NovelToon NovelToon

Ajihan'S Silence

Pertama+Prolog

Prolog :

Apa yang kamu benci?" Tanya seorang gadis cantik berkepang satu pada seorang lelaki yang hanya diam, menatap luasnya lautan.

"Laut."

Gadis itu mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu membencinya?"

"Dia merebut duniaku."

Wushhh!

Angin sore berhembus kencang menerpa mereka. Di sertai dedaunan pohon yang berjatuhan. Lelaki itu mengepalkan tangannya merasakan sesak di dada.

Gue benci cinta.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...{ Visual para tokoh }...

Jihan Alessa

Abintang Sagara

Iqbal Aidan

...___DAEVAS___...

Kevino Altaress

Alseero Avan

Alseero Aksa

Brian Ravindra

Reksa Saputra

SELAMAT DATANG DI CERITA RUBBY!

Hallo pren!!

Panggil aja say Rubby. Biar enak gitu. panggil Ubi juga gapapa, hehe.

Btw saya suka mancing. Mancing perkoro tapi hehhe😈

Ekhemm bagi yang mau bawa-bawa cerita lain ke lapak ini, mohon jauh-jauhh!!!

Ngusir? Iyaaa!

Hehhe becanda prenn.

Selamat membaca. Maaf jika banyak kesalahan dalam cerita, karena ini karya pertama saya. Hihi!

Dadahh pren!

...🌼🌼🌼🌼...

Seorang gadis sedang berlari tergesa melewati lorong sekolah. Tangannya memeluk sebuah kotak makanan berwarna hitam. Rambut panjangnya tergerai indah dengan poni sedikit berantakan karena berlari. Hari ini Jihan membawakan sebuah bekal untuk sang pujaan hati. Dia memasaknya sendiri, meskipun bermodal tutorial sosmed. Tapi tidak apa, yang penting dia membuatnya dengan penuh cinta.

Sekarang dia tengah menuju kelas untuk bertemu dengan lelaki yang ia cintai. Setelah sampai, matanya berbinar melihat sosok Abintang yang sedang duduk diam sembari membaca buku. Bibirnya tersenyum manis. Perlahan melangkah mendekati lelaki itu.

"Abintang!" Panggilnya keras membuat beberapa siswi meliriknya sinis.

Mereka sangat tidak menyukai sosok Jihan yang sangat terobsesi pada Abintang. Meskipun memang Abintang banyak yang menyukai, termasuk mereka, tetapi mereka masih punya malu. Tidak murahan seperti Jihan. Tapi Jihan tidak mempedulikan pandangan buruk mereka terhadapnya, karena yang penting di hidupnya hanya Abintang. Tidak lebih.

Iqbal yang duduk di depan bangku Abintang pun menoleh kebelakang hanya untuk menggoda temannya itu. "Bini dateng kok di diemin. Sambut dong!" Godanya lalu tertawa.

Abintang memukul punggung Iqbal dengan bukunya. Dia sangat ilfeel jika ada yang bilang Jihan adalah istrinya. Menjijikan. Jihan bukanlah tipe gadis incarannya.

"Abintang, aku masakin makanan super lezat buat kamu. Aku bikinnya penuh cinta, loh!" Kata Jihan lebay membuat Iqbal ingin muntah. Kemudian ia menyodorkan kotak bekal itu pada Abintang, "Wajib coba!" Paksanya supaya Abintang tidak bisa menolak.

Lelaki itu memandang Jihan datar, sama sekali tidak tertarik untuk menerima pemberian Jihan. "Gue udah kenyang," Tolaknya halus.

Jihan terdiam sejenak, memikirkan cara supaya makanannya diterima. "Kan bisa dimakan nanti, pas istirahat. Ambil aja, ini nggak ada racunnya kok. Ya ya ya, pliss!" Dia memohon dengan wajah dibuat-buat.

Abintang membuang napas panjang lalu menerima bekal itu dengan terpaksa. Ingat. Terpaksa. Iqbal sampai geleng-geleng melihatnya. Kasihan juga temannya itu harus menghadapi gadis gila seperti Jihan, jika Iqbal diposisi itu juga tidak mau, sih.

Diganggu setiap hari dan ditempeli terus membuat orang lain risih. Pantas saja Abintang sampai frustasi menghadapi tingkah Jihan yang terkadang sudah di luar nalar.

Kini Jihan duduk di bangkunya saat guru sudah masuk. Ia sedikit kecewa karena belum sempat berbicara panjang dengan Abintang. Tapi tidak apa. Jika istirahat tiba, dia akan bercerita panjang lebar tentang usahanya untuk membuat bekal. Lumayan ribet, tapi Jihan senang.

Ditengah suasana pelajaran, suara guru terdengar menjelaskan materi. Beberapa siswa sudah menguap lebar karena hari ini pelajaran History, di mana menceritakan perjuangan kehidupan zaman dahulu.

Jihan menghela napas berat. Dia mulai bosan, karena yang gurunya ceritakan adalah topik yang sama dari seminggu yang lalu. Tidak ada yang berubah, membuatnya bosan. Padahal dia menyukai pelajaran History, tapi sekarang malah kehilangan minat. Ia akhirnya menoleh pada Abintang, ingin memandangi keindahan karya Tuhan.

Makin lama dia kelihatan makin ganteng. Batinnya. Jihan senyum-senyum sendiri memandangi wajah tampan Abintang. Iqbal yang tidak sengaja melirik gadis itu pun rasanya merinding. Jihan terlihat seperti orang gila. "Definisi cewek sinting," Umpatnya pelan.

Abintang yang mendengar perkataan Iqbal pun akhirnya menoleh kearah Jihan. Gadis itu malah tersenyum lebar sembari mengangkat jarinya membentuk love. Abintang langsung trauma dan membuang muka. Mahluk macam apa itu? Batinnya bergidik.

Rasanya, Jihan ingin tertawa kencang melihat ekspresi Abintang. Calon suaminya memang lucu.

***

Suara bel istirahat berbunyi membuat wajah yang awalnya mengantuk kini segar kembali. Jihan langsung berdiri dengan semangat menghampiri Abintang yang baru saja ingin keluar bersama Iqbal.

"ABINTANG IHHH! MASA AKU DI TINGGAL GITU AJA?!" Teriaknya cempreng, membuat Iqbal menutup telinga.

 Bisa budeg gue lama-lama. Batin Iqbal.

Abintang hanya pasrah ketika Jihan berjalan di sampingnya dengan malu-malu. Protes pun percuma karena gadis ini tidak mungkin mendengarkan. "Eh, bekal yang aku kasih kok nggak di bawa? Kamu nggak suka ya?" Tanyanya sedikit kecewa karena dia sudah effort membuatnya.

"Ihhh Abi kok diem aja! Jawab dong. Gak baik tahu nyuekin orang yang ngajak kamu ngobrol. Dosa Abintang!" Ujar Jihan karena Abintang hanya diam.

"Yaelah, Han. Kayak nggak tahu Bintang aja lo. Dia emang gitu," Sahut Iqbal menanggapi ucapan Jihan. Kasihan juga dari tadi dikacangin.

"Untung sayang!" Kata Jihan tabah, membuat Iqbal tertawa geli.

Setelah sampai di kantin, banyak murid yang bergerombol ribut untuk memesan makanan. Mereka bertiga berdiri diam ketika suasana kantin makin riuh tak terkendali. Jihan sampai terdorong-dorong, hampir jatuh. Tapi, Abintang menahannya, menarik kerah seragam belakangnya untuk berada di sampingnya.

"Hehe, makasih Abi!" Dia tersenyum memperlihatkan giginya.

Abintang hanya berdehem. Sedangkan Iqbal sudah menunjuk satu meja yang kosong untuk di tempati mereka. "Kesana aja, kosong tuh meja," Katanya menunjuk.

Akhirnya mereka memutuskan untuk duduk di sana, sudah pasti Jihan memilih duduk di sebelah Abintang. "Lo pada mau makan apa? Gue aja yang pesenin, mumpung lagi baik hati." Ucapnya menawarkan.

"Kayak biasa," Kata Abintang singkat, padat, jelas.

Iqbal mengangguk, dia menoleh pada Jihan. "Lo mau pesen apa, Han?" Tanyanya tapi Jihan menggeleng pelan.

"Nggak usah, gue lagi nggak mood makan. Kalian aja, gue cuma nemenin." Ia cengengesan.

Iqbal menatap heran. "Tumben, biasanya lo paling semangat kalo istirahat. Mana makan lo biasanya paling banyak."

Jihan mencibir. "Enak aja banyak, gue makannya dikit tahu! Kalo banyak itu lima piring nasi. Sedangkan gue cuma dua, banyak dari mana!" Balasnya tidak terima.

"Iyain, deh!" Iqbal memilih kalah dari pada beradu mulut dengan gadis cerewet itu. Akhirnya dia pergi memesan, meninggalkan Jihan yang gugup saat duduk berdua dengan Abintang.

"Abi suka makanan apa? Biar besok aku nggak salah bawain makanan. Oh ya, bekal yang ku kasih tadi kenapa nggak di bawa?" Tanyanya lagi berharap mendapat respon.

"Gue buang," Balas Abintang santai.

Jihan tercengang, dia mencoba menahan gejolak amarah yang membludak. "Kok dibuang? Kamu nggak pernah menghargai pemberian orang lain, ya?!" Katanya ketus membuat Abintang terdiam.

Apa Jihan marah?

"Kalo dari awal emang nggak mau, bilang aja. Jangan di buang seenaknya! Kamu nggak tahu sesusah apa aku buatnya." Jihan sangat kecewa.

"KAMU KOK TEGA BANGET, SIH!" Suaranya meninggi membuat semua mata tertuju pada mereka.

"Jihan, jangan marah," Kata Abintang lembut membuat Jihan luluh seketika. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya sebal.

"Aku nggak masalah kalo kamu nggak suka sama pemberian aku, tapi kalo di buang aku marah Abintang. Apalagi itu makanan, kamu—" Nggak akan pernah tahu, buat bisa makan nasi enak, aku harus makan nasi sisa di meja makan. Lanjutnya dalam hati.

Abintang merasa bersalah dengan Jihan, dia tidak bermaksud seperti itu. "Maaf."

"Iya ngak pa-pa. Aku paham kok. Lain kali jangan diulangi. Aku juga minta maaf karena maksa kamu nerima pemberian aku." Jihan sudah pasrah.

"Lo marah?" Tanya Abintang memastikan.

Jihan tersenyum lebar, lalu menggeleng. Menyembunyikan raut wajah kecewanya. "Aku nggak bisa marah sama kamu, Abi," Ucapnya tulus membuat Abintang tidak bisa berkata-kata.

"Jangan suka gue."

"Emangnya kenapa? Kamu nggak berhak ngatur perasaan manusia. Aku suka kamu Abintang!"

Lelaki itu menatap bola mata Jihan lekat. "Itu bukan suka Jihan, itu obsesi," Jelasnya.

Jihan menggelengkan kepalanya keras kepala. "Aku nggak obsesi, Abi. Aku beneran sayang sama kamu!"

"Jadi, Abi harus jadi pacar aku. Ya ya ya!" Kata Jihan berani menembak. Lagi pula, dia sudah menembak Abintang lima kali berturut-turut, meskipun tetap ditolak.

"Gue nggak suka sama lo, Jihan."

"Jalanin aja dulu, nanti lama-lama suka kok. Yakin nggak mau? Aku cantik loh!" Katanya percaya diri.

"Pede!" Balas Abintang.

Jihan cemberut. "Awas aja kalo naksir! Aku bakal cuekin Abintang! Titik!" Abintang memandang santai.

"Emang bisa, cuekin gue?"

"ENGGAK LAH, GILA APA! EHHH— IYAA! AKU BAKAL CUEKIN KAMU!" Jihan menepuk mulutnya yang keceplosan.

Tanpa sadar sudut bibir Abintang terangkat.

Daevas?

Iqbal sudah datang sembari membawakan makanan, menaruhnya di meja. "Apaan nih asyik banget obrolannya, masa gue nggak diajak." Iqbal duduk di kursinya.

"Kok lo pake dateng segala, sih! Ganggu tahu nggak!" Sahut Jihan.

"Dih, bilang aja lo keenakan berduaan sama temen gue. Harusnya lo itu berterima kasih sama gue, kalo gue nggak ada, mana mungkin Abintang mau berduaan sama lo!" Balasnya tak kalah sinis.

"Iya, deh. Makasihh mas Iqbal. Udah jadi kunci gue buat deket sama Abi!" Kata Jihan tidak ikhlas.

Iqbal tersenyum sombong. Ia melirik Abintang yang terdiam sembari memakan baksonya dengan tenang. "Bin, lo dicariin sama anak-anak Daevas. Kayaknya mereka mau masukin lo ke tim mereka, deh."

Jihan langsung berkeringat dingin mendengar nama Daevas. Abintang menyadari hal itu, tapi tetap diam. Daevas adalah tim basket di SMA Ganesa, sekolah mereka. Daevas telah memiliki segudang prestasi yang membanggakan sekolah, dan memenangkan banyak event pertandingan, dari yang tingkat antar sekolah hingga tingkat nasional. Bahkan, jika tim basket lain mendengar nama Daevas, mereka akan mengira kalah sebelum bertanding.

Dan hal yang membuat raut wajah Jihan berubah saat mendengar nama Daevas adalah karena Daevas selalu merundung Jihan, entah dalam bentuk candaan atau fisik. Dapat Abintang lihat dari jari-jari Jihan yang mengepal saat Iqbal membicarakan Daevas.

"Jadi gimana? Lo mau gabung nggak? Gue sebenarnya mau ikut, sih. Tapi gue udah ada eskul badminton," Kata Iqbal kecewa. Kapan lagi dia bisa gabung tim sekeren Daevas.

Abintang sebenarnya tidak ingin membahas hal ini di depan Jihan. Meskipun dia tidak menyukai gadis ini, tapi dia masih memiliki hati. Namun, di sisi lain, jika Jihan mendengar dia bergabung ke Daevas, pasti cewek ini tidak akan lagi berani mendekatinya.

"Gue udah gabung dari dua hari yang lalu."

Jihan tersentak, dia menatap Abintang tidak percaya. Sedangkan Iqbal justru tersenyum bangga. "Woisss gelo... Udah gabung aja ternyata. Tapi pantes, sih kalo elo gabung mereka. Secara, lo emang jago basket, tapi nggak pernah ikut eskul dan malah main sama bapak-bapak komplek." Iqbal tertawa mengingat Abintang sering bermain basket dengan bapak-bapak.

Jangan salah, meski bapak-bapak, kebanyakan dari mereka adalah pelatih basket. Jadi nggak heran kalo Abintang bisa jago, orang tiap hari main sama pelatih langsung.

"Nanti sore lo di suruh ke lapangan kayaknya, sorry nggak bisa nemenin soalnya gue ada latihan badminton."

Abintang mengangguk. "Santai aja."

Namun tiba-tiba, Jihan beranjak berdiri dari duduknya. "Gue mau ke toilet dulu, byee." Ia langsung berbalik pergi meninggalkan kantin.

"Kenapa tuh anak?" Tanya Iqbal bingung menatap punggung Jihan yang menjauh.

"Biarin aja." Abintang sudah tidak peduli lagi dengan gadis itu, baguslah jika Jihan mulai terganggu dengan kabar dia bergabung Daevas. Dengan begitu, Jihan tidak akan berani menganggunya lagi karena takut bertemu Daevas.

Kembali ke Jihan, gadis itu menoleh ke belakang, berharap Abintang mengejarnya untuk memberikan sedikit penjelasan. Tapi nihil. Tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Hanya kekosongan, yang menamparnya ke sebuah kenyataan pahit.

Nggak pa-pa Jihan, itu hak Abi mau ikut Daevas. Seharusnya kamu dukung dia.

 Yahh, aku nggak boleh nyerah!

Semangat Jihan!

***

Langit tampak sudah tidak secerah siang, sinar matahari pun menghangat. Para murid Sma Ganesa sudah banyak yang meninggalkan area sekolah. Seorang lelaki tampan dan berseragam rapi, tengah berjalan santai menuju sekumpulan anak laki-laki yang berada di lapangan basket.

Menyadari kedatangan Abintang, salah satu dari mereka pun menyambut. "Yo, baru dateng lo, Bin?" Sapa Kevin, ketua tim basket Daevas.

"Sorry, soalnya gue ada urusan sebentar tadi," Balas Abintang meminta maaf.

"Santai aja. Lagian kita juga baru mulai kok. Btw, selamat gabung tim kita. Gue percaya sama kemampuan lo buat gantiin posisi Aksa." Kevin menjulurkan kepalan tangannya memberi tos. Abintang pun membalasnya tanpa ragu.

Yah. Tujuan Kevin gencar ingin mendapatkan Abintang adalah karena salah satu anggotanya Aksa, sedang ada masalah cedera serius paska pertandingan lalu.

"Weiss lo pinter banget bisa dapetin si Bintang, Vin," Celetuk Brian, salah satu tim inti Daevas. Dia tipe lelaki yang mudah akrab dengan orang baru.

"Ikan hiu makan lele! Nguweri le!" Seru Avan tiba-tiba. Memang manusia tidak jelas.

Aksa menoyor kepala Avan geram, "So asik lo kribo!" Hardiknya pedas pada kembarannya itu. Ya, mereka adalah saudara kembar, namun sifat mereka bertolak belakang. Wajah mereka sangat mirip, namun mereka mempunyai cara supaya orang mudah membedakan, dengan memiliki potongan rambut yang berbeda.

Hanya satu lelaki saja yang pendiam diantara mereka, yaitu Reksa. Lelaki itu sudah bermain basket sendiri karena malas bergabung dengan pembicaraan tidak bermutu teman-temannya. Menjadi waras sendiri itu memang melelahkan.

"Duh bro, kenalan dulu sama kita. Moga aja betah ya, soalnya kita emang rada-rada, maklumin aja," Kata Aksa sedikit menjauh dari Avan.

Abintang tidak mempermasalahkan itu, lagi pula dia juga sudah terbiasa dengan kelakuan Iqbal yang lebih parah. "Santai aja."

Kevin melemparkan bola basket pada Abintang dengan kasar, ia mencoba menguji mental lelaki itu. Apakah dia pantas bergabung atau tidak menjadi anggota Daevas. Abintang tentu menerimanya dengan santai, seolah lemparan Kevin tidak ada apa-apanya.

"Coba lawan gue, one by one." Kevin bersmrik membuat anggota Daevas merinding. Karena jarang sekali Kevin mengajak orang duel, apalagi dengan anggota baru.

Kevin juga dikenal tegas, kasar, dan bringas jika sudah berada di lapangan. Meski terkadang terlihat ramah, tapi Daevas tidak pernah berani macam-macam dengan Revan.

"Berani nggak lo?" Tantang Kevin sekali lagi pada Abintang. Semuanya memandang mereka tanpa berniat ikut campur, bahkan Reksa yang tadi berlatih sendiri di lapangan kini mulai menyingkir.

"Kalo menang, gue dapet apa?" Kata Abintang dingin.

Kevin tertawa keras. Suka nih yang begini. Kagak letoy, dan to the point. "Percaya diri banget bakal menang. Gue jadi ngerasa diremehin," Ucap Kevin terhibur dengan mental Abintang.

Tanpa basa-basi Abintang langsung mendribble bolanya, melewati Kevin dengan gerakan smooth tetapi cepat, hingga Kevin tertegun sejenak sebelum akhirnya suara pantulan bola menyadarkan Kevin dari lamunan. Ia melebarkan matanya ketika bola itu sudah berhasil masuk kedalam ring.

"Waitt?!!"

"Itu gerakan apa woi, cepet banget!?" Kata Aksa tidak sempat berkedip. Ada sedikit lega di hatinya, karena sepertinya Abintang adalah orang yang tepat untuk mengantikan posisinya.

Suara tepukan tangan terdengar jelas dari anggota Daevas. "GILA BRO! ITU SMOOTH BANGET GERAKANNYA, GUE SAMPE TERPANA WOI!!" Heboh Brian dengan ekspresi terkejut.

"KUKIRA KERTAS TERNYATA KERAS! KUKIRA CUPU TERNYATA SUHU!" Sahut Avan tak kalah heboh.

"Geloo, calon temen gue ini!"

Kevin langsung tersenyum kecil, tidak menyangka bisa bungkam dengan seorang anggota baru. "Nggak salah gue milih lo!" Dia menepuk pundak Abintang pelan.

"Thanks udah mau nerima gue," Balas Abintang tak kalah ramah.

Sore itu menjadi pertemuan yang cukup hangat antara Abintang dan juga anggota Daevas. Mereka akrab dengan begitu cepat. Abintang sendiri juga tidak menyangka bisa diterima baik oleh Daevas.

🌼🌼🌼

Matahari sudah mulai tenggelam, Abintang kini memutuskan untuk pulang setelah selesai berlatih basket. Saat ingin ke parkiran untuk mengambil motornya, matanya terpaku saat ada sosok gadis yang ia kenali sedang berdiri menyandar pada motornya. Abintang lagi-lagi membuang napas panjang, dia kira setelah gadis itu tahu jika dia bergabung Daevas Jihan akan mulai menghindarinya, ternyata dia salah besar.

"Ngapain lo di sini?" Tanya Abintang singkat.

Jihan menoleh terkejut, lalu bibirnya tersenyum. "Hehe, nungguin kamu. Mau pulang bareng. Boleh ya? Ya ya ya... Abintang, kan, baik, boleh ya...," Mohonnya.

"Nggak."

"Loh kok gitu, sih! Masa Abintang tega! Aku udah nungguin kamu berjam-jam loh, masa nggak mau nebengin. Pliss... Boleh ya!?"

"Enggak bisa Jihan." Tolak Abintang.

"Kenapa nggak bisa? Apa jangan-jangan Abintang mau boncengin cewek lain, ya! Ihh tega banget!" Katanya dramatis membuat Abintang jengah.

"Nggak usah gangguin gue lagi jihan."

Jihan sudah kebal terhadap perkataan lelaki itu. "Makannya jadi pacar aku, nanti nggak ganggu lagi kok!"

"Tapi gue nggak suka sama lo!" Abintang sudah frustasi, kapan Jihan mengerti jika Abintang tidak menyukainya.

" Ya, nggak pa-pa, kan ini aku juga lagi usaha dapetin hati kamu." Jihan tetap keras kepala.

"Lo tahu nggak, kalo cara lo kayak gini, bukannya dapet hati gue, gue malah risih sama lo, Jihan. Dengan lo ngejar-ngejar gue, sama aja lo udah jatuhin harga diri lo sendiri."

Jihan terdiam lama. Perkataan Abintang sangat menusuk hingga menyadarkan logikanya. Dia tahu dia salah, tapi perasaannya pada Abintang membuatnya buta. "Maafin aku." Dia menunduk sedih.

Abintang mengusap rambutnya kasar. "Ayo pulang." Katanya singkat.

"Nggak usah, Abi. Aku nanti pulang naik bus aja." Saat Jihan beranjak pergi tangannya dicekal oleh Abintang.

"Sama gue Jihan...," Suruhnya, kali ini nadanya melembut.

Wajah Jihan yang awalnya suram kini kembali ceria hanya karena Abintang mengajaknya pulang bersama. "Beneran?" Tanyanya memastikan.

"Hmm."

"AAAA MAKASIH, ABI GANTENG!!"

🌼🌼🌼🌼

Sabarrr prenn. Jihan emang Gila.

Heheheh!

Mau aku buat sad sihh tadi. Tapi jangan deh. Kasian anak orang 🤕

Dadah pren!👋💫

Jangan lupa like!! Kalo gak mau like Rubby panggilin botak Limbad!! Huhhh🤧

Perbedaan

"Makasih ya, Abi, udah mau nganterin aku pulang." Jihan turun dari motor Abintang, senyum di wajahnya masih terlihat. Hari ini dia sedang berbunga-bunga. Kapan lagi Abintang bisa mengantarkan dia pulang.

"Gue pergi dulu," pamit Abintang.

Jihan mengangguk. Melambaikan tangannya senang. "Bye bye, Abi sayang! Hati-hati di jalan, ya. Aku nggak mau denger kamu jatuh dari motor, terus luka-luka, pokoknya harus selamat sampai rumah!"

Abintang meliriknya dari balik helem. "Lo doain gue jatuh dari motor?"

Jihan menggeleng panik. "ENGGAK!! MANA MUNGKIN AKU DOAIN KAMU JELEK-JELEK!

"Paling aku doain kamu supaya jadi calon suamiku di masa depan, hehe." Dia tersenyum malu dengan pipi memerah.

"Sinting!"

Jihan melotot, "IHHH ABINTANG KOK TEGA!!"

Abintang menghela napas lalu menjalankan motornya pergi meninggalkan area rumah Jihan.

"HATI-HATI SAYANG!!" Teriaknya, namun Abintang sudah tidak terlihat. Jihan tertawa kecil, cuma Abintang yang bisa membuatnya menjadi seperti ini. Gila.

Gimana gue nggak sayang sama lo, kalo lo aja sumber bahagia gue, Bin.

Semoga aja, suatu hari nanti lo lihat gue, dan mau buka hati lo buat gue. Batin Jihan.

Tiba-tiba suara renyah terdengar dari perut Jihan. Jihan menunduk, dia sama sekali belum makan sedari pagi, karena jatah makannya sudah ia ambil untuk membuatkan bekal makanan tadi pagi. Sepertinya hari ini Jihan tidak makan, jika dia nekat mengambil makanan di meja makan, pasti ibunya marah.

"Sakit banget perut gue, kayaknya magh gue kambuh deh!" Jihan memegang perutnya yang nyeri.

"Tahan jihan, kamu pasti kuat! Iya! Jihan nggak boleh lemah!" Dia menarik napas dalam-dalam, berharap rasa nyerinya cepat mereda.

"Mending gue tidur aja, deh!" Ujarnya lalu memasuki rumah. Dia ingin cepat-cepat tidur untuk menghilangkan rasa sakit di perutnya.

Namun, baru saja melangkah masuk, dia sudah di semprot oleh omelan panjang. "Kenapa baru pulang sekolah? Ngapain aja kamu setelah pulang? Apa jangan-jangan kamu pacaran dulu?"

"Mau jadi apa kamu kalo pacaran terus? Cowok mulu yang ada di otak kamu. Jihan Jihan, kamu itu sudah bodoh, tapi nggak pernah mau belajar. Contoh abangmu, dia bahkan, bisa dapet beasiswa di universitas berkualitas. Nggak membebani orang tua. Kamu kapan Jihan?" Ucap Mira membandingkan.

Jihan sudah tidak mood meladeni perkataan wanita tua itu, yang sudah pasti adalah ibunya. Dia benar-benar lelah hari ini. "Iya, Mah. Maafin Jihan. Udah ya, Jihan capek, mau istirahat," Balasnya lembut.

"Capek? Ngapain aja kamu sampe capek? Kamu ini cuma sekolah aja ngeluh capek. Nilai aja anjlok semua, nggak ada yang bagus, kamu sebenarnya sekolah ngapain aja, sih!" Teriak Mira.

"Aku belajar kok, mah. Tapi apa mamah lihat perjuangan aku? Enggak, kan? Tapi emang Jihan nggak bisa sepinter abang, kepintaran orang beda-beda, Mah! Nggak bisa disamain." Jihan lelah, dia ingin segera tidur.

"Halah! Belajar apanya? Mamah lihat kamar kamu isinya cuma kanvas sama cat lukis doang, itu yang kamu bilang belajar?"

Jantung Jihan berdebar kencang. Kenapa Mira bisa masuk kedalam kamarnya? Bukannya sudah ia kunci. Tidak, bukan itu masalah, tetapi... "Mamah nggak nyentuh alat lukis aku, kan?!"

Mira mengedikkan bahunya acuh. "Mamah bakar kanvas kamu. Lagian alat itu nggak berguna, nggak bisa bikin kamu pinter," jawabnya santai membuat hati Jihan terasa ditusuk seribu jarum.

Kenapa?

Mata Jihan sudah berkabut, "Kenapa dibakar, Mah? Itu Jihan belinya nabung susah payah...," Lirihnya.

"Apa bergunanya alat kayak gitu? Mending sekarang kamu belajar! Biar pinter!

Tangan Jihan mengepal, ia memandang Mira marah. "KENAPA MAMAH TEGA!!? MAMAH NGGAK PUNYA HAK BUAT ATUR APA YANG AKU SUKA!?"

Plak!

"Kurang ajar! BERANI KAMU MEMBENTAK MAMAH?! MAU JADI ANAK DURHAKA KAMU?!" Hardik Mira menatap putrinya geram.

Jihan menunduk, sudah biasa dengan tamparan yang ia terima. "Maafin Jihan karena udah bentak mamah." Dia berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah.

Mira menatapnya malas. "Sana pergi!" Usirnya, mendorong bahu jihan kasar.

"Jihan pamit ke kamar dulu, Maafin Jihan." Dia beranjak pergi meninggalkan Mira yang masih kesal.

Dengan lesu Jihan menaiki tangga, menuju kamarnya. Setelah sampai, ia cepat-cepat melihat alat lukisnya. Apakah masih ada yang tersisa. "Untung aja gue sembunyiin kuas sama cat warna yang masih bagus, kalo nggak udah pasti di bakar ini mah." Jihan mengusap dadanya lega, setelah melihat beberapa koleksi cat warna yang masih baru.

Yang di bakar oleh Mira mungkin kanvasnya yang terpajang di tembok, dan beberapa alat lukisnya di meja. Jihan membuka lacinya, mengambil sketchbook hitam dan membukanya. Terdapat sketsa wajah Abintang di sana. "Kapan, ya gue bisa dapetin hati lo? Apa gue sejauh itu dari selera lo." Jari-jarinya mengusap kertas bergambar wajah itu.

Jihan tidak mengerti kenapa dia bisa menyukai Abintang. Awal perasaannya tumbuh adalah saat dia baru pertamakali masuk SMA, waktu itu nama Abintang dipanggil ke depan lapangan dan mendapatkan penghargaan lomba olimpiade, juga berhasil mendapatkan medali emas. Jihan sangat kagum akan sosoknya yang begitu wibawa.

Setiap melihat sosok Abintang jantungnya serasa berdebar kencang, dia tidak mengerti kenapa. Hingga saat ia sadar ternyata dia sedang jatuh cinta, bodohnya Jihan malah langsung mengungkapkan perasaannya di depan umum. Dan, yah, Abintang menolaknya mentah-mentah.

"Jihan bego!" Umpatnya pada diri sendiri.

"Lagian salah siapa jadi cowok kok sempurna banget. Kayaknya gue nggak pantes deh sama dia, kita aja jauh. Dia pinter, gue bego. HUHHHH!!! JIHAN NGGAK BOLEH MINDERI!"

"Tapi dia emang sempurna. Ganteng lagi, hehe." Dia cekikikan sendiri. Memang sudah gila.

Jihan membuka ponselnya untuk melihat, apakah pesannya sudah di balas Abintang? Ternyata belum, hanya di baca saja. Itu membuat Jihan uring-uringan.

"IIHHH KENAPA DI READ DOANG, SIH! TUH COWOK BENER-BENER, YAA! NYEBELIN!!" Wajahnya cemberut.

Meski begitu, di tetap mengirimkan pesan lagi pada Abintang.

 Jihan Alessa: Abintang udah sampe rumah?

Jihan Alessa: Abintang nggak kenapa-kenapa, kan?

Jihan Alessa: Abintanggggg Jihan kangennn🥺

Jihan Alessa: Abintang udah tidur belum? Kalo udah tidur, jangan lupa mimpiin aku yaaa, hehehe

Jihan Alessa: Good night Abiisayang❤️

Jihan membuang napas panjang ketika tidak mendapatkan balasan. "Alay juga ya gue?" Dia tertawa sendiri membaca pesannya.

"Udah lah, mending bobo biar besok cepet-cepet ketemu ayang."

🌼🌼🌼

Di sisi lain, Abintang tengah selesai mandi, dia mengecek ponselnya yang sedari tadi berbunyi. Puluhan pesan ia terima dari banyak kontak perempuan, tapi yang paling atas adalah milik gadis gila, siapa lagi kalo bukan Jihan. Dia hanya membacanya sekilas, lalu menutupnya. Ratusan kontak perempuan pun ia hapus karena memenuhi Line-nya.

Abintang melemparkan ponselnya ke kasur, kemudian melangkah keluar kamar, menuruni tangga, dan sampai di dapur. Abintang juga melihat ada dua sejoli yang sedang bermesraan. Jika kalian mengira itu adalah orang tua Abintang, jelas salah.

"Tan, ada roti nggak? Bintang nggak terlalu laper, jadi pengen roti aja," Ujar Abintang membuat Rossa menjauhkan wajah suaminya yang masih memeluknya.

"Roti? Yahh, Tante belum stock, kemarin habis karena di makan Om kamu ini!" Dia melirik sinis Arkan.

"Loh kenapa jadi aku? Kan aku nggak tahu kalo roti di kulkas buat stock, jadi kuhabisin aja," Balas pria dewasa itu santai.

"Rakus itu namanya, orang aku kemarin beli lima, terus besoknya aku lihat kok cuma sisa bungkusnya doang!" Omel Rossa pada pria itu.

"Iya maap, lagian kamu kan bisa buat roti sendiri kan? Malahan lebih enak roti buatan kamu," Sahut Arkan mencoba merayu istri nya, dan berhasil. Rossa pun menoleh ada Abintang yang kini sudah duduk di depan meja makan.

"Sayang, kamu mau cheese cake nggak? Tante buatin," Tawarnya pada lelaki tampan itu.

"Boleh deh," balas Abintang singkat.

Rossa tersenyum mendengarnya, dia mulai membuatkan cake. Sedangkan Arkan kini memilih duduk di sebelah Abintang. "Om dengar-dengar, kamu ikut tim basket di sekolah ya?" Tanyanya pada keponakannya tersebut.

Abintang mengangguk. "Iya, mau nyari sensasi baru aja."

Arkan terkekeh kecil. "Lahh, nggak papa lah ikut. Dari pada tiap sore main basket sama temen-temen om? Apa kamu nggak bosen, kumpul sama bapak-bapak komplek?" Dia tersenyum geli mengingat Abintang sering dimarahi teman-temannya karena permainan lelaki itu yang egois, tapi sekarang Abintang sudah mulai ahli memainkan olahraga tersebut.

Bahkan, Abintang sudah bisa mengungguli teman-temannya yang notabenya adalah pelatih basket. "Minggu depan juga katanya bakal ada pertandingan lawan sekolah lain, sebenarnya itu buat seleksi, sih. Tapi lumayan kalo menang bisa wakilin provinsi. Kamu ikutlah," Ujar Arkan menyakinkan Abintang.

"Aku nggak tahu, Om. Lagian aku juga masih jadi anggota baru, mana mungkin bakal kepilih langsung jadi tim inti," Jawabnya santai.

Benar juga, Arkan tidak kepikiran sampai situ. "Sebenarnya, Om bisa aja bikin kamu ikut lombanya, tapi Om nggak mau kamu jadi keenakan. Lebih baik usaha dari awal dulu, baru jika sudah layak tanding, pasti kamu akan di pilih. Om yakin itu!" Katanya sembari menepuk pundak Abintang, menyemangati.

"Iya om," Jawab Abintang lembut. Arkan sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri, jadi dia merasa nyaman jika mengobrol dengan pria ini.

"Cake sudah jadi!!" Seru Rossa senang, lalu menaruhnya di meja. Setelah beberapa jam yang lalu akhirnya cake nya jadi.

Arkan mengambilnya satu, Abintang pun turut ikut serta. "Gimana? Rasanya aneh nggak?" Tanya Rossa .

"Enak kok, Tan. Kue tante nggak ada yang gagal," Puji Abintang seadanya.

Rossa bersemu mendengarnya, percayalah, wanita suka jika masakannya dipuji. "Ahh kamu bisa aja!"

Arkan tertawa kecil, menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Dih, giliran Abintang yang muji aja seneng. Coba aja aku yang muji, pasti mukanya judes!"

"Ya karena kamu pemakan segalanya! Aku kasih batu sama kayu juga kamu tetep bilang enak!" Hardik Rossa menistakan suaminya sendiri.

Abintang tersenyum sombong menatap Arkan, hingga pria itu berdecak malas. Tiba-tiba Rossa menepuk keningnya, "Ehh, kita udah seminggu full nggak ke makam mbak Dewi! Besok kita kesana gimana?" Tanyanya pada Abintang.

Abintang hanya terdiam sejenak, berhenti mengunyah kuenya membuat Rossa merasa bersalah. "Abintang... Kamu nggak kangen mamah, hmm?" Tanyanya lembut.

"Kangen. Abintang kangen mamah. Tapi besok Abintang mau kesana sendiri, boleh?"

Rossa dan Arkan saling pandang kemudian menatap Abintang bersamaan. "Boleh sayang," Balas Rossa mengerti.

Arkan mengusap kepala Abintang. "Jangan berlarut-larut, suatu saat kamu juga akan butuh dia. Ingat. Jangan pernah terbutakan oleh dendam." Titahnya menasehati.

Tangan Abintang mengepalkan di bawah meja.

Nggak bisa. Pria itu udah bikin mamah pergi. Sampai kapanpun, Abintang akan membencinya.

🌼🌼🌼

Makanan apa yang bikin sedih. Makan sambil liat karya gak ada yang baca🥺 Sedihhh prennn!

Tapi gapapa. Gak berharap lebih juga kalo bakal ada pembaca. Cukup cerita ini saja yang tamat, aku sudah jingkrak-jingkrak hehhe!

Dadahh prenn!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!