...“Aku harus menghilang… demi keselamatan banyak orang—dan demi dia.”...
Langkah sepatu bot hitam Robert bergaung pelan di koridor steril laboratorium. Aroma antiseptik dan kopi basi semalam masih tercium samar. Ia membuka pintu besi dengan kartu ID-nya—klik—dan pintu otomatis menggeser perlahan.
Ruangan penuh dengan cahaya putih dan suara mesin yang mendengung lembut. Tabung reaksi berjajar seperti prajurit. Layar monitor menyala biru. Robert meletakkan tas ranselnya, menepuk kedua tangannya sekali—seperti menyambut peperangan kecil.
“Baik,” gumamnya pada diri sendiri. “Hari ini, aku harus menyelesaikan formula itu. Dunia mungkin bergantung padaku.”
Tiba-tiba matanya mengarah kepada ponselnya yang berada diatas meja. Ia memandangi wallpaper ponsel yang disana ada wajah Misel, kekasihnya, tersenyum manis dengan rambut sedikit tertiup angin dalam foto itu. Ia tersenyum tipis, menyender ke kursinya dan menekan tombol “call.”
Sementara itu, di sebuah kantor dengan jendela tinggi dan tumpukan dokumen kasus perdata, Misel sedang duduk rapi di meja sekretaris. Blazer putih gading membalut tubuhnya anggun, dan tangannya menari di atas keyboard laptop.
“Duh, semoga hari ini nggak banyak drama,” bisiknya, sambil membuka email dari klien ayah Robert. Pak Mark Albertus,SH, pengacara senior yang reputasinya setinggi langit Jakarta.
Ponselnya berdering. Wajahnya langsung berubah. Ia mengangkat telepon dan berbicara dengan nada ceria:
“Pagi, sayang. Udah di lab, ya? Gimana, udah selamatkan dunia belum?”
Di seberang sana, suara Robert terdengar berat tapi lembut, seperti seseorang yang menyimpan beban besar di balik ketenangannya.
“Belum, tapi aku makin dekat. Hari ini harusnya jadi hari penting. Aku mungkin nggak bisa banyak ngobrol, Sayang…”
“Hm,” gumam Misel sambil tersenyum pahit. “Kau selalu bilang begitu setiap kali kamu nyaris menemukan sesuatu yang ‘penting’. Aku mulai curiga kamu ini agen rahasia atau ilmuwan gila.”
Robert tertawa kecil, tapi cepat hilang.
“Aku serius, sayang. Kalau berhasil, ini bisa menyelamatkan jutaan nyawa. Tapi... risikonya juga besar.”
Misel mendesah pelan. “Kalau kamu butuh apa pun… aku di sini. Kantor Ayah lagi padat, tapi aku bisa kabur buatmu kapan saja.”
Robert menutup mata sesaat, seperti menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan.
“Aku tahu. Dan itu yang bikin aku kuat.”
Lalu hening beberapa detik, cukup panjang untuk membuat Misel bertanya:
“Sayang? Kamu masih di sana?”
“Iya... Maaf. Aku harus mulai sekarang. Aku telepon lagi nanti. Jaga dirimu, ya.”
Dan sebelum Misel sempat menjawab “kamu juga,” sambungan sudah terputus.
Ia memandang layar ponselnya yang kembali gelap. Perasaannya aneh. Ada sesuatu di nada suara Robert tadi. bukan hanya kesibukan. Tapi seperti seseorang yang bersiap pergi… jauh.
Robert baru saja mempersiapkan larutan uji dalam tabung reaksi, ketika pintu laboratorium terbuka perlahan. Seorang pria berjas panjang memasuki ruangan, wajahnya penuh kerutan namun tatapannya tajam seperti silet. Profesor Carlos—senior di laboratorium yang disegani semua staf.
“Robert,” ucapnya pelan, tapi tegas.
Robert menoleh cepat. “Prof? Tumben ke ruangan saya pagi-pagi.”
Profesor Carlos menutup pintu dengan hati-hati, lalu mendekat. Suaranya turun jadi bisikan.
“Kita nggak punya banyak waktu. Aku harus bilang sesuatu, dan ini soal nyawamu.”
Robert mengerutkan kening. “Tunggu… apa maksudnya?”
Profesor Carlos mendesah, menatap sekeliling memastikan tak ada CCTV aktif, lalu bersandar ke meja.
“Formula yang kamu kembangkan… bukan cuma kamu yang memperhatikannya. Ada kelompok—mafia. Mereka dibekingin sama direktur laboratorium ini. Aku tahu karena mereka pernah mendekatiku. Dan mereka tahu kamu hampir menyempurnakan formula itu.”
“Kelompok… mafia?” Robert tergagap. “Tapi… itu cuma rumus molekuler penyembuh sel abnormal! Mereka bisa apa dengan itu?”
“Diperas, Robert. Pemerintah. Dunia. Mereka bisa jual itu sebagai obat eksklusif, atau justru menciptakan ketergantungan baru,” suara Carlos mengeras, “Kau harus pergi. Sembunyi dulu.”
Robert melangkah mundur. “Pergi ke mana?”
Profesor Carlos mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya. Isinya sebuah ponsel baru, masih tersegel.
“Laboratorium kecil milikku di luar kota. Aku akan bawa kamu ke sana saat ini. Tapi sebelum itu… ganti nomormu. Simpan hanya nomorku, dan satu lagi… pacarmu, Misel. Mumpung yang tahu kamu pacaran sama Misel cuman aku sendiri. Tapi jangan sampai kamu bahayakan nyawanya dengan buat dia terlibat karena sering berkomunikasi denganmu.”
Robert menghela napas panjang. Wajah Misel langsung muncul di pikirannya.
“Aku harus kasih tahu dia. Sedikit saja. Biar dia nggak panik. Tapi… ya, cuma dia.”
Profesor Carlos mengangguk pelan. “Boleh. Tapi satu pesan. Jangan pernah sebutkan ke siapa pun lokasi kamu, dan pastikan dia pun tidak membocorkan nomor barumu.”
Robert menatap layar ponselnya yang masih aktif. Ia menekan tombol panggilan cepat ke Misel. Setelah dua detik, suara perempuan yang ia cintai terdengar.
“Halo? Sayang? Tumben nelpon lagi?”
Suara Robert agak goyah tapi tegas.
“Sel boleh kamu angkat teleponku ini ditempat sepi? Jangan tanya kenapa, sayang. Ini sangat penting.”
“Oke sayang. Bentar aku ke toilet dulu. Tutup dulu panggilanmu. Aku ke toilet bentar,” kata Misel sambil Bersiap-siap ke toilet.
Setelah sampai di toilet kantor. Misel mengeluarkan ponselnya dan kembali menghubungi Robert. Setelah kembali tersambung, Misel pun mulai bertanya,
“Ini aku udah di toilet. Sepi kok. Sekarang ada apa, sayang? Cerita sama aku.”
“Sel… aku nggak bisa jelasin sekarang. Tapi aku harus menghilang dulu sementara waktu. Jangan panik, aku baik-baik saja. Tapi kamu nggak akan bisa hubungi aku lewat nomor ini lagi.”
“Robert… apa maksudmu? Kamu ngomong apa sih? Aku… aku takut.”
“Dengerin aku,” katanya pelan. “Nanti aku akan hubungi kamu dari nomor baru. Hanya kamu yang tahu nomor itu. Jangan dikasih tahu siapa pun. Bahkan Ayahku sekalipun. Dan nanti tolong jangan simpan kontaknya dengan namaku sebenarnya. Terus nanti jangan memberi tahu keberadaanku dan jangan mendatangi aku sampai masalah ini bisa diselesaikan. Sementara kita LDR dan berkomunikasi dengan ponsel dulu.”
“Tapi kenapa? Sayang, kamu nyari masalah apa sih?”
“Nggak. Aku cuma nyari kebenaran. Dan ternyata itu lebih berbahaya dari yang kukira. Tolong percaya padaku, ya?”
Di seberang, Misel terdiam. Tapi akhirnya terdengar jawabannya pelan.
“Baik. Tapi janji kamu akan hubungi aku lagi?”
“Aku janji, sayang. Aku hanya ingin melindungimu dan mencegahmu terjebak di situasi berbahaya karena aku. Aku sayang kamu, Misel. Kita bersama berdoa semoga masalah ini cepat selesai ya, sayang,” jawab Robert dengan nada berat.
“Aku juga sangat sayang kamu, Robert. Aku hanya berharap semoga masalah ini cepat selesai. Aku sebenarnya sangat sedih mendengar ini. Tapi ini demi kebaikan kita berdua,” jawab Misel lirih.
“Udah dulu ya, sayang. Aku mau beres-beres.”
Robert mematikan sambungan. Ia mencabut SIM card-nya, menatapnya sesaat, lalu menjatuhkannya ke dalam larutan asam ringan di laboratorium—larut perlahan.
Ia membuka segel ponsel baru, memasang SIM baru yang telah diberikan Profesor Carlos. Saat ponsel menyala, ia menyimpan dua nomor pertama:
Prof.Carlos
Misel
Robert menarik napas dalam-dalam. Dunia luar mulai terasa asing.
“Baik, Profesor,” katanya akhirnya. “Aku sudah siap, tapi nanti singgah dulu ke rumahku dan ke jalan Capital North. Tempat penyimpanan brankas pribadi yang sangat rahasia itu. Ada yang mau kusimpan.”
“Baiklah,” kata Prof Carlos.
Mereka pun Bersiap-siap meninggalkan Laboratorium dan menuju rumah Robert dan menuju tempat yang dikasih tahu Robert sebelum mereka keluar kota tempat Laboratorium tersembunyi milik Prof. Carlos
Robert menghilang, meninggalkan pesan penuh kode. Ayahnya dan Misel harus memecahkan teka-teki itu—sebelum semuanya terlambat. Jejak mereka mengarah ke Capital North, tempat rahasia yang bisa menjadi kunci... atau bahaya baru.
Pak Mark berdiri di ambang pintu kamar Robert, matanya menyapu ruangan yang sepi. Hatinya berdebar, merasakan ada yang tidak beres. Ia melangkah masuk, dan pandangannya tertuju pada secarik kertas yang tergeletak di atas meja. Dengan tangan bergetar, ia mengambil kertas itu dan mulai membaca:
"Maaf ayah, aku terpaksa sembunyi dulu. Ada sesuatu masalah di laboratorium. Ayah jangan tanya kenapa. Oh ya, ayah siapkan penjagaan ketat di rumah, terus kalau boleh kabari Misel sekretaris ayah. Dia pacarku. Kasihkan kode ini kepada dia,
'Dalam darurat Internasional, Nicolaus Copernicus akan mendengarkan:
a. Freakin’ It – Will Smith
b. Adventure of a Life Time – Coldplay
c. Black Magic – Little Mix'"
Pak Mark terdiam, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Robert berputar di kepalanya, menciptakan kekhawatiran yang mendalam. Ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi instingnya sebagai seorang ayah mengatakan bahwa anaknya sedang dalam bahaya.
"Robert!" teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah yang sunyi. Namun, hanya keheningan yang menjawab. Ia merasa terjebak dalam ketidakpastian, dan rasa cemas mulai merayap ke seluruh tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan, Nak?" gumamnya, sambil menatap kertas itu seolah bisa memberikan jawaban.
Ia segera meraih ponselnya dan menghubungi Misel sekretarisnya, yang ternyata adalah pacar anaknya. Suara dering terdengar panjang sebelum akhirnya terjawab.
"Halo, Pak Mark?" suara Misel terdengar ceria, tetapi Pak Mark bisa merasakan ketegangan di balik nada suaranya.
"Misel, ada yang tidak beres. Robert... dia menghilang. Dia meninggalkan pesan untukmu. Kode ini..." Pak Mark menjelaskan dengan cepat, menyampaikan isi surat tersebut.
"Oh tidak, Pak!" Misel terdengar panik. "Apa yang terjadi? Sudah ditelepon Robertnya, Pak?"
“Dari tadi saya telepon, tapi ponselnya tidak aktif. Hanya, “nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan area terus.” Kata Park Mark
“Terus apa rencana bapak saat ini?” tanya Misel
"Aku tidak tahu, tapi kita harus bersiap. Aku akan mengatur penjagaan di rumah. Kau harus tetap waspada dan siap jika dia menghubungimu."
"Baik, Pak. Saya akan segera ke rumah. Kita harus mencari tahu apa yang terjadi."
Setelah menutup telepon, Pak Mark merasa sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa Misel akan membantunya, tetapi rasa khawatir akan keselamatan Robert terus menghantuinya. Ia bergegas keluar dari kamar, bertekad untuk melindungi anaknya, apapun yang terjadi.
Sesampai di rumah Pak Mark, Misel langsung menekan bel pintu. Suara deringnya menggema di ruang tamu yang sepi. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Pak Mark muncul dengan wajah cemas.
"Misel, terima kasih sudah datang cepat," ucap Pak Mark, membuka pintu lebar-lebar agar Misel bisa masuk.
Setelah duduk di kursi, Pak Mark mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya dan memperlihatkannya kepada Misel. "Ini pesan dari Robert. Dia menghilang, dan aku tidak tahu harus berbuat apa."
Misel mengambil kertas itu, matanya menyusuri setiap kata yang tertulis. "Apa maksud semua ini? Kenapa dia tidak memberi tahu lebih banyak. Malah pesan seperti kode ini? Dasar ilmuwan penyuka Sherlock Holmes." ucapnya, masih bingung dengan arti tulisan itu.
"Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi ponselnya tidak berdering. Seolah-olah dia memang ingin menghilang," jawab Pak Mark, suaranya bergetar.
Misel menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Sebenarnya tadi siang, Robert juga meneleponku. Dia bilang akan bersembunyi sementara waktu. Ada yang mengincar hasil penelitiannya."
"Mengincar hasil penelitian? Apa maksudnya?" Pak Mark bertanya, wajahnya semakin pucat.
"Aku tidak tahu, Pak. Tapi sepertinya ini serius. Kita harus mengikuti saran Robert untuk memberi pengamanan ketat di rumah. Kita tidak bisa membiarkan kejadian tak terduga terjadi," Misel menjelaskan dengan tegas.
Pak Mark mengangguk, tetapi ada keraguan di matanya. "Tapi kita harus melapor ke polisi. Ini sudah terlalu berbahaya."
Misel menatapnya dengan serius. "Jangan, Pak. Tadi siang, Robert sempat berucap untuk jangan melaporkan ini kepada polisi. Kita harus menghormati keputusan Robert. Jika dia merasa perlu bersembunyi, mungkin ada alasan yang lebih besar."
"Tapi, Misel..." Pak Mark mulai ragu, tetapi Misel memotongnya.
"Kita harus percaya pada Robert dan melindunginya. Mari kita buat rencana pengamanan. Kita bisa mulai dengan memeriksa semua pintu dan jendela, pastikan semuanya terkunci. Terus bapak bisa bayar orang-orang yang bapak kenal untuk jaga rumah ini. Semacam bodyguard"
"Baiklah, kita lakukan itu. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang terjadi padanya," kata Pak Mark, suaranya penuh kekhawatiran.
"Kita akan menemukannya, Pak. Bersama-sama, kita akan memastikan dia aman," Misel berjanji, berusaha memberikan harapan di tengah ketidakpastian yang melanda.
Misel kembali membaca isi surat Robert, matanya menyusuri setiap kata dengan seksama. Ketika sampai pada bagian kode, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar deretan lagu. Dengan cepat, ia membuka aplikasi chat GPT di ponselnya, berharap bisa mendapatkan penjelasan.
"Chat GPT, bisa bantu aku mengartikan kode ini?" tulisnya, lalu menunggu dengan penuh harap.
Sementara itu, Pak Mark sibuk menelepon temannya yang bekerja di perusahaan keamanan. "Halo, Denny? Ini Mark. Aku butuh bantuanmu. Bisa kirimkan lima orang bodyguard terpercaya untuk mengawasi rumahku?" Suaranya tegas, tetapi ada nada cemas yang tak bisa disembunyikan.
"Tentu, Mark. Aku akan segera mengatur semuanya. Kapan mereka harus siap?" Denny menjawab, suaranya terdengar profesional.
"Segera, secepatnya. Ini masalah serius. Tentang keluargaku," Pak Mark menjelaskan, hatinya berdebar.
Setelah beberapa menit menunggu, ponsel Misel berbunyi. Ia melihat jawaban dari chat GPT:
"A. Darurat internasional itu merujuk ke nomor panggilan darurat 112."
"B. Nicolaus Copernicus adalah seorang ilmuwan astronomi yang pernah menemukan atom dengan nomor atom 112 dan simbolnya Cn."
"C. Tiga lagu tadi merujuk ke lagu bertempo 112."
Misel terdiam sejenak, merenungkan informasi itu. "112..." gumamnya. "Itu nomor darurat. Dan... Nicolaus Copernicus? Apa hubungannya?"
Ia kemudian berusaha menghubungkan semua petunjuk. "Mungkin ini merujuk ke sebuah gedung penyimpanan brankas di Capital North. Di sana, banyak penelitian dan data penting disimpan."
Mendengar itu, Pak Mark menghampiri Misel. "Apa yang kau temukan?" tanyanya, wajahnya penuh harapan.
"Aku rasa ini mengarah ke Capital North. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa menjelaskan semua ini," Misel menjawab, semangatnya mulai membara.
"Kita harus segera pergi ke sana. Sebentar, kusiapkan mobil!" Pak Mark berkata, suaranya penuh tekad.
Misel mengangguk, dan mereka berdua bergegas keluar rumah, berharap menemukan petunjuk lain yang bisa membawa mereka lebih dekat kepada Robert. Dengan setiap langkah, rasa cemas dan harapan bercampur aduk di dalam hati mereka, tetapi satu hal yang pasti: mereka tidak akan berhenti sampai menemukan titik jelas keberadaan Robert.
Gedung penyimpanan Capital North menjulang bisu di tengah kabut tipis yang turun sore itu. Mobil Land Crover Pak Mark berhenti di halaman depan. Ia turun lebih dulu, membuka pintu untuk Misel yang sejak perjalanan tadi terus memandangi catatan Robert.
Misel menatap gedung itu dalam diam. “Gedung ini... aku pernah lihat sekilas waktu Robert mengajak jalan-jalan waktu kami kencan pertama. Tapi tak menyangka Robert menyimpan sesuatu di sini.”
Pak Mark mengangguk pelan. “Aku juga tak pernah dengar ia punya akses ke tempat ini. Tapi dari semua kode dan petunjuk yang ia tinggalkan dan kamu uraikan… hanya gedung ini yang masuk akal. Semoga ini benar.”
Mereka berjalan menyusuri lorong sempit, melewati beberapa ruangan arsip, sampai akhirnya tiba di lorong bawah tanah tempat penyimpanan brankas digital. Lampu-lampu neon tua menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya dingin.
“112…” gumam Misel, berhenti di depan sebuah dinding besi yang bertuliskan LOKER 112
Namun yang mereka temukan membuat keduanya terdiam. Di bawah tulisan itu, tidak ada satu, melainkan enam brankas, masing-masing bertuliskan:
112A, 112B, 112C, 112D, 112E, dan 112F.
“Apa ini… maksudnya?” tanya Pak Mark pelan, nafasnya mendesah panjang. “Kita hanya tahu angka 112. Tapi ternyata... masih ada lagi kelanjutannya. Kode-kode ini buat otak tua ini tambah pusing.”
“Sabar, Pak. Dari apa yang ditulis Robert, apa yang kita nanti temukan ini adalah sesuatu yang sangat penting. Bahkan tidak satu orang pun kecuali kita berdua yang diberi tahu dan diberi misi ini.” Kata Misel.
Pak Mark mengangguk pelan, “Iya sih. Padahal kalau mau perlindungan hukum, ada ayahnya yang seorang pengacara ini.”
“Mungkin maksud Robert supaya tidak terlalu banyak yang terlibat dengan masalah ini, Pak.” Kesimpulan Misel.
Pak Mark lalu bertanya kembali kepada Misel, “Ada banyak loker bernomor 112 ini. Bagaimana kita bisa tahu?”
“…ada enam,” lanjut Misel. Ia menatap satu per satu, lalu kembali pada catatan ponselnya. “Kode dari Robert mengarah ke 112. Tapi dia tidak sebut huruf mana.”
Pak Mark melangkah lebih dekat ke brankas, menekan panel sentuhnya. “Semua pakai kode digital enam digit pula. Kira – kira apa ya kodenya? Ah...pusing.”
Namun sebelum mereka mencoba, Misel kembali mengingat pesan Robert:
*“Pilih dengan hati, bukan logika.”*
Ia memejamkan mata sejenak, lalu berkata, “Kita tidak bisa asal tebak. Ini bukan soal angka. Ini soal... apa yang Robert ingin kita pahami.”
Pak Mark memutar tubuh, memandangi kelima loker lainnya. “Kalau aku... aku akan memilih A. Karena itu awal, permulaan.”
“Tapi Robert... dia bukan orang yang berpikir linear. Dia selalu pakai simbol. Emosi. Kenangan.” Misel melangkah pelan ke arah brankas 112F.
Ia memejamkan mata sejenak. Saat membukanya, suaranya mantap. “Kita tidak bisa asal tebak. Ini bukan sekadar angka. Ini tentang… apa yang Robert ingin kita pahami.”
Ia kembali menatap ponselnya. Jari-jarinya mengetuk ringan layar, lalu berhenti pada sebuah catatan:
Tanggal jadian mereka. 10 Mei 2024.
“Bagaimana kalau… kode ini?” Misel mengangkat ponselnya ke arah Pak Mark. “Tanggal jadian kami. 100524. Bisa jadi ini sandi yang ia pilih, karena hari itu… sangat berarti buat kami.”
Pak Mark mengangguk pelan. Tapi pandangannya mengarah ke salah satu brankas—yang bertuliskan 112F. Wajahnya tampak mengenang sesuatu.
“Huruf F…” gumamnya. “Florence. Nama almarhumah ibunya Robert. Istriku. Ia sangat dekat dengan Robert waktu kecil. Kalau ia menyimpan sesuatu penting… bisa jadi di sini.”
Misel tertegun. “Robert pernah bilang… sapu tangan kecil yang selalu dia bawa itu… huruf ‘F’ di pinggirnya dijahit ibunya sendiri.”
Pak Mark tersenyum kecil. “Dia sangat menyayanginya.”
Mereka berpandangan sejenak, lalu sama-sama mengangguk. Misel menoleh ke brankas 112F.
Tangannya bergerak pelan. Ia mengetuk layar digital, lalu dengan hati-hati memasukkan kode:
1 – 0 – 0 – 5 – 2 – 4
Sejenak hening.
Bip.
Brankas terbuka perlahan, dan udara dingin dari dalamnya menguar seperti lemari waktu. Di dalamnya, hanya ada satu benda:
Sebuah flashdisk berwarna hitam, dan di bawahnya, secarik kertas kecil yang berbunyi:
“Jangan tanya kenapa dulu. Simpan flashdisk ini baik-baik. Bukalah dengan laptop yang aman. Jangan biarkan siapa pun termasuk pemerintah menyalinnya. Ini bisa menyelamatkan banyak orang. Maafkan aku mempersulit kalian dengan masalah ini. Oh iya, Pah. Jaga diri baik-baik dan tolong jaga juga Misel kekasihku, Pah. Untuk Misel, aku selalu mencintaimu.
Aku percaya kalian berdua. – Robert”
Misel menggenggam flashdisk itu erat, sementara Pak Mark berdiri kaku. Ada banyak pertanyaan di benak mereka, tapi satu hal jadi jelas: apa pun isi flashdisk itu, bukan hanya tentang Robert lagi—ini lebih besar dari yang mereka kira.
Mereka menuju ke mobil Land Cruiser hitam pak Mark dan meluncur perlahan keluar dari halaman gedung Capital North. Tak terasa kabut semakin menyelimuti seolah menutup jejak kedua penumpangnya di jalan sepi. Di kursi penumpang, Misel masih menahan degup jantungnya.
“Sudah lega ya?” tanya pak Mark dari balik kemudi, suaranya berat tapi lembut.
Misel mengangguk, menatap rel kereta api sempat terlihat dari kejauhan. “Iya… tapi masih banyak teka‑teki yang harus dipecahkan.”
Pak Mark memberikan senyum tipis. “Kalau begitu, kita pulang ke rumah saya tempat paling aman. Di sana, kita bisa buka flashdisk itu dengan tenang.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah pak Mark, tanpa banyak bicara.
Di ruang kerja milik Robert, kursi dan meja masih berantakan. Flashdisk kecil itu kini sudah terhubung ke laptop lama di pojok ruangan. Misel menghela napas, mengangkat alis sembari menatap layar.
“File-nya terbagi jadi tiga,” gumamnya pelan, menunjukkan ikon dan berkas berformat .rar. “Ada misi112 file1.rar, misi 112 file2.rar, misi 112 file3.rar.”
Pak Mark menyandarkan diri di ambang pintu, tangannya pelan menyentuh saputangan lipat. Ingatannya melayang ke Robert kecil.
Misel menekan dua kali pada readme.txt, membacakan dengan suara terbata:
“Penyanyi lagu itu adalah kunci semua.”
“Lagu…” Misel merenung. Ia meneguk kopi hangat dari mug di samping laptop. “Di kertas petunjuk dulu, ada tiga nama: Will Smith, Coldplay, Little Mix. Mungkin mereka adalah ‘penyanyi lagu itu’.”
Tanpa banyak pikir, Misel mengetik “Will Smith” sebagai password untuk file1.rar. Bip, lalu ikon folder baru terbuka. Selanjutnya ia memasukkan “Coldplay” untuk file2.rar—buka lagi. Terakhir “Little Mix” di file3.rar. Semua berhasil dekompres.
“Benar!” Misel mengusap dahinya. “Ketiganya kunci.”
Dengan cekatan, ia memilih ketiga folder itu dan menjalankan fitur “extract to” sehingga ketiganya tergabung dalam satu folder utuh. Proses dekompres berlangsung selama beberapa detik. Setelah folder utama muncul berisi dokumen, audio, dan video—Misel tersenyum lega.
“Sudah lengkap,” katanya. “Semua kompilasi di sini.”
Pak Mark melangkah mendekat, mata meneliti layar. “Bagus. Sekarang tinggal langkah terbaik. Pindahkan isi flashdisk itu dan hilangkan semua jejak.”
Misel mengangguk mantap. Setelah dia mengcopy semua ke flashdisk kosong miliknya, Ia mematikan laptop, lalu bersama pak Mark mereka membawa semua petunjuk—catatan, kertas, dan flashdisk keluar ke halaman belakang. Api dari korek menari di udara dingin. Kertas‑kertas dan bungkus flashdisk itu pun dilalap api.
“Terima kasih, Nak,” suara pak Mark terdengar berat dan ikhlas. “Sekarang tak ada yang bisa jejak kita lewat petunjuk fisik.”
Misel menatap sisa bara api, merasakan beban yang perlahan menghilang. “Sekarang… selanjutnya apa?”
Pak Mark memandang langit yang mulai gelap. “Kita pelajari file itu malam ini. Besok, kita tentukan apa yang harus kita lakukan setelah ini.”
Misel mengangguk, dan keduanya perlahan kembali ke ruang kerja. Laptop di meja sudah mati. Di luar, bara api meredup. Sekarang, perjuangan yang sesungguhnya baru akan dimulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!