Dena menatap rumah megah dua lantai itu dengan tatapan datar. Dia tak mampu beranjak dari taksi yang membawanya ke rumah tempatnya dibesarkan.
Dulu rumah ini adalah tempat terhangat yang dia miliki. Tempatnya pulang melepas semua penat ketika pulang sekolah. Rumah ini pernah menjadi tempat ternyaman baginya
Ya... itu dulu. Sebelum maminya meninggal dan negara api menyerang.
" Bener ini alamatnya, mbak?" tanya supir taksi yang dari tadi merasa keheranan karena Dena tak kunjung turun dari mobilnya.
Bahkan sejak memasuki komplek si supir mulai melihat gelagat tak nyaman di wajah cantik penumpang di belakang melalui kaca di depannya.
"Bener pak, saya cuma lagi mikir. Dan siapin mental." ucap Dena lalu terkekeh saat melihat ekspresi khawatir lelaki paruh baya itu.
"Ooh... Saya kira salah alamat." kata si supir dengan lega. Pasalnya dia sering mendapat penumpang yang ternyata salah alamat. Dan membuatnya repot karena harus mengantar balik. Jika saja penumpang mengerti dengan membayar lebih ongkosnya, tapi tak jarang penumpang yang justru marah-marah dan malah tak mau membayar.
Dena membuka pintu mobil setelah menghela nafas panjang. Siap tidak siap dia memang harus kembali. Saat ini Dana, saudara kembarnya sangat membutuhkan dirinya.
Kaki Dena terasa berat melangkah ke arah pagar, sembari menunggu supir taksi mengeluarkan kopernya dia pun memencet bel yang ada di pagar.
Ada yang berbeda dari rumah ini.
Ah... ya. Pagarnya baru dan lebih tinggi dibanding lima tahun lalu. Bagian terasnya juga sudah direnovasi dan garasi yang kini terlihat lebih luas.
"Ini kebanyakan, mbak." kata supir taksi sambil mengembalikan beberapa lembar uang seratus ribuan ke arah Dena.
"Ngga apa-apa, pak. Ini rezeki bapak dan keluarga." kata Dena sambil tersenyum.
Terlihat binar bahagia di mata pak supir itu, sembari membungkuk dia mengucapkan terimakasih.
Selang taksi tersebut pergi, Dena melihat seorang wanita paruh baya yang keluar dari arah garasi.
Kini giliran wanita itu yang terlihat kaget dan hampir berteriak.
"Mbak Dena!!!" Bik Yun histeris sambil setengah berlari menuju pagar.
Wanita yang sudah lama bekerja di rumah ini bahkan tak bisa membendung air mata yang keluar bak keran bocor.
Bik Yun terlihat syok bahkan tangannya terlihat tremor, gemetar tak sabaran saat membuka gembok.
Dia ingin segera memeluk dan memastikan apakah benar gadis yang berdiri di balik pagar itu adalah nona mudanya yang telah lama pergi.
"Ya... Allah... Ya... Allah... Ini beneran mbak Dena. Ya... Allah. Akhirnya mbak Dena pulang." ucapnya di sela tangis.
"Iya, Bik. Ini Dena, si cantik dan imut." ucap Dena, mengingatkan kata-kata yang dulu sering dia gunakan di depan orang-orang terdekatnya.
Hanya saja sekarang Dena enggan menunjukkan sisi manja dan imutnya seperti dulu. Dia bahkan merasa bodoh jika mengingat tingkah centilnya dulu.
Bik Yun pun terkekeh lalu memeluk Dena, begitu erat seolah-olah takut jika gadis itu pergi lagi.
"Masuk yuk, mbak. Mulai panas ini." ucap Bik Yun sambil mengarahkan tangannya hendak mengambil koper milik Dena
"Eits.... Biar aku yang bawa, Bik. Di sini isinya harta karunku. Nanti bibik bawa kabur." ucap Dena yang segera mengambil kopernya.
Bik Yun pun mendelikkan matanya sambil mengomel seperti dulu.
Ya... Wanita itu tau, sebenarnya tidak ada harta karun di dalam koper biru dongker itu. Hanya saja gadis cantik ini terlalu baik dan tak ingin bik Yun kerepotan membawa benda itu di usianya yang menginjak lima puluh tahun.
Dena memejamkan matanya sejenak, sebelum memasuki rumah orang tuanya. Entah mengapa kini Dena merasa jika aura rumah ini sudah jauh berbeda.
Tak ada lagi kehangatan hanya ada dinding keangkuhan dan kesombongan yang terlihat dari pilar besar pada dua sisi yang menopang teras depan.
Koleksi bunga anggrek almarhum maminya pun kini berubah menjadi deretan tanaman dedaunan yang katanya berharga ratusan ribu bahkan jutaan per lembar daunnya.
Sialan.... Nenek lampir itu berani mengubah peninggalan maminya. Sepertinya, dia terlalu nyaman dan menganggap semua adalah miliknya.
Dena berbalik dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah dengan luas tanah empat puluh kali enam puluh itu. Tanah dan bangunan yang merupakan warisan peninggalan kakek neneknya kini dikuasai oleh parasit yang tak tau malu.
Home sweet home nya kini berubah jauh, menjadi scary house.
"Mbak Dena, bibik lupa. Kamar mbak Dena dikunci, disuruh sama mas Dana. Kuncinya bibik simpan di kamar." kata Bik Yun saat mereka hendak menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamar Dena berada.
"Ya udah, bik Yun ambil aja. Aku masih ingat letak kamarku... Ya.. Jika belum diubah sama perempuan itu." ucap Dena sambil menahan kesal saat melihat isi rumah ini banyak berubah.
Beberapa furniture sudah diganti dan warna dinding yang dulunya berwarna putih kini sudah ada tambahan ornamen gold yang membuat Dena merasa sakit hati.
Rumah ini milik mendiang maminya. Wanita itu yang merancang dan mendesain bangunan yang berdiri kokoh ini. Tapi lihatlah wanita benalu itu berani mengganti dan merubah semuanya.
Bahkan berani memajang pigura besar berisi foto keluarganya.
Dena menatap foto itu dengan tatapan luka, berbanding terbalik dengan raut wajah empat orang yang terlihat bahagia dalam potret pernikahan seorang wanita yang dulu sering dikasihani nya dan lelaki yang begitu dikasihinya.
"Cih, tertawalah selagi bisa tertawa. Sudah cukup kalian bahagia diatas penderitaan orang lain." ucap Dena sinis sambil menatap tajam pada foto orang yang memberikannya luka begitu dalam.
Tak...tak... tak...
Suara hak sepatu terdengar memecah suasana sunyi rumah ini. Membuat Dena melengos malas saat melihat wanita licik yang berbalut pakaian mahal.
"D_Dena???" terdengar suara lirih dari wanita yang tak bisa menyembunyikan kekagetannya.
Dia adalah Karnasih alias Kana, istri baru papinya juga penghianat yang menusuk maminya dari belakang.
"Ka_kamu ngapain disini?" tanyanya lagi yang masih belum bisa menghilangkan rasa kagetnya.
"Cih... Harus saya jawab pertanyaan yang sudah pasti jawabannya." sahut Dena sinis.
"Setelah buat malu keluarga, kamu masih berani kembali ke rumah ini. Nggak tau diri kamu, Dena." ucap Kana yang berusaha menyembunyikan kagetnya saat mendengar ucapan Dena.
"Rumah ini..... rumah saya dan Dana. Hanya mengingatkan anda jika lupa." balas Dena lalu tersenyum miring.
"Dan saya juga bisa menuntut anda karena berani merubah dan mengganti peninggalan mami saya dengan benda-benda jelek ini." ucap Dena lamat-lamat sambil menunjuk foto pernikahan Asta, putri Kana.
"Kurang ajar kamu, Dena. Saya akan bilang ke papi kamu, kalau kamu berani melawan saya." suara Kana yang sudah mulai meninggi menunjukkan jika wanita itu sudah mulai emosi.
Dena tertawa keras mendengar ucapan istri baru papinya itu. Ya, walaupun Dena tau kalau Kana berani melapor pada papinya tapi gadis cantik itu sama sekali tak gentar.
Papinya memang cinta dan tunduk pada perempuan ular ini. Bahkan rela mengorbankan perasaan putrinya demi kebahagiaan putri wanita di depannya ini. Tapi, Dena yang sekarang bukanlah Dena yang dulu.
Dia kini punya kartu AS yang bahkan membuat Tedi, papinya itu tak bisa berkutik sama sekali.
"Silahkan...." ucap Dena sambil tersenyum manis, lebih tepatnya senyum penuh ejekan.
Matanya melirik dan mengkode Bik Yun untuk segera ke atas, membuka kamarnya.
"Ah... Jangan lupa sampaikan kepada papi jika Dena sudah kembali. Jadi, papi harus melakukan apa yang diperintahkan dalam wasiat mami." kata Dena sambil bersiap-siap mengangkat kopernya menaiki tangga.
"Apa maksudmu, Dena?!" tanya Kana yang wajahnya kini terlihat merah karena menahan emosi.
"Ups... Anda belum tau?" ucap Dena lalu meletakan sebelah tangannya ke bibirnya seolah menyesal karena keceplosan.
"Padahal kami baru bertemu beberapa hari yang lalu. Di kantor pengacara mami. Ya... Kami mendengarkan pembacaan surat wasiat resmi dari almarhum mami. Legal dan sah secara hukum, bukan cuma coret-coretan di selembar kertas." kata Dena dengan wajah mengejek Kana.
Sementara Kana mendadak pias mendengar kabar itu. Tedi, suaminya selama ini tak pernah menyembunyikan apapun darinya bahkan dari sebelum mereka menikah.
"Jadi anda paham dong kenapa saya bisa ada di sini. Masa nggak...." ucap Dena dengan wajah penuh kemenangan sebelum berbalik menaiki tangga menuju kamarnya.
Sembari itu, Dena mencoba mengatur nafas dan juga jantungnya yang berdegup kencang. Bukan karena takut, tapi karena mencoba menahan diri untuk tak menghancurkan wajah pelakor yang ternyata menyakiti maminya selama ini.
Dan bodohnya, selama ini Dena justru pergi meninggalkan semua milik mendiang maminya hingga bisa dikuasai oleh perempuan ular dan putrinya yang berhati busuk itu.
Dena berhenti di depan sebuah kamar. Manik coklatnya menatap sendu ke arah pintu berwarna hitam itu. Kamar ini milik saudara kembarnya, Ardana yang kini harus berjuang melawan penyakitnya.
Dana, saudara satu kandungannya divonis mengidap leukimia. Dan kini harus dirawat intensif di rumah sakit. Salah satu alasan kepulangan Dena juga karena ingin mendonorkan sel sumsum tulang belakangnya untuk Dana.
Karena hanya Dena yang cocok menjadi pendonor. Sedangkan paman Albert sudah tua, membuat Dena merasa tak tega jika lelaki itu melakukan transplantasi pada Dana.
"Mas Dan... Aku pulang " ucap Dena sambil tersenyum sedih. Suaranya yang lembut menyebutkan nama panggilan kesayangan Dana sambil menatap pintu seolah-olah benda itu adalah kembarannya.
"Mas Dan, kamu harus sembuh, seperti janjimu. Maafin aku karena ninggalin kamu selama ini." ucap Dena sambil menahan diri untuk tak menangis walaupun matanya sudah mulai berembun.
Dena tak ingin menangis di rumah ini lagi. Sudah cukup dia lakukan lima tahun yang lalu. Tak hanya air mata, bahkan Dena meninggalkan rumah ini dengan berdarah-darah.
Namun, semuanya tak ada yang perduli. Kecuali Dana, saudara kembarnya dan juga Bik Yun.
Kana membanting tas mahal miliknya lalu tubuhnya ke atas ranjang di kamar yang sudah ditempatinya selama hampir enam tahun ini.
Raut wajahnya terlihat lelah dan menahan marah. Bagaimana tidak, ternyata suaminya menyembunyikan perihal wasiat yang ditinggalkan oleh Vania, istri pertama suaminya.
Setelah mendengar ucapan Dena, Kana segera pergi ke kantor suaminya. Perusahaan agen properti yang berada di pusat kota. Tedi menjabat sebagai direktur operasional.
Walaupun perusahaan itu milik keluarga, namun Tedi tak bisa memilikinya. Karena perusahaan itu adalah peninggalan Juan, ayah Vania. Dan mewariskannya pada cucu lelaki satu-satunya, Dana.
"Vania sialan, udah pada mati masih aja ganggu hidupku dan mas Tedi." Kana memaki wanita yang merupakan ibu dari Dena juga atasan tempatnya bekerja dulu.
Kana merasa terjebak, ternyata Vania tak sebodoh yang dia kira. Wanita itu diam-diam membuat surat wasiat yang sah dan legal melalui pengacaranya tanpa sepengetahuannya juga Tedi.
Mungkinkah, Vania sudah mencium perselingkuhannya dengan Tedi sebelum dia meninggal. Sayangnya, saat itu Kana tak berpikir ke arah sana.
Dia terlalu euforia saat mendengar jika Vania yang sempat sekarat karena kecelakaan.
Saat itu Kana fokus pada kondisi kesehatan Vania, tapi bukan untuk menyembuhkan melainkan sebaliknya.
Kana melakukan hal yang berakibat fatal pada kondisi kesehatan Vania dengan cara yang sangat halus.
Bahkan, Tedi pun tak mengetahuinya. Lelaki itu mengira jika Kana adalah wanita baik hati yang mau merawat Vania.
Padahal saat itu Kana hanya memasang topeng malaikat agar Tedi semakin terpikat dan tak mau lepas darinya.
Dan akhirnya, rencananya berhasil. Tedi menikahinya secara siri, seminggu setelah Vania meninggal.
Tentu saja hal itu karena Kana selalu menggoda dan membuat Tedi tergila-gila hingga bergulat panas di atas ranjang, bahkan jauh sebelum istrinya meninggal.
Klek...
Suara kenop pintu kamar yang diikuti suara lengkingan seorang wanita muda membuat Kana menjadi semakin pusing.
"Mama.... Beneran perempuan bego itu udah balik?" Asta langsung masuk ke dalam kamar dan tanpa basa basi lagi dia segera menanyakan kembali kabar yang didapatkannya.
"Jaga mulut kamu. Dan tutup pintunya." ucap Kana pada putrinya yang nyelonong begitu saja. Dia pun duduk di ranjang sambil menatap tajam pada sang putri yang sembarang bicara tanpa tau keadaan.
Asta pun melakukan perintah ibunya lalu duduk di ranjang tepat sebelah ibunya.
"Jadi beneran ma, Dena balik ke rumah ini?" tanya Asta sambil menggoyangkan lengan Kana.
"Iya, Asta. Yang kamu dengar itu benar." jawab Kana kesal.
"Dasar perempuan sundal. Ngapain lagi dia balik ke rumah ini. Padahal aku udah ngasih ancaman ke dia buat pergi jauh dari sini." Asta pun ikut kesal mendengar jika Dena sudah kembali.
"Kayaknya anak itu mau dikasih pelajaran lagi biar kapok." ucap Asta yang mengepalkan tangannya merasa ingin meremukkan Dena.
"Jangan macem-macem Asta. Posisi kita lagi nggak bagus. Papi kamu bisa ngamuk kalau tau apa yang kita lakukan malam itu." Kana memperingatkan putrinya.
"Lagipula, Dena sudah banyak berubah. Dia bukan lagi perempuan bodoh seperti dulu. Apalagi setelah surat wasiat Vania yang menunjuk jika Dana dan Dena adalah pewaris semua hartanya." ucap Kana dengan raut kesal.
Jika saja dia tau ada klausul itu, mungkin saat ini dia memilih menjadi istri rahasia Tedi.
"A_apa ma? Wasiat? Tante Vania buat surat wasiat?" Asta bahkan mengulang beberapa kali pertanyaan karena merasa tak percaya dengan apa yang di dengarnya.
"Si sialan itu, dia buat surat wasiat diam-diam dan melegalkannya secara hukum. Jika papi kamu nikah lagi setelah dia meninggal maka semua harta Vania hanya akan jatuh pada Dana dan Dena tanpa terkecuali." ucap Kana yang terlihat tak terima.
Sama saja dia menikah dengan Tedi yang miskin karena tak memiliki harta apapun. Dan Kana tak mau hidup miskin lagi.
"Ini nggak mungkin kan, ma. Setelah lima tahun kenapa baru sekarang surat wasiat itu dibacakan." kata Asta tak percaya.
"Papi kamu sudah membuktikan keabsahan surat itu, Asta."
Memang surat itu dibuat oleh Vania, dan Roland, pengacara yang ditunjuknya adalah saudara dari ipar Vania.
Vania yang minta surat itu dibacakan satu bulan sebelum ulang tahun Dana dan Dena yang ke dua puluh lima.
"Sekarang kita jangan gegabah. Dena berani pulang ke rumah ini pasti sudah mempersiapkan semuanya. Kita bisa hancur kalau salah langkah." kata Kana, matanya menatap foto pernikahannya dengan Tedi.
Namun sebenarnya dia sedang memperhitungkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya selama ini.
"Maksudnya, ma? Aku hanya diam dan sabar kayak dulu. Nggak ya, ma... Aku nggak mau, inget kelakuan sok cantik dan centilnya dulu aja bikin aku kesel." bantah Asta sambil mendelik kesal pada mamanya.
"Kalau papi kamu aja nggak berkutik dan gak berani bersuara. Kamu bisa?" tanya Kana sambil menatap tajam pada putrinya yang selama ini hanya tau menghabiskan uang.
"Bisa kamu, Asta?" tanyanya lagi dengan nada lebih tinggi dibanding sebelumnya.
Asta yang melihat mamanya marah, mendadak ciut. Dia tak memiliki keberanian besar untuk melawan mamanya.
"Aku hanya takut ma. Gimana kalau Evan tau Dena kembali. Aku takut Evan goyah dan balik ke Dena. Aku cinta mati sama Evan, aku nggak mau kehilangan dia, ma." Asta mengungkapkan kekhawatirannya.
"Salah kamu sendiri, jadi perempuan kok bego. Lima tahun kamu nikah dengan Evan tapi nggak bisa kamu taklukin suami kamu. Padahal udah ada Cila, harusnya Evan bisa kamu kendalikan." bukannya kasihan, justru ucapan Kana malah memojokkan Asta.
Evan dulunya adalah kekasih Dena. Mereka berselingkuh dibelakang Dena hingga Asta hamil dan lahirlah Archila.
Sayangnya setelah menikah, Evan malah menjadi dan sering membawa wanita-wanita selingkuhannya ke hotel atau villa pribadinya.
"Aku udah usaha, ma. Aku udah lakukan semua yang mama bilang. Tapi tetap aja Evan bilang aku nggak cukup buat memuaskan dia. Dan aku lebih milih dia selingkuh daripada dicerai." kata Asta yang pasrah pada tingkah bejat suaminya.
"Tapi aku nggak rela kalau dia milih balikan sama Dena. Aku nggak sudi, ma. Pokoknya mama harus pikirin cara buat nyingkirin Dena." tuntut Asta yang terlihat tak peduli dengan Kana yang sedang pusing mengamankan harta milik Vania.
Putrinya ini memang hanya bisa merengek dan menuntut apa yang dia mau. Tanpa berpikir bagaimana cara menyingkirkan Dena dan juga kembarannya.
Saat ini, dia juga harus bergerak cepat. Jangan sampai dia kehilangan apa yang dia inginkan.
Dia sudah banyak berkorban bahkan sudah merelakan tubuhnya dijamah oleh pria hidung belang agar bisa mendapatkan posisi ini.
Tanpa mereka sadari, di balik pintu kamar Bik Yun mendengar semua percakapan dua wanita ular itu.
Bik Yun geleng-geleng kepala mengingat tingkah ibu dan anak yang sama-sama pelakor.
Untung saja nona mudanya belum menikah dengan Evan, jika tidak pasti nasibnya tak akan jauh beda dengan nyonya besarnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!