja udah, daripada godain laki orang!" Teriak salah satu wanita paruh baya. Yang seringkali suaminya terpergok berjalan bersama dengan Nisa.
Devan masih diam membisu, tidak paham dengan warga yang ada disini. Apalagi bahasanya yang campur-campur membuatnya pusing.
Pak kaum menatap Devan dan Nisa secara bergantian.
"Kawinin aja pak kaum!"
"Kawin!"
"Kawin!"
"Kawin!"
"Kawin!"
"Kawin!"
Pak Kaum sampai pusing, setiap kali mendengar tentang Nisa. Padahal Nisa tidak seperti yang mereka katakan.
Sebab Pak Kaum kenal baik kakaknya Nisa, yaitu Hasan.
"Aku panggil Hasan dulu!" Ucap Pak Kaum kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Hasan.
Tak lama kemudian Hasan datang seorang diri menggunakan motor bututnya.
"Ada apa kang?"Tanya Hasan kepada pak kaum.
"Ini lho....!!"
Belum selesai pak kaum mengucapkan kata-kata, tiba-tiba warga berteriak.
"Nisa San!, arep semah Nang pos lho. Wes lah kawinkan saja!" Teriak salah satu warga yang bernama Wondo tadi.
"Iyoooo!, daripada lakiku yang di godain terus San!"Teriak wanita paruh baya yang masih memakai mukena.
Hasan memijit kepalanya karena pusing mendengar celotehan warga sebelah kampungnya ini.
Memang, beberapa bulan yang lalu Nisa dinikahin paksa oleh juragan sapi karena ayahnya mempunyai hutang yang begitu banyak. Sehingga Nisa dipaksa nikah dengan juragan sapi, ayahnya Wondo.
"Sudah!, sudah!. Nisa!, kakang minta malam ini kalian menikah!"
"Hah..!, mas!, yang bener!" protes Nisa kepada kakaknya.
"Udah kang kaum!, Nikahin mereka di rumah saya!" Ucap Hasan sudah tidak mau di bantah.
Akhirnya warga sorak Sorai, sambil berteriak "Huuuuuu....!!!" mengolok-olok Nisa dan Devan.
Devan yang belum paham, dan masih merasa sakit hanya bisa menuruti kemauan semua warga.
Hingga tak lama kemudian mereka sampai di rumah Hasan.
Nisa sendiri juga tinggal di situ, sebab di usir ayahnya karena dituduh telah membunuh juragan sapi.
Namun bukti kuat bahwa bukan Nisa yang menyebabkan juragan sapi meninggal.
Beruntung Hasan memahami Nisa serta membelanya, hingga sementara waktu Nisa tinggal bersama kakaknya ini.
Kakaknya sudah berkeluarga, istrinya bernama Khoirul Jannah. Dua putra-putri Hasan bernama. Hanif Mustafa dan Hanifa Khoirunnisa.
"Ada apa mas?, kok rame temen?" tanya Jannah kepada suaminya, Hasan.
"Lha piye meneh dik, Nisa dituduh sana sini begitu. Tadi dikira mesum di pos ronda malahan. Ya udah aku minta nikahin saja!"
"Weladalah!, ngawur sampeyan mas!"
"Lha Nisa kenal engga sama lakinya?" Lanjut sang istri.
"Embuh!, orang yang laki di hajar warga begitu. Kalau udah berduaan kan berarti kenal!" Sahut Hasan atas pertanyaan istrinya itu.
"Ngawur sampeyan mas!, lha kalau engga kenal bagaimana?, atau malah suami orang?"
"Biarin saja!, biar orang-orang puas dengan Nisa yang sudah nikah nanti. Masalah itu nanti mas pikirkan!" Sahutnya.
Devan yang masih dengan kondisi terluka dipaksa untuk mengucap ijab Kabul saat itu juga.
"Ehh, bentar dulu!, kok nikah?" Tanya Devan yang masih kebingungan karena saat ini diminta menikahi gadis yang di serempet tadi.
Hasan pun memberikan alasan kepada Devan, jika Nisa dalam kondisi terpojok saat ini. Devan salah satu penyebabnya, hingga harus terjadi pernikahan kilat ini.
Devan membantah, kemudian memberikan alasan berada di tempat itu bersama Nisa. Tapi warga tetep kukuh dengan pendapatnya. Bahkan Devan di tuduh akan memperkosa Nisa. Mau tak mau Devan mengiyakan permintaan warga untuk menikahi Nisa.
Sementara Nisa saat ini sedang di tenangkan oleh Jannah di kamarnya. Ia menangis tersedu tidak terima dengan keputusan kakaknya itu. Apalagi omongan warga yang seakan menyudutkannya.
Jannah pun memberitahu, jika untuk sementara, Nisa menuruti kemauan kakaknya. Daripada omongan tetangga dan warganya tidak mengenakkan sama sekali, sehingga membuat Nisa sering di olok-olok dan membuatnya malu.
"Mau aku hajar itu si Wondo!, Coba aja entar!, hikksss...!" Ucap Nisa sambil sesenggukan. Hingga akhirnya menyetujui permintaan kakaknya.
Nisa pun akhirnya di ajak keluar kamar, untuk memulai akad nikahnya. Nisa pasrah, karena tidak bisa berontak apalagi banyak warga yang masih menunggu.
Devan terpaku melihat Nisa yang keluar kamar. Tadi sewaktu jatuh, Devan tidak bisa melihat dengan jelas wajah Nisa. Namun kini dalam suasana terang, akhirnya bisa menatap Nisa.
"Cantik juga si Nisa, ga beda jauh sama Dara!, ehhh...!" Ucap Devan dalam hati.
Ayah Nisa datang ke rumah Hasan dengan marah-marah karena perbuatan Nisa.
"Anak tak tahu di untung!" Ketusnya, meski ia juga siap menikahkan putrinya saat ini juga.
Beruntung rumahnya jauh dari tempat Hasan. Jadi Nisa memang jarang bertemu dengan ayahnya.
"Wes to pak!, Ndang beres!" Ucap Hasan memang tidak mau menunda-nunda pernikahan Nisa dan Devan. Hingga akhirnya pak kaum memulai acara.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Saya terima nikah dan kawinnya Ceisya Lafatunnisa Binti Sabar Khoirudin dengan mas kawin uang dua juta rupiah di bayar tunai!"
"SAHH..!!
"Sahhh..!!
"Alhamdulillah!" Pak Kaum pun membacakan doa setelah kata sah disambut oleh saksi dan warga yang ikut acara.
Hingga selesai doa, semua warga bubar dan bersorak-sorai. Meski sorakannya seperti mengolok-olok Nisa yang kini tidak bebas seperti hari kemarin, karena sudah bersuami.
Kini tinggal Hasan dan keluarganya serta pak Kaum yang masih tetap singgah sementara. Pak kaum Sobri memang akrab dengan Hasan. Karena sering memakai jasa Hasan yang jadi tukang bangunan.
"Le, aslimu sebenarnya mana?" Tanya pak Kaum yang memang belum kenal baik dengan Devan.
"Jakarta pak ustad!" Sahut Davin.
"Aku duduk(bukan) ustad yooo. Cuma kadang di suruh jadi imam masjid. Tapi mereka panggilnya pak Kaum!, ohhh Jakarta!" kata pak kaum Sobri. Ia memang seorang guru di salah satu pesantren dekat sini. pesantren Pabelan namanya.
"Nggih pak kaum!" Sahut Devan sambil menahan perih.
"Jadi gini le!, maaf sebelumnya saya tidak bisa bantu banyak. Sebab warga sini memang lagi gampang tensinya naik gara-gara ulah maling, sama tukang judi online. Jadi kalau masalah sepele seperti tadi membuat sampeyan sengsara di amuk warga!" Ungkap pak Kaum Sobri.
"Sepele bagaimana pak Kaum, lha wong saya di hajar sampai begini. Masih disuruh nikah lagi. Saya aja engga kenal sama Nisa ini!" Sahut Devan dengan kesal.
Pak Sobri hanya cengengesan mendengar perkataan Devan.
"Namamu tadi siapa?" Tanya Hasan di sebelah pak Sobri.
"Evan!" Sahut Devan ketus. Ia masih mangkel, jengkel tapi tidak bisa berontak karena badannya sakit semua, gara-gara warga salah paham.
"Nisa, bantu Evan obatin lukanya. Engga kasihan sama suami?" Canda Hasan kepada Nisa namun membuat Devan semakin jengkel.
"Wes wes wes, mas Ono ngono!" ucap Jannah yang mengabulkan baskom berisi air hangat untuk mengompres Devan.
"Wes Kono Nang kamar!" ucap Jannah kepada adik iparnya itu.
"Mbak samanya, sama mas Hasan!" Gerutu Nisa kemudian masuk ke kamar membawa baskom.
"Lho Iki Evan nya diajak masuk!" Teriak Jannah sambil berkacak pinggang ke arah Nisa.
"Iya iya, mas Evan sayang masuk sini!" Ucap Nisa tapi wajahnya cemberut. Membuat Devan berdebar tidak karuan karena di panggil sayang oleh Nisa.
"Bisa mlaku tidak?" Tanya pak Sobri yang melihat Devan merintih karena sakit di kakinya. Apalagi wajah Devan semakin bengkak.
Devan melangkah perlahan menuju kamar Nisa, kemudian mengutuk pintu sebelum masuk ke kamar Nisa.
Hal sederhana ini membuat Nisa menahan nafas sejenak karena haru. Sebab perilaku Devan yang mengetuk pintu meski keadaan pintu terbuka, membuatnya salut akan Devan, yang mempunyai perilaku baik menurutnya.
"Masuk sini mas, tak apa!, kan udah muhrim!" Ucapnya malu-malu, meski hal itu sebenarnya terpaksa. Sangat terpaksa menghadapi situasi saat ini.
"Terimakasih!" Sahut Devan kemudian duduk di sebelah Nisa.
"Boleh aku kompres lukanya. Maaf kalau sakit!" ucap Nisa kemudian memulai memasukkan handuk kecil ke baskom yang ia bawa tadi.
perlahan Nisa membersihkan luka Devan, terutama bagian wajah.
Devan menatap sekeliling kamar, karena terlihat rapi dan banyak buku-buku di rak.
Sementara kamar Nisa ini tidak terlalu sempit jika berdua seperti saat ini.
Devan kemudian menatap Nisa. Wajah cantik yang di balut jilbab warna krem, serta baju putih, dan celana panjang warna putih. Seakan Nisa adalah seorang perawat pribadinya.
"Kamu perawat?, apa dokter?" Tanya Devan, tapi matanya tidak lepas dari bibir dan mata Nisa yang tampak sayu. Sayu habis menangis karena harus menikah mendadak malam ini.
"Perawat mas!, di rumah sakit deket sini. Tadi aku baru pulang!" Sahut Nisa, tangannya dengan telaten mengobati wajah Devan.
Devan merintih karena perih obat yang di berikan Nisa.
"Maaf ya mas, kalau omongan warga tidak mengenakkan!" Ucap Nisa sambil menunduk, memeras handuk di baskom.
"Tak apa!, mereka berkata sesuai asumsi mereka. Yang penting, yang diasumsikan tidak sesuai dengan kenyataannya. Biar Allah yang melihat, mana yang benar atau tidak!"
"Masyaallah mas..!"
"Aku juga minta maaf kejadian tadi, karena tidak sengaja menyerempet sepedamu. Aku lagi banyak melamun akhir-akhir ini. Engga fokus di jalanan."
"Sama-sama mas. Sudah sekarang istirahat. Semoga besok lekas sembuh. Aku tidur di sebelah!"
"Engga tidur sini?"
Deg..!!
"Aku tidurnya kayak kuda. Kamu kan lagi sakit!, takutnya nanti ketendang aku!" Alasan Nisa yang di buat-buat.
"Gapapa!, ketendang kamu mah ga masalah. Asal jangan ketendang kuda!" Celetuk Devan yang kemudian merebahkan badannya yang lelah.
Nisa hanya melotot kesal, meski baru kenal. Tapi Devan berani membalikkan kata-katanya.
"Asik juga ini cowok!" Batin Nisa, namun ia segera pergi ke kamar sebelah untuk istirahat, serta meratapi nasibnya.
"Lha kok tidur di sebelah Nis?, Yo kelonin suaminya itu!' Ucap Pak Sobri yang masih bercengkrama dengan Hasan.
"Takut ketendang pak lek!" Sahut Nisa kemudian masuk ke kamar.
Hahahahha....!!
Tawa Hasan dan Pak Kaum bersamaan di ruang tamu. keduanya berlanjut sampai malam. Hingga pak kaum pun pamit undur diri.
Hasan menghela nafas panjangnya, memikirkan adiknya Nisa, yang sering mendapatkan ejekan dan perlakuan buruk dari warga sekitar.
Meski kadang Nisa membantah, bahkan menghajar orang yang menghinanya, namun itu tidak membuat kapok warga yang selalu berkata buruk tentangnya.
Hasan kemudian masuk ke kamar yang sudah di tempati istrinya. Kemudian merebahkan tubuhnya yang lelah.
"Mas..!"
"Hemm!"
"Nisa bagaimana?" Tanya Jannah yang sebenarnya kasihan dengan Nisa saat ini.
"Bagaimana apanya?"
"Itu?, menurut mas, Evan itu bagaimana?, mau menerima Nisa yang seorang janda atau tidak. Terus dia kerjaannya apa?, kenapa kok engga di pikirkan dulu gitu?" Tanya Jannah panjang lebar. Sebab memang belum tahu Devan itu seperti apa. Kerja atau tidak, terus aslinya orang mana?. Keluarganya bagaimana. Macam-macam lah menurut Jannah itu.
Apalagi Devan baru dikenalnya. Biasa jdi ia orang yang pura-pura baik. Dan aslinya jahat.
"Kebanyakan nonton Drakor ya kayak gitu Jan!" Sahut Hasan yang kemudian menutup mata.
"Mas yakin Evan itu anak baik Jan!, bahkan yang dituduhkan warga itu tidak benar. Aku kasihan misal ga jadi nikah sama Nisa. Malah Evan yang akan di arak keliling kampung ga pakai pakaian. Udah di hajar, di permalukan lagi. Aku jaga-jaga itu. Apalagi Nisa pasti juga kena!" Jelas Hasan kepada Jannah istrinya.
Memang warga sini tanpa tendeng aling-aling akan menghakimi masa tanpa pandang bulu. Sebab sering kejadian yang maling ayam aja di hajar sampai koma. apalagi yang di tuduh berbuat zina kayak Nisa dan Devan.
"Tinggal keduanya mau lanjut atau tidak, kita serahkan ke mereka!, Toh sekarang ga bakal bisa anuin Nisa dalam kondisi seperti itu!" Lanjut Hasan.
"Anu apa mas?"
"Anuu?, bikin adik buat Hanifa yuk sayang!"
"Helehhhh!, maunya!"
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi harinya Hasan sengaja engga berangkat kerja, ia ijin kepada pemilik rumah yang di renovasi agar diperbolehkan.
Hasan menemani Evan untuk hari ini, terutama untuk mengenalkan anggota keluarganya. Terutama anak istrinya serta Nisa, istri Evan.
Nama Devan dirubah Evan, biar agak lain yah.
"Evan!, sebenarnya kamu itu mau kemana?, atau darimana?" tanya Hasan yang memang sengaja hari ini menanyakan dengan detail diri Evan.
"Saya mau ke Jogja mas!, tapi ada kendala semalam!"
"Ke...?"
"Mau ke tempat budhe yang di Jogja!" Sahutnya.
"Ohhh, ada budhe disana?"
"Iya mas!" Sahut Evan masih menahan perih di pelipisnya. Selain jatuh juga terkena bogeman dari warga.
"Ini mau kesana?, atau nunggu sembuh?" Tanya Hasan dengan bijaknya.
"Sebenarnya saya ga ada tujuan pasti sih mas!. Bosen aja dirumah Jakarta, terus pingin main ke Jogja." Sahut Devan sambil menatap Hasan yang tampak teduh.
"Ya udah gini!, kamu kan lagi sakit. Dan kebetulan sekarang kamu jadi suami Nisa. Kalau ada apa-apa kamu bicara dengannya. Misal butuh bantuan mas, mas ga masalah kok!" Ucap Hasan yang memang tampak perhatian.
"Iya mas!" Sahut Devan.
"Oh ya!, apa orang tuamu tahu kalau kamu nikah?" tanya Hasan kepada Devan.
"Belum mas!, ponselku jatuh pas kecelakaan semalem!" Sahut Devan yang memang sudah tidak memiliki ponsel.
"Ingat nomor teleponnya?"
Devan menggelengkan kepala karena tidak ingat. Meski kalaupun ada ponsel dan di otak-atik pasti Nemu. Tapi Devan lagi sedang menikmati suasana ini.
Entah karena apa?. Mungkin karena Nisa yang begitu cantik menurutnya.
"Yo wes, nanti kalau ingat di hubungi."
"Oh ya gini Van!, Nisa itu janda tanpa anak. Kamu sudah denger kan dari warga yang teriak-teriak?"
Devan mengangguk.
"Tapi setelah nikah dengan juragan sapi ompong itu, malamnya malah juragan meninggal gara-gara over dosis!" Lanjutnya.
"Hah, overdosis narkoba mas?"
"Bukan!, tahu sendiri anaknya juragan sapi sudah segede itu. Tadi malam yang teriak-teriak!"
"Ya ya ya!" Sahut Devan.
"Itu anaknya. Wong tuwek, isih pingin kawin terus. Ya begitulah kalau ga mampu ya pakai obat. Lha wong dokternya bilang overdosis kok masih pada ngeyel. Yang disalahin Nisa. Bapak juga!, mertuamu tuh!"
"Halahhh, bapakmu juga itu mas!" Celetuk Jannah yang lewat dekat Hasan untuk memberikan dua cangkir teh panas kepada Hasan dan Devan.
Devan manggut-manggut mendengar cerita dari Hasan kakak Nisa.
"Terus kamu kerja apa di jakarta?, atau masih kuliah?"
"Engga kerja mas, tapi engga nganggur juga!" sahut Devan.
Ya memang ga kerja ya Van, kan bosnya. Kerja juga paling tanda tangan doang. Tinggal perintah sono-sini sama Andri.
Mau kabur berapa lama juga sudah teratasi, tinggal tunggu laporan kan Van!
"Maksudnya bagaimana?"
"Ya kalau ada yang butuh bantuan ya saya bantu gitu. Kan dapat upah!"
"Kaya kuli bangunan gitu!, kamu borongan disana?"
"Engga sih mas!, biasanya orang kantoran yang butuh bantuan ku!"
"Ohhh..!"
Lha iya orang kantoran Van! Gimana sih!, di bilang kamu bosnya disana!. Ealah ngeles aja nih anak.
"Di obatin lagi itu lukanya!, Nisaa!, ini lho suamimu di obatin lagi!" Teriak Janah kepada Nisa yang sedang sibuk di dapur. "Biar mbak yang nerusin!" Lanjutnya.
Nisa datang dengan wajah cemberut, kemudian mengajak Devan untuk masuk ke dalam rumah.
"Mau kompres dulu apa engga?"
"Engga pakai sayang seperti semalam?"
"Opo.....!!"
"Ya tanyanya gini lho, mau di kompres dulu apa engga sayang. Gitu lho!"
"Huh...!!, maunya!!" Sahut Nisa sambil memutar bola matanya, kemudian mengambil air hangat dalam baskom dan handuk kecil.
"Pelan-pelan sayang!"
"Huekkkk...!!" Sahut Nisa.
"Ga pantes mas bilang sayang begitu. Kaku kamu mah!" Lanjut Nisa.
Memang Devan agak kaku kalau sama cewek. Tidak seperti Davin saudara kembarnya yang suka ceplas ceplos dan suka menggombal.
"Ck!, kan baru kenal. Aslinya mah menghanyutkan!"
"Helehhhh, tenggelem iya!"
Aduhhh...!
"Makanya ga usah berisik!" Ucap Nisa yang sedang mengusap luka Devan. Kemudian memberinya salep luka.
"Nis!" panggil Devan kepada Nisa.
"hmm.."
"Kamu maunya bagaimana pernikahan ini?, kita baru kenal dan tiba-tiba menikah. Dan belum mengenal satu sama lain lebih jauh." Ucap Devan perlahan agar tidak menyinggung Nisa.
"Malu ya mas?, nikah sama janda?"
"Bukan itu maksudku!, aku tuh tanya kamu!, mau bagaimana pernikahan ini?" ucap Devan.
"Jalanin aja mas. Tapi kalau mas merasa ga ikhlas atau sudah punya kekasih ataupun istri ya silahkan. Maunya mas bagaimana aku ikut apa kata mas!, toh aku memang sebenarnya juga ga pantes....!"
"stttt...!!, kok sampai segitunya!"
"Ya bagaimana lagi?"
"Gini lho Ceisya Lafatunnisa !, Aku masih bujang tadinya. Tidak punya kekasih apalagi istri. Aku sudah di ceritain tentangmu oleh mas Hasan. Meski tidak sepenuhnya di ceritakan ke aku. Tapi aku ingin mengenalmu secara pribadi, baik kamu kenal aku yang begini, begitu juga sebaliknya. Dan!!!, aku hanya ingin sekali seumur hidup dalam menikah. Sekarang gini!, kamu mau engga kita saling mengenal satu sama lain. Jika Allah meridhoi!, kita akan menjadi sepasang suami istri yang saling mencintai kelak!"
Ucapan Devan membuat hati Nisa berbunga, meski belum mengenal Devan secara sepenuhnya. Baru semalam, namun membuat dirinya trenyuh, dan menghargai setiap ucapan Devan. Apalagi Devan tampak baik dan berakhlak lebih dari cukup menurutnya.
Nisa mengangguk sambil mengulas senyum tipis. Matanya menatap Devan penuh makna. Lesung pipi Nisa menambah hati Devan semakin berdetak cepat.
"Sudah mas obatnya!" Ucap Nisa kemudian berdiri dan berbalik untuk memindahkan baskom serta kain handuk dari hadapan Devan.
Devan kembali ke samping rumah, dimana disana masih ada mas Hasan yang sedang ngobrol dengan istrinya.
"Sudah Van?" tanya Jannah yang melihat Devan keluar kembali.
"Sudah mbak!"
Wajah Devan sudah mendingan sekarang, sedikit terlihat ketampanannya. Apalagi kalau luka memar dan bengkaknya hilang. pasti deh mbak Jannah langsung kiclep, karena mirip artis Drakor kesayangannya. Namun sayang, saat ini Devan masih terluka.
Meski kulitnya terlihat bersih, namun karena lukanya itu yang menjadi Devan terlihat biasa saja. Belum tahu sih!, mbak Jannah.
"Sementara tinggal disini dulu. Kalau kalian sudah sreg satu sama lain. Terserah kalian mau kemana!" Ucap mas Hasan yang masih memikirkan adiknya, Nisa.
"Kalau saya di sini kerja apa ya mas?" tanya Devan memikirkan hari depannya.
"Bantuin mas wae, jadi kenek kuli bangunan. Gapapa kan!, itung-itung buat nafkahi istri." Celetuk mbak Jannah.
Memang kadang Hasan kekurangan tenaga, terutama kenek, atau pelayan tukang di proyek bangunannya.
"Gapapa mas?" tanya Devan yang justru sangat antusias.
Ia ingin merasakan menjadi orang bawahan seperti umumnya.
"Ya gapapa kalau kamu mau!, kerja berat lho!"
"Gapapa mas, daripada balik ke Jakarta. Terus Nisa ikut kesana. Malah resign dari kerjaannya disini!" sahut Devan yang memang saat ini Nisa masih aktif bekerja.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!