"Pak Dika... laptop saya nggak bisa connect ke infokus kelas," ucapku, berdiri kikuk di depan meja guru olahraga itu. Di tangannya masih ada peluit, padahal ini jelas bukan lapangan.
Pak Dika mengernyit. "Emangnya saya guru TIK, Tisya?" Aku tertawa kecil, menahan frustasi. "Bukan sih, Pak. Tapi Bapak kan sering bantuin anak-anak nyetel infokus juga. "
"Yaaa... itu kalau colokan longgar atau kabelnya copot. Kalau udah masuk software, saya nyerah. Kamu minta tolong anak RPL aja. Mereka yang ngerti ginian."
Aku menghela napas. "Tapi saya nggak kenal siapa-siapa di kelas RPL, Pak."
"Kenalan dong," jawabnya enteng. "Anggap aja cari jodoh, siapa tahu jodohmu anak RPL."
Aku hanya bisa memutar mata lalu mengangguk pasrah. Dengan langkah lesu, aku keluar dari ruang guru dan menyusuri lorong kelas yang mulai ramai. Suasana pagi ini cerah, tapi isi kepalaku remuk: presentasi Bahasa Indonesia jam keempat, dan sekarang laptopnya malah error.
Di tengah kepanikan itu, satu nama melintas.
Maaz Azzam.
Anak RPL. Satu-satunya anak RPL yang aku tahu namanya.
Kami pernah satu kelas di SMP dulu. Bukan teman dekat, tapi dia cukup dikenal. Dingin, pendiam, tapi punya dua sahabat kocak yang selalu nempel kayak bayangan: Rafa dan Bima. Dan, kebetulan sekali Rafa dan Bima juga sahabatku di SMP. Ya bisa dibilang aku dan Azzam memiliki sahabat yang sama.
Oke. Harus dicoba.
Aku merogoh saku rok, membuka grup alumni SMP. Di kolom anggota, ada namanya. Untung dia belum ganti nama jadi "Orang Ga Penting" atau "Maaz Samsung" seperti yang lain.
...Maaz Azzam...
^^^Pagi Azzam. ^^^
^^^Kenalin gue Celia Tisya Athara. ^^^
^^^Kita dulu satu kelas di SMP. ^^^
^^^Sekarang gue di kelas XI Akuntansi 2. ^^^
^^^Mau minta tolong boleh nggak? ^^^
^^^Laptop gue error.^^^
^^^Nggak bisa connect ke infokus nih.^^^
^^^Hari ini gue presentasi. ^^^
^^^Bisa bantuin ga zam? ^^^
Beberapa menit kemudian, notifikasi masuk.
Ga bisa. Cari orang lain aja.
Mataku membesar. Dia… serius?
^^^Serius, Zam? ^^^
^^^Pak Dika yang suruh gue minta bantuan ke anak RPL. ^^^
^^^Gue cuma kenal lo doang. ^^^
Tetep nggak bisa.
Aku mengerang pelan. Oke. Saatnya jurus terakhir.
^^^Kalau lo nolak, gue chat Rafa sama Bima sekarang juga. Suruh mereka bujuk lo sampai mau.^^^
Tiga titik pengetikan muncul di layar. Aku tersenyum menang. Lalu balasan datang.
Hadeh. Yaudah. Istirahat pertama ke kelas gue.
Yes!
Dengan senyum puas, aku masukkan ponsel ke saku dan mempercepat langkah ke kelas. Dan untuk pertama kalinya sejak SMP, aku akan bicara langsung dengan Maaz Azzam.
Semoga anaknya nggak sedingin rumor yang beredar.
...****************...
Istirahat pertama datang juga. Sesuai janji, aku pun bersiap ke kelas RPL. Letaknya persis di sebelah kelasku, di lantai dua. Tapi saat membuka pintu dan melangkah keluar, langkahku langsung ragu.
Depan kelas RPL penuh. Anak-anak cowok nongkrong sambil teriak-teriak, bercanda, dan beberapa duduk nyeker di lantai kayak lagi buka warung kopi. Riuh. Ribut. Dan aku mulai ciut.
Cepat-cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengetik:
Azzam, lo bisa keluar kelas sebentar nggak? Di depan kelas lo rame banget. Gue malu masuk sendiri, serius🥺
Pesan terkirim.
Terbaca.
Tapi nggak dibalas.
Aku berdiri di balik tembok penghalang antara dua kelas, sambil sesekali mengintip ke arah kelas RPL. Jantungku mulai deg-degan. Bukan karena apa-apa, tapi ini aneh banget. Aku cuma butuh bantuan infokus, bukan jadi tontonan umum.
Beberapa detik kemudian, seseorang keluar dari kelas RPL.
Azzam.
Wajahnya datar seperti biasa. Tapi matanya menangkapku dengan cepat. Dia nggak senyum, nggak ngomong, cuma melambaikan tangan singkat ke arahku—maksudnya menyuruhku masuk.
Dan seperti aku duga...
"Ih Azzam manggil siapa tuh?"
"Zam, pacar lo ya?"
"Cieeee yang manggil cewek!"
"Cuit-cuit!"
Sorakan itu langsung nyambung kayak speaker bluetooth. Beberapa temannya bahkan ikut tepuk tangan kecil-kecil, bikin pipiku panas seketika.
Astagaaaa, bukan begini rencananya!
Aku buru-buru melambaikan tangan balik, memberi isyarat agar Azzam saja yang ke kelasku.
Dia mendesah. Aku bisa lihat dari jauh. Lalu akhirnya mengangguk dan melangkah ke arah kelasku.
Giliran aku yang deg-degan.
Dan ternyata, masuknya Azzam ke kelasku nggak kalah heboh.
"Astaga, itu Azzam kan?"
"Yang anak RPL? Yang pendiem itu?"
"Duduk deket Tisya dong??"
"Wah wahhh..."
Aku cuma bisa pura-pura nggak dengar sambil geser kursi ke samping, memberi ruang untuk Azzam duduk.
Dia merogoh sakunya mengeluarkan flashdisk dan langsung membuka laptopku tanpa banyak tanya. Tangannya lincah, matanya fokus, dan aku malah sibuk memandangi dia dari samping.
Dari dekat, dia lebih tinggi dari dugaanku. Rambutnya agak berantakan, dan bau parfumnya entah kenapa nyangkut banget di hidung.
"Nih," katanya, memutus lamunanku. "Udah bisa connect. Driver-nya corrupt, tadi gue gantiin pake file baru."
Aku berkedip cebaru "Eh, serius? Cepet banget."
Dia berdiri. "Lain kali hati-hati. Jangan asal install sembarangan."
Aku tersenyum. "Makasih ya, Zam. Beneran, gue nggak tahu harus gimana tadi kalau lo nggak bantuin."
Dia cuma mengangguk. Tanpa senyum, tanpa basa-basi, langsung balik ke kelasnya. Tapi langkahnya cepat, seolah ingin lepas dari semua sorakan tadi.
Dan aku?
Aku berbalik dan tentunya disambut oleh belasan pasang mata yang menatapku penuh rasa ingin tahu. Senyum-senyum menggoda mulai bermunculan, tidak terkecuali dua sahabatku, Yamira Dwi Aisyah dan Yumna Jelita.
Yumna langsung menarik kursi dan duduk di depanku, ekspresinya penuh selidik.
"Cepet banget dia bantuin lo. Sejak kapan kalian deket?" tanyanya.
Aku mendengus kecil sambil merapikan laptop. "Ngga deket. Gue cuma minta tolong."
Yumna tertawa pelan. "Oh. Gue kira lo punya sesuatu sama Azzam. Soalnya dari kita kelas sepuluh gue belum pernah liat lo sama Azzam. Gatau malah kalian saling kenal."
Aku menoleh cepat. "Apaan, sih? Enggak banget. Gue aja baru chat dia tadi pagi karena terpaksa."
Yumna dan Mira mengangguk pelan, tapi ekspresinya masih menyimpan tanya. Sementara yang lain mulai bubar, suasana kelas perlahan tenang lagi.
Aku menarik napas. Laptop sudah nyala, infokus bisa connect, dan masalah selesai. Seharusnya nggak ada yang perlu dibesar-besarkan. Tapi entah kenapa, tatapan orang-orang hari ini terasa beda.
Ya sudahlah. Besok juga lupa.
Yang penting, presentasi aman.
Dan soal Maaz Azzam?
Dia cuma anak RPL yang kebetulan kenal.
Cuma bantuin sekali.
Udah, titik.
Aku tutup laptopku dan berdiri.
Hari masih panjang. Dan aku nggak mau hari ini jadi awal gosip baru.
...****************...
Bel istirahat kedua baru saja berbunyi ketika langkah kaki cepat terdengar mendekati kelas. Tak lama, pintu kelas terbuka dan muncul sosok tinggi berkulit sawo matang dengan rambut agak acak, Nizan Alfarez.
Aku baru saja meletakkan botol minum di meja saat dia menghampiri.
"Sya," panggilnya. Suaranya terdengar buru-buru, tapi tetap dijaga agar terdengar tenang. "Kamu bisa ngobrol sebentar?"
Aku mengangguk pelan,mengira-ngira arah pembicaraan ini. Dan benar saja.
"Itu, soal tadi pagi..." Nizan menyandarkan bahunya ke meja depanku. "Bener kamu sama Azzam, anak RPL itu?"
Aku menarik napas. "Nggak. Cuma minta tolong."
"Tapi kamu ke kelas dia, terus dia ke kelas kamu." Nizan menimpali. Nada suaranya mengandung sesuatu yang nyaris seperti cemburu?
Aku menatapnya lurus. "Zan, aku nggak deket sama Azzam. Serius. Tadi cuma masalah laptop, itu juga karena Pak Dika suruh minta bantu anak RPL."
Nizan terdiam sejenak, ekspresinya belum sepenuhnya lega. Tapi dia akhirnya mengangguk kecil. "Oke."
Dari bangku sebelahku, Mira pura-pura fokus menulis sesuatu di kertasnya. Tapi matanya beberapa kali melirik tajam, menyelidik.
Aku tahu dia menyukai Nizan. Dan entah kenapa, sejak tadi pagi ekspresinya agak berbeda.
Mungkin karena pagi ini Azzam yang ke kelasku, bukan Nizan.
Atau mungkin, karena dia tahu Nizan belum berhenti menyukaiku.
Dan aku?
Aku cuma ingin urusan laptop ini selesai. Tapi seperti biasa, drama selalu datang dari arah yang tak terduga.
Beberapa hari setelah kejadian "laptop dan infokus", hidupku kembali tenang. Tidak ada obrolan lagi dengan Azzam. Tidak ada chat, tidak ada sapaan, dan itu sangat melegakan. Bukan karena aku kesal atau ilfil, tapi aku cuma memang tidak berniat untuk dekat-dekat dengan cowok macam dia.
Sampai malam itu.
Aku sedang rebahan di kasur, mata terpaku di layar ponsel, jari-jari sibuk scroll story WhatsApp sambil sesekali menguap. Tapi kemudian, satu story menghentikan segalanya.
...Nggak ada persahabatan antara cewek dan cowok. Cewek itu suka baper. Cinta tapi ngajak sahabatan, ujungnya ngajak pacaran. Dasar modus....
Mataku membelalak. Nama yang terpampang di pojok kiri atas story itu jelas: Azzam.
"Astaga..." gumamku, setengah tak percaya. Entah kenapa dadaku terasa panas.
Apa maksud dia nulis gitu? Apa karena ada cewek yang tiba-tiba ngaku sahabat terus nembak dia? Atau jangan-jangan dia nyindir aku?
Aku menggigit bibir bawah. Tanganku bergerak sendiri, membuka kolom balasan.
Nggak semua cewek kayak gitu kali, Zam. Gue nggak kayak gitu.
Balasan itu terkirim sebelum sempat aku pikir panjang.
Tiga menit kemudian, chat masuk.
...Azzam...
Nggak percaya. Semua cewek yang temenan
sama gue pasti ujung-ujungnya suka.
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
^^^Ya udah, ayo. Kita sahabatan. ^^^
^^^Biar lo lihat sendiri gue beda.^^^
Begitu kirim, aku langsung panik. Kenapa aku malah nantangin? Gila.
Tapi terlambat. Tiga detik kemudian dia balas.
Deal. Gue terima tantangan lo.
Kita sahabatan, dan lo bakal jatuh cinta.
Kita lihat siapa yang bener.
Aku menatap layar dengan wajah bingung setengah menyesal.
Kenapa rasanya aku baru masuk ke dalam permainan yang bisa jadi bukan sekadar permainan?
Dan sialnya, lawannya Maaz Azzam—cowok paling dingin dan paling percaya diri yang pernah aku kenal.
...****************...
Keesokan paginya, aku dikejutkan oleh suara klakson motor dari luar pagar.
"Sayang, itu Nizan kayaknya," panggil mamaku dari dapur.
Aku buru-buru merapikan rambut, menyambar tas, dan melangkah ke depan. Benar saja, Nizan sudah berdiri di depan gerbang dengan motornya, lengkap dengan jaket dan helm cadangan di tangannya.
"Mi, izin ya," ucapnya sopan sambil tersenyum ke Mama.
Mamaku memang dipanggil mami oleh teman-temanku. Mama membalas dengan anggukan dan senyum hangat.
"Hati-hati ya di jalan. Jangan ngebut, Zan."
Aku pamit cepat, merasa canggung karena tahu benar alasan kenapa Nizan rela datang sepagi ini. Kami berangkat berdua, aku di boncengan dengan helm yang agak longgar dan pikiran yang lebih longgar lagi.
Tapi suasana di motor terasa... aneh. Diam. Hening. Canggung.
Sampai akhirnya Nizan bicara.
"Kamu nanti pulang sama siapa?"
Aku mengangkat bahu pelan. "Gatau sih. Dijemput Mami, kayaknya."
Nizan melirikku singkat lewat kaca spion. "Sama aku aja ya? Aku nggak keberatan kok anter jemput kamu tiap hari."
Kalimat itu membuatku diam sejenak. Aku tahu perasaan Nizan. Aku tahu harapannya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menolaknya tanpa menyakiti.
Jadi aku jawab dengan suara pelan. "Iya," walaupun dalam hati masih penuh keraguan.
Sesampainya di halaman sekolah, aku turun dari motor dan mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil. Tapi suasana terasa berbeda. Seperti ada tatapan yang mengikuti langkahku.
Mataku otomatis melirik ke atas, ke lantai dua, tepat di depan kelasku dan kelas RPL.
Di sana berdiri dua sosok yang sudah tidak asing lagi: Mira, dengan rambut setengah diikat dan seragam yang rapi, serta Azzam dengan jaket hitam yang selalu ia pakai, berdiri bersandar di dinding dengan ekspresi datar khasnya.
Yamira melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah kami.
Tapi senyum itu aneh. Terlalu lebar, terlalu kaku. Senyum yang menyembunyikan sesuatu. Sedangkan Azzam hanya menatap.
Tatapannya kosong, tapi ada sesuatu di balik tatapan itu yang tak bisa dijelaskan. Seolah ia sedang menilai. Atau cemburu?
Pagi itu, aku baru sadar.
Tawaran sahabat semalam mungkin bukan keputusan kecil, karena pagi ini dunia di sekitarku seperti mulai berubah.
Aku mempercepat langkah menuju kelas. Rasanya ingin segera menghilang dari tatapan siapa pun, termasuk dua pasang mata dari lantai dua tadi. Mira berjalan cepat mengejarku, lalu masuk ke kelas bersamaku.
"Lo berangkat sama Nizan lagi Sya?" tanyanya santai, tapi aku bisa dengar nada tajam yang disembunyikannya.
Aku meletakkan tasku di meja dan menjawab sambil membuka botol minum. "Iya. Nizan yang mau jemput."
Mira mengangkat alis. "Mami lo sakit?"
Aku menggeleng. "Nggak kok."
Mira mencibir pelan. "Enak ya jadi lo. Gue aja pergi sendiri tiap hari."
Aku cuma tersenyum tipis. Tidak tahu harus merasa bersalah atau biasa saja. Aku tahu benar kenapa Mira bertanya begitu, dia tahu perasaan Nizan padaku, dan mungkin dia belum berhenti berharap.
Belum sempat aku membalas apa pun, ponselku bergetar di atas meja.
Drrt....
Satu pesan masuk dari kontak bernama Azzam.
Nanti istirahat ke kantin sebelah mushola. Gue mau ngomong.
Aku terdiam. Mataku menatap layar cukup lama sebelum akhirnya kusapu layar itu ke samping dan kunci lagi ponselku.
Apa lagi sekarang?
Belum cukup drama pagi ini? Belum cukup sorotan mata dari Mira dan desakan perasaan Nizan?
Kepalaku mulai terasa penuh. Tapi satu hal yang kupikirkan sekarang. Kira-kira bencana apalagi yang akan datang?
Meminta bantuan Azzam saja sudah cukup memantik api gosip di seisi sekolah. Dan jika benar aku menemui dia di kantin nanti, bisa dipastikan kabar akan kembali merajalela.
...****************...
Istirahat akhirnya tiba. Aku berjalan ke kantin bersama Mira dan Yumna. Keduanya tak tahu kalau aku sebenarnya ada janji diam-diam dengan Azzam. Dalam perjalanan, kami sibuk membahas menu makan siang.
"Mau makan apa nih?" tanya Yumna sambil memeluk lengan Mira.
"Soto, yuk! Udah lama nggak makan soto kantin," ajakku.
Mereka berdua langsung setuju dan kami bertiga pun memesan soto masing-masing. Kantin sedang ramai, tapi suasananya cukup nyaman. Kami duduk di meja panjang, menghadap ke arah mushola.
Sepanjang makan, aku diam-diam memperhatikan sekitar, mencari sosok Azzam. Tapi sampai suapan terakhirku, dia tak juga muncul. Mungkin nggak jadi, pikirku.
Tapi tepat ketika soto di mangkukku tinggal kuah dan irisan tomat terakhir, sosok tinggi itu muncul dari arah koridor.
Azzam.
Dia tidak menatap langsung ke arahku. Hanya berjalan santai, lalu duduk di bangku seberang kantin, sendiri. Tidak ada sepatah kata pun terlontar. Bahkan senyum pun tidak.
Aku meneguk air putih cepat-cepat. Rasa tak nyaman mulai muncul.
Mira mencondongkan tubuhnya, berbisik pelan. "Itu Azzam, kan?"
Aku mengangguk pelan. "Iya."
"Kenapa dia duduk di situ?" tanya Yumna, suaranya setengah penasaran.
"Nggak tahu. Mungkin cuma mau makan juga," sahutku sekenanya, meskipun jelas-jelas aku tahu kenapa dia ada di sini.
Setelah mangkuk soto kami bersih, aku berdiri sambil membawa nampan. Saat itulah Azzam menoleh padaku sebentar. Tatapannya tidak lama, tapi cukup untuk menyampaikan sesuatu. Kode.
Aku menarik napas dan menoleh ke dua sahabatku.
"Yum, Mir, kalian balik ke kelas duluan ya. Gue mau ngobrol sama Azzam sebentar," kataku, mencoba terdengar santai.
Mereka saling pandang. Terlihat penasaran, tapi tidak bertanya lebih lanjut.
"Oke," jawab Yumna akhirnya.
"Cepetan ya, nanti bel bunyi," timpal Mira.
Aku mengangguk dan menunggu mereka berdua benar-benar berjalan menjauh sebelum perlahan melangkah ke arah meja Azzam.
Ini dia. Babak baru yang mungkin bakal makin bikin gosip sekolah jadi liar. Tapi aku tetap melangkah.
Aku berdiri di depan meja Azzam, ragu-ragu.
"Duduk aja," katanya tanpa menoleh, tangan masih memainkan tutup botol minumannya.
Aku duduk perlahan. Suasana mendadak hening. Suara kantin yang ramai jadi seperti latar belakang yang kabur. Kami hanya berdua di sini, tapi rasanya seperti sedang ditonton seluruh sekolah.
"Ada apa?" tanyaku membuka pembicaraan.
Azzam mendongak, matanya menatapku datar. "Lo beneran nggak baper?"
Aku mengerutkan alis. "Hah?"
"Jawaban lo kemarin. Tentang cewek yang temenan sama cowok tapi nggak suka." Ia menyilangkan tangan di dada. "Lo beneran percaya bisa sahabatan sama cowok tanpa baper?"
Aku mendesah pelan. "Iya, Zam. Gue kan udah bilang. Gue bersahabat sama Rafa, Bima, dan nggak pernah ada rasa. Lo juga tau gue sahabatan sama mereka udah lama."
Azzam mengangguk pelan. "Makanya gue bilang kita buktiin."
Aku menatapnya, bingung. "Buktiin apa?"
"Kita sahabatan," jawabnya singkat. "Kalau lo berhasil nggak baper, ya berarti lo bener. Kalau lo baper berarti gue bener."
Aku mengangkat alis. "Jadi ini taruhan?"
Azzam mengangkat bahu, senyumnya muncul tipis, penuh percaya diri. "Bukan taruhan. Ujian. Gue cuma pengen tahu siapa yang lebih kuat: logika lo, atau pesona gue."
Aku terkekeh tidak percaya. "Narsis amat sih."
"Realistis aja," jawabnya santai.
Aku memutar bola mata. "Oke, sahabatan. Tapi kalau lo duluan yang baper?"
Azzam tersenyum meremehkanku. "Gak mungkin lah."
Aku terdiam beberapa detik, merasa semakin tertantang untuk membuktikan pendapatnya salah. Kemudian aku mengulurkan tangan.
"Deal."
Tangannya menjabat pelan, dingin tapi mantap.
Mulai hari itu, entah kenapa segalanya mulai berubah.
Bel tanda istirahat pertama usai berbunyi nyaring. Aku dan Azzam berjalan beriringan kembali ke kelas. Tidak ada banyak kata di antara kami, tapi langkahnya terasa tenang. Sayangnya, bisik-bisik yang menyertai kami dari balik koridor membuat langkahku terasa berat. Sudah kuduga, sekolah ini lebih cepat dari media gosip manapun.
Begitu masuk ke kelas, aku langsung disambut oleh suara khas Arsya Khalif (pacar sahabatku), Elysia Salsabila Wibowo, siswi jurusan Tata Busana. "Sya, Nizan nyariin lo tadi."
Belum sempat aku menjawab, Mira langsung menimpali dengan suara sinis, "Ngapain Nizan nyariin Tisya?"
Khalif mengangkat alis. "Lah, emang lo gak tahu? Nizan kan....."
"Astaga, Khalif!" Aku buru-buru menghampirinya dan menyumpal mulutnya dengan tanganku. Untung saja Bu Erni masuk ke kelas tepat waktu. Riuh kelas mendadak hening. Semua kembali ke tempat masing-masing.
Kelas Bu Erni hari itu terasa lebih tegang dari biasanya. Mata pelajaran Akuntansi Keuangan selalu punya cara sendiri untuk membuat siswa-siswi Akuntansi SMK Bina Bangsa duduk tegak dan bersiap dengan kalkulator serta kertas kerja. Hari ini topiknya adalah Kartu Persediaan. Materi yang cukup rumit, tapi penting dalam dunia akuntansi, terutama bagi perusahaan dagang atau manufaktur.
"Anak-anak, hari ini kita belajar mencatat transaksi persediaan menggunakan metode FIFO dan LIFO," kata Bu Erni sambil menulis di papan tulis dengan spidol yang tintanya sudah hampir habis. Suaranya lantang, berwibawa, dan sedikit menusuk jika sudah menyangkut kesalahan perhitungan.
Aku duduk di barisan paling depan, sudah membuka buku catatanku sejak awal jam pelajaran. Di sebelah kiri ruangan baris kedua, Nayla Azzahra (rivalku di kelas) duduk dengan angkuh, tangan terlipat, dan sesekali melempar pandangan menyelidik ke arahku. Penjelasan Bu Erni mengalir lancar hingga akhirnya beliau melemparkan sebuah soal diskusi ke seluruh kelas.
"Kalau tanggal 5 ada pembelian baru, lalu tanggal 7 terjadi penjualan, dan kita pakai metode FIFO, maka barang mana yang kita keluarkan lebih dulu?" tanya Bu Erni sambil melirik ke bangku depan.
Sebelum aku sempat angkat tangan, Nayla sudah duluan berdiri. "Barang yang dibeli terakhir, Bu. Karena itu lebih baru."
Beberapa siswa saling pandang. Aku mengerutkan kening.
"Permisi, Bu," selaku, suaraku tenang namun mantap. "Kalau metode FIFO, maka persediaan yang masuk lebih dulu, yang dikeluarkan lebih dulu juga. Jadi, kita keluarkan barang dari pembelian pertama, bukan yang terakhir bu."
Bu Erni mengangguk pelan, senyum tipis di wajahnya. "Betul, Tisya. FIFO: First In, First Out. Bukan yang terakhir dibeli ya, Nayla."
Ruangan hening beberapa detik. Nayla terlihat kaget, bahkan malu. Ia menarik napas, ingin membantah, tapi Bu Erni sudah melanjutkan.
"Wah, masa juara satu kelas nggak ngerti konsep dasar begini? Bener kemarin kamu yang juara satu?" sindir Bu Erni dengan suara datar tapi mengena.
Beberapa teman tersenyum kecil. Aku tak berkata apa-apa, hanya kembali menatap bukuku engan ekspresi kalem. Tapi di dalam hati, aku merasa sedikit puas. Hari ini, aku menang lagi darinya.
...****************...
Istirahat kedua dimulai. Baru lima menit, Mira tiba-tiba mengeluh pusing. Katanya sih masuk angin, tapi raut wajahnya terlihat terlalu santai untuk orang yang sedang sakit.
"Gue mau pulang aja deh," gumamnya sambil memijat pelipis.
"Naik apa?" tanyaku.
"Gatau. Gak ada cowok yang bisa anterin."
Dan seolah semesta mendengarkan, Nizan muncul dari balik pintu membawa sekotak susu cokelat.
"Sya, dari mana aja sih kamu? Aku cariin dari istirahat pertama. Nih, susu kesukaan kamu."
Aku mengangguk dan berterima kasih. Sempat terdiam sebentar, aku bertanya pelan, "Zan, kamu bisa anterin Mira pulang, gak? Sama Khalif. Dia pusing katanya, gak kuat bawa motor."
Ekspresi Nizan langsung berubah. "Enggak deh."
Aku tahu maksudnya. Nizan takut aku cemburu, padahal bukan itu masalahnya. Saat dia hendak pergi dengan alasan mau makan, Mira menarik lenganku.
"Sya, tolong banget, bujuk Nizan, ya. Please... Dari tadi gue minta tolong yang lain ngga ada yang mau. Kalau Nizan kan pasti mau kalau lo yang nyuruh."
Aku tahu betapa Mira menyukai Nizan, bahkan jika itu berarti mengabaikan perasaanku. Dengan berat hati, aku mengejar Nizan.
"Zan, tolong banget deh. Kalau kamu mau, aku janji deh bakal kamu anter jemput selama seminggu."
Ia terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
"Deal. Tapi ini karena kamu yang minta, ya."
Setelah mengabarkan kabar baik itu ke Mira, ia langsung memelukku erat. Senyumnya lebar, wajahnya bersinar.
Mira berboncengan dengan Nizan, sedangkan Khalif membawa motor Mira. Aku melihat mereka meninggalkan sekolah dari depan kelasku. Mira memeluk erat Nizan sambil tersenyum senang menatapku. Aku membalas tatapan itu dengan melambaikan tangan mengucapkan hati-hati. Tapi jujur, aku tidak tahu perasaanku. Senang? Lega? Atau kosong?
...****************...
Bel pulang akhirnya berbunyi. Aku berdiri pelan sambil membereskan buku. Aku berharap bisa pulang dengan tenang. Tapi harapanku sepertinya terlalu tinggi.
Baru saja melangkah keluar kelas, Azzam sudah berdiri bersandar di dinding, seperti pemeran utama drama remaja dengan tatapan coolnya itu. Tangannya menyilang di dada, wajahnya tanpa ekspresi, dan pandangan matanya langsung menatapku.
"Pulangkan lo," katanya santai.
Lidahku kelu. Belum sempat aku menjawab, Azzam sudah menarik pergelangan tanganku. Refleks, aku mencoba menahan diri, tapi genggamannya tidak kasar, hanya cukup kuat untuk membuatku ikut melangkah.
"Azzam, tunggu. Gue... "
"Tisya nggak pulang sama lo."
Suara Nizan memotong kalimatku. Tegas. Dingin. Suasana koridor langsung berubah. Seolah semua suara lain menghilang, yang tersisa hanya aku, Azzam, dan Nizan yang berdiri di antara kami. Tatapan Nizan mengarah ke tangan Azzam yang masih memegangku.
"Lepasin!!" kata Nizan lagi, kali ini lebih keras. Beberapa siswa yang lewat melambatkan langkah, pura-pura enggak memperhatikan, padahal jelas menunggu drama pecah.
Azzam mendengus. Tapi dia melepas tanganku. Perlahan.
"Gue cuma mau ngajak ngobrol. Nggak nyulik," katanya sinis.
Aku menghela napas panjang. "Udahlah, aku pulang sendiri aja."
Nizan menatapku. "Aku antar."
Sial. Situasinya makin kacau. Aku berjalan duluan, berharap mereka tidak saling adu otot di belakangku.
Di motor, aku dan Nizan tidak berbicara satu kata pun. Tapi tangannya yang mengenggam stang motor terlihat kaku. Aku merasa bersalah. Tapi memang apa salahku?
...****************...
Setibanya di rumah, aku langsung masuk tanpa banyak bicara. Mama tidak di ruang tamu, jadi aku langsung masuk ke kamar. Kubanting tubuhku ke kasur, menatap langit-langit.
"Apa-apaan ini sih?" gumamku sendiri.
Kupandangi layar HP. Tidak ada pesan dari Azzam. Tidak juga dari Nizan.
Kepalaku berat. Entah karena gosip sekolah, karena Mira, atau karena dua laki-laki yang tiba-tiba masuk lebih jauh ke hidupku.
Yang jelas, ini baru permulaan.
Dan entah kenapa, aku takut untuk melihat bagaimana semua ini akan berakhir.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!